• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ricketsia Sebagai Penyebab Demam Akut di Indonesia Ringkasan

Penyebab demam yang paling sering ditemukan selama ini adalah virus dengue, bakteri Salmonella dan bakteri atau virus pneumonia. Namun demikian dari penelitian mengenai penyebab demam yang dilakukan selama 4 tahun di 8 Rumah Sakit tipe A di Indonesia ditemukan spesies Rickettsia sebagai penyebab demam. Penyakit akibat spesies Rickettsia ini jarang sekali terdiagnosis di Rumah Sakit. Hal ini dikarenakan keterbatasan sumber daya yang terdapat di Rumah Sakit.

Berdasarkan hasil penelitian yang lain, demam akibat Rickettsia ini cukup banyak terjadi di Rumah Sakit dan pada kasus-kasus berat dapat berakibat fatal. Hal ini terjadi karena pasien tidak mendapat pengobatan yang adekuat. Kasus demam akibat Rickettsia ini luput dari perhatian baik dari klinisi, maupun dari pemerintah. Untuk itu perlu adanya suatu upaya untuk mengangkat Rickettsia ini agar kembali mendapat perhatian baik dari klinisi maupun dari pemerintah.

Saat ini belum tersedia suatu panduan mengenai manajemen kasus demam akibat Rickettsia. Alat diagnostik untuk mendiagnosis rickettsia ini juga tidak ditemukan di Rumah Sakit. Sediaan obat Doksisiklin sebagai pilihan pengobatan untuk Riskettsia juga terbatas sediaan oral dan hanya untuk pasien dewasa. Klinisi dan ahli profesi perlu menyegarkan kembali ingatannya terhadap Rickettsia. Bersama pemerintah meningkatkan kewaspadaan terhadap Rickettsiosis. Pemerintah perlu mengeluarkan suatu kebijakan untuk memperbaiki sarana dan prasarana penunjang yang tersedia di Rumah Sakit dalam konteks manajemen kasus Rickettsia

Pengantar

Demam merupakan salah satu penyebab pasien mencari pengobatan ke dokter, klinik maupun Rumah Sakit (RS). Bahkan pada kondisi tertentu, pasien dengan demam dapat menjalani rawat inap di Rumah Sakit. Salah satu penyebab demam adalah infeksi. Ada banyak jenis infeksi yang bisa terjadi pada tubuh dikarenakan oleh bakteri, virus, parasit

iii atau jamur. Namun demikian seringkali penyebab infeksi tidak dapat ditegakkan secara cepat, tepat dan akurat dikarenakan keterbatasan sumber daya maupun sarana di fasilitas kesehatan. Di Indonesia penyebab demam akut yang paling sering diantaranya dalah dengue virus sebagai penyebab Infeksi dengue, Salmonella sp. sebagai penyebab demam typhoid/infeksi Salmonella, Streptococcus pneumoniae sebagai penyebab pneumonia bakterialis, Chikungunya virus sebagai penyebab demam chikungunya, bakteri leptospira sebagai penyebab leptospirosis, dan plasmodium malaria sebagai penyebab malaria terutama di daerah endemis. Beberapa penyebab demam tersebut secara klinis maupun pemeriksaan hematologis sulit dibedakan, namun demikian untuk mencari penyebabnya seringkali terbentur pada keterbatasan sumber daya maupun sarana yang tersedia. Keterbatasan ini terkadang menyebabkan ketidaksesuaian diagnosis. Di Rumah Sakit dimana dilakukan penelitian mengenai penyebab demam akut, ditemukan ketidaksesuaian antara diagnosis klinis yang dilakukan di RS dengan diagnosis penyebab demam akut yang dilakukan oleh penelitian. Salah satu penyebab demam yang selama ini luput dari perhatian para dokter atau klinisi adalah bakteri Rickettsia sp.

