• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rasio Efisiensi Biaya Operasi Terhadap Pendapatan Operasi (BoPo)

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

B. Hasil Analisis dan Pembahasan

4. Rasio Efisiensi Biaya Operasi Terhadap Pendapatan Operasi (BoPo)

Rasio biaya operasi terhadap pendapatan operasi ini digunakan

untuk mengukur tingkat efisiensi dalam penggunaan sumber dana

untuk menjalankan kegiatan operasi perusahaan publik maupun

swasta.

Rumus = biaya operasi

pendapatan operasi x 100%

Tabel 4.6

Rasio Biaya Operasi Terhadap Pendapatan Operasi Tahun Biaya Operasi /

Pendapatan Operasi

Rasio Biaya Operasi Terhadap Pendapatan Operasi Nilai Kategori 2006 997.170.000.000/ 359.288.000.000.000 0,0027% 0,27 5 (Sangat baik) 2007 1.063.500.000.000/ 429.606.000.000.000 0,0024% 0,24 5 (Sangat baik) 2008 1.185.671.000.000/ 584.685.000.000.000 0,0020% 0,20 5 (Sangat baik) 2009 1.320.143.000.000/ 545.098.000.000.000 0,0024% 0,24 5 (Sangat baik) 2010 1.455.814.000.000/ 637.124.000.000.000 0,0022% 0,22 5 (Sangat baik)

76 2011 1.486.986.000.000/ 789.109.000.000.000 0,0018% 0,18 5 (Sangat baik) 2012 1.510.210.000.000/ 908.232.000.000.000 0,0016% 0,16 5 (Sangat Baik) Rata-rata 0,21 5 (Sangat baik)

Sumber : Data Sekunder diolah

Berdasarkan tabel diatas dapat dinyatakan bahwa rasio biaya

operasional terhadap pendapatan operasional Direktorat Jenderal

Pajak menunjukkan kinerja dengan kriteria efisiensi yang sangat baik

dengan angka tertinggi yaitu angka 5. Dari tahun 2006 hingga tahun

2012 menunjukkan bahwa rasio beban operasional dan pendapatan

operasional mengalami tren yang konstan.

Stabilnya tingkat efisiensi pajak selama tahun 2006-2012 adalah

akibat dari sisi penerimaan pajak mengalami kenaikan namun jumlah

pegawai pajak justru cenderung konstan. Hal ini mengakibatkan

optimalnya efisiensi pajak karena penerimaan pajak lebih besar

dibandingkan dengan beban operasionalnya.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengutarakan keinginan

menambah pegawai 5.000 per tahun didukung sejumlah alasan.

Dikarenakan periode 2006-2012, realisasi penerimaan pajak naik dua

kali lipat. Begitu juga dengan penambahan wajib pajak, dari 15 juta

77 DJP pada 2006 berjumlah 30.196 dan menjadi 31.408 pada 2012. Atau

turun jika dibandingkan pada 2011 sebanyak 31.733 pegawai.

Alasan lain, karena setiap tahun target yang dibebankan pada DJP

terus meningkat namun anggaran yang disediakan bagi DJP periode

2009-2012 menurun. Pada 2009, anggaran DJP Rp5,3 triliun turun

menjadi Rp4,9 triliun dalam APBN-P 2013 ini. Sementara, target

penerimaan pajak terus dinaikkan.

Apabila dibandingkan dengan target penerimaan pajak, maka cost

collection ratio Indonesia rendah yaitu 0,49 persen atau secara

sederhana dapat dikatakan setiap 100 rupiah uang pajak yang

dihimpun, hanya membutuhkan biaya 0,49 rupiah. Bandingkan

dengan Jepang yang tax cost collection ratio-nya 1,4 persen atau

setiap 100 yen pajak yang dikumpulkan dibutuhkan biaya 1,4 yen.

