• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA

C. Senyawa Fenolik

Senyawa fenolik merupakan kelompok terbesar metabolit sekunder pada tanaman. Senyawa ini termasuk dalam alkohol aromatik karena gugus hidroksilnya selalu melekat pada cincin benzen. Senyawa fenolik secara umum memiliki potensi sebagai bakterisidal, antiseptik, antioksidan, dan sebagainya (Pengelly, 2006).

Beberapa senyawa yang termasuk dalam kelompok fenolik adalah fenol sederhana, kumarin, tannin, saponin, dan flavonoid. Senyawa tersebut biasanya berada dalam bentuk glikosida atau ester pada tanaman (Proestos, 2006).

Senyawa fenolik ini merupakan molekul yang dapat bertindak sebagai antioksidan untuk mencegah penyakit jantung, mengurangi peradangan, menurunkan kejadian kanker dan diabetes, serta mengurangi tingkat mutagenesis pada sel manusia. Perlindungan yang diperoleh dari mengonsumsi produk tanaman seperti buah-buahan, sayuran dan kacang-kacangan sebagian besar terkait dengan adanya senyawa fenolik pada tanaman tersebut (Khoddami et al., 2013). Senyawa fenolik dapat memberikan perlindungan sebagai antioksidan dikarenakan senyawa fenolik dapat bereaksi dengan reactive oxygen species (ROS) dan menghilangkan aktivitas radikalnya sehingga tidak berbahaya lagi terhadap sel tubuh manusia (Sochor, 2010).

Flavonoid merupakan senyawa fenolik yang paling umum, karena tersebar luas di jaringan tanaman, dan bersama karotenoid dan klorofil bertanggung jawab memberikan warna seperti biru, ungu, kuning, oranye dan merah pada tanaman. Flavonoid meliputi flavon, flavonol, iso-flavonol, anthocyanin, anthocyanidin, proanthocyanidin dan katekin (Khoddami et al., 2013).

Flavonoid merupakan senyawa polar karena memiliki sejumlah gugus hidroksil. Umumnya flavonoid larut dalam pelarut polar seperti air, etanol, metanol, aseton, dimetilsulfoksida, dan dimetilformamida. Gula yang terikat pada flavonoid dapat membantu meningkatkan kelarutan flavonoid dalam air, sehingga dengan menggunakan campuran pelarut air dengan beberapa contoh pelarut polar lain dapat menjadi pelarut yang baik untuk flavonoid khususnya glikosida. Sebaliknya aglikon bersifat kurang polar, contohnya adalah isoflavon, flavon, dan flavonol yang termetoksilasi. Mereka akan cenderung lebih mudah larut dalam pelarut seperti eter dan kloroform (Markham, 1988).

Rutin (3’,4’,5,7-tetrahidroksiflavon-3β-D-rutinosida) adalah glukosida flavonoid yang sangat umum dikenal dengan vitamin P. Dalam keseharian, rutin biasa digunakan untuk mengobati tekanan darah tinggi serta penyakit lain yang berkaitan dengan vaskuler (dos Santos, 2008).

Golongan senyawa fenolik lainnya antara lain, asam fenolik, kumarin, dan flavonol. Asam fenolik yang sering ditemukan antara lain asam hydroxylbenzoic, dan yang tergolong didalamnya antara lain asam galat, asam salisilat, dan asam vanillic (Vermerris dan Nicholson, 2008).

Asam galat (asam 3,4,5-trihidroksibenzoat) merupakan senyawa fenolik yang bukan tergolong dalam flavonoid. Asam galat termasuk dalam golongan antioksidan alami yang sering digunakan sebagai pengawet makanan (Lopez, 2003).

Gambar 2. Struktur asam galat (Lopez, 2003)

D. Radikal Bebas

Radikal bebas merupakan suatu atom atau molekul yang memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan, sehingga relatif tidak stabil. Atom atau molekul tersebut bersifat reaktif mencari pasangan elektron disekitarnya untuk menstabilkan diri atau sering disebut sebagai reactive oxygen species (ROS) (Ardhie, 2011). Sifat sangat reaktif yang dimiliki oleh radikal bebas menyebabkan radikal ini dapat bereaksi dengan protein, lipid, karbohidrat dan DNA untuk memperoleh kembali pasangan elektronnya dan menjadi stabil (Badarinath et al., 2010).

Efek berbahaya dari radikal bebas menyebabkan potensi kerusakan biologis yang disebut dengan oxidative stress dan nitrosative stress. Efek tersebut terjadi dalam sistem biologi bila ada produksi lebih dari ROS/RNS. Oxidative Stress dapat merusak jaringan lipid, protein, atau DNA seluler sehingga menghambat fungsi normal mereka. Maka oxidative stressdapat disimpulkan terlibat dalam menimbulkan sejumlah penyakit pada manusia serta dalam proses penuaan (Valko et al., 2006).

