• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI : KESIMPULAN DAN SARAN

B. Saran

1. Dalam pelaksanaan kegiatan sosialisasi ini ditemukan faktor-faktor penghambat yang perlu mendapat dukungan dari semua pihak untuk mengatasinya. Antara lain adalah bantuan pemerintah setempat untuk mendata tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap kekayaan budaya dan dapat mendorong kehadiran mereka pada kegiatan-kegiatan sejenis. 2. Kepada tokoh-tokoh masyarakat pada 3 kelompok etnis tersebut perlu segera

membentuk kelompok dalam suatu ikatan yang mendapat justifikasi dari pemerintah agar kelompok ini dapat mewakili kepentingan masyarakat hukum adat sebagai subyek atas hak kekayaan intelektual dalam bidang pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional secara komunal.

3. Perlu digiatkan secara terus-menerus sosialisasi seperti ini guna memperluas ruang lingkup cakupan pemahaman masyarakat tentang arti penting perlindungan hak kekayaan intelektual dalam bidang pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional.

DAFTAR PUSTAKA

Agus Sardjono, Hak Kekayaan Intelektual & Pengetahuan Tradisional, Penerbit Alumni, Bandung, 2010.

Charlotte Waelde, et.al, Contemporary Intellectual Property, Oxford University Press, New York, 2011.

Corynne Mc Sherry, Who Owns Academic Work ? Battling for Control of Intellectual

Property, Harvard University Press, London, 2001

Djulaeka, Konsep Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Perspektif Kajian

Filosofis HaKI Kolektif-Komunal, Setara Press, Malang, 2014.

Hawin, M., Intellectual Property Law on Parallel Importation, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2010.

Kenny K.S. Wong and Alice, A Practical Approach To Intellectual Property Law In

Hong Kong, Sweet & Maxwell Asia, Hongkong, 2002.

Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2010.

Lubis, Efridani, Perlindungan dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetik Berdasarkan

Penerapan Konsep Sovereign Right dan Hak Kekayaan Intelektual, Penerbit

Alumni, Bandung, 2009.

Makoto Shichida, Whole Brain Power Kekuatan Menggabungkan Dua Otak, Gramedia, Jakarta, 2014.

Paul Torremans, Jon Holyoak, Holyoak and Torremans, Intellectual Property Law, Butterworths, London, 1998.

Peter J. Groves, Source Book on Intellectual Property Law, Cavendish Publishing Limited, London, 1997.

Peter Tobias Stoll, Jan Busche and Katrin Arend, WTO – Trade-Related Aspects of

Intellectual Property Rights, Martinus Nijhoff Publishers, Leiden – Boston,

2009.

Rahmi Jened Parinduri Nasution, Interface Hukum Kekayaan Intelektual dan Hukum

Saidin, OK., Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2015.

TERTIB ACARA

SOSIALISASI PERUNDANG-UNDANGAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL TERKAIT DALAM

KONTEKS PENYELAMATAN KEKAYAAN BUDAYA (Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional)

Tanggal 12 November 2015

Di Gedung Prof. Amin Ridwan, MA, PhD Fakultas Ilmu Budaya USU

Waktu Acara Oleh

14.00-14.05 Wib Pembukaan oleh Protokol Widiya

14.05-14.10 Wib Sambutan Tuan Rumah Dekan FH Ilmu Budaya USU Bapak Dr. Drs. Syahron Lubis, MA 14.10-14.15 Wib Sambutan Ketua Aliansi Masyarakat

Simekar

T. Mira Sinar, MA

14.15-14.20 Wib Do’a Muhadi, S.Ag

14.20-14.50 Wib Pemaparan Materi Sosialisasi dengan judul : “Perspektif Perundang-undangan Hak Kekayaan Intelektual Terkait dalam Konteks Penyelamatan Kekayaan Budaya”

Oleh : Dr. OK. Saidin, SH, M.Hum Moderator : Sarjani Tarigan, MSP Notulis : Dr. Edy Ikhsan, SH, MA 14.50-16.15 Wib Tanya Jawab Dipandu oleh : Dr. Abdul Hakim

Siagian, SH, M.Hum 16.15-16.30 Wib Peragaan tumbuh-tumbuhan di

lingkungan geografis 3 kelompok etnis

Dipandu oleh : Sarjani Tarigan, MSP 15.30-17.00 Wib Perembukan untuk tindak lanjut ke

depan/rekomendasi

Dr. Abdul Hakim Siagian, SH, M.Hum

17.00-17.05 Wib Penutupan dan penyampaian cinderamata

A. Pendahuluan

Dalam pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, termaktub tujuan negara, yang menjadi alasan negara ini didirikan. Tujuan negara dirumuskan dalam 4 (empat) point penting yaitu :

5. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. 6. Memajukan kesejahteraan umum

7. Mencerdaskan kehidupan bangsa

8. Melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Tentu saja untuk mencapai cita-cita kemerdekaan itu, Indonesia harus memanfaatkan semua potensi sumber daya yang dimilikinya. Sumber daya yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia adalah bahagian dari unsur kekayaan budaya yang berpangkal pada sumber daya alam (keanekaragaman hayati-flora dan fauna-, kekayaan alam berupa mineral, minyak, air, udara) dan sumber daya manusia.

Dalam kaitannya dengan perlindungan hak kekayaan intelektual, sumber daya manusia memegang peranan dan posisi penting. Alasannya adalah karena secara antropologis manusia adalah pangkal dari kebudayaan. Hanya manusia makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki budaya. 35

Peradaban umat manusia tumbuh dan berkembang atas dasar “olah budi” dan “olah daya”. Budi dan daya adalah kreatifitas makhluk manusia. Keterkaitannya dengan bidang hukum hak kekayaan intelektual adalah hak kekayaan intelektual itu lahir atas hasil kerja otak, 36 hasil kerja rasio.

Hasil dari pekerjaan rasio manusia yang menalar.37 Itu pada satu sisi, di sisi lain adapula hasil kerja

emosional. Hasil kerja hati dalam bentuk abstrak yang dikenal dengan rasa perpaduan dari hasil kerja rasional dan emosional itu melahirkan sebuah karya yang disebut karya intelektual. 38 Hasil kerjanya

itu berupa benda immateril. Benda tidak berwujud. Kita ambil misalnya karya cipta lagu. Untuk menciptakan alunan nada (irama) diperlukan pekerjaan otak. Menurut ahli biologi otak kananlah yang berperan untuk menghayati kesenian, berhayal, menghayati kerohanian, termasuk juga kemampuan melakukan sosialisasi dan mengendalikan emosi. Fungsi ini disebut sebagai fungsi nonverbal, metaforik, intuitif, imajinatif dan emosional. Spesialisasinya bersifat intuitif, holistik dan mampu memproses informasi secara simultan. 39

Hasil kerja otak itu kemudian dirumuskan sebagai intelektualitas. Orang yang optimal memerankan kerja otak dan hatinya disebut sebagai orang yang terpelajar, mampu menggunakan rasio, mampu berpikir secara rasional dengan menggunakan logika dan menyeimbangkannya dengan kerja hati yang melahirkan kearifan atau kebijaksanaan (wisdom) (metode berpikir, cabang filsafat), karena itu hasil pemikirannya disebut rasional atau logis. Orang yang tergabung dalam kelompok ini disebut kaum intelektual.40

Begitulah, ketika irama lagu tadi tercipta berdasarkan hasil kerja otak, ia dirumuskan sebagai Hak Kekayaan Intelektual. Berbeda misalnya dengan hasil kerja fisik, petani mencangkul, menanam,

35 Lebih lanjut lihat Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2010. 36 Otak yang dimaksudkan bukanlah otak yang kita lihat seperti tumpukan daging yang enak digulai, yang beratnya 2%

dari total berat tubuh, tetapi otak yang berperan sebagai pusat pengaturan segala kegiatan fisik dan psikologis, yang terbagi menjadi dua belahan; kiri dan kanan.

37 Kata “menalar” ini penting, sebab menurut penelitian pakar antropologi fisik di Jepang, seekor monyet juga berpikir,

tetapi pikirannya tidak menalar. Ia tidak dapat menghubungkan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya.