Juga, kriteria yang ditetapakan standar Internasional yaitu tax

collection ratio. Sehingga, berdasarkan rujukan rasio tersebut, masih

dimungkinkan untuk menambah biaya DJP hingga dua kali lipat dari

sekarang atau kalau dikonversi ke jumlah pegawai masih

dimungkinkan untuk menambah pegawai DJP.

Keinginan juga dilandasi perbandingan antara jumlah pegawai dan

jumlah penduduk. Di Indonesia, setiap satu pegawai pajak harus

78 pegawai pajaknya hanya melayani 1.000 penduduk. Di Jerman, setiap

satu pegawai pajak hanya melayani sekitar 700 penduduk. Tentunya,

tambahan pegawai masih memungkinkan dan harus segera

dilaksanakan untuk meningkatkan pelayanan perpajakan.

Pembahasan dan Interpretasi

1) Kinerja Penerimaan Pajak

Berdasarkan hasil analisis untuk realisasi penerimaan pajak dari

tahun 2006 sampai dengan tahun 2012 dan tingkat penerimaan pajak

dari tahun 2006 sampai tahun 2012 bahwa penerimaan pajak

mengalami tren kenaikan. Terlihat pada tahun 2006 sampai 2008

realisasi penerimaan pajak hampir mencapai target yang ditetapkan

pemerintah dalam APBN, sedangkan untuk tahun 2009 realisasi

penerimaan pajak sempat mengalami penurunan yang melesat jauh

dari target. Pada tahun 2010, 2011 dan 2012 realisasi penerimaan

kembali mengalami kenaikan yang cukup signifikan walaupun masih

dibawah target yang ditetapkan pemerintah dalam APBN.

Dengan diberlakukannya UU No 28 tahun 2009 tentang pajak

daerah dan retribusi daerah (UUPDRB), BPHTB mulai tahun 2011

dialihkan ke pajak penerimaan daerah. Dengan kata lain mengurangi

pendapatan pajak yang masuk ke Negara, namun nampaknya hal

tersebut tidak terlalu mempengaruhi penerimaan pajak ditahun 2011

79 PPnBM dan pajak ekspor mampu menutupi dan menyeimbangkan

kekurangan dari pajak lainnya di tahun tersebut.

Berdasarkan catatan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),

penerimaan pajak yang dikelola oleh DJP sangat mendominasi

penerimaan negara. Namun, jika dilihat dari penerimaan pajak selama

periode tahun-tahun terakhir, realisasi penerimaan pajak tidak

mencapai target hanya berkisar 93% - 97% dari target APBN.

Berdasarkan pemeriksaan BPK, hal tersebut disebabkan karena

pemerintah belum mengimplementasikan pasal 35A UU No 28 Tahun

2007 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan (KUP). Jika

DJP mengimplementasikan secara efektif maka diharapkan dapat

mewujudkan pusat data pajak mengoptimalkan peningkatan

penerimaan pajak. Capaian target penerimaan pajak yang tidak sesuai

dengan APBN tentunya menjadi catatan penting bagi Direktorat

Jenderal Pajak. Beberapa tahun anggaran, DJP tak mampu memenuhi

capaian target penerimaan negara sektor pajak.

Mengingat semakin meningkatnya target penerimaan sektor pajak

dalam Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN), yakni

mencapai kisaran Rp.1.000 triliun, DJP harus menyiapkan beberapa

strategi guna memaksimalkan penerimaan pajak tahun depan.

Setidaknya ada enam strategi yang sudah siap dijalankan oleh DJP

80 Pertama, melakukan penyempurnaan sistem administrasi

perpajakan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, langkah awal

yang harus dilakukan ialah menyempurnakan pelaporan Surat

Pemberitahuan (SPT) dengan menggunakan internet atau dikenal

dengan e-filling.