E. Senyawa Antioksidan

Menurut Pham-Huy (2008) antioksidan adalah senyawa yang bertindak sebagai penangkal radikal bebas dan mencegah terjadinya kerusakan yang diakibatkan oleh senyawa radikal. Radikal bebas dapat mengoksidasi asam nukleat, protein, lipid, serta DNA, sehingga menyebabkan penyakit degeneratif. Senyawa antioksidan seperti asam fenolik, polifenol, dan flavonoid dapat meredam radikal bebas peroksida, hidroperoksida atau lipid peroksil dan menghambat mekanisme oksidatif yang menimbulkan penyakit degeneratif (Prakash et al., 2001).

Berdasarkan sifatnya antioksidan dibagi menjadi 2, yaitu antioksidan enzimatis dan non enzimatis. Antioksidan enzimatis merupakan sistem pertahanan terhadap kerusakan oksidatif dalam sel. Contoh antioksidan enzimatis adalah superoksida dismutase (SOD), katalase, glutation reduktase dan glutation peroksidase. Sedangkan antioksidan non-enzimatis adalah antioksidan yang mempertahankan membran sel, seperti vitamin C di fase air, vitamin E, ubiquinol

di fase lipid, karotenoid (β karoten), glutation, bilirubin, abumin, transferin/laktoferin/serulo-plasmin, feritin, sistein, dan flavonoid (Ardhie, 2011).

Berdasarkan sumbernya, antioksidan dapat digolongkan menjadi dua jenis, yaitu antioksidan alami dan antioksidan sintetis. Antioksidan sintetis adalah antioksidan yang dibuat dengan melakukan sintetis kimia seperti TBHQ, BHT, dan propil galat (Gulcin et al., 2004). Antioksidan alami terdapat pada makanan sehari – hari, seperti buah dan sayuran yang mengandung berbagai senyawa fenolik atau nitrogen dan karotenoid. Antioksidan alami dapat melindungi tubuh manusia dari radikal bebas dan menurunkan terjadinya perkembangan penyakit kronis (Sing, 2007).

F. Metode Folin-Ciocalteu

Metode ini didasarkan pada reduksi asam fosfotungstat dalam larutan alkali menjadi fosfotungstat biru. Absorbansi yang terbentuk akibat fosfotungstat biru sebanding dengan jumlah senyawa fenolik yang terdapat dalam sampel, sehingga dapat diketahui seberapa besar jumlah kandungan senyawa dengan gugus fenol dalam suatu sampel tanaman yang dinyatakan dengan ekuivalen asam galat (Cindrić et al., 2011).

Metode spektrofotometri UV/VIS banyak menggunakan reaksi kolorimetrik karena mudah, cepat dan biayanya terjangkau. Metode ini mengukur konsentrasi total senyawa fenolik dalam ekstrak tumbuhan. Polifenol dalam ekstrak tumbuhan akan bereaksi dengan reagen Folin Ciocalteu sehingga membentuk kompleks berwarna biru yang dapat diukur dengan cahaya tampak spektrofotometri. Reagen Folin Ciocalteu mempunyai kelemahan, yaitu sangat

cepat terurai dalam larutan alkali, sehingga perlu untuk menggunakan reagen secara berlebih untuk mendapatkan reaksi yang lengkap. Tetapi penggunaan reagen berlebih dapat menimbulkan endapan dan kekeruhan yang tinggi, sehingga membuat analisis spektrofotometri tidak bisa dilakukan. Untuk mengatasi masalah ini, didalam reagen Folin Ciocalteu terdapat garam lithium, yang dapat mencegah kekeruhan. Reaksi ini pada umumnya memberikan data yang akurat dan spesifik pada beberapa kelompok senyawa fenolik (Blainski et al., 2013).

G. Metode DPPH

Metode uji ini menggunakan radikal bebas DPPH (2,2-difenil-1- pikrilhidrazil). Radikal bebas DPPH dapat bereaksi dengan senyawa yang dapat mendonorkan atom hidrogen. Tujuan metode ini adalah untuk mengetahui parameter konsentrasi yang ekuivalen memberikan 50% efek aktivitas antioksidan (IC50) yaitu dengan cara menginterpretasikan data eksperimental dari metode DPPH tersebut (Dehpour et al., 2009).

Metode DPPH dapat digunakan untuk sampel yang berupa padatan maupun cairan. DPPH sering digunakan untuk menguji senyawa yang berperan sebagai free radical scavengers atau donor hidrogen, mengevaluasi aktivitas antioksidannya dan mengkuatifikasi jumlah kompleks radikal antioksidan yang terbentuk (Prakash et al., 2001).

Metode DPPH merupakan metode yang sederhana, cepat, sensitif, dan reprodusibel untuk pengujian aktivitas antioksidan (Savatovic et al., 2012). DPPH memberikan serapan kuat pada 517 nm dikarenakan adanya elektron yang tidak berpasangan. Ketika elektronnya menjadi berpasangan oleh keberadaan penangkap radikal bebas, maka absorbansinya akan menurun. Keberadaan senyawa antioksidan dapat mengubah warna larutan DPPH dari ungu menjadi kuning. Perubahan absorbansi akibat dari reaksi ini telah digunakan secara luas untuk menguji kemampuan beberapa molekul sebagai penangkap radikal bebas (Dehpour et al., 2009).

