• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PROFIL NAGORI TIGA RAS

II. 4. 2 Maujana Nagori

II.6 Sejarah Nagori di Simalungun

Nama Simalungun menurut sumber lisan turun-temurun berasal dari bahasa simalungun Sima-sima dan lungun. Sima-sima artinya peninggalan dan lungun

artinya “yang dirindukan” atau “sepi”. Dahulu pada abad ke-6 atau sekitar tahun 500 Masehi pada masa kerajaan Nagur yang merupakan kerajaan pertama di Simalungun, daerah ini pernah dilanda penyakit sampar (kolera) yang parah sehingga banyak yang meninggal. Akibatnya orang simalungun harus mengungsi keluar dari Nagur menyeberang keseberang Laut Tawar atau Bah Sibongbongan atau yang disebut Danau Toba sekarang dan sampai ke Samosir. Nama Samosir tersebut berawal dari orang Nagur “sahali misir” (Sekali berangkat keseberang). Setelah beberapa tahun, pengungsi ini merasa daerah Nagur sudah aman dari wabah penyakit mematikan itu. Mereka kembali kedaerah asalnya di Nagur dan melihat daerah itu sudah sepi, mereka merindukan daerah itu (malungun) dan sadar bahwa yang tertinggal hanya “sima-sima” (peninggalan) saja. Demikianlah nama daerah itu kemudian dikenal dengan nama “ Simalungun”.

Orang Simalungun asli (turunan raja-raja Simalungun) membantah nenek moyangnya berasal dari keturunan orang Batak dari Tapanuli seperti diceritakan

67

dalam tarombo (silsilah) orang Batak Toba. Orang simalungun meyakini bahwa nenek moyangnya datang dari Tanah India yang awalnya bertempat disekitar pesisir Timur (Serdang Bedagai dan Batu Bara sekarang) dan mendirikan kerajaan yang pertama yang bernama Nagur (seperti nama daerah asalnya di India Kerajaan “Nagpur” atau “Nagore”). Raja yang pertama bernama Datuk Parmanik-manik

yang selanjutnya berubah menjadi Damanik (“Da” artinya “sang” dan “Manik” artinya “Berwibawa”). Inilah marga penguasa pertama di Simalungun.

Akan tetapi mucul prahara di kerajaan Nagur tersebut, dimana masing-masing panglima perang Kerajaan Nagur saling berebut pengaruh sehingga terjadi perang saudara. Namun peristiwa ini tidak berlangsung lama, karena sadar akan bahaya yang mengancam, panglima Kerajaan Nagur berdamai dan bersatu menghadapi musuh yang datang dari Tanah India. Setelah perdamaian itu dibentuklah empat kelompok marga di Simalungun, yaitu menurut nama panglima Nagur, yaitu Raja Banua Purba (Purba artinya “Timur”) menjadi Raja Silou, kemudian menjadi Kerajaan Dolok Silau, Panei, Purba dan Silimahuta bermarga Purba. Raja Banua Sobou Parnabolon menjadi marga Saragih (Sa-Ragih artinya “Sang Pemilik Aturan”) keturunannya kelak menjadi yang dipertuan di Daerah Raya (Simalungun), Tebing Tinggi (Serdang Bedagai) dan Tanjung Morawa (Deli Serdang) atau dikenal dengan Saragih Garingging dan Saragih Dasalak. Selanjutnya Raja Saniang Naga, yaitu nama dewa penguasa lautan yang menjadi marga Sinaga penguasa di Kerajaan Batangiou (kemudian beralih menjadi

68

Kerajaan Si Tonggang dan berakhir Tanah Jawa), dan Raja Nagur Damanik sebagai raja di raja kelompok itu.

Demikianlah sehingga ada empat induk di Simalungun yang kemudian disingkat dengan Si Sa Da Pur, singkatan dari Sinaga, Saragih, Damanik, Purba. Marga yang empat inilah marga Simalungun asli yang menjadi marga pemilik tanah di Simalungun sejak zaman dahulu.47

Zaman dahulu , masyarakat adat Simalungun terbagi atas kasta (pembagian kelas masyarakat karena struktur pemerintahanya yang feodal), yakni:

Belakangan muncullah banyak pendatang ke Simalungun dari suku-suku sekitar yang umumnya dari daerah Samosir dan Toba. Mereka awalnya datang sebagai pekerja upahan atau karena dirampas atau dibeli sebagai budak. Dikarenakan pada masa itu peraturan di Simalungun sangat ketat, dimana hanya mereka yang masuk kedalam empat marga itu yang diakui sebagai kaula merdeka yang dapat diberikan tanah oleh raja-raja Simalungun. Sehingga banyak orang dari Samosir dan Toba memasuki marga yang empat itu di Simalungun sebagai rakyat biasa dan mengaku dirinya orang atau suku Simalungun.

48

1) Raja beserta keluarganya yang bergelar Rajanami (Tuhanta).

2) Para bangsawan beserta keluarganya yang disebut dengan Partuanon atau

Gamot.

47

Dr. Budi Agustono dkk, 2012, Sejarah Etnis Simalungun. P. Siantar: Perc. Hutarih Jaya, hlm. 162 48

69

3) Rakyat biasa yang disebut Paruma.

