• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGGUNAAN PAKAIAN BEKAS DULU DAN KIN

B. Ngrombèng Kin

B.4. Ruang Hidup Ngrombeng

Memasuki awal tahun 2000-an, pakaian bekas atau pakaian “awul-awul” mengambil bentuk dan ruang hidup yang sama sekali berbeda dari kurun waktu sebelumnya. Pakaian bekas atau pakaian “awul-awul” yang ada kini tidak lagi diperdagangkan di atas lapak atau terpal dan di pajang begitu saja di sepanjang trotoar, emperan toko, atau los-los pasar tradisional yang kotor, berdenu, kumuh, dan gelap. Pada awal 2000-an pakaian bekas atau pakaian “awul-awul” itu mulai mengambil tempat di gerai-gerai pakaian sebagaimana lazimnya kios-kios pakaian pada umumnya. Dalam wujud sebagaiman yang sekarang ini, pakaian bekas, rombengan, atau pakaian “awul-awul” itu memerkenalkan diri kepada khalayak ramai warga masyarakat Yogyakarta dalam citra atau nada yang jauh lebih

68

“murwat”, lebih pantas, dibandingkan dengan pada waktu-waktu sebelumnya. Pakaian “awul-awul” saat sekarang ini memerkenalkan diri dalam beragam nama yang cukup memikat. Nama-nama yang paling kerap mereka pajang dalam spanduk rentang mereka adalah: “pakaian sisa import”, “pakaian eks import”, “pakaian second”, atau “second hand clothes”.19

Di gerai-gerai dengan ukuran luas yang bervariasi, pakaian bekas itu kini diperlakukan dengan cara yang sama sekali berbeda dari sebelumnya. Ia tidak lagi dibiarkan terserak apa adanya, teronggok di karung, atau menggunung secara awul- awulan di atas plastik dan terpal, tetapi digantung dengan menggunakan hanger dan

19 Istilah-istilah ini saya nukil dari tulisan sebagaimana tertera pada spanduk yang dibentangkan oleh para pedagang di gerai atau kios mereka.

Gambar 3a Pakaian Bekas Kini

Di sebuah rumah limasan mentereng, persis di depan Kecamatan Nganpila, mereka bilang: “ex import!”

69

dikaitkan pada rak gantung yang terbuat dari aluminium atau logam. Di sela-sela gantungan ditempatkan juga banyak sekali obat pengharum dan obat penyerap air. Pakaian bekas itu pun dipilah-pilah atau diklasifikasikan sesuai dengan kelompok umur atau jenis kelamin pengguna, serta diletakkan secara teratur dalam sebuah barisan. Ada juga di antara pakaian bekas itu yang dilipat dan ditempatkan di rak yang terbuat dari kayu panjang bertingkat dengan pola dan susunan yang rapi. Tidak ketinggalan di gerai itu juga terdapat sebuah bilik berpintu yang terbuat dari papan yang dilengkapi dengan gantungan baju dan sebuah cermin berukuran satu badan yang dikhususkan bagi para konsumen untuk berpantas diri.

Jika pada waktu sebelumnya perdagangan pakaian bekas hampir semuanya dijalankan melalui sistem dan mekanisme pertukaran konvensional sebagaimana halnya sarthir, sejak awal tahun 2000-an mereka telah melakukan transformasi

Gambar 3b Pakaian Bekas Kini

70

bentuk yang luar biasa. Pakaian bekas sebagaiman dalam perwujudannya sekarang telah sedemikian rupa hadir dalam corak penampilan baru dan manajemen perdagangan yang cukup modern. Dari puluhan gerai pakaian bekas sebagaimana tersisa di pelbagai penjuru kota Yogyakarta, hampir semuanya mengadopsi pola menejemen baru. Hal itu salah satunya bisa dilihat dari penggunaan karyawan yang diikat dalam kontrak disertai dengan tugas, jam kerja, dan gaji yang cukup jelas. Karyawan yang dimaksudkan adalah tenaga-tenaga kerja yang diadopsi dari sekitar tempat mereka berdagang. Akan tetapi tidak jarang ada juga mereka yang datang dari luar kota atau luar kabupaten. Tenaga-tenaga lokal itu pada umumnya oleh sang pemilik gerai atau para pedagang rombengan kemudian dipekerjakan sebagai pramuniaga.

Gambar 3c Pakaian Bekas Kini

Mbak-mbak yang siap dan sigap membantu dan meyakinkan konsumen di “Sandang Murah”, Jl. Adiscipto dan “Sandang Murah”, Jl. P. Diponegoro.

