• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rekapitulasi data analisis kandungan Sn pada keju lunak susu

Larutan standar Sn konsentrasi (ppm) Absorbansi

1 10.0 0.0148 2 25.0 0.0351 3 50.0 0.0687 4 75.0 0.1018 5 100.0 0.1384 Ulangan pengukuran Bobot sampel (g) Volume (ml) FP Abs Konsentrasi Sn* (ppm) Kadar Sn (ppm) Rata-rata 1 1.0000 1.00 1.00 -0.0069 -5.6068 -5.6068 -6.1927 2 1.0000 1.00 1.00 -0.0080 -6.4124 -6.4124 3 1.0000 1.00 1.00 -0.0082 -6.5588 -6.5588 Keterangan:

*konsentrasi Sn yang didapat dari kurva larutan standar Sn

Kadar Sn (ppm) = -6.1927

STABILITAS BAKTERI ASAM LAKTAT

SELAMA PEMBUATAN DAN PENYIMPANAN

KEJU LUNAK SUSU KAMBING

SKRIPSI

WIDYA EKA PRAYITNO

F 24061476

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

STABILITY OF LACTIC ACID BACTERIA

DURING PROCESSING AND STORAGE OF GOAT MILK SOFT CHEESE

Widya Eka Prayitno, Feri Kusnandar, and Winiati P. Rahayu

Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, Bogor 16680.

ABSTRACT

The use of goat milk is limited as a healthy drink in Indonesia. One of the factors that limits the consumption of goat milk is the goaty smell. The aim of this research was to apply LAB Lactobacillus acidophilus and Lactobacillus casei in production of goat milk soft cheese in order to estimate the stability of these LAB during processing and storage. The Lactobacillus acidophilus FNCC-0051and Lactobacillus casei FNCC-0090 were used in this study. This research was divided into four steps i.e. 1) preparation of microbial starter, 2) production of goat milk cheese and analysis of chemical and microbiological changes in each step of production, 3) stability analysis of LAB (chemical and microbiological analysis, and sensory analysis after storage for two months), 4) analysis for the selected goat milk cheese including nutrition and metal analyses. The goat milk cheeses had white color, soft, and crumbly. LAB in the cheese product reached 109cfu/gram and could be maintained for two months at 5 oC. The result of sensory analysis showed panelists liked goat milk cheeses, especially in term of its aroma. LAB could be applied in production of goat milk soft cheese and reached 109 cfu/gram after storage. The cheese had sour aroma that could cover the goaty smell.

WIDYA EKA PRAYITNO. F24061476. Stabilitas Bakteri Asam Laktat selama Pembuatan dan Penyimpanan Keju Lunak Susu Kambing. Di bawah bimbingan Feri Kusnandar dan Winiati P. Rahayu. 2011.

RINGKASAN

Susu kambing saat ini mulai banyak dimanfaatkan di Indonesia. Walaupun demikian, pemanfaatannya masih terbatas dan lebih diarahkan sebagai produk kesehatan dalam bentuk susu segar atau susu pasteurisasi. Padahal susu kambing dapat diolah menjadi berbagai produk olahan susu seperti susu fermentasi, yoghurt, keju, susu bubuk, dodol, dan ice cream. Salah satu produk olahan susu adalah keju yang memiliki masa simpan lebih lama daripada produk olahan susu lainnya.

Salah satu inovasi produk keju adalah keju probiotik yang harus memiliki viabilitas kultur dalam jumlah tinggi. Viabilitas dan stabilitas probiotik harus terjaga, baik selama proses pembuatan maupun penyimpanan agar ketika dikonsumsi dapat memberi manfaat kesehatan.

Penelitian ini bertujuan mengaplikasikan bakteri asam laktat Lactobacillus acidophilus dan

Lactobacillus casei pada pembuatan keju lunak susu kambing untuk diketahui viabilitasnya selama proses pembuatan dan stabilitasnya selama penyimpanan. BAL komersial yang digunakan pada penelitian ini adalah Lactobacillus acidophilus FNCC-0051 dan Lactobacillus casei FNCC-0090. Sudah cukup banyak galur dari kedua spesies tersebut yang terbukti memiliki aktivitas probiotik.