38 Hasil kerja rasional dan emosional itu dalam kajian ilmu kedokteran merupakan hasil kerja otak juga sebagai pusat

dari simpul saraf. Kalau hati dalam terminology kedokteran memiliki fungsi lain, yakni untuk menjaga keseimbangan gula darah, jika terdapat kelebihan, disimpan dalam hati yang disebut dengan fungsi lever. Oleh karena itu hati yang dimaksudkan disini adalah kecerdasan emosional yang dapat diukur dengan Emotional Quotient (EQ) yang dibedakan dengan kecerdasan rasional yang dapat diukur dengan tingkat kecerdasan yang disebut dengan Intelegensia Quantity (IQ)

39 Lebih lanjut lihat Makoto Shichida, Whole Brain Power Kekuatan Menggabungkan Dua Otak, Gramedia, Jakarta,

2014. Lihat juga Shigeo Haruyama, Keajaiban Otak Kanan, Gramedia, Jakarta, 2014.

40 Kalau kaum intelektual ini kemudian menjalankan pengetahuan yang dirumuskannya sebagai kebenaran itu dan

mengabdi kepada kepentingan manusia, ia disebut pula kaum cendi-kiawan. Seringkali kita menemukan istilah jika terjadi suatu peristiwa kemasyarakatan, orang menanyakan siapa pelaku (dader) intelektualnya. Kata intelektual menunjukkan “kaum pemikir” dibalik peristiwa tersebut.

menghasilkan buah-buahan. Buah-buahan tadi adalah hak milik juga tapi hak milik materil. Hak milik atas benda berwujud.

Demikian pula hasil kerja otak (intelektualitas) manusia dalam bentuk penelitian atau temuan dalam bidang teknologi ia juga dirumuskan sebagai Hak Kekayaan Intelektual. Kemampuan otak untuk menulis, berhitung, berbicara, mengingat fakta dan menghubungkan berbagai fakta menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi, disebut juga sebagai fungsi preposisi verbal linguistis, logis dan analitis yang merupakan pekerjaan belahan otak kiri.

Dengan uraian di atas, tampaklah titik terang asal-usul kata intellectual property rights itu. Asal muasal, kata intelektual yang dilekatkan pada kata hak kekayaan. Hak itu lahir atas hasil perjuangan kerja otak dengan pertimbangan kecerdasan rasional dan kecerdasan emosional.

Tidak semua orang dapat dan mampu mempekerjakan otak (nalar, rasio, intelektual) secara maksimal. Oleh karena itu tak semua orang pula dapat menghasilkan intellectual property rights. Hanya orang yang mampu mempekerjakan otaknya sajalah yang dapat menghasilkan hak kebendaan yang disebut sebagai intellectual property rights. Itu pulalah sebabnya hasil kerja otak yang membuahkan Hak Kekayaan Intelektual itu bersifat eksklusif. Hanya orang tertentu saja yang dapat melahirkan hak semacam itu. Berkembangnya peradaban manusia, dimulai dari kerja otak itu.41

Bagi masyarakat yang hidup dibelahan dunia yang menganut ajaran kapitalis, tentu ia menyebutkan hasil karya semacam itu sebagai hak ekslusif. Tentu saja bagi Indonesia yang menganut falsafah Pancasila, mestinya menyebutnya sebagai karya yang lahir atas berkah dan rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa. Bukan hasil karya yang semata-mata lahir dari kemampuan manusia pribadi yang lahir tanpa “campur tangan” Tuhan.

Banyak hak kekayaan intelektual sebagai kekayaan budaya yang tak terselamatkan antara lain yang bersumber dari sumber daya alam. Kopi yang ditanam di dataran tinggi Sinabung dan Saribu Dolok, diberi merek oleh pengusaha Amerika dan didaftarkan di Amerika dengan merk “Mandheling”. Demikian pula pengetahuan tradisional kita tentang, daun jambu biji untuk sakit perut, daun jarak untuk menurunkan panas, daun ketepeng dan lengkuas untuk obat penyakit kulit, sarang laba-laba untuk menutupi luka lebar, daun rumput pahit untuk menghentikan pendarahan pada luka luar, kunyit untuk mengobati luka dalam dan lain-lain, akan tetapi para perusahaan farmasi mengambil ekstrak hasil bumi Indonesia dan untuk memproduksi obat-obatan atas dasar pengetahuan tradisional masyarakat Indonesia.

Undang-undang hak kekayaan intelektual Indonesia yang terkait dengan itu seperti Undang- undang Hak Cipta, Paten, Perlindungan Varietas Tanaman, Design Industri saat ini belum mampu memberikan perlindungan yang maksimal. Di samping itu, perlindungan tentang pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional sampai saat ini belum ada undang-undangnya.

Oleh karena itu dengan menggunakan perangkat perundang-undangan hak kekayaan intelektual yang ada pada hari ini perlu kiranya disosialisasikan kepada tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh budaya yang diharapkan kelak dapat memperluas informasi ini ke seluruh lapisan masyarakat guna penyelamatan kekayaan budaya bangsa. Untuk itulah sosialisasi ini perlu dilakukan.

