• Tidak ada hasil yang ditemukan

Secondary Bioassay

BAB 5 TEKNOLOGI EKSTRAKSI DAN STANDARDISASI EKSTRAK

6.1. Pengujian In Vitro

6.1.2. Secondary Bioassay

Secondary bioassaymerupakan pengujian yang melibatkan prosedur dan tehnik yang lebih detail hingga ke tingkat molekular untuk mengetahui mekanisme aksi suatu produk/obat. Pengujian ini dapat menghilangkan false-positiveyang terjadi saat primary bioassay sehingga pada umumnya sampel aktif akan lebih terseleksi pada tahapan

secondary bioassay. Kapasitas pengujian ini terhadap sampel lebih rendah, membutuhkan waktu pengujian yang lebih lama dan biaya yang cukup banyak. Di dalam pengembangan obat herbal, metode primary bioassay dan secondary bioassay perlu dioptimasi sebelum dilakukan kedua pengujian tersebut seperti yang tercantum pada Gambar 6.3.

Sumber: bahan presentasi oleh Padmalayam Gambar 6.3 Alur pengujian primary bioassay dan secondary bioassay dalam pengujian

preklinik secarain vitro

Sebagai ilustrasi, penggunaanprimarydansecondary bioassaypada pengujian preklinik secara in vitro untuk pengembangan produk antidiabetes tersaji pada gambar 6.4

Pengembangan Metode: HTS danSecondary bioassay

HTS/Primary bioassay(dosis tunggal)

Validasi sampel aktif dengan penetapan IC50 (konsentrasi yang menghasilkan 50% potensi)

Gambar 6.4 Primary bioassay dan secondary bioassay untuk pengujian pre-klinik secara in vitro untuk pengembangan obat herbal antidiabetes

Pengembangan sediaan OHT dan fitofarmaka perlu didukung dengansecondary bioassay. Dukungan data mekanisme aksi produk hingga ke tingkat seluler dan molekular mampu memberikan nilai tambah dan nilai jual. Evaluasi pathway senyawa aktif akan memperjelas mekanisme kerja produk tersebut dalam menyembuhkan suatu penyakit. Bukti ilmiah tersebut akan meningkatkan mutu dan kualitas produk uji sehingga dapat meyakinkan kalangan medis untuk menjadikan sediaan OHT/fitofarmaka sebagai alternatif obat di dalam sistem pelayanan kesehatan formal.

Perkembangan teknologi secara in vitro berbasis sel telah mengalami perkembangan pesat, antara lain dengan terdapatnya berbagai macam teknologi sebagai berikut :

200 ekstrak

50 ekstrak Primary Bioassay/HTS antidiabetes:

MetodeGlucose Uptake

Skrining/HTS: Sampel berjumlah 1000 ekstrak (dosis tunggal)

Validasi sampel aktif dan penetapan IC50:

- Uji sitotoksisitas untuk mengeliminasi sampel yang toksik. Uji dilakukan menggunakan sel normal dengan metode MTT

- Uji penetapan IC50 (konsentrasi dengan potensi 50%)

Secondary bioassay: Uji ekspresi GLUT-4 dan PPARϒ dengan Western Blot atau RT-PCR

a. Kultur dan bioassayin vitrosistem 3 dimensi

Pengujian in vitro berbasis sel pada umumnya menggunakan kultur satu lapisan menggunakan flask atau plate dengan sel yang menempel atau mengambang didalamnya yang disebut kultur sistem 2 dimensi. Kultur sel sistem 2 dimensi terdiri dari satu lapisan sel yang rata dimana tiap sel akan mendapatkan nutrisi dan faktor pertumbuhan secara homogen saat pertumbuhan. Keadaan ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan keadaan yang sebenarnya didalam tubuh, dimana sel berada didalam jaringan yang dikelilingi oleh extracellular matrix (ECM). Kondisi yang berbeda ini tentu akan menimbulkan respon seluler yang berbeda pula antara kultur sel secara 2 dimensi dengan sel didalam jaringan tubuh/in vivo, antara lain diferensiasi, apoptosis, ekspresi gen dan protein, respon terhadap rangsangan, metabolisme obat dan fungsi sel lainnya. Dengan demikian kultur sel sistem 2 dimensi belum cukup menggambarkan keadaan in vivo. Selain itu hasil pengujian aktifitas obat menggunakan metode kultur sel 2 dimensi masih lemah dan lebih dari 90% obat yang aktif dalam uji preklinik in vitro menggunakan metode kultur 2 dimensi belum memberikan efek/aktivitas yang diinginkan saat uji klinik dengan pasien.

Dalam dua dekade terakhir beberapa peneliti mulai mengembangkan kultur sel 3 dimensi yang lebih “mirip” dengan sel dan lingkungannya di jaringan tubuh, sehingga keadaan yang terjadi pada 3 Dimensi lebih mencerminkan respon sel secara in vivo. Adanya interaksi sel dengan sel secara 3 dimensi dan interaksi sel dengan matrix secara intens serta transport nutrisi secara komplek mampu menjaga homeostasis dan keadaan jaringan sesuai keadaan didalam tubuh. Respon seluler terhadap pemberian obat pada kultur sel 3 dimensi telah terbukti lebih menyerupai yang terjadi pada kondisi in vivo jika dibandingkan dengan kultur 2 dimensi. Pada kasus kanker, beberapa penelitian menemukan bahwa sel yang dikultur secara 3 dimensi lebih resisten terhadap obat antikanker jika dibandingkan dengan pengujian secara kultur sel 2 dimensi. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan ekspresi gen dan protein pada kultur 3 dimensi, yang

menyebabkan adanya perbedaan dalam respon seluler termasuk pertumbuhan dan proliferasi, migrasi dan invasi, morfologi dan sensitivitas obat.