Tabel 1. Ketidaksesuaian Diagnosis Klinis dan Etiologis

Diagnosis Klinis di Rumah Sakit

Jumlah Kasus

Diagnosis Etiologis Hasil Penelitian

Jumlah Kasus

Infeksi Dengue 240 Virus Dengue 238

Infeksi Salmonella 133 Salmonella sp 87

Leptospirosis 24 Ricketsia sp 78

UTI 18 Leptospira 31

Pneumonia 17 Virus Chikungunya 29

GEA 11 S pneumonia 2

Penyebab lainnya 81 Penyebab lainnya 59

Total 524 524

Hasil Penelitian

Spesies Rickettsia ini dapat menyebabkan Rickettsiosis (penyakit Rickettsia) yang dibagi menjadi 3 kelompok yaitu: murine typhus, spotted fever, dan scrub typus. Gejalanya dapat ringan seperti demam, ruam kemerahan, mual, muntah, nyeri perut, hingga klinis yang lebih berat seperti peradangan otak, gagal ginjal, dan kegagalan pernafasan. Bakteri rickettsia ini ditemukan pada tikus sebagai reservoir dan pada serangga kecil golongan arthropoda seperti tungau, kutu, atau pinjal sebagai vector. Beberapa studi telah melaporkan bukti adanya penyakit rickettsia di Indonesia. Murine dan scrub typhus telah dilaporkan ditemukan pada pelancong setelah kembali dari Indonesia. Sebuah survei di kawasan Asia menemukan bahwa Rickettsia merupakan penyebab demam akut pada anak (5.9%). Pada studi lainnya didapatkan bahwa prevalensi murine typhus, scrub typus, dan spotted fever di

iv papua timur laut adalah sebanyak 5%, 3%, dan 1%. Sedangkan di daerah Jawa Tengah ditemukan bahwa prevalensi murine typhus sebanyak 7%.

Hasil penelitian AFIRE yang dilakukan pada pasien rawat inap di 8 Rumah Sakit Rujukan Tipe A di Indonesia, menunjukkan bahwa Rickettsiosis merupakan penyebab demam akut ke-3 terbanyak setelah Infeksi dengue dan Salmonella. Hasil ini diperoleh dengan menggunakan pemeriksaan serologi dan PCR (Polymerase Chain Reaction). Dari hasil penelitian ini didapatkan ketidaksesuaian antara diagnosis yang ditegakkan oleh klinisi di RS dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan pada penelitian. Hal ini dapat dilihat dari gambar 1, dimana 5 kasus terbanyak penyebab demam akut ditemukan berbeda antara diagnosis hasil penelitian dengan diagnosis oleh klinisi. Perlu juga digarisbawahi pada hasil pemeriksaan klinisi di RS, tidak satupun pasien yang didiagnosa dengan Rickettsiosis. Hal ini mencerminkan bahwa para klinisi belum memikirkan Rickettsiosis sebagai salah satu penyebab demam akut di Indonesia.

Secara klinis tanda dan gejala dari penyakit Rickettsia sulit dibedakan dari gejala penyakit infeksi lainnya. Disamping demam, lebih dari 50% mengeluhkan sakit kepala dan mual

Gambar 1. Penyebab demam akut berdasarkan penelitian VS berdasarkan diagnosis RS

v sebagi gejala penyakit ini. Sementara lebih dari sepertiga pasien mengeluhkan gejala nafsu makan kurang, menggigil, lesu, muntah, dan nyeri sendi. Secara hematologi, gambaran pasien Rickettsiosis sulit dibedakan dengan pasien yang terinfeksi salmonella. Gambaran leukositosis yang sering menjadi acuan untuk mendiagnosis penyakit Infeksi karena bakteri seringkali tidak berbeda antara kedua penyakit ini. Pada penelitian AFIRE didapatkan gambaran leukosit pada Rickettsiosis dan infeksi salmonella adalah: leukositosis masing-masing sebanyak 16% dan 17%, normal sebanyak 80% dan 70%. Hal ini membuat pemeriksaan penunjang lainnya sangat diperlukan untuk mendapatkan diagnosis yang tepat.

