• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Kehidupan Paku Buwono X

BAB IV. HASIL PENELITIAN

3. Sejarah Kehidupan Paku Buwono X

Sri Susuhunan Paku Buwono X adalah putra dari Sinuhun Paku Buwono IX dari permaisuri Kangjeng Ratu Paku Buwono, putri dari Pangeran Hadiwidjojo ke-II. Sinuhun Paku Buwono IX adalah putra dari Sinuhun Paku Buwono ke-VI, yang dibuang ke Ambon karena melawan Belanda. Jadi Sinuhun Paku Buwono X adalah cucu dari Sinuhun Paku Buwono VI, maka dalam garis perjuangannya melawan kekuasaan Belanda, Sinuhun tidak pernah mengabaikan pesan dan terus melanjutkan perjuangan jejak kakeknya. Ingkang Sinuhun Sri Susuhunan Paku Buwono X dilahirkan pada hari Kamis Legi tanggal 22 Rejeb 1795 Jawi, atau 29 Nopember 1866 M jam 7 pagi dan dinobatkan sebagai Pangeran Adipati Anom. Setelah dinobatkan menjadi Pangeran Adipati Anom, sang Adipati diberi gelar

Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengkunegoro Sudibjo Rojo Putro

Narendra Mataram Ingkang Kaping V, untuk kerajaan Surakarta Hadiningrat.

Sinuhun Paku Buwono IX keras dalam mendidik puteranya. Sang putra digembleng dalam segala ilmu, dalam ilmu kebathinan, dalam ilmu menuntut ajaran-ajaran Jawa peninggalan leluhur, agar kelak tumbuh menjadi manusia yang berbudi luhur, berwatak utama, adil dan bijaksana, hal yang merupakan syarat menjadi Ratu. Pendidikan untuk ilmu barat juga diberikan, dengan mendatangkan guru-guru di keraton, karena semua pendidikan dilakukan dalam keraton (R.M Karno, 1990: 24-27).

K.G.P. Adipati Anom menyadari bahwa syarat untuk menjadi Raja ialah menguasai segala ilmu yang ada, yang nantinya perlu untuk bekal dalam mengatur negara, baik itu ilmu kebatinan dan ajaran-ajaran Jawa lainnya sebagai warisan dari leluhur, agar kelak menjadi manusia yang berbudi luhur dan berwatak utama, maupun ilmu dari barat agar dapat mangikuti dan memahami keadaan dunia. Segalanya ini dipelajari di Dathulojo (keraton), segala macam guru baik dalam

commit to user

ilmu barat maupun ilmu ketimuran didatangkan ke Keraton. Karena itu setelah K.G.P. Adipati Anom naik tahta menjadi Raja, maka beliau menjadi raja yang arif, adi dan bijaksana, seorang Raja yang wicaksono dan waskito (R.M Karno, 1990: 35).

Pendidikan diberikan secara Jawa yang diikuti Pangeran Adipati Anom, meliputi berbagai bidang, antara lain: (1) pengetahuan mengenai kesusateraan, agama termasuk mengaji, besi aji, dan segala hal tentang kuda; (2) kesenian termasuk seni tari; (3) keterampilan menggunakan senjata seperti keris, pedang, dan tombak secara timur, pencak silat dan bermain pedang secara Barat; (4) olahraga, seperti berenag dan bermain kuda; (5) pendidikan dari buku-buku lama dan ajaran dari ayahnya yang terkumpul dalam serat-serat piwulang Jawa; (6) pengetahuan psikologi, kejiwaan; (7) pelajaran bahasa seperti Arab, Melayu, Belanda (Purwadi, dkk, 2009: 5).

Ayahanda Sunan yaitu Sunan Paku Buwono IX wafat pada hari Jumat Legi 28 Ruwah Je 1822 atau 1893 M. Pada tahun yang sama, hari kamis Wage tanggal 12 bulan Siyam, K.G.P Adipati Anom dinobatkan menjadi Noto (Raja) manggantikan sang ayah dengan gelar Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sunan Paku Buwono Senopati Ing Ngalogo Ngabdurahman Syidin Panotogomo

Ingkan Jumeneng Kaping Sadasa Ing Nagari Surakarta Hadiningrat atau

ringkasnya Sunan Paku Buwono X. Adapun sebutan “Sajidin Panotogomo” tidak

hanya sebutan tradisional belaka, sebab semalam sebelum upacara penobatan Sang Calon Raja pergi ke masjid Paromosono (sekarang Bandengan, dahulu sebelah barat dari pandopo Parangkarso) dengan pakaian serba putih (R.M Karno, 1990: 28). Pemerintah Hindia Belanda menaikkan pangkat militernya menjadi Mayor Jenderal. Pemberian pangkat militer secara tituler oleh Belanda kepada raja-raja Jawa telah dimulai sejak pemerintahan Paku Buwono VII, raja pertama kerajaan Surakarta yang memerintah tanpa daerah mancanegara (Purwadi, dkk, 2009: 7).

