• Tidak ada hasil yang ditemukan

PUNGUTAN EKSPOR (BK DAN CSF), SUDAHKAH

Pendahuluan

Pajak ekspor (export tax) merupakan salah satu kebijakan dalam perdagangan bebas. Tahun 2010, Indonesia menggunakan istilah bea keluar (BK) untuk kebijakan ini, dan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Tahun 2010, dan kemudian di revisi pada tahun 2011 dengan Permen Keuangan Nomor 128/PMK.011/2011. Peraturan Menteri Keuangan ini telah mengalami dua kali perubahan yakni dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.011/2012 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.011/2013.

Meski demikian, namun tidak ada perubahan tarif Bea Keluar minyak sawit.

Kemudian, Pemerintah merubah tarif Bea Keluar (BK) ekspor minyak sawit yang lama (PMK 128/2011) dan menggantikanya dengan tarif BK yang baru sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan No.136/PMK.010/2015.

Baik tarif BK yang lama, maupun yang baru, pada dasarnya sama yakni dengan pungutan secara tak langsung (indirect duty) dengan tarif ad valorem.

Perbedaannya, BK lama besaran tarif didasarkan secara relatif yakni persentasi nilai ekspor, sedangkan tarif BK baru tersebut besaran ditetapkan dalam nilai nominal (USD/ton) secara progresif sesuai dengan harga minyak sawit dunia. Dengan cara tarifikasi BK baru tersebut, administrasi pemungutannya di pabean akan lebih sederhana dan dapat dilakukansekaligus dengan

Pungutan Ekspor (BK dan CSF) Sudahkah Memberi Makna bagi Industri Sawit? 657

114/2015) yang keduanya mulai diberlakukan tanggal 16 Juli 2015.

Uraian ini ingin menganalisis apakah Tarif Bea Keluar sebagaimana ditetapkan tahun 2015 lebih baik dari Bea Keluar tahun 2011.

Tujuan Pengenaan Bea Keluar

Tujuan kebijakan pengenaan bea keluar (BK) adalah untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri, melindungi kelestarian sumberdaya alam, mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dari komoditi ekspor tertentu dipasar international, dan menjaga stabilitas harga komodisti tertentu didalm negeri. Dengan demikian, pengenaan pungutan atas barang ekapor tertentu akan berdampak negatif terhadap ekspor. (Purba, 2012)

Landasan kebijakan pemerintah mengendalikan ekspor minyak sawit dengan mengenakan pajak ekspor adalah menjaga stabilitas harga minyak goreng di pasaran domestik. Selain tingginya harga minyak goreng berdampak pada inflasi, pemerintah bermaksud menyediakan barang kebutuhan pokok masyarakat dengan harga yang terjangkau. Dalam perkembangannya jenis minyak sawit yang dikenakan pajak ekspor makin bertambah karena inovasi produk dari pelaku usaha dan meluasnya jenis permintaan dari konsumen.

Hasil penelitian empiris, menunjukkan kebijakan tersebut benar, khususnya pada tahun 2008-2011, yakni untuk melindungi industri hilir domestik, antara lain industri minyak goreng, dan menahan laju ekspor agar

bahan baku tersedia dan sekaligus menstabilkan harga minyak doreng domestik.

Dalam perkembangannya, tujuan pengenaan bea keluar tidak lagi berhenti pada penciptaan stabilisasi harga minyak goreng tapi meluas pada pengembangan industri pengolahan minyak sawit. Kebijakan tarif Bea Keluar untuk hilirisasi industri sawit bersifat eskalatif yang artinya tarif produk hulu dari minyak sawit dikenakan Bea Keluar lebih tinggi dibandingkan produk hilirnya. Hal ini bertujuan memberikan insentif bagi pelaku usaha dalam mengembangkan industri hilir di dalam negeri yang pada gilirannya nilai tambah (value added) pengolahan minyak sawit diharapkan dapat dinikmati ekonomi domestik.

