• Tidak ada hasil yang ditemukan

Putusan Perdata terkait Anggapan Pelepasan Hak (rechtsverwerking) sebelum adanya UUPA

PRINSIP ANGGAPAN PELEPASAN HAK (RECHTSVERWERKING) DALAM PUTUSAN PERADILAN PERDATA

B. Putusan Perdata terkait Anggapan Pelepasan Hak (rechtsverwerking) sebelum adanya UUPA

Terkait gugatan pemilik asal, sepertinya hakim berpegang pada konsep anggapan pelepasan hak (rechtsverwerking), karena dari putusan- putusan yang berhasil ditelusuri, tidak terdapat jangka waktu tertentu yang dijadikan patokan oleh hakim. Mahkamah Agung tampaknya mencermati sikap yang ditunjukkan pemegang hak asal tanah yang menjadi obyek sengketa.

(Putusan Mahkamah Agung No. 120 K/SIP/1957). Dalam tiga kasus yang terjadi pada tahun 1950an, hakim misalnya berpendapat bahwa penguasaan tanah oleh pembeli beriktikad baik selama 25 tahun tidak dapat lagi dipermasalahkan (Putusan Mahkamah Agung No. 112 K/Sip/1955). Jangka waktu yang sama sepertinya juga digunakan dalam sebuah kasus lainnya, di mana para penggugat yang membiarkan penguasaan tanahnya oleh pihak lain

selama 25 tahun, harus dianggap menghilangkan hak mereka (Putusan Mahkamah Agung No. 120 K/SIP/1957).

Lembaga rechtsverwerking tersebut telah terbukti dalam berbagai yurisprudensi Raad van Justice atau HR maupun MA, antara lain sbb.:

1. Yurisprudensi dari Raad van Justice sebelum Kemerdekaan yang menyatakan adanya kedaluwarsa sebagai cara perolehan tanah:

a. “Menduduki tanah selama 20 tahun tanpa gangguan, sedang pihak lawan selama itu membiarkan keadaan demikian, adalah persangkaan berat bahwa pendudukan (bezit) itu adalah berdasarkan hukum”. Putusan RvJ Jakarta 13 Januari 1939, T.

241;

b. “Menduduki tanah dalam waktu lama tanpa gangguan, sedangkan yang menduduki tanah bertindak sebagai pemilik yang jujur mendapatkan perlindungan hukum”. (Putusan RvJ Jakarta 12 Januari 1940, T 154 hal 269);

2. Berikut Putusan Mahkamah Agung yang dikeluarkan pada tahun 1950 tekait dengan yang lembaga rechtsverwerking sebagai anggapan pelepesan hak:

a. Dengan selama 24 tahun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri tentang barang warisan dari ibunya, penggugat yang kemudian mengajukan gugatan, dianggap telahcommit to user commit to user

melepaskan haknya (PT Surabaya, 24 Nopember 1952);

b. Orang yang membiarkan saja tanah menjadi haknya selama 18 tahun dikuasai oleh orang lain dianggap telah melepaskan haknya atas tanah tersebut (rechtsverwerking). (MA 24-9-1958.

No. 329 K/Sip/1957).

3. Berikut Putusan Mahkamah Agung pada tahun 1970an setelah dikeluarkan UUPA dan PP No. 10 Tahun 1961, tekait dengan lembaga rechtsverwerking sebagai anggapan pelepasan hak:

Catatan: Dari yurisprudensi MA ini membuktikan dari sisi akibat, bahwa daluwarsa mempunyai persamaan dengan rechtsverwerking. Daluwarsa mengacu pada lamanya waktu tertentu

menyebabkan hapusnya hak di satu pihak atau diperolehnya hak dipihak lain. Demikian juga rechtsverwerking sebagaimana dalam hukum adat mengacu pada pelepasan hak yang didasarkan berlangsungnya jangka waktu yang lama tertentu. Sementara dipihak lain memperoleh/menimbulkan sesuatu hak. Substansi kedua-duanya sama yakni (1) begantung pada lamanya waktu tertentu, dan (2) akibat hukumnya juga sama yakni disatu pihak, hapusnya hak (hukum perdata) atau pelepasan hak (hukum adat), dan dipihak lain

memperoleh hak.

Putusan Mahkamah Agung No. 120 K/SIP/1957380

Perkara berawal 25 tahun yang lalu (sekitar tahun 1928), terhitung sejak perkara ini diperiksa di Pengadilan Negeri Pandeglang pada tahun 1953, terkait sebidang tanah yang merupakan harta warisan Noto (ayah dari para penggugat dan tergugat II), yang dijual oleh tergugat II kepada H. Dulgapar, ayah tergugat I, dengan harga Rp. 700.

Mengingat tanah tersebut merupakan warisan yang belum dibagi, maka gugatan diajukan oleh para penggugat ke pengadilan, dengan tuntutan sebagai berikut:

a. Membatalkan jual beli sebidang tanah terperkara antara tergugat II dengan tergugat I;

b. Menghukum tergugat I agar menyerahkan kembali sebidang tanah tersebut kepada para penggugat dengan pembayaran kembali oleh para penggugat kepada tergugat I uang pembelian tanah sebesar Rp.700.