Kegiatan penelitian ini dilakukan dalam empat tahap. Tahap pertama adalah pemeliharaan BAL dan pembuatan kultur kerja. Tahap kedua adalah pembuatan keju susu kambing dengan pengamatan perubahan kimiawi dan mikrobiologi di setiap tahapan proses. Tahap ketiga adalah uji stabilitas BAL selama penyimpanan dengan pengamatan kimiawi dan mikrobiologi, dan pada masa penyimpanan 8 minggu diuji sifat sensorinya. Kemudian, tahap keempat adalah uji kandungan nutrisi dan uji cemaran logam bagi keju terpilih.

Keju yang dihasilkan pada penelitian ini berwarna putih, lunak, dan mudah rapuh. Hasil penelitian menunjukkan viabilitas BAL selama proses pembuatan mencapai 109 cfu/gram pada produk akhir. Stabilitas BAL tetap pada angka 109 cfu/gram selama penyimpanan 8 minggu. Hasil uji sensori menunjukkan kecenderungan kesukaan panelis terhadap keju lunak susu kambing, terutama terhadap aromanya. Uji kandungan nutrisi menunjukkan kandungan nutrisi yang tidak jauh berbeda dengan keju susu kambing komersial yang diteliti oleh Park (1990). Cemaran logam tidak terdeteksi pada keju lunak susu kambing, kecuali logam Cu dan Zn. Kandungan logam Cu dan Zn yang terseteksi tidak melebihi batas maksimum menurut SNI 01-2980-1992 untuk keju cedar olahan.

PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG

Susu kambing saat ini mulai banyak dimanfaatkan di Indonesia. Walaupun demikian, pemanfaatannya masih terbatas dan lebih diarahkan sebagai produk kesehatan dalam bentuk susu segar atau susu pasteurisasi. Hal itu dikarenakan susu kambing banyak memiliki globula lemak yang berukuran lebih kecil daripada susu sapi (Silanikove et al. 2010), sehingga lebih mudah dicerna dan dapat dikonsumsi oleh orang yang sakit atau dalam masa penyembuhan.

Konsumsi susu kambing sebenarnya tidak hanya diperuntukkan bagi orang yang sedang sakit. Susu kambing dapat dikonsumsi oleh semua kalangan, termasuk oleh bayi sebagai pengganti ASI. Hanya saja, sampai saat ini, aroma khas dari susu kambing (prengus) tetap menjadi faktor yang membatasi konsumsinya. Aroma tersebut ditimbulkan oleh kandungan asam lemak rantai sedang (asam kaproat, asam kaprilat, dan asam kaprat) yang lebih tinggi pada susu kambing (Silanikove et al. 2010). Selain itu, timbulnya aroma prengus juga dapat disebabkan oleh pakan dan lingkungan kandang. Sudah banyak cara yang dilakukan untuk meminimalisir aroma prengus dari susu kambing, misalnya dengan selalu menjaga kebersihan kandang.

Susu kambing, seperti juga jenis susu lainnya, dapat diolah menjadi berbagai produk olahan susu seperti susu fermentasi, yoghurt, keju, susu bubuk, dodol, dan ice cream. Pengolahan susu kambing menjadi produk olahan susu diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan nilai konsumsi susu kambing tanpa mengurangi manfaat yang dikandungnya.

Salah satu produk olahan susu adalah keju. Keju dihasilkan dari penirisan (cairan) setelah terjadinya koagulasi susu segar, krim, susu skim, dadih atau campurannya (Scott 1986). Keju memiliki masa simpan lebih lama daripada produk olahan susu lainnya.