CPO Supporting Fund

Perkebunan dan produk turuanan perkebunan mempunyai peranan peting dalam ketahanan pangan dan energi serta pembangunan sosial ekonomi dan lingkungan hidup, untuk itu perlu adanya kebijakan yang dapat menjamin pengembangan perkebunan secara berkelanjutan yang ditunjang dengan dana yang cukup.

Komoditas perkebunan dan turunannya berperan dalam menunjang ketahanan pangan baik untuk kebutuhan pokok masayarakat dan industri dalam negeri maupun untuk memenuhi permintaan kebutuhan international .Sedangkan untuk menunjang ketahan energy komoditas perkebunan dan turunannya antara lain berupa Crude Palm Oil (CPO) yang menjadi penunjang bahan bakar minyak yang bersumber dari energy terbarukan beruapa bahan bakar nabati(biofuel) yang pelaksanaanya secara

Pungutan Ekspor (BK dan CSF) Sudahkah Memberi Makna bagi Industri Sawit? 659

mandatory dan dilakukan secara bertahap sesuai dengan ketersediaan dan kemampuan industri bahan bakar nabati.

Sebagai komoditas ekonomi yang strategis, pengaruh hasil Perkebunan dan turunannya sangat mempengaruhi perekonomian nasional dan masyarakat yang mengembangkan perkebunan.Sebagai salah satu pengekspor produk hasil perkebunan, Indonesia semestinya dapat menjadi penentu dan pengendali harga hasil perkebunan Internasional sehingga memberikan manfaat yang optimal baik untuk kepentingan negara dalam bentuk pendapatan dari perpajakan dan bea keluar maupun bagi masayarakat dan industri pengembangan perkebunan. Untuk mendukung keberlanjutan pengembangan perkebunan diperlukan adanya dukungan dana yang dihimpun dari Pelaku Usaha Perkebunan. dana lembaga pembiayaan, dana dari masayarakat, dan /atau dana lain yang sah.(PP No.24 Tahun 2015).Dana yang bersumber dari pelaku usaha Perkebunan Kelapa Sawit meliputi pungutan atas ekspor komoditas Perkebunan Kelapa sawit dan/atau turunnya(Crude Palm Oil Supporting Fund) .Pungutan atas ekspor komoditas wajib dibayar oleh pelaku usaha perkebunan kelapa sawit dan/atau turunanya, pelaku usaha industry berbahan baku hasil Perkebunan Kelapa Sawit dan eksportir atas komoditas perkebunan kelapa sawit dan/atau turunannya.

Pembayaran pungutan atas ekspor komoditas sebesar tarif yang ditetapkan Menteri Keuangan dibayarkan dalam mata uang rupiah (Pepres No.61 Tahun 2015). Tarif Pungutan Dana Perkebunan atas Ekspor Kelapa Sawit, CPO dan/atau Produk Turunannya yang dikenakan pada pelaku usaha dan eksportir dibayar dalam mata uang rupiah

dengan kurs yang berlaku pada saat pembayaran.Tarif Iuran pelaku usaha perkebunan kelapa sawit ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Kepala Badan layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan kelapa sawit pada Kementerian Keuangan dengan pelaku usaha perkebunan kelapa sawit dengan mempertimbangkan antara lain aspek kontinuitas dan pegembangan layanan, serta asas keadilan dan kepatutan.(PMK No.114 Tahun 2015 dan PMK No.133 Tahun 2015).

CPO Supporting Fund merupakan satu paket pungutan untuk industri kelapa sawit khusunya terhadap kegiatan ekspor sawit. Besaran pungutan yang dikenakan adalah USD 50 per ton CPO dan USD 30 per tin produk turunannya. Pungutan CSF dilakukan oleh pemerintah melalui Badan Layanan Umum (BLU).Adapun penggunaan CSF tersebut akan dialokasin untuk membiayai subsidi biodiesel (untuk merealisasikan kebijakan mandatory biodiesel B-15) dan sisanya digunakan untuk dana replanting dan tujuan lain yang ditetapkan sesuai peraturan perundang – undangan yang berlaku (PASPI 2015).

