• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

C. Saran

1. Bagi peneliti selanjutnya

Dalam penelitian ini peneliti hanya menggunakan metode wawancara untuk mendapatkan data. Hal ini mengakibatkan kurang mendalamnya data yang didapat. Hasil yang didapat lebih mengarah kepada alasan seseorang memilih untuk tidak memiliki anak, bukan kepada motif yang melatarbelakangi seseorang memilih untuk tidak memiliki anak. Oleh sebab itu, bagi peneliti selanjutnya yang tertarik untuk melakukan penelitian yang serupa sebaiknya menggunakan atau menambahkan metode lainnya untuk mendapatkan data.

2. Bagi para psikolog

Bagi para psikolog, diharapkan agar hasil dari penelitian ini dapat membantu untuk lebih memahami individu voluntary childlessness, khususnya dalam hal motif dan generativitas.

3. Bagi para voluntary childlessness

Bagi para voluntary childlessness, terutama yang terlibat dalam penelitian ini, diharapkan untuk terus melanjutkan naskah generativitas yang telah dibuat sebelumnya, sebab dengan mencapai tahap generativitas, individu voluntary childlessness juga dapat memenuhi tahap perkembangan selanjutnya, yaitu integritas.

4. Bagi masyarakat

Bagi masyarakat, hasil penelitian ini membuktikan bahwa stereotype yang muncul selama ini dirasa tidak tepat. Individu voluntary childlessness dapat berada pada tahap generativitas, yaitu dimana mereka memiliki perhatian untuk membentuk serta membimbing generasi selanjutnya. Oleh sebab itu, masyarakat diharapkan untuk lebih terbuka dan mau memahami individu voluntary childlessness sehingga tidak memberikan penilaian yang hanya didasari oleh stereotype yang ada.

DAFTAR PUSTAKA

Abma, J. C., & Martinez, G. M. (2006). Childlessness among older women in the

United States: Trends and profiles. Journal of Marriage and

Family, 68(4), 1045-1056.

Agus, C. (1989). Identitas dan Siklus Hidup Manusia: Bunga Rampai I. Jakarta: PT Gramedia.

Cahyani, T. F. (2013). Gaya Eksplanatori Wanita Menikah Yang Belum Dikaruniai Keturunan: Studi Deskriptif pada Dua Wanita Menikah yang Belum Dikaruniai Keturunan (Doctoral dissertation, Universitas Pendidikan Indonesia).

Callan, V. J. (1987). The personal and marital adjustment of mothers and of voluntarily and involuntarily childless wives. Journal of Marriage and the Family, 847-856.

Carmichael, G. A., & Whittaker, A. (2007). Choice and circumstance: Qualitative insights into contemporary childlessness in Australia. European Journal of Population/Revue Européenne de Démographie, 23(2), 111-143.

Christiansen, S. L., & Palkovitz, R. (1998). Exploring Erikson's psychosocial theory of development: Generativity and its relationship to paternal identity, intimacy, and involvement in childcare. The Journal of Men's Studies, 7(1), 133-156.

Creswell, J. W. (2009). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. United States of America: Library of Congress Cataloging-in-Publication Data.

Doyle, J., Pooley, J. A., & Breen, L. (2012). A phenomenological exploration of the childfree choice in a sample of Australian women. Journal of health psychology, 1359105312444647.

Giles, D., Shaw, R. L., & Morgan, W. (2009). Representations of voluntary childlessness in the UK press, 1990—2008. Journal of health psychology,14(8), 1218-1228.

Hart, H. M., McAdams, D. P., Hirsch, B. J., & Bauer, J. J. (2001). Generativity and social involvement among African Americans and White adults. Journal of Research in Personality, 35(2), 208-230.

Hasibuan, S. P. M. (2005). Organisasi dan Motivasi: Dasar Peningkatan Produktivitas. Jakarta: Bumi Aksara.

Herdiansyah, H. (2010). Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Salemba Humanika.

Kotre, J. (1999). What Makes a Culture Generative?. University of Michigan Dearborn.