Gambar 4. Reaksi penangkapan radikal DPPH oleh antioksidan (Prakash et al., 2001)

Warna DPPH yang berubah dari warna ungu menjadi kuning dikarenakan adanya penambahan antioksidan yaitu saat elektron tunggal pada DPPH berpasangan dengan hidrogen dari antioksidan. Hasil dekolorisasi oleh antioksidan setara dengan jumlah elektron yang tertangkap (Prakash et al., 2001).

H. Spektofotometri Visibel

Prinsip spektrofotometri UV/Visibel yaitu radiasi pada rentang panjang gelombang 200–700 nm dilewatkan melalui suatu larutan senyawa. Elektron pada ikatan dalam molekul menjadi tereksitasi sehingga berada pada keadaan energi

yang lebih tinggi dalam proses menyerap sejumlah energi yang melewati larutan tersebut (Watson, 2010). Absorpsi cahaya ultraviolet atau cahaya tampak mengakibatkan adanya transisi elektronik, yaitu perpindahan elektron dari orbital dasar yang energinya rendah menuju keadaan tereksitasi yang energinya lebih tinggi (Fessenden dan Fessenden, 1982).

Hal - hal yang perlu diperhatikan dalam analisis spektrofotometri antara lain waktu operasional dan panjang gelombang maksimum. Waktu operasional ditentukan dengan mengukur hubungan antara waktu pengukuran dengan absorbansi larutan. Tujuan dari waktu operasional untuk mengetahui waktu pengukuran yang stabil. Pada awal terjadi reaksi absorbansi akan terus meningkat hingga pada waktu tertentu absorbansi yang dihasilkan stabil. Terdapat kemungkinan senyawa mengalami kerusakan atau terurai sehingga menyebabkan intensitas warna dan absorbansinya menurun seiring bertambahnya waktu. Oleh karena hal tersebut perlu dilakukan pengukuran pada saat waktu operasional yang tepat (Gandjar dan Rohman, 2007).

Panjang gelombang yang digunakan dalam pengukuran adalah panjang gelombang yang memiliki absorbansi maksimal. Pada panjang gelombang maksimal kepekaan yang dihasilkan tinggi. Oleh karena itu perubahan absorbansi untuk setiap satuan konsentrasi adalah yang paling besar (Gandjar dan Rohman, 2007).

I. Landasan Teori

Radikal bebas merupakan suatu atom atau molekul yang memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan, sehingga relatif tidak stabil.

Antioksidan seperti asam fenolik, polifenol, dan flavonoid merupakan senyawa pemberi elektron yang dapat memerangi aktivitas oksidan dalam tubuh yang dapat mencegah timbulnya penyakit degeneratif.

Buah buni merupakan sumber antioksidan yang memiliki kandungan senyawa fenolik, flavonoid dan antosianin yang tinggi. Ekstrak metanol buah buni mengandung antosianin (prosianidin B1, prosianidin B2), flavonoid (katekin, epikatekin, rutin, mirisetin, resveratrol, luteolin, kuersetin, naringenin, dan kaempferol) dan asam fenolik (asam galat, asam kafeat, asam elagat, dan asam ferulat) yang tinggi.

Maserasi dipilih karena metodenya tidak menggunakan panas dan tidak merusak kandungan senyawa dalam buah buni. Etanol 96 % dipilih sebagai pelarut karena bersifat polar sehingga diharapkan senyawa – senyawa flavonoid dan fenolik yang bersifat polar dapat tersari ke dalam etanol. Etanol dapat menyari berbagai macam senyawa fenolik seperti polifenol, flavonoid, antosianindan tanin. Metode yang sering digunakan untuk mengukur aktivitas antioksidan adalah metode DPPH. Metode ini menggunakan rutin sebagai kontrol positif karena rutin merupakan salah satu senyawa flavonoid dalam tanaman yang telah diketahu mempunyai aktivitas antioksidan. Tujuan metode ini adalah untuk mengetahui parameter konsentrasi yang ekuivalen memberikan 50% efek aktivitas antioksidan (IC50), yaitu dengan cara menginterpretasikan data eksperimental dari metode DPPH tersebut.

Aktivitas antioksidan juga berhubungan dengan kadar fenolik totalnya, kadar fenolik total dapat ditentukan dengan metode Folin-Ciocalteu. Metode

Folin-Ciocalteu didasarkan pada reduksi asam fosfotungstat dalam larutan alkali menjadi fosfotungstat biru. Kandungan fenolik total dinyatakan dengan ekuivalen asam galat sebagai pembanding karena asam galat merupakan salah satu senyawa asam fenolik yang banyak terdapat dalam tanamanyang mempunyai aktivitas antioksidan.

J. Hipotesis

1. Ekstrak etanol buah buni memiliki kandungan senyawa fenolik yang dapat diukur dengan metode Folin-Cioucalteu dan dinyatakan dengan ekuivalen asam galat.

2. Ekstrak etanol buah buni memiliki aktivitas antioksidan yang dapat diukur dengan metode DPPH dan dinyatakan dalam nilai IC50.

Dokumen terkait