Keju bukan produk yang umum dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia, namun memiliki potensi untuk dikembangkan. Awalnya, produk keju di pasaran Indonesia merupakan produk impor untuk memenuhi kebutuhan kalangan tertentu. Namun, saat ini keju sudah menjadi jenis makanan yang umum di kalangan masyarakat Indonesia. Keju biasanya dikonsumsi sebagai pelengkap dan penambah cita rasa dari makanan, misalnya sebagai isi, taburan, atau olesan. Berkembangnya jenis pangan keju tampaknya memicu beberapa industri pangan berbasis susu di Indonesia untuk memproduksi keju, mulai dari keju segar hingga keju olahan.

Keju yang dibuat di Indonesia dalam skala industri masih menggunakan bahan baku susu sapi. Hal itu dikarenakan produksi susu dari jenis ruminansia lain masih terbatas. Produksi susu kambing sendiri baru ditingkatkan sekitar tahun 2000 di Indonesia (Sodiq dan Abidin 2008). Peningkatan produksi susu kambing perlu ditunjang dengan inovasi pengembangan produk olahannya. Hal tersebut perlu dilakukan agar semakin menggeliatkan produksi susu kambing di Indonesia.

Salah satu inovasi produk keju adalah keju probiotik. Menurut Stanton (1998), dalam rangka untuk mengembangkan jenis pangan probiotik, beberapa peneliti dan perusahaan melakukan penelitian untuk mengembangkan produk keju yang dapat menjaga viabilitas kultur probiotik dalam jumlah tinggi. Viabilitas dan stabilitas probiotik harus terjaga, baik selama proses pembuatan maupun penyimpanan agar ketika dikonsumsi dapat memberi manfaat kesehatan.

2

Pembuatan keju pada penelitian ini menggunakan bakteri asam laktat (BAL)

Lactobacillus acidophilus dan Lactobacillus casei komersial. Sudah cukup banyak galur dari kedua spesies tersebut yang terbukti memiliki aktivitas probiotik. Stabilitas Lactobacillus acidophilus dan Lactobacillus casei selama proses pembuatan dan penyimpanan keju diuji dalam penelitian ini. Kemudian, jika nanti sudah ada uji yang menyatakan bahwa kedua BAL yang digunakan pada penelitian ini juga memiliki aktivitas probiotik, keju yang dihasilkan dapat menjadi salah satu rekomendasi pengembangan keju probiotik berbasis susu kambing di Indonesia.

B.

TUJUAN PENELITIAN

1. Mengaplikasikan BAL Lactobacillus acidophilus dan Lactobacillus casei pada pembuatan keju lunak susu kambing.

2. Mengetahui viabilitas BAL selama proses pembuatan keju lunak susu kambing serta stabilitas BAL selama penyimpanannya.

3.

Mengetahui nilai nutrisi serta mutu sensori keju lunak susu kambing.

C.

MANFAAT PENELITIAN

Manfaat dari penelitian ini adalah dapat memberikan informasi mengenai aplikasi BAL

Lactobacillus acidophilus dan Lactobacillus casei pada proses pembuatan keju susu kambing serta data stabilitas BAL selama pembuatan dan penyimpanan keju susu kambing, sehingga dapat menjadi rekomendasi pengembangan keju probiotik berbasis susu kambing.

TINJAUAN PUSTAKA

A.

SUSU KAMBING

Perkembangan populasi ternak kambing meningkat dalam beberapa tahun terakhir (2001- 2006). Pada tahun 2001 jumlahnya 12.46 juta ekor dan meningkat menjadi 13.18 juta ekor pada tahun 2006. Peternakan kambing dengan tujuan utama sebagai penghasil susu mulai dikembangkan di Indonesia pada awal tahun 2000 (Sodiq dan Abidin 2008). Salah satu bangsa kambing yang dikembangkan sebagai penghasil susu di Indonesia adalah kambing Peranakan Etawah (PE). Kambing PE merupakan hasil persilangan antara kambing Kacang lokal dan kambing Jamnapari yang dibawa ke Indonesia dari India pada masa kolonial Belanda (Budisatria

et al. 2010). Produksi susu kambing PE adalah 0.45-2.2 liter/ekor/hari dengan panjang masa laktasi sangat beragam, yaitu 92-256 hari dengan rataan 156 hari. Dengan pengelolaan yang baik, induk kambing PE mampu berproduksi hingga 200 hari dalam satu tahun (Sodiq dan Abidin 2008).