Ketidaksesuaian diagnosis ini dapat berujung kepada ketidaktepatan akan pengobatan yang diberikan. Antibiotik golongan tetrasiklin, terutama doksisiklin merupakan terapi pengobatan terpilih untuk kasus rickettsia. Dengan dosis 200 mg per hari untuk orang dewasa dan 2.2 mg/kgBB untuk anak, golongan tetrasiklin dapat menurunkan demam setelah 48 jam setelah pemberian, jika diberikan pada 5 hari pertama sakit. Kasus Rickettsia yang ditemukan pada penelitian ini sebagian besar sukses diterapi dengan antibiotika golongan lain seperti penisilin, cephalosporin, aminoglikosida, eritromisin maupun sulfonamida. Namun demikian pada beberapa kasus pemberian antibiotika yang kurang tepat dapat memperberat kasus rickettsia dan menjadikannya fatal. Kasus di India dimana seorang pasien datang dengan manifestasi sepsis dan sindrom disfungsi multi organ kemudian tidak diterapi dengan doksisiklin secara benar, berakibat pada kematian. Sementara kasus rickettsia berat serupa yang diterapi dengan doksisiklin mengalami perbaikan secara klinis. Pada penelitian AFIRE juga terdapat satu kasus rickettsia berat dengan manifestasi sepsis dimana diagnosis awal adalah pneumonia kemudian mendapatkan terapi ciprofloksasin dan pada akhirnnya meninggal dunia.

Gambar 3. Proporsi gejala yang ditemukan pada Rickettsiosis

N = 78

vi Konteks kebijakan terkait

Ketersediaan buku panduan manajemen kasus Rickettsiosis

Walaupun telah ditemukan kasus Rickettsiosis di Indonesia, baik pemerintah maupun organisasi profesi belum memahami sepenuhnya mengenai penyakit ini. Terbukti dengan ketiadaan buku pedoman atau buku panduan mengenai tatalaksana Rickettsiosis yang disusun oleh pemerintah maupun organisasi profesi. Di Fakultas Kedokteran sendiri, Rickettsiosis bukan merupakan kasus yang dititik beratkan pada mata kuliah Ilmu Penyakit Dalam. Kasus seperti Infeksi Dengue, salmonella, leptospira, dan chikungunya masih merupakan kasus infeksi tropis yang menjadi perhatian utama. Pada profil kesehatan yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan, Penyakit Rickettsia juga tidak disertakan dalam pelaporan.

Ketersediaan alat diagnostik Rickettsiosis

Dikarenakan kurangnya perhatian pemerintah maupun profesi terhadap penyakit Rickettsia, selama ini di RS juga tidak tersedia sarana untuk mendiagnosis kasus Rickettsiosis. Laporan kasus penyakit Rickettsia ini kebanyakan berasal dari hasil penelitian maupun survei.

Beberapa penyakit infeksi seperti Infeksi Dengue dan Salmonella telah dapat didiagnosis dengan alat uji diagnostik cepat. Namun untuk penyakit Rickettsia, sampai saat ini belum ditemukan. Tetapi alat uji diagnostik cepat yang sudah tersedia untuk beberapa penyakit

vii infeksi juga masih memiliki kekurangan dimana banyak ditemukan hasil positif palsu. Diagnosis Rickettsia selama ini hanya dapat ditegakkan melalui pemeriksaan ELISA atau PCR yang tergolong mahal. Disamping harganya yang tidak murah, sampai saat ini masih sedikit laboratorium yang dapat mengerjakannya. Untuk itu diperlukan suatu upaya untuk memperkuat laboratorium yang ada, terutama di RS rujukan, terutama RS tipe A dimana di Indonesia banyak ditemukan penyakit-penyakit Infeksi yang mempunyai gambaran klinis serupa dan sulit dibedakan dengan pemeriksaan hematologi sederhana.

Ketersediaan Doksisiklin sebagai terapi Rickettsia

Jika diagnosis rickettsia dapat ditegakkan, maka penatalaksanaan kasus rickettsia perlu mendapat perhatian, terutama pada pasien yang datang dengan manifestasi klinis yang berat. Jika penyebab demam seperti infeksi dengue maupun salmonella dapat disingkirkan, maka rickettsiosis perlu dipikirkan sebagai salah satu penyebab demam akut. Namun demikian, hasil positif dari alat uji diagnostik cepat untuk infeksi dengue dan salmonella belum tentu benar, karena masih memungkinkan hasil positif palsu. Jika pengobatan antibiotik tidak responsif, pikirkan kemungkinan diagnosis lainnya. Kapsul doksisiklin 100 mg sebagai obat terpilih untuk pengobatan rickettsia telah tercantum dalam formularium nasional (Fornas). Namun demikian sediaan untuk anak yang biasanya berupa suspensi, belum tercantum didalamnya, begitu juga dengan sediaan intravena yang diperlukan dalam kondisi berat.