Kedua, melakukan ekstensifikasi WP Orang Pribadi

berpendapatan tinggi dan menengah. Kegiatan ekstensifikasi yang

dilakukan akan lebih fokus kepada orang pribadi yang memiliki

potensi untuk membayar pajak, sehingga kontribusi dominan

penerimaan pajak bergeser secara bertahap dari WP Badan ke WP

Pribadi.

Ketiga, DJP harus melakukan perluasan basis pajak termasuk

sektor-sektor yang selama ini tidak terlalu banyak digali potensinya.

Sektor-sektor yang dimaksud diantaranya sektor perdagangan (Usaha

Kecil dan Menengah) yang memiliki tempat usaha di pusat-pusat

perbelanjaan dan sektor properti.

Keempat, melakukan optimalisasi pemanfaatan data dan

informasi berkaitan dengan perpajakan dari institusi lain.

Kelima, DJP juga akan melakukan penguatan hukum bagi para

penghindar pajak. Guna memberi rasa keadilan, maka bagi WP yang

tidak menjalani kewajiban perpajakan dengan benar akan dilakukan

81 Keenam, DJP akan melakukan penyempurnaan peraturan

perpajakan untuk lebih memberikan kepastian hukum dan perlakuan

yang adil serta wajar. Dengan adanya program kerja tersebut, kinerja

DJP ke depan akan semakin terarah, fokus dan berorientasi hasil.

Diharapkan, target penerimaan pajak tahun selanjutnya akan tercapai.

Dilihat dari tingkat penerimaan pajak secara keseluruhan

penerimaan pajak mengalami kenaikan yang sebagian besar hampir

mencapai target yang telah ditetapkan dalam APBN. Hal ini didukung

oleh penelitian ditahun 2005 sampai dengan 2011 yang dilakukan oleh

Julastiana dan Suartana yang menunjukkan tingkat efisiensi

penerimaan pajak dan retribusi daerah Kabupaten Klungkung

tergolong efisien yaitu rata-rata sebesar 70,97 persen. dan Tingkat

efektivitas penerimaan pajak dan retribusi daerah tergolong sangat

efektif yaitu rata-rata sebesar 112,36 persen.

Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa realisasi

penerimaan pajak DJP dari tahun 2006-2012 hampir mencapai target

penerimaan pajak dalam APBN. Walaupun dalam periode tersebut,

Indonesia dibayang-bayangi oleh krisis ekonomi global yang belum

pulih akibat kebijakan tapering off oleh Bank Sentral AS, namun hal

itu nampaknya tidak memengaruhi kinerja Direktorat Jenderal Pajak

82 2) Jumlah Pegawai

Tahun 2006 jumlah pegawai DJP hanya berjumlah 30.565 orang

yang tersebar diseluruh wilayah kerja DJP di Indonesia. Namun

ditahun 2011 pegawai DJP sudah bertambah sebanyak 2406 orang

menjadi 32.971 pegawai. Namun hal ini dirasa masih kurang

dibandingkan dengan penerimaan yang terus meningkat setiap

tahunnya.

Direktorat Jenderal Pajak agaknya harus menambah pegawainya.

Alasannya karena pada periode 2006-2012 realisasi penerimaan pajak

dan target yang dibebankan kepada DJP terus meningkat. Dengan

adanya tren kenaikan penerimaan yang signifikan maka harus

diimbangi dengan fasilitas yang memadai serta aparat pajak yang

berkompeten.

Alasan lain, karena setiap tahunnya penambahan jumlah Wajib

Pajak yang terdaftar di DJP terus bertambah. Dengan perbandingan

yang sekarang maka dapat dikatakan setiap satu pegawai pajak harus

melayani sekitar ribuan penduduk dengan asumsi penduduk Indonesia

berjumlah 2 juta penduduk. Hal ini tentunya akan menimbulkan

kurangnya pelayanan

Namun demikian DJP tetap selektif dalam menerima calon pegawai

83 diperuntukkan bagi lulusan-lulusan terbaik. Sehingga bagi para calon

pegawainya harus tetap bersaing secara ketat.