Secara kimia, susu merupakan emulsi lemak dalam air yang mengandung gula, garam- garam mineral, dan protein dalam bentuk suspensi koloidal. Susu memiliki komponen utama berupa air, lemak, protein (kasein, albumin, dan globulin), laktosa (gula susu), dan abu. Komponen susu selain air merupakan total solid (TS) dan “total solid” tanpa komponen lemak merupakan solid non fat (SNF) (Rahman et al. 1992). Komposisi kimia susu kambing tidak jauh berbeda dengan susu sapi (Tabel 1). Susu kambing juga mengandung asam-asam lemak kaproat, kaprilat, dan kaprat dalam jumlah yang relatif banyak (Daulay 1991).

Tabel 1. Komposisi kimia susu kambing (jenis PE dan Jamnapari) dan susu sapi (jenis Friesian) serta perbandingannya dengan SNI susu segar

Parameter (%) Susu kambing PEa Susu kambing Jamnaparib Susu sapi Friesianc Susu segard lemak 6.10±0.64 4.31 3.40 minimal 3.0 protein 2.97±0.37 3.74 3.15 minimal 2.7 laktosa - 4.72 4.60 - abu 0.72±0.13 0.82 0.73 -

Sumber: aHidayat (2009); bJenness (1980); cScott (1986); dBSN (1998a)

Susu, baik susu kambing maupun susu sapi, dipertimbangkan sebagai bahan pangan yang penting. Susu kaya akan kandungan nutrisi esensial, seperti mineral, vitamin, dan protein yang mudah dicerna dengan komposisi asam amino yang seimbang, dimana semua komponen tersebut penting dalam mendukung sifat fungsional di dalam tubuh (Silanikove et al. 2010).

Konsumsi susu kambing diasosiasikan dengan beberapa manfaat kesehatan di luar nilai nutrisi sebenarnya. Susu kambing kaya akan globula lemak yang berukuran lebih kecil daripada globula lemak susu sapi sehingga lebih mudah dicerna. Selain itu, kandungan asam lemak rantai sedang yang banyak terdapat pada susu kambing diketahui memiliki sifat antibakteri, antivirus, dapat mencegah larutnya deposit kolesterol ke dalam darah, dan dapat diserap dengan cepat di

4

usus (Shingfield et al. 2008). Susu kambing dapat dikonsumsi oleh bayi karena tidak

menimbulkan alergi. Kandungan αs1-kasein yang sedikit pada susu kambing dipertimbangkan

sebagai penyebab lebih rendahnya alergenisitas terhadap susu kambing dibandingkan susu sapi, namun hal tersebut masih perlu diteliti lebih lanjut (Silanikove et al. 2010).

Komposisi kandungan nutrisi susu kambing juga berpengaruh pada teknologi pengolahan susu kambing. Silanikove et al. (2010) menyatakan bahwa persentase total lemak dalam susu kambing tidak jauh berbeda dengan susu sapi. Dua hal yang membedakannya, dan menjadi karakteristik yang berpengaruh penting bagi pengolahan susu kambing adalah ukuran globula lemak dan komposisi asam lemak. Pada kedua jenis susu, ukuran globula lemak berkisar antara 1-10 μm, namun jumlah globula lemak yang berukuran lebih kecil dari 5 μm lebih banyak terdapat pada susu kambing (sekitar 80%) dibandingkan pada susu sapi (sekitar 60%). Susu kambing mengandung asam lemak rantai sedang, yaitu asam kaproat (C6:0), asam kaprilat (C8:0), dan asam kaprat (C10:0), dalam jumlah yang lebih banyak, dimana sebagian dari asam lemak tersebut bertanggung jawab terhadap munculnya karakteristik aroma prengus atau goaty.