4) Budak dan orang-orang yang ditawan disebut Jabolon.

Kerajaan Nagur inilah yang kemudian menjadi cikal-bakal masyarakat Simalungun dan cikal-bakal tradisi kerajaan yang diwarisi hingga dipertengahan abad ke-6. Sehingga khususnya bagi masyarakat Simalungun nama Nagur banyak disebut sebagai penyebutan nama kampung , seperti Mariah Nagur, Nagur Raja,

Nagur Usang, Nagur Huta, Nagur Bayu, Nagur Tongah.

Sistem feodalisme di Simalungun menempatkan rakyat kebanyakan dalam posisi terendah dalam struktur pemerintahan tradisonal. Rakyat menjadi objek pemerasan para penguasa, kadang-kadang rakyat harus menyerahkan barang bahkan anak gadisnya kepada raja dan keluarganya ini meski dengan hati berat dan paksaan. Rakyat bukan hanya menyerahkan upeti dan kewajiban lainnya, tetapi juga persembahan langsung kepada raja dengan menyediakan dirinya pada waktu dan kondisi tertentu untuk keperluan raja.49 Beberapa penghasilan raja berasal dari pancong alas (sepersepuluh dari hasil hutan), cukai dan pajak ekspor,

hasil tiga (pajak pasar atas semua barang dagangan yang dijual di pasar), wang

meja (sepersepuluh dari barang sengketa), parhukuman (denda yang dijatuhkan

dipengadilan), pajak judi (sepersepuluh dari kemenangan judi) dan sewa setengah dolar atas pemakaian tikar dan meja judi.50

49

J. Tideman. 1936 , Simeloengoen. Hlm. 92

50

Anonim. 1909, Nota Penjelasan mengenai Siantar (terjemahan). Hlm. 108

Hewan buruan dan ternak sendiri yang disembelih harus diserahkan sangkae (daging paha) kepada raja atau tuan dimana

70

hewan itu diperoleh atau disembelih. Rakyat diwajibkan bekerja pada waktu tertentu mengerjakan ladang milik raja (juma bolak) tanpa digaji, membuat jalan, membangun istana raja, menjaga kampung (parari) dan berperang membela kerajaannya melawan musuh atau memperluas wilayah kerajaan.

Dibawah raja ada sebagai penguasa terdapat partuanan yang masih punya hubungan kerabat dengan raja. Partuanan membawahi beberapa pangulu. Mediator para peguasa elit simalungun disebut ulubalang. Ulubalang menyampaikan pesan-pesan pemerintah kerajaan kepada rakyat, apakah itu sekedar pengumuman biasa atau perintah untuk melayani raja atau kepentingan kerajaan.

Pendamping raja dan tuan di daerah adalah harajaan. Di simalungun harajaan ini sifatnya hanya sebatas penasehat raja, didengar atau tidak tergantung pada raja. Pengangkatan menjadi raja harus dengan rapat dan persetujuan

harajaan setelah calon raja yang diajukan memenuhi syarat adat. Di samping itu

tiap-tiap struktur pemerintahan terdapat harajaan sampai ketingkat terendah. Sebutan untuk harajaan ini awalnya adalah Si Ompat Suku tetapi belakangan semakin terlupakan seiring dengan masuknya pola pemerintahan modern oleh Belanda sejak 1907. Setiap harajaan memiliki pembantu tersendiri yang disebut

paiduana. Raja juga disebut partongah sebab selain kepala adat dia juga

berfungsi sebagai kepala pemerintahan disamping hakin yang memutus perkara pengadilan sesudah pengadilan tingkat huta dipimpin pangulu dan tingkat

71

ke tingkat diatasnya sampai ketingkat raja di pamatang. Sistem peradilan ini hanya ditemukan di Simalungun, tidak ada di Toba atau daerah Batak lainnya.51 Keputusan akhir berada ditangan raja sebagai hakim pemutus perkara. Istilah ini diterjemahkan sebagai kesatuan administrasi kampung yang disebut dengan

Nagori yang dikepalai oleh Pangulu (kepala desa) dengan membawahi gamot

(kepala dusun) dalam sistem admisnistrasi pemerintahan nagori di Kabupaten Simalungun. 52

Pembagian kekuasaan (distribution of power) yang diterapkan di Indonesia melalui lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif telah dimulai sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945. Sebagai negara yang baru merdeka , proses membentuk lembaga-lembaga tinggi negara bukanlah hal yang mudah. Pembagian kekuasaan dan sistem pemerintahannya tidaklah langsung berjalan dengan sempurna, namun berbagai perubahan demi perubahan dicapai untuk

Istilah-istilah dalam administrasi pemerintahan nagori tersebut kemudian disahkan dengan dikeluarkannya Perda no. 13 tahun 2006 tentang nagori. Disamping penggunaan kata nagori, pangulu dan gamot dalam administrasi pemerintahan nagori pengubahan nama juga dilakukan untuk sebutan perangkat nagori yang diganti menjadi “ tungkot nagori” dan juga Badan Permusyawaratan Desa menjadi “maujana nagori”.

Dokumen terkait