3) Tingkat Belanja Pegawai

Berdasarkan hasil analisis, pengeluaran belanja pegawai dari tahun

2006 sampai dengan 2012 mengalami tren yang cenderung meningkat.

Hal ini dibarengi dengan penambahan jumlah pegawai tiap tahunnya.

Namun pertambahan atau tingkat belanja pegawai per tahun tidak

selalu sama atau mengalami fluktuasi. Dimulai dari peningkatan di

tahun 2007 senilai Rp.66.330.000.000, sedangkan peningkatan untuk

tahun 2008 dan 2009 masing-masing hanya sebesar Rp.36.171.000.000

dan Rp.15.472.000.000. Sedangkan untuk tahun 2010 dan 2011 sudah

mengalami kestabilan yaitu sebesar Rp.111.671.000.000 dan

Rp.127.172.000.000.

Hal ini dikarenakan setiap tahunnya jumlah tunjangan yang

dikeluarkan untuk pegawai pajak pasti berubah-ubah sehingga

mempengaruhi pos belanja pegawai. Dan adanya pengurangan jumlah

pegawai seperti pegawai yang meninggal dunia dan telah memasuki

masa pensiun. Sehingga berpengaruh terhadap jumlah pegawai secara

keseluruhan.

84 Berdasarkan hasil penelitian dari tahun 2006 sampai dengan tahun

2012, tarif pegawai mengalami kenaikan setiap tahunnya. Dengan

membagi jumlah belanja pegawai dengan jumlah pegawai pertahun

didapat bahwa tahun 2006 gaji beserta tunjangan yang diterima

pegawai pajak per orang adalah sebesar Rp. 32.053.037. Hingga tahun

2012 gaji beserta tunjangan yang diterima pegawai pajak per orangnya

mencapai Rp.48.224.869. Perlahan namun pasti, tarif pegawai di

Direktorat Jenderal Pajak menunjukkan kenaikan. Angka ini memang

dirasa cukup besar dibandingkan dengan Kementerian lainnya. Namun

nilai ini dirasa sepadan dengan beratnya tugas diemban oleh

Direktorat Jenderal Pajak yang menjadi penopang penerimaan negara

dengan persentase penerimaan paling besar dalam APBN. Direktorat

ini bertugas untuk mengumpulkan penerimaan negara yang jumlahnya

miliaran bahkan triliunan. Jika para pegawai pajak tidak bekerja

dengan benar tentu penerimaan pajak tidak akan terpenuhi bahkan

jauh dari target yang ditetapkan pemerintah dalam APBN. Dengan

didukung gaji dan tunjangan yang nilainya terbilang cukup besar

diharapkan juga dapat mencegah adanya praktek kolusi korupsi dan

nepotisme.

5) Rasio Efisiensi Bopo

Perhitungan efisiensi dilakukan dengan menggunakan rasio biaya

85 rasio BOPO maka semakin rendah tingkat efisiensinya. Sebaliknya,

jika semakin rendah tingkat rasio BOPO maka semakin tinggi efisiensi

kinerja yang ditunjukkan.

Hal ini dikemukakan juga dari penelitian yang dilakukan oleh

Fahrianta dan Carolina (2012), dimana tingkat efisiensi anggaran

belanja pendidikan Kabupaten Kapuas menunjukkan hasil dibawah

50%. Ini menunjukkan tingkat efisiensi yang baik.

Berdasarkan hasil analisis efisiensi kinerja dari tahun 2006 sampai

dengan 2012 mempunyai nilai paling tinggi setiap tahunnya yaitu

angka 5 dengan kategori sangat baik. Mulai dari tahun 2006, efisiensi

kinerja pajak memiliki rasio dibawah 0,50% yaitu sebesar 0,29% yang

berarti rasio yang paling tinggi sepanjang tahun analisis. Tahun 2012

dengan nilai 5 kategori sangat baik memiliki rasio biaya operasi

terhadap pendapatan operasi yang paling rendah yaitu 0,15%.

