• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

B. Sikap

1. Definisi Sikap

Pratkanis & Greenwald (dalam Deaux, Dane, & Wrightsman, 1993) mendefenisikan sikap sebagai suatu evaluasi terhadap objek dimana individu memiliki pengetahuan yang memadai akan objek tersebut. Ditambahkan lagi oleh Baron & Byrne (2004) bahwa evaluasi tersebut memunculkan rasa suka atau tidak suka terhadap isu, ide, orang, kelompok sosial, dan objek lainnya.

Berkowitz (dalam Azwar, 2003) menyatakan bahwa sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tertentu. Sikap merupakan ekspresi bagaimana seseorang suka atau tidak suka terhadap beberapa hal, atau diekspresikan melalui bentuk pro-anti, favorit-non favorit, dan positif- negatif. Ekspresi tersebut mewakili evaluasi terhadap keanekaragaman dari objek sikap. Sikap itu didasari oleh informasi yang didapat. Jadi sikap itu akan terbuka terhadap informasi yang datang dan informasi ini dapat mempengaruhi sikap terhadap objek.

Sikap juga dapat diartikan sebagai kecenderungan seseorang untuk melakukan sesuatu. Kecenderungan untuk melakukan atau meninggalkan, hal ini tergantung kepada kesesuaian oleh seseorang dengan objek yang disikapi tersebut (Tim Penyusun, Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan UNIMED).

Zana dan Rempel (dalam Azwar, 2003) menyatakan bahwa sikap merupakan respon evaluatif terhadap pengalaman kognisi, reaksi afeksi, kehendak, dan perilaku berikutnya.

Menurut para ahli, dalam memahami sikap harus diperhatikan tentang ambivalensi sikap. Istilah ini mengacu pada kenyataan bahwa evaluasi manusia terhadap objek, isu, orang, atau peristiwa tidak selalu secara seragam positif atau negatif; sebaliknya, evaluasi itu sering terdiri dari dua reaksi baik positif maupun negatif (Baron & Byrne, 2004).

Hogg dan Vaughan (2000) menyatakan bahwa mengukur sikap adalah pekerjaan yang tidak mudah, karena sikap tidak dapat diobservasi secara langsung. Cara yang paling umum dilakukan untuk mengetahui sikap adalah bertanya langsung pada orang tersebut. Sikap diukur dengan pertanyaan yang meminta seseorang membuat evaluasi positif atau negatif pada objek tertentu. Ada 4 (empat) teknik pengukuran sikap, yaitu: skala Thurstone (skala interval tampak setara), skala Likert (skala rating yang dijumlahkan), skala Guttman, dan skala Osgood (skala diferensi semantik).

Pernyataan sikap (attitude expression) merupakan rangkaian kalimat yang mengatakan sesuatu mengenai objek sikap yang hendak diungkap. Pernyataan sikap dapat berisi kalimat-kalimat yang bersifat mendukung atau memihak dan

juga bersifat yang tidak mendukung atau tidak memihak. Pernyatan sikap dapat diperoleh dari suatu skala sikap yang merupakan indikator sikap paling dapat diandalkan. Namun tidak berarti bahwa skala-skala itu selalu dapat dipercaya sepenuhnya dan tepat mencerminkan sikap yang sesungguhnya. Hal itu disebabkan adanya berbagai faktor yang menghambat penerjemahan sikap individu yang sebenarnya kedalam pernyataan-pernyataan yang terdiri atas kalimat-kalimat yang maknanya terbatas (Azwar, 2003).

Dapat disimpulkan bahwa sikap adalah evaluasi terhadap suatu objek. Evaluasinya bisa positif atau negatif, dan juga bisa tercampur antara positif dan negatif. Dalam penelitian ini sikap guru terhadap program sertifikasi guru, yaitu ekspresi positif atau negatif yang ditampilkan guru terhadap program sertifikasi guru.

2. Komponen Sikap

Krech, Cruthchfield, dan Ballachey (dalam Sobur, 2003) merumuskan bahwa sikap memiliki 3 (tiga) komponen. Yaitu, komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif. Komponen kognitif adalah kepercayaan (belief) seseorang terhadap objek sikap. Belief bergantung pada sistem sikap, yang merupakan evaluative belief mencakup ciri-ciri menyenangkan atau tidak menyenangkan, menguntungkan atau tidak menguntungkan, berkualitas baik atau buruk, dan belief tentang cara merespons yang sesuai dan tidak sesuai terhadap objek. Komponen afektif menunjuk pada emosionalitas terhadap objek. Objek dirasakan sebagai sesuatu yang menyenangkan atau tidak menyenangkan, disukai atau tidak disukai.