Orang-orang yang dianggap sebagai guru yang menuntun hidupnya pertama-tama adalah ayahanda sendiri Sinuhun Paku Buwono IX. Selain itu juga para kesepuhan yang oleh Sinuhun sering diajak sarasehan tukar ilmu, seperti

commit to user

eyang dalem Kusumoyudo ke-II, yang dimakamkan di Lawean, Kyai Surosemito dan Ngabehi Reksoniti. Jika ayahanda Paku Buwono IX, digambarkan sebagai Prabu Bolodewo, sakti mendoroguno, teteg, teguh pribadinya, maka Paku Buwono X digambarkan sebagai Prabu Yudhistira, asih paramarta lahir batin,

wicaksono narendrotomo sang Jayeng Katon (R.M Karno, 1990: 42).

b. Kepribadian

Banyak anggapan yang menilai Sunan Paku Buwono X adalah seorang raja yang hanya berkuasa dalam lingkup keraton. Sekalipun menjadi raja, berkuasa di keraton dan dan di wilayahnya, tetapi Paku Buwono X bukan orang yang merdeka sepenuhnya. Raja dipandang begitu tinggi oleh rakyatnya, namun Paku Buwono X tidak pernah menjadi orang bebas. Sunan terikat bermacam bentuk aturan, sehingga untuk keluar dari keratonnya saja perlu ijin residen. Ia adalah “tawanan” di keratonnya sendiri. Tidak aneh jika kemudian beliau mengembangkan lebih banyak politik simbolis daripada politik substantif (Kuntowijoyo, 2004: 19).

Paku Buwono X merupakan seorang yang elusif (sukar dipahami), membingungkan, dan dianggap enteng oleh serangkaian residen dan gubernur yang ditempatkan di Surakarta selama masa pemerintahannya yang panjang (1893-1939). Beberapa di antara pejabat itu memberikan penilaian tentang Sunan. Seperti yang diperlihatkan dalam uraian Residen G.F van Wijk (1909-1914) dalam George D. Larson (1990: 43-44) yang menilai Sunan Paku Buwono X:

Raja ini menurut dan mempunyai perangai yang sangat lemah. Ia ingin melakukan hal yang tepat tetapi tidak berani menonjolkan dirinya karena takut akan konflik dengan anggota keluarganya atau dengan pegawai tinggi istananya. Ia sangat sombong dan memberi kesan sebagai seorang anak manja. Kesalahan besar dimulai ketika ia dijadikan putra mahkota pada usia tiga tahun; sejak itu tak seorang yang berani menolak sesuatu yang diinginkannya; ia tak pernah menghayati dunia dalam keadaan yang sebenarnya; selalu dikelilingi kelompok pengikut yang besar yang hanya mengeluarkan kata-kata sanjungan dari mulut mereka, semuanya disajikan kepadanya secara palsu, dan ia telah menjadi seorang raja yang lemah dan bersifat kewanitaan. Ayahnya menganggap tidak perlu memberi asuhan yang patut kepadanya; ia hanya belajar menulis aksara Jawa dan melayu; berhitung ia tak tau sama sekali. Saya menyadari hal ini untuk pertama

commit to user

kali ketika pernah bersama-sama dengan saya ia mau mengetahui berapa banyak tombak yang dilaluinya dalam satu jam dengan mobilnya; dari pandangan mata pangeran yang cemas saya sudah bisa melihat betapa tinggi mereka memandangnya dalam hal ini; dan tak ada yang dihitungnya dengan benar. Ketika ia masih pangeran mahkota ia belajar berbahasa Belanda sedikit secara diam-diam, ayahnya melarangnya tetapi hasilnya amat kurang. Perhatian satu-satunya adalah „perempuan‟, dan keadaan ini agaknya akan tetap begitu… Tak perlu dikatakan bahwa tak banyak yang akan dihasilkan oleh seorang yang berperangai lemah dan dibesarkan dalam lingkungan seperti itu serta mempunyai hiburan demikian. Supaya sehat ia berhenti minum minuman keras dan tidak merokok sejak lama…Salah satu sifat yang paling menonjol adalah kelakuannya yang dermawan; ia selalu mau membantu atau menyenangkan hati orang. Ia juga sopan dan suka melayani; salah satu kekurangannya adalah bahwa ia tak mengenal nilai uang…Sunan tidak memiliki pengertian sekecil apapun tentang urusan-urusan resmi; sejak awal dari masa jabatanku saya selalu secara pribadi merundingkan urusan-urusan penting dengan beliau. Akan tetapi ia tak pernah berani mengambil keputusan sendiri karena ia takut terhadap kelompok yang mengelilinginya, terutama terhadap wazir.