B. Kondisi Obyektif

Saat ini kekayaan budaya bangsa, banyak yang dimanfaatkan oleh pihak asing untuk kepentingan mereka tanpa memperhatikan hak ekonomi (economic rights) yang melekat pada kesatuan masyarakat hukum adat sebagai pemegang hak komunal (community rights).

Khusus untuk masyarakat Simalungun, Melayu dan Karo yang disingkat dengan “simekar” kekayaan budaya masyarakatnya sampai saat ini belum terinventarisir dan terdokumentasi dengan baik.

41 Itu sebabnya pakar biologi dan pakar antropologi fisik, mengatakan sebenarnya manusia itu tak lebih dari hewan

yang berpikir. Sekiranya manusia tidak memfungsikan otaknya untuk berpikir dan menalar maka manusia sama dengan hewan dan peradaban manusia tidak akan berkembang pesat.

Situasi seperti itu terjadi, berpangkal pada ketidak tahuan masyarakatnya tentang arti penting perlindungan atas kekayaan budaya tradisional sebagai bahagian dari kekayaan budaya bangsa yang dilindungi melalui instrument hukum hak kekayaan intelektual.

Masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Simalungun, Karo dan Melayu yang tergabung dalam Aliansi Simekar, tak semuanya memahami bahkan kurang mendapat sosialisasi tentang arti penting perlindungan kekayaan budaya meliputi pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional. Sehingga dalam banyak hal, ada beberapa pengetahuan tradisional ekspresi budaya tradisional tidak terinventarisir dan tidak terdokumentasi dengan baik.

Oleh karena itu pencerahan kepada tokoh-tokoh budaya masyarakat Simalungun, Melayu dan Karo yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Simekar perlu dilakukan. Kelak setelah sosialisasi ini akan diinventarisir dan didokumentasikan kekayaan budaya di tiga wilayah kesatuan masyarakat hukum adat ini. Tentu saja kekayaan budaya dimaksud adalah kekayaan kebudayaan yang dapat diberi hak kekayaan intelektual baik berupa invensi yang berpangkal pada kebudayaan tradisional maupun terhadap produk-produk yang bersumber pada pengetahuan tradisional, termasuk penggunaan merek yang melanggar indikasi asal (indication of origin) atau indikasi geografis (geographical indication).

Bagaimana bentuk perlindungan hukum atas kekayaan budaya yang meliputi pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional menurut sistem perlindungan yang diberikan oleh instrument perundang-undangan hak kekayaan intelektual Indonesia ? Langkah-langkah apa yang perlu ditempuh untuk kegiatan atau aktivitas melakukan inventarisasi dan pendokumentasian kekayaan budaya yang meliputi pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional pada kelompok masyarakat Simalungun, Melayu dan Karo. Kesemua itu menjadi alasan mengapa sosialisasi ini penting untuk dilakukan.

C. Istilah HKI

Dalam literatur Indonesia istilah Intellectual Property Rights telah mengalami perkembangan. Pada awalnya istilah Intellectual Property Rught diterjemahkan dengan Hak Milik Intellektual. Seiring perjalanannya istilah itu berubah menajadi Hak Atas Kekayaan Intelektual, pada kurun waktu yang sama ada juga yang menggunakan istilah Hak Kekayaan Intelektual. Terakhir melalui UU No.28 Tahun 2014 istilah itu disederhanakan dengan istilah Kekayaan Intelektual, seiring dengan itu Kementerian Kehakiman kemudian menamakan institusi yang mengurusi urusan Hak Kekayaan Intelektual itu dengan nama Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual. Perubahan pada penggunaan istilah itu bukan tidak beralasan.Dengan merujuk pemakaian istilah yang sama yang digunakan oleh beberapa negara, Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual cenderung menyutuji istilah Kekayaan Intelelktual, dengan menghapuskan kata “Hak”.

Meskipun penghapusan kata “hak” dalam pemakakian istilah yang sebenarnya berasal dari terminologi asing “Intellectual Property Rights” yang sebenarnya sejak awal difahami bukanlah istilah yang tumbuh dari peradaban hukum Indonesia. Di beberapa negara dan dalam berbagai literatur masih tetap menggunakan istilah “Intellectual Properrty Rights” yang mencantumkan kata “right” atau kata “recht” di ujung kata Intellectual property. 42

Menurut hemat kami, penggunaan istilah haruslah dikembalikan pada sejarah lahirnya terminologi yang melatar belakangi munculnya frase itu. Secara akademis harus difahami bahwa istilah Hak Kekayaan Intelektual tidak serta merta lahir begitu saja dalam tatanan hukum yang berlaku pada satu negara baik itu hukum yang berlaku dalam satu negara dengan latar belakang sistem hukum civil law atau dengan latar belakang common law.