Dasar pengenaan CSF apabila harga rata-rata CPO di bawah harga referensi atau patokan (treshold), harga tresholdnya adalah US$ 750 per ton, maka eksportir akan dikenakan CPO Supporting Fund sesuai dengan tarif yang sudah ditentukan.Tapi apabila harga CPO di atas harga treshold, maka harga selisihnya menjadi penerimaan bea keluar, sedangkan yang di bawah itu masuk jadi PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) BLU Sawit. Dengan demikian pelaku usaha perkebunan kelapa sawit dijamin tak akan terkena pungutan ganda (double taxation).

Pungutan Ekspor (BK dan CSF) Sudahkah Memberi Makna bagi Industri Sawit? 661

Contoh apabila harga tresholdnya US$ 750 per ton dan harga CPO tidak sampai terhadap harga tersebut, maka eksportir kena PNBP (CPO Supporting Fund). Tapi apabila harganya di atas harga threshold, maka harga sisanya atau selisihnya menjadi bea keluar.

Sejak dibelakukannya pungutan CPO Fund pada tanggal 16 Juli 2015 hingga Desember 2015 BPDP sebagai lembaga yang ditunjuk untuk melakukan penghimpunan CPO Fund telah menghimpun dana sebesar Rp 6,9 Triliun dengan volume ekspor CPO adalah sebesar 1,79 juta ton dan ekpor turunan CPO sebesar 5,23 juta ton. Hingga saat ini penggunaan dana dari Pungutan CPO Fund yang sudah disalurkan untuk mensubsidi biodiesel sebesar 0,59 triliun. Penyerapan mandatori B15 pada Tahun 2015 adalah sebesar 863 ribu kilo liter .Kebijakan mandatory pemanfaatan biodiesel di Indonesia belum berjalan dengan maksimal sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Hasmo S (2012) dimana capaian indikator kinerja pemanfaatan biodiesel pada tahun 2009 – 2011 masing – masing sebesar 15,38%, 20,73% dan 27,66%.Meskipun secara prosentase realisasi pemanfaatan biodiesel mengalami peningkatan namun secara volume kesenjangan antara target dengan ralisasi semakin besar .Faktor yang mempengaruhi penawaran biodiesel di Indonesia secara nyata adalah harga bahan baku (CPO), harga biodiesel domestic dan penawaran biodiesel tahun sebelumnya. Sedangkan kapasitas produksi tidak berpengaruh secara nyata terhadap penawaran biodiesel di Indonesia.

Tarif Lama Dan Tarif Baru

Kebijakan pajak ekspor CPO Indonesia yang lama hanya menggunakan instrument bea keluar (PMK 128/2011) yang diberlakukan secara progresif. Bea keluar baru diterapkan jika harga CPO dunia lebih besar dari USD 750 per ton dengan tarif 7.5 persen.Dengan penetapan BK secara ad valorem maka dengan meningkatnya harga CPO dunia, besaran tarif makin meningkat antara 7.5 persen sampai 22.5 persen. Pada harga CPO dunia lebih dari USD 1250 besarnya tarif BK maksimum 22.5 persen. Secara rataan untuk setiap tingkat harga CPO dunia (kecuali dibawah USD 750) pajak ekspor CPO adalah 15 persen.