Jika dianalisis, penerimaan pajak selalu jauh lebih besar dengan

nilai yang terus naik dibandingkan dengan belanja pegawai yang

dikeluarkan. Dari awal tahun penelitian hingga tahun akhir penelitian

didapat bahwa jumlah pegawai Dirjen pajak hanya berkisar antara

30.000 orang sampai 32.000 orang. Untuk jangka waktu 7 tahun tentu

kenaikan jumlah pegawai sangat minimal sehingga untuk pos

pengeluaran belanja pegawai pun terbilang rendah. Untuk penerimaan

pajak, pajak yang menyumbang pendapatan terbesar yaitu Pajak

86 tahunnya. Walaupun ditahun 2011 pajak Bea Perolehan Hak Atas

Tanah dan Bangunan (BPHTB) dialihkan kepajak daerah, namun

penerimaan operasional pajak ditahun ini masih lebih besar dari

87

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang sudah dilakukan

mengenai kinerja pajak dari berbagai pengukuran yaitu tingkat penerimaan

pajak, tingkat efisiensi dan tingkat belanja pegawai dapat disimpulkan

bahwa :

1. Tingkat penerimaan pajak tahun 2006 sampai dengan tahun 2012

tertinggi terjadi pada tahun 2008 dan yang terendah terjadi pada tahun

2009. Walaupun dalam kenyataannya realisasi penerimaan pajak

Dirjen Pajak belum mencapai target yang ditetapkan pemerintah dalam

APBN atau hanya kisaran 93%-97% namun capaian kinerja

penerimaan pajak Dirjen Pajak cukup memuaskan. Faktor utama dari

kenaikan penerimaan pajak ialah semakin bertambahnya jumlah Wajib

Pajak Badan maupun Wajib Pajak Pribadi. Faktor lainnya yaitu

suksesnya sosialisasi yang dilakukan aparat pajak tantang masyarakat

sadar pajak dan taat pajak.

2. Tingkat belanja pegawai pajak dari tahun 2006 sampai dengan tahun

2012 nilai terbesar yang dicapai yaitu pada tahun 2012. Dibandingkan

dengan penerimaan pajak, belanja yang dikeluarkan DJP masih dalam

88 pengeluaran DJP. Belanja pegawai hanya sepertiga dari total anggaran

pengeluaran DJP. Seperti dua sisi mata uang, pendapatan dan belanja

merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sehingga

kenaikan belanja pegawai Ditjen Pajak merupakan hal yang wajar

melihat penerimaan pajak yang dihimpun oleh Dirjen Pajak nilainya

sangat tinggi.

3. Jumlah pegawai pajak setiap tahunnya dari tahun 2006 sampai tahun

2012 dapat dikatakan tidak bertambah secara signifikan. Tren pegawai

pajak dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2012 cenderung rata

bahkan menurun. Tahun dengan jumlah pegawai terbanyak dicapai

pada tahun 2011. Sedangkan jumlah pegawai terkecil yaitu pada tahun

2006. Dibandingkan dengan jumlah pegawai yang masuk, jumlah

pegawai yang pensiun atau pun keluar lebih banyak. Tren jumlah

pegawai pajak yang cenderung sama tiap tahunnya sangat tidak

sebanding dengan jumlah penerimaan pajak yang terus meningkat.