Indonesia dengan latar belakang hukum civil law dan sejak awal telah diperkenalkan salah satu bidang Hak Kekayaan Intelektual seperti hak cipta dengan istilah Auteursrecht yang diatur dalam Auteurswet 1912 Statblaad No.600 dan octrooi recht untuk menyebutkan hak paten seperti yang diatur dalam Octrooi wet produk Kolonial Belanda yang dimuat dalam Lembaran Negara Hindia Belanda Tahun 1910 Nomor 313, demikian juga tentang merek yang diatur dalam Reglement Industriele

42 Lihat lebih lanjut Mr. E.J. Arkenbout, Mr. P.G.F.A. Geerts, Mr. P.A.C.E. van der Kooij, Rechtspraak Intellectuele Eigendom, koninklijke vermande, Den Haag, 1997.

Eigendom yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda dan dimuat dalam Lembaran Negara

Hindia Belanda Tahun 1912 No. 545 ketika itu, hal ini semakin menguatkan argumentasi kami istilah “hak” yang berasal darui frase “recht” atau “right” tak dapat dihilangkan untuk menyebutkan istilah “Hak Kekayaan Intelektual” menjadi istilah “Kekayaan Intelektual”.

Kini mari kita telusuri akar kata itu dalam terminologi hukum Indonesia dengan latar belakang sistem hukum civil law (Eropa continental). Pengaturan tentang hak kekayaan intelektual sejak awal tidak terkodifikasi dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk wet Book) tetapi diatur tersebar secara sporadis dalam Undang-undang tersendiri. Kodifikasi hukum Perdata dan hukum dagang – yang termuat dalam Burgerlijke wet Bok dan Wet Bok van Koophandel – peninggalan Kolonial Belanda tak ada juga menyebutkan tentang istilah Hak Kekayaan Intelektual. Di Indonesia istilah hak kekayaan intelektual ini justeru mulai diperkenalkan dalam kepustakaan Ilmu Hukum (Indonesia), melalui kepustakaan hukum negara-negara penganut Anglo Saxon terutama Amerika pasca kerjasama dengan ELIPS Project pada paroh awal dekade 1990-an. Namun demikian akar kata tentang keberadaan hak kekayaan intelektual sebagai obyek hukum benda sudah ada cikal bakalnya ketika KUH Perdata membuat kategori benda berdasarkan wujudnya, yaitu benda berwujud (benda materiil) dengan benda tidak berwujud (benda immateriil).Pengelompokan benda yang demikian dapat ditelusuri dari buku II KUH Perdata yang mengatur tentang Hukum Benda (van Zaaken) yang dimuat dalam Pasal 499. Frase “zaak” yang diterjemahkan dengan “benda” terdiri dari “ goederen” yang diterjemahkan dengan “barang” dan “rechten” yang diterjemahkan dengan “hak”. Barang adalah benda berwujud stoffelijk voorwerp)43 atau benda materiil sedangkan hak adalah benda

tidak berwujud atau benda immateriil berupa "buah pikiran, hasil otak manusia (menslijke idean, voortbrengselen van de menselijke geest) dapat pula menjadi obyek hak obsolut".44

Walaupun buah pikiran bukan merupakan benda material (stoffelijk voorwerp). Ia juga bukan hak subyektif (persoonlijk recht) dalam bidang hukum kekayan (noch een subyektief vermogensrecht). Jadi ia termasuk ke dalam rumusan benda dalam Pasal 499 KUH Perdata dan oleh sebab itu pula ia termasuk kedalam rumusan hak benda (zakelijk recht)45 jika buah pikiran itu berisikan idea atau gagasan yang lahir dari hasil penelitian berupa ilmu pengetahuan, seni dan sastra (yang dilindungi sebagai hak cipta) (auteurechts) atau dalam bentuk invensi yang dilindungi dalam bentuk paten

(octrooi rechts).

Untuk membedakannya dengan barang-barang material menurut Pasal 499 KUH Perdata, maka :

"Buah pikiran yang menjadi obyek hak absolut dan juga hak atas buah pikiran dinamakan : benda immaterial",46 demikian Prof. Mahadi.