Berbeda dengan kebijakan pajak ekspor yang lama tersebut, kebijakan pajak ekspor CPO baru menggunakan dua instrumen yakni BK yang baru (PMK 136/2015) dan pungutan ekspor (PMK 114/2015). Kombinasi instrument BK dan pungutan ekspor tersebut dapat dihitung besaran pajak ekspor CPO baru. Berbeda dengan BK lama yang menggunakan tarif relatif ad valorem, untuk mempermudah administrasi (unifikasi) pemungutan BK dan pungutan ekspor (levy) di pabeanan, instrumen BK baru menggunakan nilai absolut ad valorem yang dimulai pada harga CPO dunia diatas USD 750 per ton dengan tarif USD 3 per ton. Sehingga dengan tariff pungutan ekspor yang tetap sebesar USD 50 per ton maka secara total menjadi USD 53 perton atau setara dengan pajak ekspor CPO 6.8 persen.

Jika harga CPO dunia meningkat dari USD 750 menjadi USD 1000 per ton, tarif BK juga mengalami

Pungutan Ekspor (BK dan CSF) Sudahkah Memberi Makna bagi Industri Sawit? 663

terbesar yakni sebesar USD 200 per ton dipungut jika harga CPO dunia mencapai diatas USD 1250 per ton.

Sementara itu, pungutan ekspor CPO secara absolut tetap sebesar USD 50 per ton untuk setiap tingkatan harga CPO dunia. Dengan demikian, kombinasi instrumen BK dan pungutan ekspor CPO menghasilkan pajak ekspor sebesar USD 50-250 per ton atau 6.7-20 persen. Jika dihitung rataan untuk setiap tingkatan harga CPO dunia (kecuali dibawah USD 750) pajak ekspor CPO baru adalah 13.85 persen. Dengan demikian, pajak ekspor CPO yang baru tersebut lebih rendah dari pajak ekspor CPO sebelumnya.

Pajak ekspor CPO baru rata-rata 7.7 persen dibawah pajak ekspor CPO lama.

Tabel 8.1. Perbandingan Pajak Ekspor CPO Baru dan Lama

Kolom Harga CPO USD/Ton(CIF)

Tarif Absolut (USD)/Ton Pajak Ekspor

Baru (%)

Pajak Ekspor Lama/BK

PMK128 (%) BK Baru

(PMK 136)

CSF Total

1 < 750 0 50 50 6.67 0.0

2 750 – 800 3 50 53 6.84 7.5

3 800 – 850 18 50 68 8.24 9.0

4 850 – 900 33 50 83 9.49 10.5

5 900 – 950 52 50 102 11.03 12.0

6 950 – 1000 74 50 124 12.72 13.5

7 1000 – 1050 93 50 143 13.95 15.0

8 1050 – 1100 116 50 166 15.44 16.5

9 1100 – 1150 144 50 194 17.24 18.0

10 1150 – 1200 166 50 216 18.38 19.5

11 1200 – 1250 183 50 233 19.02 21.0

12 >1250 200 50 250 20.00 22.5

Gambar 8.1. Perbandingan Pajak Ekspor CPO Baru (CSF dan BK) dan Lama (BK)

Namun demikian, jika dibandingkan dengan pajak ekspor negara pesaing seperti Malaysia yang dimulai dengan 4.5 persen pada harga CPO dunia USD 750 per ton pajak ekspor CPO Indonesia yang baru tersebut masih terlalu tinggi. Sehingga dengan indikator pajak ekspor saja, daya saing CPO Indonesia sudah kalah dibandingkan dengan CPO Malaysia. Untuk produk turunan tampaknya pajak ekspor baru dengan pajak ekspor lama tidak berbeda jauh kecuali untuk RBD Palm Olein .

Hasil kajian PASPI, 2015, menunjukkan, untuk produk RBD Palm Olein, pada kebijakan pajak ekspor lama (PMK128/2011) mulai berlaku pada harga USD 750 per ton dengan tarif BK 2 persen, dan menjadi 13 persen jika harga RBD Palm Olein mencapai USD 1250 per ton.