Putusan yang dijatuhkan antara lain:

1. Pengadilan Negeri (PN) Pandeglang memutuskan bahwa gugatan para penggugat tidak dapat diterima, karena para penggugat membiarkan perihal tersebut selama 25 tahun, sehingga harus dianggap menghilangkan hak mereka (rechtsvewerking).

\380Subekti, Hukum Adat Indonesia dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, Bandung: PT Alumni, Cetakan Kelima, 2013, hlm. 70-71.commit to user commit to user

2. Pengadilan Tinggi menguatkan Putusan PN Pandeglang ini. Para penggugat lalu mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Dalam putusannya, Mahkamah Agung sepertinya menganggap para penggugat melepaskan sendiri hak mereka – karena dulunya dapat diduga tidak berkeberatan, dengan pertimbangan sebagai berikut:

a) Kesediaan para penggugat kasasi akan membayar kembali uang harga pembelian, mengandung persangkaan bahwa mereka dahulu oleh suatu hal rupa-rupanya tidak berkeberatan akan penjualan sawah tersebut.

b) Pembelian sawah tersebut patut dilindungi, oleh karena dapat dianggap bahwa ia telah beriktikad baik dalam membeli sawah itu dari seorang ahli waris dari almarhum pemilik sawah, maka dengan demikian putusan-putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi sudah betul dan permohonan kasasi harus ditolak.

Analisis Putusan

Putusan Pengadilan Negeri, maupun Pengadilan Tinggi dan bahkan Mahkamah Agung memberikan putusan yang sama yaitu mempertimbangkan rechtsverweking sebagai dasar putusannya. Hal ini terlihat hakim menyatakan gugatan tidak dapat diterima dengan pertimbangan, penggugat telah

penggugat telah menghilangkan haknya sendiri atau rechtsverwerking. Dalam hal ini Hakim menggunakan istilah bahasa Indonesia „menghilangkan haknya sendiri, yang dipakai sebagai padanan kata rechtsverwerking. Unsur yang ada dalam penerapan rechtsverwerking di sini adalah pembiaran dalam waktu tertentu.

Meskipun asal muasal timbulnya sengketa disebabkan peralihan hak atas tanah yang dilakukan oleh pihak yang dianggap tidak berwenang melakukan pengalihan hak, namun pemegang hak atas tanah asal juga dapat dianggap mempunyai kontribusi „kesalahan‟, yaitu akibat ditelantarkannya tanah dalam waktu yang lama. Penelantaran tanah ini tidak hanya bertentangan dengan Pasal 27, Pasal 34, dan Pasal 40 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang menjadi acuan dasar pengaturan tentang hapusnya hak atas tanah, diantaranya tanah diterlantarkan. Sementara itu di lain pihak juga membuka peluang bagi pihak lain untuk menduduki tanah dan atau memanipulasi kepemilikan, ataupun mengalihkan tanah tanpa sepengetahuan pemegang haknya.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), daluwarsa (lewatnya waktu) diatur dalam kaitannya dengan adanya jangka waktu tertentu yang dapat mengakibatkan seseorang mendapatkan suatu hak milik (acquisitive verjaring) atau terbebasnya seseorang dari tuntutan hukum (extinctieve verjaring). Sebaliknya, untuk anggapan pelepasan hak (rechtsverwerking), hakim mempertimbangkan hilangnya hak seseorang (misalnya untuk menuntut haknya) bukan hanya karena lewatnya waktu, tetapi

commit to user commit to user

juga karena sikap atau tindakan seseorang yang menunjukkan bahwa ia sudah tidak akan mempergunakan suatu hak, (Putusan Mahkamah Agung No.

2124/K/Pdt/2006).

Namun, dalam kasus yang lain, Penggugat yang baru mengajukan gugatan ke pengadilan setelah berlalu 14 (empat belas) tahun sejak pengalihan hak terjadi (oleh pihak lain), ternyata juga telah dianggap melepaskan haknya (Putusan Mahkamah Agung No. 2370 K/Pdt/1992).

Dalam beberapa putusan yang lebih aktual, gugatan yang diajukan kurang lebih 15 tahun setelah peralihan hak terjadi, dianggap sebagai bentuk anggapan pelepasan hak (rechtsverwerking) secara diam-diam oleh Penggugat (Putusan Mahkamah Agung No. 1091 K/Pdt/2010). Menariknya, berbeda dengan putusan sebelumnya, Mahkamah Agung sepertinya hanya memperhatikan telah lewatnya waktu saja – yaitu 15 tahun, tanpa mencermati sikap pemegang hak asal, meskipun tetap menyebutnya sebagai bentuk rechtsverwerking. Selain perkara putusan tersebut di atas, baru-baru ini juga terdapat perkara di mana penggugat dianggap telah melepaskan haknya, setelah penelantaran selama 50 tahun lamanya (Putusaan Mahkamah Agung No. 1802 K/Pdt/2012).

C. Putusan Hakim Dalam Sengketa Perdata Terkait dengan Anggapan