Kwon, S. (2005). Childfree by Choice: A Qualitative Exploration of Asian/white Interracial Couples in a Childfree Marriage (Doctoral dissertation, Alliant International University, California School of Professional Psychology, San Diego).

Lemme, H. (1995). Development in Adulthood. Library of Congress Cataloging-in-Publication Data.

Manheimer, R. J. (1995). Redeeming the aging self: John Kotre, George Drury, and cultural generativity. Journal of Aging Studies, 9(1), 13-20.

Majumdar, D. (2004). Choosing childlessness: Intentions of voluntary childlessness in the United States. Michigan Sociological Review, 108-135.

Mawson, D. L. (2005). The meaning and experience of voluntary childlessness for married couples (Doctoral dissertation, University of British Columbia). McAdams, D. P., & De St Aubin, E. (1992). A theory of generativity and its

assessment through self-report, behavioral acts, and narrative themes in autobiography. Journal of personality and social psychology, 62(6), 1003. McKeering, H., & Pakenham, K. I. (2000). Gender and generativity issues in

parenting: Do fathers benefit more than mothers from involvement in child care activities?. Sex Roles, 43(7-8), 459-480.

Moleong, L. J. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Papalia, D. E., et. Al. (2008). Human Development. Jakarta: Kencana.

Rahardjo, M. (2010). Triangulasi dalam Penelitian Kualitatif. Diunduh 12 September 2014 dari http://mudjiarahardjo.com/component/content/ 270.html?task=view.

Rothrauff, T., & Cooney, T. M. (2008). The role of generativity in psychological well-being: Does it differ for childless adults and parents?. Journal of Adult Development, 15(3-4), 148-159.

Santosa, B. & Zuhri, S. (Ed.). (2009). Psikologi Kualitatif: Panduan Praktis Metode Riset. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Santrock, J. W. (1985). Adult Development and Aging. United States of America. Weber, S. (1990). The teacher educator's experience: Cultural generativity and

VERBATIM SUBJEK 1

Mbak sudah berapa lama menikah?

Aku udah nikah 4 tahun lebih. Mau jalan ke 5. Empat tahun setengah. Kok mbak memilih untuk tidak memiliki anak?

Jadi aku sadar bahwa aku nggak mau punya anak itu waktu aku masih kuliah. Eemm.. disitu, itu timbul karena aku waktu itu memang udah punya pacar yang udah lama banget, yang waktu itu aku juga udah sempet diajak nikah pun, tapi syarat kalo mau nikah sama aku memang aku kasih waktu itu aku nggak mau punya anak. Aku sadar karena pertama, waktu itu aku masih merasa aku harus bangun karir dulu gitu. Eee.. bangun karir dulu dan kebetulan karir pilihanku waktu itu di kemanusiaan atau development. Terus, abis itu.. atau development yang itu required travel a lot dan itu sangat, maksudnya dimana ya. Eee.. dan aku cukup sadar bahwa waktu untuk ngurus anak itu bakalan sulit. Jadi aku cukup sadar bahwa punya anak itu tanggung jawab yang luar biasa banget dan aku merasa pilihan pekerjaanku dan pilihan hidupku nggak sejalan dengen eee.. punya anak. Aku suka aktif banget, aku suka punya banyak kegiatan. Pada saat aku kuliah pun aku punya tiga atau empat pekerjaan sekaligus, salah satunya pun full time, kemudian malamnya aku masih kerja, pokoknya aku... apa namanya... rutinitasnya parah banget deh. Mobile terus. Dan ketika aku punya anak, aku akan harus terpaksa diam di rumah selama beberapa bulan atau harus hati-hati dalam memilih kegiatan. Jadi, aku merasa keknya dengen pilihan kegiatanku atau pekerjaanku, aku nggak mungkin punya anak.