Dan komponen konatif adalah kecenderungan tindakan seseorang, baik positif maupun negatif, terhadap objek sikap.

Selanjutnya Mann (dalam Azwar, 2003), menyatakan sikap terdiri dari 3 (tiga) komponen, yaitu:

1. Komponen Kognitif

Komponen kognitif berisi persepsi, kepercayaan dan stereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu. Seringkali komponen kognitif ini dapat disamakan dengan pandangan (opini) terutama apabila menyangkut masalah isu atau problem yang kontroversial.

Azwar (2003) menyatakan kepercayaan terhadap sesuatu datang dari apa yang telah dilihat atau dari yang telah diketahui. Berdasarkan hal ini kemudian terbentuk ide atau gagasan mengenai sifat atau karakteristik umum suatu objek. Sekali kepercayaan terbentuk akan menjadi dasar pengetahuan seseorang mengenai apa yang diharapkan dari objek tertentu.Tentu saja kepercayaan sebagai komponen kognitif tidak selamanya akurat. Kadang- kadang kepercayaan itu terbentuk justru karena kurang atau tiadanya informasi yang benar mengenai objek yang dihadapi.

2. Komponen Afektif

Komponen afektif merupakan perasaan individu terhadap objek sikap dan menyangkut masalah emosi. Aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin mengubah sikap seseorang. Secara umum, komponen ini disamakan dengan perasaan yang

dimiliki terhadap sesuatu. Namun, pengertian perasaan pribadi seringkali sangat berbeda perwujudannya bila dikaitkan dengan sikap.

Azwar (2003) menyatakan bahwa reaksi emosional banyak dipengaruhi oleh kepercayaan atau apa yang dipercayai sebagai benar dan berlaku bagi objek termaksud.

3. Komponen Konatif

Komponen perilaku berisi tendensi atau kecenderungan untuk bertindak atau untuk bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu. Menurut Azwar (2003) komponen konatif menunjukkan bagaimana cara berperilaku sesuai dengan objek sikap yang dihadapi. Asumsinya adalah bahwa kepercayaan dan perasaan banyak mempengaruhi perilaku. Kecenderungan berperilaku secara konsisten, selaras dengan kepercayaan dan perasaan ini membentuk sikap individual

Azwar (2003) menyatakan bahwa ketiga komponen diatas adalah selaras dan konsisten. Konsistensi antara kepercayaan (kognitif), perasaan (afektif), dan tendensi perilaku (konatif) menjadi landasan dalam usaha penyimpulan sikap yang dicerminkan oleh jawaban terhadap skala sikap. Apabila salah satu diantara ketiga komponen tersebut tidak konsisten dengan yang lain, maka akan terjadi mekanisme perubahan sikap.

Komponen tambahan dalam sikap adalah cognitive complexity (kompleksitas kognitif), berarti bahwa dalam objek sikap manusia memiliki pikiran dan keyakinan yang beragam. Tidak semuanya benar, dan bisa saja saling bertolak belakang (Taylor, Peplau, dan Sears, 2000). Ahli lain mengemukakan tentang

komponen tambahan yang berkaitan dengan pengambilan keputusan dan tingkah laku. Sikap mempermudah akses terhadap informasi yang relevan dan menghubungkan semua informasi yang terdapat dalam ingatan (Judd, Drake, Downing, dan Krosnick dalam Taylor, Peplau dan Sears, 2000). Komponen lain adalah bahwa sikap mempermudah seseorang membuat keputusan dengan cepat, karena sikap mengandung informasi yang dibutuhkan dalam membuat pilihan (Sanbonmatsu dan Fazio dalam Taylor, Peplau dan Sears,2000).

Dijelaskan oleh Crites, Fabrigar, dan Petty (dalam Taylor, Peplau dan Sears, 2000), komponen afektif berisi semua perasaan manusia dan mempengaruhi evaluasi positif atau negatif terhadap suatu objek. Komponen konatif terdiri dari bagaimana seseorang cenderung bertindak terhadap suatu objek. Komponen kognitif terdiri dari pikiran seseorang tentang objek sikap, termasuk fakta pengetahuan dan keyakinan. 3 (tiga) komponen ini tidak selalu berkaitan satu sama lain dan, penting untuk selalu mempertimbangkan ketiganya.