Paku Buwono X merupakan suatu sosok kekuasaan “Jawa” yang tak tampak disekelilingnya setiap hari dibangun wibawa. Namun ada desas-desus bahwa raja diam-diam memiliki kesenangan tambahan dari medali-medalinya, suatu kesenangan yang melebihi kesenangan normal yang diperoleh dari memiliki dari sedemikian banyak medali itu. Setelah tugas-tugas hari itu selesai dan dibagian dalam keratonnya, Pakubuwono X dikatakan sering memerintahkan abdi

dalem keraton untuk menyematkan jajaran medali-medali kehormatan

dipunggungnya, Raja kemudian duduk megah, tersenyum-senyum sendiri. Beberapa abdi dalem mengatakan bahwa ini adalah tindakan protes terhadap campur tangan Belanda dalam urusan-urusan keraton, yang lain mengatakan bahwa walau Pakubuwono X dianugerahi tubuh yang sedemikian besar, namun Raja masih kekurangan tempat untuk memasang semua kehormatan yang dipersembahkan kepadanya. Apapun kebenarannya, desas-desus itu manunjukkan adanya status yang terlalu berlebihan dari wibawa para Pakubuwono abad-20, dan terutama adanya suatu dunia tersembunyi yang terletak dibalik penampilan- penampilan keagungan seremonial keraton. Pakubuwono X lebih merupakan serang eksentrik dalam ruang tertutup, yang kosmos pribadinya membatasi dirinya

commit to user

sementara kosmos itu sendiri juga terbatas, sebagaimana ditunjukkan oleh kisah medali-medali kehormatan itu (John Pemberton, 2003: 166-167).

Kebanyakan laporan Belanda tentang Susuhunan menggambarkan sebagai seorang pesolek, lemah, dan agak bodoh, tetapi setia kepada keluarga raja Belanda dan pemerintah Hindia-Belanda. Hal itu terbukti dari kebiasaannya memamerkan tanda-tanda kehormatannya secara berlebihan dan kegemarannya menggunakan pakaian resmi (George D. Larson, 1990: 44). Meskipun ia tidak banyak memiliki pengetahuan teknis atau minat terhadap soal keuangan dan administrasi kerajaannya, tetapi ia sangat menaruh perhatian terhadap dua hal yaitu upacara da politik. Hal ini terlihat dari peranan Susuhunan paku Buwono X yang selalu memberikan bantuan moril dan keuangan kepada Sarekat Islam Suarakarta.

Pada dasarnya Sri Susuhunan Paku Buwono X memiliki sifat-sifat yang patut ditiru, antara lain:

1. Kepribadian yang kuat, dalam arti bahwa beliau memiliki disiplin diri yang kuat. Jika menghadapi orang yang bertentangan dengan pendirian sendiri tidak dihadapi secara keras, seolah-olah mengadu kekuatan, melainkan dihadapi dengan sikap yang lentur walaupun tanpa mengubah pendirian diri sendiri.

2. Kemampuan menganalisa yang tajam, hingga dapat menyadari apa yang sungguh penting bagi masa depan.

3. Perasaan yang halus dan tidak suka menyakiti orang lain, lebih suka membuat orang lain senang, hingga member kesan yang keliru bahwa beliau seolah-olah tidak memiliki keberanian.

4. Keterbukaan terhadap hal-hal yang baru yang bermanfaat bagi rakyat dan negaranya.

5. Rasa keadilan yang tinggi. (R.M Karno, 1990: 42)

Sri Susuhunan Paku Buwono X yang setelah wafat berganti nama menjadi Minulyo soho Wicaksono. Hasil karyanya berupa:

a. Pemugaran dan pembangunan Keraton Surakarta Hadiningrat. b. Pemugaran listrik di keraton dan di tempat-tempat yang penting.

commit to user

c. Pembangunan Taman Sriwedari, Museum Radyapustaka, Stadion

Sriwedari, pemancar radio, S.R.I

d. Membangun pasar-pasar (pasar Gedhe Harjonagoro), sekolah-sekolah, masjid-masjid, jembatan-jembatan besar, tanggul dan irigasi.

e. Macam-macam pembangunan lainnya dibidang pertanian, pendidikan,sosial budaya.

f. Dibidang Pendidikan g. Dibidang politik

h. Dalam Bidang Ekonomi

Sinuhun memerintahkan untuk mendirikan sebuah bank yang diberi nama

Bondo Lumakso” yang secara harfiah barati “harta berjalan atau

bergerak”. Sinuhun juga mendirikan sebuah pabrik gula di Delanggu dan sebuah pabrik serat nanas di Karanggeneng yang masing-masing dipimpin oleh seorang Belanda. Selain itu juga didirikan pabrik teh beserta kebunnya di Ampel, dibawah pimpinan R.M Sayogo Brotodjojo yang telah disekolahkan pada Cultuur School di Deventer, Belanda. Dan juga diadakan pula penanaman tembakau untuk pembuatan cerutu dibawah pimpinan seorang Belanda.