Rekomendasi kebijakan

1. Meningkatkan kewaspadaan pihak terkait baik program maupun klinisi terhadap penyakit Rickettsia melalui seminar dan workshop.

2. Organisasi profesi dan pemerintah dapat bekerjasama membuat suatu buku pedoman atau buku panduan mengenai penatalaksanaan penyakit Rickettsia.

3. Pemerintah menyediakan sarana untuk mendeteksi penyakit Rickettsia melalui penguatan laboratorium di RS rujukan.

4. Organisasi profesi dan pemerintah mendukung penelitian dalam menemukan algoritma dan alat uji diagnostik cepat untuk mendeteksi penyakit Rickettsia.

5. Pemerintah melalui kementerian kesehatan memperkuat peran sumber daya kesehatan di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan untuk mengembangkan usaha promotive dan preventif terkait dengan kasus Rickettsiosis.

6. Pemerintah melalui Kementerian kesehatan memasukkan doksisiklin sediaan anak dan intra vena sebagai obat terpilih dari rickettsia ke dalam formularium nasional.

viii Rujukan

1. Raoult D, Roux V. Rickettsioses as paradigms of new or emerging infectious

diseases. Clinical microbiology reviews 1997; 10(4): 694-719.

2. Centers for Disease Control and Prevention. Infectious Diseases Related to

Travel. CDC Health Information for International Travel 2016. New York:

Oxford University Press; 2016.

3. Faccini-Martinez AA, Garcia-Alvarez L, Hidalgo M, Oteo JA. Syndromic

classification of rickettsioses: an approach for clinical practice. International

journal of infectious diseases : IJID : official publication of the International

Society for Infectious Diseases 2014; 28: 126-39.

4. Olano JP. Rickettsial infections. Annals of the New York Academy of Sciences

2005; 1063: 187-96.

5. Ibrahim IN, Okabayashi T, Ristiyanto, et al. Serosurvey of wild rodents for

Rickettsioses (spotted fever, murine typhus and Q fever) in Java Island,

Indonesia. European journal of epidemiology 1999; 15(1): 89-93.

6. Jiang J, Soeatmadji DW, Henry KM, Ratiwayanto S, Bangs MJ, Richards AL.

Rickettsia felis in Xenopsylla cheopis, Java, Indonesia. Emerging infectious

diseases 2006; 12(8): 1281-3.

7. Barbara KA, Farzeli A, Ibrahim IN, et al. Rickettsial infections of fleas collected

from small mammals on four islands in Indonesia. Journal of medical

entomology 2010; 47(6): 1173-8.

8. Widjaja S, Williams M, Winoto I, et al. Geographical Assessment of

Rickettsioses in Indonesia. Vector borne and zoonotic diseases 2016; 16(1):

20-5.

9. Kato H, Yanagisawa N, Sekiya N, Suganuma A, Imamura A, Ajisawa A.

[Murine typhus in a Japanese traveler returning from Indonesia: a case

report]. Kansenshogaku zasshi The Journal of the Japanese Association for

Infectious Diseases 2014; 88(2): 166-70.

10. Parola P, Vogelaers D, Roure C, Janbon F, Raoult D. Murine typhus in

travelers returning from Indonesia. Emerging infectious diseases 1998; 4(4):

677-80.

11. Stockdale AJ, Weekes MP, Kiely B, Lever AM. Case report: Severe typhus

group rickettsiosis complicated by pulmonary edema in a returning traveler

from Indonesia. The American journal of tropical medicine and hygiene 2011;

85(6): 1121-3.

12. Capeding MR, Chua MN, Hadinegoro SR, et al. Dengue and other common

causes of acute febrile illness in Asia: an active surveillance study in children.

Dokumen terkait