Berarti alasannya alasan pekerjaan?

mmm.. aku merasa aku sulit hidup dalam diam. Aku orang yang aktif banget. Dan ketika aku aktif banget, akan nggak fair buat anakku nanti. Gitu. Sebenernya, kalo ditilik lebih dalem lagi kenapa aku kayak gitu, lebih parah lagi sih alasannya. Basicly, aku anak hasil kehamilan di luar pernikahan. Terus habis tu, orang tua ku terpaksa menikah dalam eee... apa ya namanya... terpaksa menikah tapi dalam situasi dimana kepribadian mereka, aku merasa mereka asih kurang matang, gitu. Jadi aku dititipkan di orang tua dan kemudian mereka akan

sibuk traveling, jalan-jalan, haha hihi dengan temannya, tanpa merasa mereka ada tanggung jawab anak, yang mereka harus nabung untuk anaknya itu sekolah dan seterusnya, dan seterusnya, makan sehari-hari. Dan yang aku lihat dari keseharian mereka sampe aku SD, SMP, SMA pun masih mereka haha hihi dengen temennya aja. Gitu. Dan aku dititipkan di orang tua. Aku nggak mau kalo aku punya anak aku seperti aku dulu sampai aku kesulitan banget, tapi yaudah. Kebetulan aku memilih kegiatan yang mobilitasnya tinggi, jadi ya aku nggak mau aku nggak fair sama anakku.

Mbak anak ke berapa sih?

Pertama dari dua bersaudara. Dan pada saat yang bersamaan kami memutuskan untuk cukup sadar bahwa kami berdua nggak mau punya anak. dan kami ngomong pada saat yang berbeda gitu. Jadi dua hari sebelumnya adikku ngomong ke ibuku, terpisah gitu. Dia nggak mau punya anak. dua hari berikutnya aku ngomong. Ibu langsung nangis. Tapi kita bilang alesannya kenapa dan lambat laun sampe kesini akhirnya ibu ngerti, gitu. Ya ternyata mungkin karena lingkungannya kekgitu juga. Karna kita tumbuh di lingkungan yang sama, kita nggak mau mengulang kesalahan yang sama ya. Gitu.

Hubungan mbak dengan orang tua sendiri gimana?

Hubungan cukup baaaik, tiga atau dua tahun belakangan aja. Jadi, aku masih punya dendam yang cukup besar sampe aku sulit memaafkan, tu sampe aku nikah pun masih. Keknya baru dua tiga tahun lalu aja itu membaik. Tinggal sama ibu aja kan. Bapak udah meninggal waktu aku SMA.

Dendamnya itu karena apa mbak?

Karena aku merasa itu hak anak untuk diurus. Gitu. Kalo nggak kan mending nggak usah dilahirin sekalian kan. Jadi, aku masih punya dendam itu sampe aku menyalahkan ibuku untuk beberapa hal yang aku nggak punyai atau nggak dapet kesempatan itu. Gitu.

Berarti dulu sempat memiliki hubungan yang kurang harmonis? Iya.

Kalo peran ayah sendiri gimana?

mereka main, mereka main sama-sama. Jadi aku memang dititip ke eee... kakek nenek, karna mereka traveling, karna mereka kerja, karna mereka nongkrong, minum kopi, minum bir, kemana gitu kan. Jadi yaa.. eee... ya mereka sama-sama kayak gitu, kupikir memang mereka berdua belum siap punya anak dan belum cukup dewasa untuk bisa ngerawat anak sendiri kali ya. Gitu aja sih.

ee.. kan itu sebelum menikah toh mbak berpkir untuk tidak memiliki anak itu.

Makanya aku putus dari pacarku yang dulu. 8 tahun pacaran padahal. Aku memutuskan pada saat itu aku nggak mau nikah dan nggak mau punya anak. dan hidup di apa namanya, bukan selibat sih. Punya hubungan tapi ya sudahlah. Gitu aja. Ngalir gitu aja. Ternyata dia memang nggak bisa menerima situasi yang seperti itu karena kebanyakan orang dibesarkan di keluarga yang normal dan baik-baik saja. Jadi, ya udahlah aku putus sama dia, kemudian selang berapa waktu aku ketemu orang yang punya paham yang sama dengan aku. Jadi aku justru malah nikah sama dia. Itu cuman sebagai apa ya... ironi atas pilihan kami sih. Kami berdua memilih untuk tidak menikah, jadi pernikahan itu jadi ironi gitu. Lagian kalo tinggal di desa kayak gini butuh surat. Itu pun kita nggak nikah di gereja pun sebenernya. Tanda tangan, sudah. Asal suratnya bisa dikasih RT, udah beres.