4. Tarif pegawai dari tahun 2006 sampai tahun 2012 secara keseluruhan

mengalami peningkatan. Kenaikan tarif pegawai pajak setiap tahunnya

berkisar antara 2-4 juta. Namun kenaikan tarif pegawai dinilai sepadan

dengan kinerja Ditjen Pajak. Hal ini terbukti dengan naiknya

penerimaan pajak negara setiap tahunnya. Kenaikan tarif pegawai

setiap tahun diharapkan memicu semangat kerja para pegawai pajak

agar lebih baik. Dan menghindari adanya tindakan-tindakan yang tidak

89 5. Tingkat efisiensi DJP tahun 2006 sampai dengan tahun 2012 memiliki

rasio di bawah 0,50% dengan kategori sangat baik. Ini menunjukkan

perbandingan beban operasi pajak masih jauh lebih kecil terhadap

pendapatan operasinya. Hal ini dikarenakan penerimaan pajak selama

periode 2006-2012 terus meningkat secara drastis namun tidak

diimbangi dengan jumlah pegawai pajak. Dalam hal ini, tingkat

efisiensi DJP masuk dalam kategori sangat baik.

B. Implikasi

Dari penelitian ini diketahui bahwa pengeluaran belanja pegawai

dirasa masih kurang dibandingkan dengan penerimaan pajak yang diterima

pemerintah. Hal ini dikarenakan kurangnya jumlah pegawai dan aparat

pajak yang dimiliki Direktorat Jenderal Pajak, sehingga berpengaruh

terhadap kinerja pegawai pajak. Untuk mengoptimalkan penerimaan pajak

dibutuhkan sarana dan prasarana yang memadai dan juga sumber daya

manusia yang berkompeten. Sehingga dengan adanya sumber daya

manusia yang memadai dan berkompeten diharapkan mampu

meningkatkan penerimaan pajak negara ke depannya. Maka dengan ini

peneliti berharap hasil penelitian ini dapat dijadikan implikasi bagi

berbagai pihak yang diantaranya, yaitu: pemerintah, direktorat jenderal

pajak, pegawai pajak, akademisi, peneliti serta pembaca lainnya.

1. Implikasi bagi pemerintah dan Direktorat Jenderal Pajak untuk

90 difokuskan kepada pendapatan pajak yang memiliki potensi yang

cukup besar dan diunggulkan, agar penurunan tingkat penerimaan bisa

ditutupi dengan penerimaan pajak dari sektor yang diunggulkan.

2. Untuk pengeluaran belanja pegawai lebih ditingkatkan lagi setiap

tahunnya. Untuk memotivasi para pegawainya, DJP harus

memberikan imbalan yang sesuai dengan kompetensi dan kinerja. Jika

pendapatan pegawai rendah tentu tidak sesuai dengan penerimaan

pajak yang setiap tahunnya meningkat pesat. Namun untuk

mengimbangi belanja pegawai yang tinggi harus tetap dilakukan

pengawasan terhadap kinerja pegawai di DJP.

3. Untuk Pemerintah dan Kementerian terkait agar menambah jumlah

pegawai di Direktorat Jenderal Pajak. Karena untuk mencapai

penerimaan pajak yang optimal, harus diimbangi dengan adanya

sumber daya manusia yang memadai secara kuantitas maupun

kualitas.

C. Saran

Penelitian serupa dimasa mendatang diharapkan dapat menyajikan hasil

penelitian yang lebih berkualitas lagi dikarenakan penelitian ini memiliki

keterbatasan. Untuk penelitian selanjutnya ada beberapa masukan

mengenai hal-hal diantaranya:

1. Diharapkan untuk penelitian selanjutnya agar menggunakan data

91 dua jenis sumber data yaitu data primer berupa wawancara dan data

sekunder. Sehingga hasil penelitian yang dilakukan lebih akurat lagi.

2. Pengukuran kinerja pegawai pajak dengan metode kualitatif. Peneliti

selanjutnya diharapkan menggunakan metode penelitian lain selain

yang terdapat dalam penelitian ini, sehingga ada perbedaan dan

perbandingan dalam hal pengukuran.

3. Penelitian selanjutnya diharapkan menggunakan metodologi

pengolahan data. Dan menambah beberapa variabel terkait.

4. Peneliti selanjutnya diharapkan menggunakan data yang lebih update

lagi, agar sesuai dengan permasalahan yang terjadi pada tahun

92

Dokumen terkait