3. Faktor-faktor Pembentukan Sikap

Hudaniah (2003) menyatakan bahwa pada dasarnya sikap bukan merupakan suatu pembawaan, melainkan hasil interaksi dinamis antara individu dengan lingkungan sehingga sikap bersifat dinamis. Faktor pengalaman besar peranannya dalam pembentukan sikap.

Deaux, Dane dan Wrightsman (1993) menyatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap, yaitu:

Hal yang langsung berpengaruh terhadap sikap adalah nilai tentang objek yang diperoleh secara langsung. Middlebrook (Azwar, 2003) menyatakan bahwa tidak adanya pengalaman sama sekali dengan suatu objek cenderung akan membentuk sikap negatif terhadap objek tersebut.

Hogg dan Vaughan (2000) mengatakan bahwa pengalaman langsung dengan objek sikap harus meninggalkan kesan yang kuat agar dapat menjadi dasar pembentukan sikap.

Selanjutnya Azwar (2003) menyatakan bahwa agar pengalaman langsung dengan objek sikap meninggalkan kesan yang kuat, maka pengalaman tersebut terjadi dengan melibatkan faktor emosional.

2. Orangtua dan teman sebaya

Orang lain disekitar individu merupakan salah satu diantara komponen sosial yang ikut mempengaruhi sikap. Seseorang yang dianggap penting (significant others) adalah seseorang yang diharapkan persetujuannya atas tingkah laku dan pendapat individu.

Diantara yang dianggap penting adalah orangtua dan teman sebaya. Orangtua adalah sumber sikap yang terdekat dan paling nyata bagi seseorang. Demikian juga dengan teman sebaya yang memberikan pengaruh besar terhadap sikap.

3. Pengaruh media

Oskamp dkk (dalam Deaux, Dane dan Wrightsman, 1993) menyatakan bahwa media, khususnya televisi, merupakan sumber kekuatan dari sikap.

Penelitian oleh Taras (dalam Deaux, Dane dan Wrightsman, 1993) telah membuktikan bahwa media mempengaruhi sikap dan penguatan yang diperoleh individu. Misalnya seorang anak yang meminta jenis makanan tertentu karena frekuensi makanan tersebut muncul ditelevisi tinggi.

Azwar (2003) menyatakan adanya informasi baru megenai sesutau hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Pesan-pesan sugestif yang dibawa oleh informasi tersebut, apabila cukup kuat, akan memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu.

4. Perubahan Sikap

Pada dasarnya sikap itu relatif tetap, tetapi dapat berubah. Perubahan sikap dipengaruhi oleh (a) Sistem sikap (b) kepribadian dan (c) afiliasi individu dalam kelompok (Krech, Couthfield, & ballachey dalam Mujiyati, 2004).

Menurut Walgito (dalam Hudaniah, 2003) bahwa perubahan sikap ditentukan oleh dua faktor, yaitu:

a. Faktor internal (individu itu sendiri), yaitu cara individu dalam menanggapi dunia luarnya dengan selektif sehingga tidak semua yang datang akan diterima atau ditolak.

b. Faktor eksternal, yaitu keadaan-keadaan yang ada di luar individu yang merupakan stimulus untuk mengubah sikap.

C. Guru

1. Definisi Guru

Djamarah (2000) mengungkapkan, guru adalah unsur manusiawi dalam pendidikan. Guru merupakan figur manusia sebagai sumber yang menempati posisi dan memegang peranan penting dalam pendidikan. Ketika semua orang mempersoalkan masalah dunia pendidikan, figur guru mesti terlibat dalam agenda pembicaraan, terutama yang menyangkut persoalan pendidikan formal di sekolah. Guru adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik. Guru dalam pandangan masyarakat Indonesia merupakan orang yang melaksanakan pendidikan di tempat-tempat tertentu, tidak harus di lembaga pendidikan formal, tetapi bisa juga di mesjid, di rumah, dan sebagainya.

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kedua 1991 (dalam Syah, 1995), guru diartikan sebagai orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya) mengajar.

Guru yaitu orang-orang yang berkewajiban atau bertugas mengajar termasuk metode, model, strategi dan lain-lain yang berhubungan dengan aktivitas penyajian materi pelajaran (Syah, 1995).