i. Dalam Bidang Sosial

Secara rutin setiap hari kamis malam, Sinuhun beserta pengikutnya mengadakan perjalanan keliling Solo, semula dengan naik kereta, kemudian dengan naik mobil untuk mencari angin sambil menyebar mata uang sen, gobang dan sebagainya kepada rakyat yang berkerumun dipinggir jalan melihat rajanya berlalu dengan pelan-pelan. Orang-orang miskin dan para pengemis tidak dilupakan oleh Sinuhun. Mereka dibuatkan sebuah rumah besar oleh Sinuhun yang diberi nama

“Wangkoeng” disebelah barat Lawean. Di rumah itu mereka mendapatkan

pendidikan ketrampilan dalam membuat peralatan rumah tangga (R.M Karno, 1990: 46-49).

Anggapan orang bahwa keraton adalah tempat untuk makan enak dan berfoya-foya saja, atau putra raja makan enak dan berfoya-foya saja adalah salah.

commit to user

Keraton oleh Paku Buwono X dijadikan tempat untuk mendidik dan menggembleng para putra, sentana, dan kerabat keraton. Seluruh penghuni keraton diwajibkan tekun menuntut ilmu termasuk ilmu kebatinan, belajar topo

broto, sesirik dan segala ilmu kejawen lainnya termasuk menekuni segala

kesenian, agama dan lainnya. Sri Susuhunan Paku Buwono X dalam hidupnya sehari-hari tidak pernah mengeluh, tingkah lakunya tetap sama tidak pernah berubah (ajeg), sangat disiplin dan memiliki rasa tanggungjawab besar, selalu bersikap keras terhadap putra-putrinya akan tetapi penuh kasih sayang. (R.M Karno, 1990: 97).

Orang-orang Surakarta dewasa ini mengenang Pakubuwono X (bertahta 1893-1939) sebagai Paku Buwono yang terbesar. Penilaian ini sebagian adalah karena Paku Buwono X satu-satunya Paku Buwono yang berasal dari zaman penjajahan yang masih diingat oleh orang-orang tua Surakarta sekarang ini, termasuk orang-orang yang dulu mengabdi di keratonnya yang sibuk dengan segala macam upacara. Paku Buwono X dikenang sebagai raja Surakarta terakhir yang memiliki kewibawaan sejati seorang raja. Dengan demikian, Paku Buwono yang “sejati” yang terakhir dan karena itu, dari perspektif orang Surakarta, raja Jawa sejati yang terakhir. Lamanya bertahta menyebabkan Paku Buwono mengalami masa perubahan besar dalam perpolitikan Hindia Timur dan dalam kehidupan Surakarta sehari-hari (John Pemberton, 2003: 155).

Paku Buwono X hidup dalam sampai usia tujuh puluh dua tahun, walau menjelang usia tiga puluh tiga pada tahun 1899 kesehatannya dinilai kurang karena suka minum-minum. Namun sampai lama Paku Buwono X dapat bertahan dalam dunia yang seperti itu, semakin terlihat wibawanya sebagai raja dimata beberapa generasi rakyat Surakarta yang menjadi dewasa selama kekuasaannya. Yang seakan-akan semakin menonjolkan wibawanya yang besar itu adalah kebesaran tubuh Kanjeng Sunan ini. Sebuah tubuh yang menggelembung yang semakin tahun semakin membesar seakan-akan untuk memberi tempat medali- medali kehormatan dari luar negeri yang semakin bertambah jumlahnya. Pakubuwono X hidup seakan-akan sebagai perwujudan puncak sejarah Pakubuwanan, tetapi dia melakukan itu sebagai suatu peringatan besar bahwa

commit to user

sebuah transformasi besar sedang berlangsung , bahwa dunia sedang akan berlalu (John Pemberton, 2003: 156-157).

Paku Buwono sangat mementingkan simbol-simbol budaya. Kalau Paku Buwono X sungguh-sungguh menjalankan kerajaaannya, maka ia akan dituduh berusaha jadi kaisar Jawa atau terpengaruh cita-cita Pan-Islamisme (bersimpati pada Sarekat Islam) (Kuntowijoyo, 2004: 21). Dengan sifat beliau yang bijaksana serta berbagai hasil karya dan perannnya dalam berbagai bidang, terutam dalam bidang pendidikan dan politik inilah yang nantinya membawa Sunan dalam peran yang sangat besar yaitu dalam usahanya membangun kehidupan politik di Surakarta dan perjalanan Pergerakan Kebangsaan di Surakarta pada abad ke-20.

4. Membangun Landasan Kehidupan Politik