Dalam kepustakaan hukum Indonesia, yang merupakan hasil transplantasi hukum asing, salah satu bentuk dari benda yaitu hak kekayaan intelektual (intellectual property rights). Oleh karena itu, kata “rights” (hak) tetaplah harus dilekatkan pada kata “intellectual property” untuk membedakannya dengan barang (benda berwujud). Jika kata hak dilepaskan maka kata intellectual property akan kehilangan makna atau sifat immaterielnya sehingga pemaknaannya menjadi benda berwujud

(goederen).

Dengan mengutip Pitlo, Mahadi menulis :

"... ofsschoon zij evenmin als het vorderingsrecht enn "zaak" tot voorwerp hebben, behoren zij wederom net als de vorrdering tot de in art 555 vermelde "rechten" enkunen zij dus zelf tot voorwerp van een zakelijrecht dienen. Een idee is geen zaak, het recht op een idee well, een uitvinding kan men niet verpander, well het octrooirecht. Zoo kan men ook aandelen in enn N.V. en enn B.V. tot object van vruchtgebruik maken artt 2:88 en 2.197 of van pandrecht (artt 2:89 en 2:198). De regels vorr de overdracht, de verpanding en van de rechten op immateriele goederen, ofschoon grotendells in de

43 Ibid, h. 14.

44 Mahadi, Hak Milik Imaterial, BPHN, Tanpa tempat, 1985, h. 4.

45 Soedewi Masjchoen Sofwan, SH, Hukum Perdata : Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, 1981 dan Mariam Darus

Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung, 2010.

genoemde bijzondere wetten geschreven maken deel uit van het zakenrecht. Waar de bijzondere wet zwijgt, moeten wij de voor zaken in het algemeen gegeven be palingen toepassen".

Maksudnya (demikian terjemahan Mahadi) :

"Serupa seperti hak tagih, hak immaterial tidak mempunyai barang sebagai obyeknya. Juga serupa seperti hak tagih, hak immaterial termasuk kedalam "hak-hak" yang disebut Pasal 499 KUH Perdata. Oleh sebab itu hak immaterial itu sendiri bukan barang, tapi hak atas buah pikiran adalah benda, sesuatu penemuan tak dapat kita gadaikan, tapi hak oktroi dapat ; sero-sero dalam sesuatu Perseroan Terbatas dapat kita alihkan dengan hak hasil ; sero-sero itu dapat kita gadaikan. Aturan-aturan tentang penyerahan, tentang penggadaian dan lain-lain hak-hak immaterial, meskipun terdapat dalam Undang-Undang khusus, adalah bagian dari hukum benda. Untuk hal-hal yang tidak diatur oleh Undang-Undang khusus itu, harus kita pergunakan aturan-aturan yang dibuat untuk benda".47

Jadi semakin jelas bahwa jika mengacu kepada pendapat Pitlo, hak milik intelektual termasuk dalam cakupan Pasal 499 KUH Perdata, jadi ia termasuk benda, tepatnya benda tidak berwujud. Kalaupun ternyata hal tersebut tidak diatur dalam peraturan khusus, maka peraturan dan asas-asas hukum yang terdapat dalam sistem hukum benda dapat diterapkan terhadapnya.

Prof. Mahadi ketika menulis buku tentang Hak Milik Immateril mengatakan, tidak diperoleh keterangan yang jelas tentang asal usul kata “hak milik intelektual”. Kata “Intelektual” yang digunakan dalam kalimat tersebut, tak diketahui ujung pangkalnya.48 Tampaknya perlu juga ditelusuri

asal-muasal frase hak kekayaan intelektual itu.

Saya coba kembali untuk menyimak berbagai referensi dan catatan-catatan yang berkaitan dengan asal-usul kata “intellectual” (intelektual) yang ditempelkan pada kata property rights (hak kekayaan). Berbagai buku saya baca, saya juga tak memperoleh keterangan. Namun setelah saya cermati maksud dan cakupan dari istilah itu dapatlah kira-kira saya buat uraian sebagai berikut.

Hak kekayaan intelektual itu adalah hak kebendaan, hak atas sesuatu benda yang bersumber dari hasil kerja otak, 49 hasil kerja rasio. Hasil dari pekerjaan rasio manusia yang menalar.50 Itu pada satu

sisi, di sisi lain adapula hasil kerja emosional. Hasil kerja hati dalam bentuk abstrak yang dikenal

Dokumen terkait