• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS

2. Sebagai Makhluk Sosial

Di dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial, secara naluri manusia tidak dapat hidup sendiri dan memerlukan orang lain. Pada dasarnya citra sosial perempuan merupakan citra perempuan yang erat hubungannya dengan norma dan sistem nilai yang berlaku dalam satu kelompok masyarakat tempat perempuan tersebut menjadi anggota dan mengadakan hubungan antarmanusia. Citra sosial perempuan juga menyangkut masalah pengalaman diri atau pengalaman hidup yang pernah dialami. Pengalaman-pengalaman inilah yang menentukan interaksi sosial perempuan dalam masyarakat.

Citra sosial perempuan memberi arti kehidupan baginya dan merupakan realisasi diri dalam masyarakat. Realisasinya berangkat dari perannya dalam keluarga. Peran perempuan dalam keluarga terwujud karena perkawinan, kemudian suami istri membentuk keluarga.

Sebagai perempuan dewasa, salah satu peran yang menonjol adalah perannya dalam keluarga, yaitu menyangkut perannya sebagai istri, dan sebagai ibu. Citra

Indayati dalam keluarga pada novel Mimi lan Mintuno digambarkan sebagai perempuan dewasa, seorang istri, dan seorang ibu rumah tangga. Dalam aspek keluarga, perempuan dapat berperan sebagai istri, sebagai ibu, maupun sebagai anggota keluarga, namun masing-masing peran tersebut mendatangkan konsekuensi sikap sosial, yang berbeda antara yang satu dengan lainnya. Ketika seorang perempuan menikah, akan terjadi perubahan peran dari masa lajang menuju ke sebuah jenjang perkawinan. Perubahan tersebut peran secara langsung maupun tidak langsung akan membawa tanggung jawab dan kewajiban yang berbeda dengan perempuan yang masih lajang. Perhatikan kutipan berikut.

Fitrahnya sebagai seorang perempuan sejati selaku istri atau ibu, lengkap dengan piranti rohani cinta-kasih dan kasih-sayang. Mula-mula anak dalam kehidupan insani senantiasa memberi ilham-ilham tanggungjawab kemanusiaan ibu untuk tulus berikhtiar memasuki misteri masa depannya. (Remy Sylado, 2007: 156)

Dari kutipan tersebut, dapat diketahui bahwa di dalam lingkungan sosial Indayati yang bersuku Jawa, terbentuk pelabelan mengenai “ibu” di dalam masyarakat. Permasalahan yang utama dalam labelisasi ibu adalah seorang perempuan dituntut untuk berperilaku sebagaimana umumnya yang dikehendaki masyarakat sekelilingnya. Artinya, ia harus memenuhi kriteria keibuannya, patuh pada suami, menjaga anak dengan baik dan menganggap bahwa pekerjaan yang tidak dibayar ini adalah pekerjaan yang paling mulia

Dalam novel Mimi lan Mintuno citra Indayati dalam keluarga hadir sebagai sosok individu yang harus menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga dengan berbagai rutinitas pekerjaan domestik. Citra Indayati dalam keluarga menggambarkan perempuan yang tergantung pada laki-laki dari segi ekonomi, sebab setiap hari

Indayati terkungkung dalam kesibukan rutin pekerjaan rumah tangga, dan pekerjaannya tersebut tidak menghasilkan uang, seperti dalam kutipan berikut. “...konco wingking yang tempatnya melulu di dapur mengiris-ngiris brambang, nyulak-nyulaki kursi, nyapu-nyapu teras, ngosek-ngosek kakus, ngelus-ngelus burung.” (Remy Sylado, 2007: 9).

Melalui kutipan tersebut, diketahui bahwa pada novel Mimi lan Mintuno,

Indayati dicitrakan sebagai perempuan yang berada dalam kesulitan karena dalam lembaga perkawinan, suaminya cenderung bersikap menguasai dan mengendalikan lembaga perkawinan atau lembaga keluarga dengan menyudutkannya melalui berbagai rutinitas pekerjaan rumah tangga.