Guru merupakan profesi, yaitu pekerjaan yang menuntut keahlian. Artinya, pekerjaan sebagai guru tidak bisa dilakukan oleh orang yang tidak terlatih dan tidak disiapkan. Kegiatan pendidikan dan pembelajaran di sekolah terhadap peserta didik tidak bisa dilakukan sembarang orang, karena untuk melakukan tersebut dituntut keahlian atau kompetensi sebagai guru. Guru adalah orang yang profesional, artinya secara formal mereka disiapkan oleh lembaga atau institusi

pendidikan yang berwenang. Mereka dididik secara khusus memperoleh kompetensi sebagai guru, yaitu meliputi pengetahuan, keterampilan, kepribadian, serta pengalaman dalam bidang pendidikan (Wibowo, 2004).

Maka, guru dapat kita definisikan sebagai suatu profesi yang memiliki tugas atau pekerjaan mengajar, dengan memberikan ilmu pengetahuan kepada individu lain, yang dalam hal ini dinamakan sebagai anak didik.

2. Persyaratan Guru

Menjadi guru menurut Prof. Dr. Zakiah Darajat dkk (dalam Djamarah, 2000) tidaklah sembarangan, tetapi harus memenuhi persyaratan seperti di bawah ini: a. Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa

Guru merupakan teladan bagi anak didiknya, sejauhmana seorang guru mampu memberi teladan yang baik kepada semua anak didiknya, sejauh itu pulalah ia diperkirakan akan berhasil mendidik mereka agar menjadi generasi penerus bangsa yang baik dan mulia.

b. Berilmu

Guru harus mempunyai ijazah agar ia diperbolehkan mengajar. c. Sehat jasmani dan rohani

d. Berkelakuan baik

Budi pekerti guru penting dalam pendidikan watak anak didik. Guru harus menjadi teladan, karena ank-anak bersifat suka meniru.

3. Tanggungjawab Guru

Guru adalah orang yang bertanggungjawab mencerdaskan kehidupan anak didik. Membimbing dan membina anak didik agar di masa mendatang menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa (Djamarah, 2000).

Wens Tanlain dkk (dalam Djamarah, 2000) mengatakan bahwa guru yang bertanggungjawab harus memiliki sifat-sifat sebagai berikut:

a. Menerima dan mematuhi norma, nilai-nilai kemanusiaan. b. Memikul tugas mendidik dengan bebas, berani, gembira.

c. Sadar akan nilai-nilai yang berkaitan dengan perbuatannya serta akibat-akibat yang akan timbul.

d. Menghargai orang lain, termasuk anak didik. e. Bijaksana dan baik hati.

f. Takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

4. Peranan Guru

Djamarah (2000) menyatakan ada 13 peranan yang harus dijalani oleh seorang guru, diantaranya yaitu korektor, inspirator, informator, organisator, motivator, inisiator, fasilitator, pembimbing, demonstrator, pengelola kelas, mediator, supervisor, dan evaluator.

Sementara menurut Mulyasa (2007) merangkum peranan guru menjadi 4 peranan penting, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Guru sebagai fasilitator; Seorang guru bertugas untuk memberikan kemudahan belajar kepada seluruh peserta didik, agar mereka dapat belajar dalam suasana

yang menyenangkan, gembira, penuh semangat, tidak cemas, dan berani mengemukakan pendapat secara terbuka.

2. Guru sebagai motivator; Guru dituntut untuk membangkitkan motivasi belajar peserta didik.

3. Guru sebagai pemacu; Guru harus mampu melipatgandakan potensi peserta didik, dan mengembangkannya sesuai dengan aspirasi dan cita-cita mereka di masa yang akan datang.

4. Guru sebagai pemberi inspirasi; Guru harus mampu memerankan diri dan memberikan inspirasi bagi peserta didik, sehingga kegiatan belajar dan pembelajaran dapat membangkitkan berbagai pemikiran, gagasan, dan ide-ide baru.

5. Guru Sebagai Suatu Profesi

Guru adalah pendidik profesional dengan utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi (Komara, 2007).

Dalam menjalankan tugasnya, guru memiliki prinsip-prinsip profesionalitas yang harus dipenuhi dan dijalankannya (Dikdasdki, 2005).

Prinsip-prinsip tersebut diantaranya:

a. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme.

b. Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia.

c. Memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas.

d. Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas. e. Memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan. f. Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja.

g. Memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat.

h. Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.

i. Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.

Selain prinsip profesionalitas di atas, Wibowo (2002) juga menyatakan bahwa seorang guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kualifikasi yang dimaksud di sini adalah kualifikasi akademik yang diperoleh dari pendidikan tinggi program sarjana atau diploma empat. Sedangkan yang dimaksud dengan kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Kompetensi yang

harus dimiliki seorang guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.

Dokumen terkait