Teknologi kultur sel sistem 3 dimensi terdiri dari 2 pendekatan yaitu pendekatan “top-down” dan pendekatan “bottom-up”. Pendekatan top down menggunakan

biodegradable scaffold dan hydrogel. Biodegradable scaffold dan hydrogel yang biasa digunakan adalah polimer seperti poli (asam laktat), poli (asam glikolat), alginat dan kolagen yang disusun untuk membangun rangka tempat sel-sel untuk hidup. Dalam sistem kultur sel 3 dimensi jenis sel yang diinginkan dapat dikontrol demikian juga alur pertumbuhan sel. Sedangkan pendekatan bottom up merupakan gabungan dari 2 metode yaitu metode berbasis sel dan metode berbasis sel dan polimer.

b. Uji farmakokinetik sistem in vitro

Absorbsi, distribusi, metabolisme, dan eliminasi merupakan serangkaian proses yang dialami oleh obat didalam tubuh. Obat yang diminum harus dapat terabsorbsi, terdistribusi, dan termetabolisme dengan baik agar dapat masuk kedalam sel target dengan dosis yang sesuai sehingga dapat menghasilkan aktivitas yang diinginkan. Selain itu sisa hasil metabolisme obat yang tidak terpakai juga harus dapat tereliminasi dengan baik agar tidak menimbulkan toksisitas yang tidak diinginkan. Saat ini uji farmakokinetik untuk pengembangan dan penemuan obat masih banyak menggunakan hewan uji sebagai objek percobaan tetapi pemakaian hewan uji membutuhkan waktu lama dan memerlukan bahan yang banyak sehingga uji farmakokinetik saat ini berkembang kearah absorbsi in vitroatauin situdan metabolismein vitro.

Pendekatan secara in vitro dan in situ saat ini yang banyak digunakan untuk pengukuran absorbsi suatu obat adalah melalui permeabilitas intestinal. Metode tersebut antara lain; (1) perfusi single pass pada intestinal tikus secara in-situ; (2) rat everted intestinal ring; (3) in vitro human colon adenocarcinoma. Pendekatan dengan ketiga metode tersebut hanya dapat digunakan bila absorbsi obat melalui difusi pasif.

Secara in vitro, pengukuran kecepatan absorbsi suatu obat dapat menggunakan sel kolon adenocarcinoma CaCo2. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Artursson dan

Karlsson pada pengukuran kecepatan absorbsi 20 obat menggunakan sel CaCo2, didapatkan koefisien permeabilitas yang cukup bagus, yaitu >1 × 10 cm/detik. Tetapi sel ini mempunyai beberapa kelemahan, antara lain: membutuhkan waktu kultivasi cukup lama 21 hari untuk siap digunakan dalam pengukuran koefisien permeabilitas, dan transport obat serta ekspresi enzim yang lebih mencerminkan kolon/usus besar dibandingkan dengan usus kecil dimana tempat absorbsi obat terjadi didalam tubuh. Selain CaCo2, beberapa peneliti menggunakan selMadin-Darby Canine Kidney(MDCK) untuk pengukuran koefisien permeabilitas dalam absorbsi obat. Sel MDCK akan berdiferensiasi menjadi columnar epitelium dan akan membentuk membrane semipermeable yang rapat. Beberapa studi menyebutkan data permeablitas menggunakan sel MDCK tidak jauh berbeda dengan data permeabilitas menggunakan sel CaCo2. Waktu kultivasi sel yang dibutuhkan untuk pengukuran yang relatif lebih singkat yaitu hanya 3 hari menjadikan sel ini lebih baik untuk pengujian. Sel ini juga dilaporkan mengekspresikan protein transporter dan enzim metabolisme dalam konsentrasi rendah sehingga sel ini lebih cocok digunakan untuk pengukuran permeabilitas bagi obat yang diabsorbsi secara difusi pasif. Pengukuran intestinal sitokrom P450 (CYP) 3A4 padametabolism first-passdidalam sel hati secara in vitro tidak mudah dilakukan. Beberapa studi menyebutkan penggunaan transfeksi CYP3A4 pada sel CaCo2, MDCK, dan LLC-PK1 digunakan untuk pengukuran permeabilitas dan metabolisme intestinal.

Metoderat everted intestinal ring merupakan metode pengukuran absorbsi obat yang paling bagus dibandingkan dua metode lainnya. Metode ini merupakan pendekatan

in situ dengan mempertimbangkan anatomi dan fisiologi. Metode ini tidak hanya dapat digunakan untuk obat dengan absorbsi difusi pasif tetapi juga digunakan untuk absorbsi aktif transporter sebagai senyawa pembawa. Tetapi metode ini juga mempunyai beberapa kelemahan, antara lain kesulitan teknik isolasi dan keterbatasan jaringan intestinal yang diperlukan untuk pengujian sampel atau obat dalam jumlah banyak.