Sipil berarti?

Sipil aja, soalnya kerjaan kalo kerja pemerintah susah ya kalo mereka tau ah.. kumpul kebo. Hahaha. Nggak lucu. Yaudahlah. Karena kondisi juga, jadi yasudah.

Berarti sebelum menikah juga udah dibilang sama pasangan?

Aku ketemu pasanganku ini kayak eat pray love gitu sih. Kayak di film itu. Yang melarikan diri dari dua laki-laki yang melamar aku, kemudian ketemu sama satu laki-laki ya. Trus aku curhat sama dia, aku sebenernya melarikan diri dari dua orang yang lamar aku dan cerita aku punya prinsip yang kayak kayak gini, dia langsung interested, trus ya udah, langsung nempel aja.

Sekarang kegiatan mbak apa aja sih? Kerja aja sih. Hahaha. Ya gimana.

Tapi sepertinya free free aja. Sering ke jogja ya?

Aku kerja aaa.. ini sih di bank dunia. Kerjaanku di program nasional pemberdayaan masyarakat, itu eee.. program nasional yang ngover 33 provinsi di indonesia. Jadi, aku travel a lot. Tapi in between aku sangat berusaha untuk bisa pulang ke jogja setiap weekend, walopun aku jalan ke lapangan senen sampe jumat. Langsung jumat pulang ke jogja, senen ke jakarta lagi.

Mbak pergi-pergi terus kan, sama suami sering ketemu?

Eee... jadi kita komit ketemu tiap tiga bulan sekali, tapi ketemunya satu bulan. Jadi sama kayak punya suami di tambang kayak gitu kan. Yaudah, komitnya kayak gitu aja. Tiga bulan kita kerja cari duit buat ketemuan satu bulan. Lumayan nih cuti satu bulan. Aku selo banget. Trus, tinggal di rumah yang kayak gini. Kamu bayangin enak kan. Me time nya hebat banget. Nggak jauh sama kota pun, kan.

Terus, konsekuensinya apa sih mbak, dari memilih untuk tidak memiliki anak itu?

Maksudnya konsekuensi yang kayak gimana ni?

Misalnya, tanggapan dari teman-teman, dari keluarga, kayak gitu.

Jaman muda dulu ya, aku cukup berapi-api cukup.. untuk menjelaskan kenapa aku nggak mau punya anak. lama-lama capek. Ehehehe. Karna hidup di dunia ini semua orang mengharapkan kamu seperti orang normal lainnya yang berkeluarga dan punya anak. akhirnya aku kadang-kadang punya jawaban yang cukup nyebelin kalo orang tanya nya nyebelin, aku jawab steril. Trus, abis itu kalo ada orang yang cukup sopan tanyanya, aku cuman jawab “waaah... belum dikasih..”, “waaah... suami jauh... susah bikinnya..” hahaha. Jawaban sopan. Lama-lama, ya itu. Harus belajar ngeles, sama orang harus dapetin jawaban yang mereka mau. Itu aja. Supaya kita nggak ditanyai terlalu jauh untuk itu. Karna kalo kita terus bentu... kita udah melawan arus ya, kalo kita terus bentur-benturin diri kita ke batu itu, PR juga kan. Udah ngelawan arus, kebentur-bentur. Kan repot. Udah ngelawan arus, tapi pelan-pelan aja jalannya. Ngerasa ga biasa dengan pilihan itu. Cuman kalo udah deket aja baru ngomong.

Repot kan sama ibu kan biasanya. Trus akhirnya makin kesini, dia ngeliat bahwa kakak adeknya dia dapet titipan cucu dari anak-anaknya yang ntah pergi kemana. Gitu. Kemudian dia bersyukur anaknya nggak mau punya anak. hahaha. Dia baru sadar. Maksudnya, “oh.. anakku mungkin memang mikir ke depan banget bahwa dia nggak mau ngerepotin aku”. Emang iya kan. Maksudnya, buat apa bikin anak kalo cuman mau dititipin orang tuanya? Buat apa gitu.