Sehingga rata- rata tarif BK/pajak ekspor lama RBD Palm Olein sebesar 7.1 persen. Sedangkan pada kebijakan yang baru (instrumen BK baru dan pungutan ekspor) dimulai pada harga RBD Palm Olein mencapai USD 850 per ton

0 5 10 15 20 25

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Persen

Kolom Harga (1 s/d 12)

Baru Lama

Pungutan Ekspor (BK dan CSF) Sudahkah Memberi Makna bagi Industri Sawit? 665

menjadi 11.8 persen pada harga USD 1250 per ton, sehingga rataan pajak ekspor baru RBD Palm Olein setara 7.7 persen. Dengan kata lain, kebijakan pajak ekspor RBD Palm Olein yang baru lebih tinggi dibandingkan dengan pajak ekspor sebelumnya. Berbeda dengan produk RBD Palm Olein tersebut, untuk RBD Palm Olein Kemasan dan Biodiesel kebijakan pajak ekspor baru (instrument BK baru dan pungutan ekspor) lebih rendah dibandingkan dengan kebijakan sebelumnya. Untuk RBD Palm Olein Kemasan, kisaran pajak ekspor kebijakan baru adalah setara 2.1-5.5 persen atau rata-rata 3.3 persen. Sedangkan pada kebijakan sebelumnya, kisaran pajak ekspor berkisar 2-6 persen atau rata-rata 3.4 persen.Demikian juga untuk Biodiesel, kisaran pajak ekspor kebijakan baru (instrumen BK baru dan pungutan ekspor) adalah setara 2.1-6.7 persen atau rata-rata 3.5 persen. Sedangkan pada kebijakan sebelumnya, kisaran tariff ekspor berkisar 2-7.5 persen atau rerata 3.6 persen.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, maka diperoleh dua hal penting, yakni : (a) Pemberlakuan CPO Fund dan Bea keluar tidak menimbulkan doube taxation, dan (b) Pemberlakuan CPO Supporting Fund dan Bea keluar yang baru (PerkenKeu 138/2015) lebih rendah dibandingkan dengna Kebijakan tarif yang diberlakukan sebelumnya (PermenKeu No 128/2011).

Perkembangan harga CPO dunia yang cenderung menurun sejak tahun 2014 hingga saat ini menunjukkan bahwa harga CPO cenderung berada di bawah harha treshold. Meskipun ada kenaikan harga pada Juni dan Juli 2016 di atas treshold, namun prediksi harga pada tahun 2017 akan sedikit membaik, namun diperkirakan, hanya berkisar pada harga 700 hingga 750 USD/ton. Hal ini menunjukkan, pemberlakuan CPO Supporting Fund (CSF) ini memberikan penerimaan bagi negara dalam jumlah yang sangat besar. Penerimaan negara tersebut relatif tidak ada, bila tetap engacu pada ketetapan tarif BK yang lama, dimana jika harga CPO dunia di bawah harga treshold (750 USD/ton) maka penerimaan neara adalah nol.

Penerimaan CSF per tahun mencapai sekitar Rp 10 hingga 12 Trilyun rupiah. Sementara di sisi, dampak pengenaan CSF ini adalah merugikan petani. Hasil kajian PASPI (2016) menunjukkan, pemberlakuan Bea keluar (export tax), kerugian yang ditanggung petani, mencapai Rp 288 per kg atau (15.67 %). Sedangkan pada saat pemberlakuan CPO Fund kerugian petani mencapai Rp 261 per kg (16.54 %).

Kebijakan CPO Supporting Fund tersebut, maka sewajibnyalah digunakan dan dialokasikan seefektif mungkin untuk pembangunan industri kelapa sawit Indonesia, khususnya alokasi yang memadai kepada petani (yang dalam hal ini ikut menanggung beban kerugian akibat adanya distorsi harga dan penurunan harga TBS) (dengan berbagai program dan bukan hanya replanting saja). Dalam kenyataannya, program replanting pun belum tersalurkan dengan baik karena sejumlah kendala.

EVALUASI PUNGUTAN SAWIT DAN URGENSI