71

Tugas utama para pramuniaga adalah melayani dan membantu konsumen pada saat memilih atau membeli rombengan, di samping menata ulang pakaian sebelum dan setelah gerai buka. Sedangkan jam kerja mereka mulai dari jam 8 pagi hingga sekitar jam 5 sore. Tenaga-tenaga kerja lokal itu menerima gaji dari para pedagang yang diterimakan setiap bulan dalam jumlah yang terbilang pantas.20 Di tengah beban hidup masyarakat yang semakin berat akibat hempangan krisis ekonomi sebagaimana ditandai dengan tingginya angka tuna karya karena PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) dan kian melemahnya daya beli masyarakat, perdagangan pakaian bekas mampu menyerap tenaga-tenaga kerja lokal.21 Pengadopsian tenaga lokal sebagaimana dilakukan oleh para pedagang banyak mendapatkan respon positif dari masyarakat setempat. Di sisi lain langkah para pedagang tersebut sekaligus bisa dipakai untuk menaikkan modal sosial mereka yang akan bermanfaat dalam menjalankan dan menjaga keberlanjutan usaha mereka di kemudian hari.

Rombengan sebagaimana beredar di tengah-tengah masyarakat Yogyakarta sekarang ini adalah pakaian yang sebagian besar mempunyai merk, gaya, dan model tertentu. Merk, gaya atau mode adalah nama lain dari memiliki ciri dan kekhususan, “memiliki nama” atau terkenal, dalam arti dikenal banyak orang, dikenakan banyak orang. Orang banyak yang dimaksudkan barangkali adalah orang-orang yang datang dari kalangan sosial ekonomi atas atau orang kaya. Atau setidaknya orang yang kaya, dalam arti memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam hal mengkonsumsi

20 Besarnya upah atau gaji yang diterimakan kepada para pekerja lokal bervariasi. Saya tidak berhasil menggali informasi pasti tentang besarnya gaji yang diterimakan Fadel kepada para pekerjanya. Ia hanya menggunakan istilah “pantas”. Dedi (pemilik gerai di Senuko yang juga memerkerjakan tenaga lokal), mengatakan bahwa upah yang diterimakan kepada karyawannya berkisar antara Rp. 250.000 s.d. Rp. 300.000 per bulan. Wawancara terpisah dengan Fadel dan Tedi, pada 23 Oktober 2010. 21 Baik Fadel maupun Dedi menjelaskan bahwa mereka memekerjakan 2 karyawan setiap gerai.

72

pelbagai pakaian dengan merk atau model yang sudah terkenal. Dengan demikian aktivitas ngrombeng sekarang ini tidak melulu berarti mengkonsumsi pakaian perse, melainkan mengkonsumsi tanda. Dari aras yang sama kita juga mencatat adanya pergeseran status barang, dari status komoditas menjadi satus tanda (sign).

B.5. Membawakan Si Rombeng

Sebagaimana diuraikan pada bagian sebelumnya, pakaian bekas atau rombengan pada saat sekarang ini tidak saja digunakan oleh masyarakat dari kalangan menengah-bawah, tetapi juga dari kalangan atas. Dari aras ini menggarisbawahi kenyataan bahwa penggunaan rombengan telah mendapatkan akseptabilitas publik yang besar atau memiliki bentang cakupan yang semakin luas. Gejala ini sekaligus menegaskan tentang naiknya status pakaian bekas atau rombengan di tengah masyarakat. Status pakaian bekas atau rombengan di tengah masyarakat Yogyakarta saat ini tampak jauh lebih “terhormat” dibandingkan dengan waktu sebelumnya. Pakaian bekas kini seolah sejajar dengan pakaian baru. Ke- “bekas”-an rombengan tidak lagi bisa begitu saja diidentikkan dengan identitas rombengan sebagai pakaian bekas. Saat ini pakaian bekas atau rombengan tidak lagi dilihat sebagai barang yang “ora murwat” (tidak layak). Pakaian bekas atau rombenganitu oleh banyak kalangan saat ini tidak lagi diidentikkan dengan sesuatu hal yang usang, kuno, cacat, kotor, bau dan tidak higienis seperti saat sebelumnya.