Indayati merupakan perempuan yang bercita-cita mengembangkan dirinya menjadi sosok yang mandiri secara intelektual, untuk itu Indayati menempuh pendidikan di Sekolah Asisten Apoteker di Semarang setelah menyelesaikan sekolahnya, Indayati bekerja di sebuah apotek besar di Ungaran. Perempuan yang memandang pendidikan penting baginya dan mandiri secara ekonomi seperti Indayati didukung sepenuhnya oleh gerakan feminis. Namun, sayang sekali setelah menikah Indayati terpaksa meninggalkan pekerjaan tersebut karena Petruk suaminya melarang bekerja dan meminta Indayati memfokuskan diri sebagai ibu rumah tangga. Perhatikan kutipan berikut.

Dulu, sebelum kawin dengan Petruk, dia bekerja di Apotek besar di Ungaran. Dia keluar dari situ, sebab setelah nikah dengan Petruk, suaminya ini melarangnya bekerja. Petruk memang tipe lelaki Indonesia tradisional yang ngotot mempertahankan nilai-nilai hidup `djaman doeloe` yang sudah kadaluarsa, bahwa perempuan adalah semata-mata konco wingking yang tempatnya melulu di dapur. (Remy Sylado, 2007: 9)

Setelah keluar dari pekerjaannya sebagai apoteker, Indayati tidak mandiri secara ekonomi dan menggantungkan suaminya dalam hal mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka. Ketergantungan atau ketidakmandirian perempuan secara ekonomi ditengarai menjadi faktor utama yang “melumpuhkan” perempuan, sebab membuat perempuan kurang mampu mewujudkan potensi diri mereka dengan sepenuhnya. Selain itu, ketergantungan perempuan terhadap suami dalam segi ekonomi, ditengarai menjadi faktor penyebab terjadinya KDRT. Berkaitan dengan hal itu, suami yang menjadi pemegang peran penting dalam perekonomian rumah tangga menjadi mudah bertindak sewenang-wenang terhadap istri .

Kebangsaan atau suku keturunan Indayati adalah suku Jawa, yang masih cenderung memegang teguh tradisi dan dalam bersikap cenderung berpijak nilai-nilai tradisi. Hal tersebut termaktub dalam beberapa ungkapan yang di ucapkan orang tuanya ketika memberikan wejangan. perhatikan kutipan berikut.

Lihatlah, sungguh setia mimi terhadap mintuno, dan sebaliknya. Kesimpulannya, sedangkan hewan yang cuma punya naluri, bisa setia dalam berpasangan hidup, apalagi semestinya manusia yang memiliki akal-budi, nalar, hati (Remy Sylado, 2007: 283).

Manawa kowe nesu, aja nganti gawe dosa. Srengenge aja nganti angslupn sadurunge nesumu ilang.” (Remy Sylado, 2007: 283). Apabila ungkapan tersebut dialihbahasakan dalam bahasa Indonesia menjadi “Bilamana kamu marah, jangan sampai berbuat dosa. Jangan sampai matahari keburu terbenam sebelum marahmu hilang.”

Orang tua Indayati bertempat tinggal di Muntilan, begitu juga Indayati, dia lahir dan dibesarkan di daerah tersebut. Setelah menyelesaikan pendidikan SMU-nya, Indayati berpindah ke Semarang untuk menempuh pendidikan di Sekolah Asisten Apoteker, setelah menikah dengan Petruk, dia bertempat tinggal di Gunungpati, Semarang. Dalam segi spiritual, Indayati dan keluarganya menganut agama Islam sehingga pandangan hidup Indayati dipengaruhi oleh ajaran dan norma-norma agama Islam

Dalam novel Mimi lan Mintuno stereotip-stereotip tradisional terlihat menandai citra Indayati sebagai makhluk sosial, antara lain ditunjukkan oleh superioritas laki-laki dalam kultur masyarakat Indayati. Dalam keluarga suku Jawa seorang anak laki-laki mendapat tempat yang lebih tinggi dari pada perempuan. Ia akan lebih diutamakan daripada anak perempuan dalam segala aspek hidupnya. “Sebelum kawin dengan Petruk, dia bekerja di apotik besar di Ungaran. Dia keluar dari situ, sebab setelah nikah dengan Petruk, suaminya ini melarangnya bekerja” (Remy Sylado, 2007: 283). Dalam posisi demikian, secara sadar ataupun tidak sadar Indayati terpaksa menerima dan menyetujuinya sebagai sesuatu yang semestinya terjadi karena perempuan yang hidup dalam lingkungan tersebut sangat sulit untuk keluar dari nilai-nilai tradisional yang telah ada.

Dokumen terkait