Kalo boleh tau, apa sih yang mbak katakan pada ibu?

Eee.. langsung to the point sih. Kayaknya aku nggak mau punya anak. eee... pilihan pekerjaanku apa dan aku yakin kalo aku terusin pilihan pekerjaan eh.. aku ngejar cita-citaku itu, aku nggak akan sempet punya waktu untuk ngurus anak dan itu nggak adil buat anaknya. Ya udah. Gitu aja sih.

Cuman itu aja?

He‟eh. Daaan.. biasa.. ibu agak emosional, jawab gitu bisa dititipin mama dan sebagainya. Yaaa.. aku bilang kayaknya nggak mungkin. Mama nggak tau kesehatannya bisa sampe apa, umurnya berapa dan segalanya, kupikir juga nggak adil kalo aku yang bikin harus jadi tanggung jawabku, bukan tanggung jawabnya neneknya. Gitu.

Trus, waktu mendapat tanggapan yang seperti itu, apa yang mbak rasakan? Eee.. pertama sih pengen jelasin bahwa punya anak itu... apa ya namanya... hari gini, apalagi punya anak itu bete. Tapi ya udahlah akhirnya aku ngalir aja. Dan kemudian ibuku cukup pintar untuk menahan saudara-saudaranya yang cukup konservatif itu untuk tidak menanyakan padaku sedikitpun di tiap hari lebaran. Ibuku akhirnya... kita berdamai gara-gara itu. Hahaha. Karena dia akhirnya legowo. Aku ngeliat effort nya dia untuk memperbaiki hubungan cukup baik. Ya itu, dia bisa bikin.. dia bilang anakku fokus karir. Kayak gitu aja. Dan memang saudara-saudara ngeliat aku juga makin maju aja, jadi ya “ah.. mungkin itu memang pilihan yang benar”. Gitu aja sih. Itu pembuktian juga.

Mbak sempat tertekan ga?

Nggak. Aku cukup percaya diri dengan pilihanku sih sebetulnya. Ya itu. Cukup percaya diri, sangking percaya dirinya, dulu ya sering ngotot-ngototan sama orang juga untuk menjelaskan itu sih. Ya.. aku tau pilihanku cukup benar untuk

hidupku.

Berarti tanggapan mereka tidak berpengaruh?

Nggak. Mau ngomong apa juga bodo. Hahaha. Hidupku. Hahaha. Yang penting kan keluarga. Yang dalam lingkaran dekat kita ya. Ya makanya daripada itulah... aku dulu kenapa nggak kawin sama orang Indonesia juga. Cuman karna mereka kan kalo sama keluarga selalu mencoba ikut campur. Aku pikir jauh aja. Kupikir kalo aku terusin sama pacar aku yang delapan tahun ini, aku akan diminta untuk punya anak, dan yang ngomong bukan cuman bapak ibunya, tapi tante, om, pakde, lalalala... hahaha. Nggak nggak nggak kayaknya aku nggak kuat. Aku nggak bisa. Yaudah. Dan trus kalo aku punya anak, mereka akan ngunjungin aku satu satu satu satu dan aku nggak akan punya me time.

Udah ngurus anak, ngurus keluarga yang dateng ngunjungin anakku, keknyaaa yaa I can not take it. Hahaha. Repot.

Apa keuntungan yang dirasakan oleh diri mbak?

Eee.. keuntungannya buat aku, aku lebih.. lebih.. lebih ini aja yaa.. lebih enteng untuk ngejalanin opsiku buat memilih karir dan kerja gitu kan. Eee.. bahwa aku juga bebas maksimalkan waktuku untuk kerja buat masyarakat. Yang kayak gitu. Eeem.. aku juga bisa pakai waktuku banyak tanpa harus.. misal memang ada kerjaan yang belum selesai, kalo aku harus kerja sampe jam 11, aku nggak akan mikir „ooh.. ada anakku yang harus ini.. nggak enak.. gimana..‟ jadi nggak stengah-stengah.

Kalo kerja, kerja total gitu. Totalitas aja sih.