Persentase kasein dalam total protein susu kambing adalah 71-78%, lebih rendah dari susu sapi yang berkisar antara 75-85% (Loewenstein 1982 diacu dalam Zeng 1996). Selain kandungan kasein yang lebih rendah dari susu sapi, yang menjadi faktor utama dalam keterbatasan pemanfaatan susu kambing secara teknologi adalah komposisi dari kaseinnya.

Kasein susu kambing memiliki proporsi αs1-kasein yang lebih rendah dan proporsi -kasein yang

lebih tinggi daripada susu sapi (Thomann 2008). Rendahnya kandungan αs1-kasein pada susu

kambing menyebabkan keju yang terbuat dari susu kambing memiliki tekstur yang lebih lunak daripada keju susu sapi (Jenness 1980).

B.

KEJU

Food and Agricultural Organization(FAO) melalui „Code of Principle‟ mendefinisikan

keju sebagai produk segar ataupun hasil pemeraman yang dihasilkan dari penirisan (cairan) setelah terjadinya koagulasi susu segar, krim, susu skim, dadih atau campurannya (Scott 1986). Komponen dalam susu yang penting dalam proses pembuatan keju adalah kasein. Dibandingkan dengan albumin dan globulin yang dapat terdenaturasi oleh panas, kasein lebih stabil terhadap panas namun peka terhadap pH, enzim, dan kandungan kalsium (Rahman et al. 1992).

Keju mengandung nutrisi susu yang tidak larut air, diantaranya protein kasein terkoagulasi, mineral-mineral koloid, lemak, dan vitamin larut lemak. Nutrisi yang terkandung di dalam keju dipengaruhi oleh jenis susu yang digunakan (jenis hewan penghasil susunya, masa laktasi, berlemak tinggi, berlemak rendah, skim), cara pembuatannya, dan derajat pematangan (untuk jenis keju yang dimatangkan atau diperam) (O‟Brien dan O‟Connor β004).

Keju memiliki masa simpan yang lebih lama daripada susu dan produk olahan susu lainnya. Masa simpan keju bervariasi mulai dari beberapa hari hingga beberapa tahun. Kombinasi faktor yang bertanggung jawab dalam memelihara kualitas keju diantaranya adalah ketiadaan gula (laktosa), pH, asam laktat, garam, kondisi anaerobik, dan perlindungan dari

“kulit” keju (Walstra et al. 1999)

Keju merupakan produk olahan susu yang memiliki banyak variasi. Berdasarkan kadar air, keju dibagi dalam tiga tipe, yaitu keju keras (20-42%), keju semi keras atau semi lunak (45- 55%), dan keju lunak (> 55%). Semua keju jenis tersebut dikonsumsi setelah diperam selama waktu tertentu, sedangkan keju segar (> 70%) dikonsumsi langsung setelah penyaringan dan pemisahan dari whey (Heller et al. 2008). Pengelompokan keju berdasarkan kadar air

5

dikarenakan kadar air dapat menentukan konsistensi atau kekompakan keju, sehingga memudahkan dalam mengelompokkan keju yang memiliki karakteristik serupa (Farkye 2004).

Perbedaan keju keras dan keju lunak terletak pada persentase kadar air keju. Istilah keju lunak digunakan untuk mendeskripsikan keju yang terasa lunak ketika disentuh dan dapat dengan mudah ditekan oleh jari, sedangkan istilah keju keras digunakan untuk mendeskripsikan keju yang kaku dan membutuhkan tekanan tertentu untuk dapat membaginya menjadi beberapa bagian (Farkye 2004). Keju keras umumnya melalui proses penekanan untuk membentuk partikel-partikel curd yang longgar menjadi massa yang lebih kompak dan mendorong whey

keluar lebih banyak, sedangkan keju lunak umumnya melalui proses penekanan hingga kondisi tertentu (Daulay 1991). Penekanan pada keju lunak lebih diarahkan untuk memberi bentuk dan struktur keju yang kompak.