Kemajuan di bidang teknologi kimia sebagaimana ditandai dengan munculnya pelbagai macam sabun cuci atau ditergen dan obat suci hama (desinfektan) yang belakangan banyak tersedia di pasar dalam pelbagai macam

73

bentuk, kiranya secara signfikan ikut berperan dalam menentukan perubahan itu. Kemajuan teknologi di bidang sabun, deterjen, dan desinfektan menjadikan para pembeli atau pengguna rombengan kini tidak lagi risau dengan pelbagai kotoran atau noda yang melekat pada pakaian bekas. Demikian halnya kini mereka pun tidak lagi dihinggapi oleh perasaan was-was dengan pelbagai penyakit yang dimungkinkan ada dan muncul akibat penggunaan pakaian bekas yang mereka beli.22 Para pengguna rombengan saat ini pun sama sekali tidak menunjukkan rasa sungkan atau ewuh pekewuh saat mengkonsumsi atau mempergunakan rombengan dalam hubungan atau komunikasi sosial. Sebaliknya, mereka bahkan tampak sangat terbiasa dan tetap percaya diri dalam mengkonsumsi atau menggunakan rombengan.

Luasnya cakupan para pengguna pakaian bekas atau rombengan dalam masyarakat juga merefleksikan luasnya spektrum penggunaan rombengan. Saat ini pakaian bekas itu tidak lagi dipakai dalam situasi atau kesempatan terbatas sebagaimana terjadi pada masa lalu. Jika pada masa sebelumnya rombengan hanya dikenakan dalam situasi dan kesempatan yang bersifat non-formal dan sangat terbatas, kini ia bisa dan biasa dipakai oleh penggunanya dalam situasi dan kesempatan yang bersifat resmi atau formal. Para konsumen pakaian bekas kini dengan santai bisa mengenakan baju, kaos, celana atau jas bekas untuk kuliah, praktik kerja lapangan, mengunjungi teman yang tengah dirawat di rumah sakit, menghadiri resepsi pernikahan, atau pun menonton film di bioskop bersama pacar

22 Seiring booming-nya pakaian “awul-awul”, masyarakat dunia dihebohkan dengan mewabahnya penyakit SARS (Server Acute Respiratory Syndrome) yang pertama kali muncul di Provinsi Guangdong, China pada tahun 2002. Penyakit yang disebabkan oleh virus dan menyerang pernafasan hingga mengakibatkan kematian itu mewabah sampai ke Eropa. Meski sempat mencabut nyawa satu orang, di Indonesia penyakit itu sama sekali tidak memiliki efek apapun. Proses jual beli pakaian “awul-awul” yang sempat dituding sebagai bagian dari penyebaran penyakit tetap berjalan seperti biasa. Tentang SARS lihat www.News-medical.net/SARS diakses pada 21 Juni 2010.

74

atau teman. Demikian halnya perlakuan pengguna terhadap pakaian bekas atau rombengan pun berubah. Saat ini pakaian bekas oleh para konsumen atau penggunaya tidak hanya ditempatkan sebagai pakaian cadangan, tetapi justru dikenakan sebagai pakaian utama.

Luasnya cakupan penggunaan pakaian bekas juga merefleksikan tingkat akseptabilitas publik terhadap keberadaan pakaian bekas di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Jika pada masa awal keberadaannya pakaian bekas belum bisa mengangkat derajat penggunanya dalam komunikasi sosial, kini yang terjadi adalah hal yang sebaliknya. Seiring dengan kaburnya batas-batas kelas atau kelompok sosial para pengguna rombengan, saat ini mereka tampak lebih percaya diri dalam membeli atau menggunakan rombengan. Para konsumen itu kini bisa secara leluasa membawakan rombengan dalam pelbagai waktu dan kesempatan yang jauh lebih luas. Para pengguna pakaian bekas itu kini tidak lagi hanya menggunakan rombengan dalam situasi yang bersifat non-formal, tetapi juga dalam situasi dan kesempatan yang bersifat formal atau resmi.

Seiring dengan naiknya status rombengan, maka status pengguna rombengan pun tidak sebagaimana halnya dulu. Saat ini para pengguna rombengan tidak bernasib sama dengan apa yang menimpa para pengguna rombengan pada masa lalu. Para pengguna rombengan kini tidak lagi dianggap sebagai orang yang abnormal tetapi sebaliknya dianggap sebagai orang yang melek terhadap permasalahan mode (dalam pengertian model atau fesyen). Di kalangan kalangan anak muda, para pengguna pakaian bekas ini kini bahkan diterima sebagai semacam trendsetter dunia mode tanpa perlu berlenggak-lenggok di catwalk.layaknya peragawan atau peragawati. Para pengguna rombengan itu kini tidak lagi terhambat dan terbebani

75

dengan identitas pakaian bekas atau rombengan yang mereka kenakan dalam aktivitas keseharian mereka. Para pengguna pakaian bekas itu kini tidak lagi terjatuh sebagai warga kelas dua yang akan mendulang ejekan atau cibiran dari komunitas atau masyarakat luas. Dengan demikian saat ini status para pengguna pakaian bekas atau rombengan bahkan justru naik karena rombengan yang mereka kenakan.

76

Bab III