Gitu sih. Soalnya kalo cuman mikir obyek afeksi aja, stiap orang pasti butuh obyek afeksi kan. Toh ada suami, ada kucing tiga. Toh kalo nanti memang butuh anak, atau ngerasa butuh obyek afeksi yang baru gitu bisa ngangkat, kan banyak anak yang dibuang juga toh. Kasihan juga.

Tapi belom pernah kepikiran buat ngangkat anak?

Udah kepikiran sih. Maksudnya, one day aku pasti akan ada kebutuhan itu dan aku pasti akan ambil. Kecuali hidupku nggak settle settle kan jangan. Nunggu siap aja. Ya emang karna nguntungin si bocah juga kan ya. Masih banyak yang butuh di bantu juga kok. Kalopun nggak ngangkat, paling nggak bantu anak buat

digedein gitu. Di keluarganya sendiri atau apa. Gitu. Nggak nambah populasi juga. Hahaha. Itu masalah dunia. Terlalu banyak manusia. Tapi emang bener. Buat apa. Kadang-kadang akku mikir, orang punya anak dua tiga empat lima enam, buat apa? Sekolah juga mahal sekarang. Itu aja anaknya lulus S1 belum tentu dapet kerja yang bagus. Harus sekolahin lagi jadi S2 sekarang. Tambah mahal lagi. Haha.

Apa yang membuat mbak tetap berpegang teguh pada pilihan untuk tidak memiliki anak?

Iya sih.. soalnya sampe sekarang juga keinginan itu juga nggak dateng juga ya. Eee.. maksudnya dengan, aku merasa aku sudah menjalani hidup yang benar. Gitu. Ketika aku tidak mem... tidak menjalankan citaku dengan stengah-stengah di satu sisi,

di sisi yang lain juga aku tidak berlaku tidak adil pada anakku kalo aku punya anak. eee.. kemudian, kalo orang tanya, aku juga cari jawaban yang agak ambiguos aja atau memberikan jawaban yang sesuai dengan yang diinginkan mereka aja. Yaaa... udah aman sih semuanya kayaknya baik-baik aja. Orang lain dapat jawaban yang mereka mau tentang aku. Eee... aku sendiri juga bisa menjalani hidupku. Gitu. Dan ga dapet banyak gangguan dengan pertanyaan-pertanyaan mereka. Yang jelas pilih forum deh untuk ngomong. Pilih forum yang tepat untuk ngomong yang sebenernya tentang pilihan. Kalo seandainya orang itu termasuk yang umum, gitu.. kawin harus punya anak, ya nggak perlulah dilawan omongan kayak gitu. Percuma. Buang-buang waktu. Mending waktunya dipake buat yang lain.

Berarti mbak masih tetap memilih untuk tidak memiliki anak karena mbak merasa kehidupan yang seperti ini lebih baik?

Kehidupan seperti ini lebih adil. Nggak bayangin kan, kalo punya anak, suami dimana, istri dimana, anak dimana, itu juga tambah nggak lucu lagi.

Berarti tetap pada alasan awal?

Iya. Soalnya, eee... apa ya.. bisa liat anak, aku bisa pikir itu lucu sambil mikir aku mungkin kalo punya anak sama suamiku lucu. Tapi, abis tu mikir kedua kali, layer kedua langsung neee... hahaha.. neee.. nggak.. kayaknya nggak deh..

VERBATIM SUBJEK 2

Sejak kapan om berpikiran untuk tidak memiliki anak? Sejak usia 16 tahun. Iya. Mau jadi romo, masuk seminari

Apa sih yang membuat om memilih untuk tidak memiliki anak?

Alasannya supaya bisa melayani orang sebanyak-banyaknya, ikut berbagi dengan banyak orang. Tidak terikat pada istri dan anak. Kalo terikat pada istri anak kan terbatas melayani orang. Dan membantu orang kan terbatas.

Gini. Ceritanya agak panjang ya. Om seminari terus kan keluar karna tidak panggilannya. Trus om membantu buruh-buruh itu. Orang kecil-kecil. Buruh

Dokumen terkait