Pembuatan keju merupakan proses yang rumit, meliputi banyak tahapan proses dan beberapa perubahan biokimia. Semua variable tersebut mempengaruhi rendemen, komposisi, dan mutu dari keju serta produk sampingannya (terutama whey). Selain itu, cara pembuatan juga dapat berpengaruh pada biaya produksi (tenaga kerja, peralatan, product loss, dan lain-lain). Oleh karena itu, optimasi dalam pembuatan keju merupakan hal yang tidak mudah (Walstra et al. 1999). Akan tetapi, saat ini teknologi pembuatan keju sudah semakin berkembang, dimana faktor ekonomi merupakan salah satu faktor utama yang mendorong perkembangan teknologi pembuatan keju (Farkye 2004).

C.

PRINSIP PEMBUATAN KEJU

Prinsip pembuatan keju adalah koagulasi protein susu, terutama kasein. Kasein merupakan jenis protein terpenting dalam susu dan terdapat dalam bentuk kalsium kaseinat (Rahman et al. 1992). Koagulasi atau penggumpalan susu adalah perubahan bentuk dari susu cair menjadi padatan (curd). Proses koagulasi atau penggumpalan kasein di dalam susu dapat disebabkan oleh asam, enzim proteolitik, perlakuan panas, atau kombinasi dari ketiganya (Walstra et al. 1999)

Bahan penggumpal enzimatik yang umumnya digunakan dalam proses pembuatan keju adalah rennet. Rennet merupakan enzim yang diperoleh dari abomasum anak sapi yang masih menyusu pada induknya (Rahman et al. 1992). Enzim terpenting dalam rennet adalah khimosin. Khimosin tidak dapat menghidrolisis imunoglobulin dari kolostrum. Itulah sebabnya anak sapi yang baru lahir memproduksi khimosin dalam lambungnya, bukan pepsin yang umumnya terdapat di dalam lambung (Walstra et al. 1999). Selain rennet anak sapi (rennet hewan), terdapat pula rennet mikroba dan rennet tanaman.

Rennet ditambahkan untuk menggumpalkan protein susu, terutama kasein, sehingga terbentuk suatu matriks yang disebut curd. Pembentukan curd pada pembuatan keju umumnya menggunakan koagulan enzim. Enzim yang bersifat proteolitik dapat memecah protein-protein dalam susu sehingga menjadi tidak larut dan membentuk suatu gumpalan massa yang di dalamnya terperangkap komponen-komponen susu lainnya (Daulay 1991).

Hampir 80% protein susu adalah kasein. Kasein tersusun dari unsur-unsur αs1-, αs2-, -, κ-, dan -kasein, kesemuanya menunjukkan perbedaan dalam struktur rantai polipeptidanya. Pada susu dengan pH normal, kasein terikat bersama membentuk partikel berbentuk bola yang disebut misel (Banks 1998). κ-kasein berada di permukaan misel dan berfungsi menstabilkan serta mencegah penggabungan misel oleh Ca2+.

6

κ-kasein adalah satu-satunya kasein yang dihidrolisis selama koagulasi oleh rennet yang terjadi dalam dua tahap. Tahap pertama merupakan hidrolisis κ-kasein pada ikatan Phe105-Met106

menghasilkan para- κ-kasein dan makropeptida. Makropeptida yang mengandung sekitar 30%

κ-kasein berdifusi ke dalam fase cair. Hilangnya makropeptida menyebabkan tegangan permukaan dan stabilitas koloid misel menurun sehingga dapat terkoagulasi oleh Ca2+. Peristiwa tersebut merupakan tahap kedua dari kerja rennet (McSweeney 2007).

Susu yang ditambahkan rennet dan dibiarkan beberapa lama akan membentuk curd. Curd

terbentuk karena misel-misel yang tergabung satu sama lain, sehingga terjadi ikatan yang kuat diantara dua misel yang berdekatan karena penggabungan tersebut. Curd tersebut memiliki pori- pori, yang berukuran beberapa mikrometer persegi, dan jaringannya sangat tidak teratur (Walstra

et al. 1999).

Curd cenderung mengalami sineresis, yaitu suatu kontraksi untuk mengeluarkan cairan yang disebut whey. Sineresis sangat penting dalam proses pembuatan keju dan merupakan penentu utama kandungan air pada produk keju. Pori-pori di antara partikel curd cukup luas untuk keluarnya whey. Sineresis disebabkan oleh partikel curd yang pada prinsipnya dapat membentuk ikatan dengan partikel curd lainnya, yang akan memicu terbentunya kumpulan partikel yang lebih kompak. Hal ini dikarenakan partikel curd memiliki sisi aktif di seluruh permukaannya, namun tidak dapat menjangkau satu sama lain karena tertahan dalam jaringan

curd. Pemutusan ikatan serta pembentukan ikatan baru antar partikel curd dapat menyulut terjadinya sineresis. Pemotongan curd serta pengepresan juga dapat mempengaruhi sineresis (Walstra et al. 1999).

Curd yang telah mengalami sineresis dan terpisah dari whey selanjutnya disebut keju segar. Keju segar yang terbentuk mengandung lemak, bakteri, koloid kalsium-fosfat, dan partikel-partikel lainnya. Selain itu, keju segar tersebut juga mengandung air dan bahan-bahan yang terlarut di dalam air (Daulay 1991).

Keju segar dapat langsung dikonsumsi setelah pembuatan dan umumnya memiliki masa simpan yang terbatas, sekitar 2 minggu pada penyimpanan di dalam refrigerator (5°C). Selain itu, keju segar dapat ditambahkan garam untuk memperpanjang masa simpan, memberi flavor, serta membentuk konsistensi. Keju segar juga dapat diolah lebih lanjut dengan proses penekanan, sehingga mendorong whey keluar lebih banyak dan membentuk struktur keju yang lebih padat karena butiran curd yang menjadi lekat satu sama lain. Selanjutnya, keju dapat diperam sehingga terjadi perubahan komposisi mikrobiologi, biokimia, kimia dan fisik yang dapat berpengaruh pada komponen flavor dan tekstur keju (Walstra et al. 1999).

D.

BAKTERI ASAM LAKTAT

Deskripsi umum dari bakteri asam laktat (BAL) adalah sekelompok bakteri Gram-positif, tidak membentuk spora, dan bakteri berbentuk kokus atau batang yang tidak menggunakan O2

dalam proses respirasinya, serta yang memproduksi asam laktat sebagai produk utama selama fermentasi karbohidrat (Axelsson 1998). BAL merupakan mikroba yang paling banyak digunakan sebagai starter pada produk susu fermentasi, salah satunya sebagai starter keju. Starter merupakan kultur aktif dari mikroba non-patogen yang ditumbuhkan dalam susu atau

whey yang berperan dalam pembentukan karakteristik-karakteristik dan mutu-mutu tertentu pada berbagai jenis produk susu (Daulay 1991).

BAL dapat memproduksi asam, terutama asam laktat melalui fermentasi laktosa. Asam yang dihasilkan oleh BAL dapat memberi cita rasa asam yang segar pada keju, membantu proses

7

penggumpalan oleh rennet, dan membentuk karakteristik tekstur spesifik selama pembuatan keju. Hal ini disebabkan oleh asam yang dapat menciutkan curd sehingga memaksa whey keluar lebih banyak. Galur BAL yang umum digunakan sebagai starter keju berasal dari genus

Streptococcus, Leuconostoc, dan Lactobacillus. BAL yang digunakan sebagai starter diharapkan dapat mengasamkan susu dengan cepat dan membentuk senyawa-senyawa cita rasa yang diinginkan (Daulay 1991).

Lactobacillus merupakan bakteri Gram-positif berbentuk batang. Secara morfologi, bentuk mereka beragam, ada yang berbentuk batang lurus yang tipis dan panjang, batang bengkok, dan batang pendek serta hampir berbentuk batang kokus (Vedamuthu 2006). Spesies

Lactobacillus yang sudah banyak dimanfaatkan dalam produk berbasis susu diantaranya

Lactobacillus acidophilus dan Lactobacillus casei.

Lactobacillus acidophilus merupakan bakteri berbentuk batang, Gram positif, non-motil,

Dokumen terkait