• Tidak ada hasil yang ditemukan

5.1 Simpulan

Penelitian ini berupaya untuk menemukan jawaban terhadap pokok masalah yakni “Bagaimana penutur dwibahasawan Sunda-Indonesia melakukan unjuk santun dalam berbahasa Indonesia”. Masalah tersebut dirinci dalam pertanyaan penelitian (1) Indikator kebahasaan apa yang digunakan oleh penutur dan lawan tutur dwibahasawan dalam unjuk kesantunan? (2) Bagaimana strategi yang digunakan penutur dan lawan tutur dwibahasawan dalam unjuk kesantunan? (3) Prinsip-prinsip apa yang diperhatikan oleh penutur dan lawan tutur dalam berunjuk santun? (4) Nilai-nilai kearifan lokal apa yang digunakan penutur dan lawan tutur dwibahasawan Sunda-Indonesia dalam berunjuk kesantunan?

Setelah melakukan kajian dengan menggunakan metode analisis kontekstual naturalistik terhadap tuturan penutur dwibahasawan Sunda-Indonesia dari aspek kebahasaan yang meliputi kesesuaian pilihan kata, kesantunan menggunakan kalimat, dan penggunaan intonasi serta strategi dan kearifan lokal dalam penunjukan kesantunan diperoleh simpulan sebagai berikut:

1. Indikator kebahasaan yang disepakati dan ditetapkan oleh penutur dwibahasawan Sunda-Indonesia dalam berunjuk santun berbahasa Indonesia adalah:

a. Kata yang sesuai dan halus, artinya kata tersebut memiliki nilai rasa bahasa yang secara khas kedaerahan bermakna penghormatan dan penghalusan sesuai dengan budaya daerah. Merujuk pada pernyataan itu, kata dan atau kelompok kata yang dimaksud ada yang berbentuk kata yang tidak sesuai dengan norma bahasa, namun ada pula bentuk yang sengaja dilakukan oleh penutur dengan melakukan campur kode antara

R HENDARYAN, 2015

bahasa Indonesia dengan bahasa Sunda. Contoh kata “kasepuhan” yang dirasakan oleh penutur lebih bernilai rasa halus daripada kata “tokoh masyarakat”. Kata “mangga” dirasakan lebih bernilai rasa halus daripada menggunakan kata “silahkan”.

b. Kalimat literal tidak langsung, artinya kalimat yang digunakan oleh penutur dwibahasawan Sunda-Indonesia adalah kalimat yang tidak langsung tertuju pada maksud kalimat itu. Kalimat literal tidak langsung disamping berkonsekuensi pada kalimat tersebut merupakan kalimat panjang, kalimat tersebut juga memiliki makna implisit sehingga memerlukan penafsiran yang harus mendalam dari mitra tutur. Misalnya seorang penutur yang meminta kesediaan waktu dari mitra tutur untuk menerima dirinya bersilaturahmi akan menyatakan “Maaf Pak mengganggu, barangkali ada waktu, kapan saya bisa bersilaturahmi?” (dituturkan oleh seorang mahasiswa yang mau bimbingan dengan dosennya).

c. Lagu tutur (langgam) hormat, artinya lagu tersebut bernada mengalun dengan tekanan tidak keras, pelafalan mengalami pemanjangan pada akhir kata dan berjeda lambat. Dalam bahasa Sunda, lagu tutur (langgam) hormat disebut lentong santun. Dari tiga unsur kebahasaan sebagai penentu kesantunan, lagu tutur (langgam) hormat (intonasi) dalam tuturan merupakan penentu utama penunjukan kesantunan berbahasa Indonesia oleh penutur dwibahasawan Sunda-Indonesia untuk aspek kebahasaan. Lagu tutur inilah yang akan memunculkan “keberterimaan” mitra tutur terhadap tuturan dari pihak penutur. Keberterimaan inilah hakikat isi komunikasi yang santun.

2. Strategi yang digunakan oleh penutur dan lawan tutur dwibahasawan Sunda-Indonesia dalam berunjuk santun berbahasa Sunda-Indonesia terdiri atas penggunaan norma, penggunaan ragam bahasa dan relevansi. Strategi ini dikelompokkan

menjadi dua jenis, yakni (1) strategi bahasa dan (2) strategi cara. Strategi bahasa dilakukan melalui

a. menggunakan kalimat literal tidak langsung; b. melakukan campur kode dan alih kode;

c. menggunakan ungkapan baik ungkapan dalam bahasa daerah Sunda (babasan), pribahasa Sunda (paribasa) maupun ungkapan dan pribahasa dalam bahasa Indonesia.

Strategi cara berunjuk santun berbahasa Indonesia yang dilakukan oleh penutur dwibahasawan Sunda-Indonesia adalah

a. menggunakan fatis (basa-basi);

b. melakukan perendahan diri – peninggian martabat mitra tutur; c. mengangkat kearifan lokal bidang bahasa.

Strategi kesantunan dwibahasawan Sunda-Indonesia dalam dimensi budaya adalah strategi yang dinamakan trirasa yakni.

a. Raba rasa, adalah ungkapan yang dapat diartikan sebagai upaya memahami keadaan perasaan orang lain;

b. Balik rasa, merupakan ungkapan yang diartikan sebagai upaya introspeksi diri yang dilakukan oleh seseorang sehingga ia akan berprinsip kondisi yang dirasakan oleh orang lain akan dirasakan pula oleh penutur; dan

c. Genah rasa, adalah ungkapan yang memiliki makna senang, enak, yang timbul karena bahasa yang digunakan memiliki kepatutan dan kelayakan.

3. Prinsip-prinsip kesantunan yang harus digunakan dan diterima oleh penutur dan mitra tutur dwibahasawan Sunda-Indonesia dalam berunjuk santun adalah “penghormatan dan peninggian martabat mitra tutur” (permufakatan). Disamping itu disepakati pula penjagaan dan penghormatan martabat diri melalui “keberterimaan” terhadap bentuk dan makna tuturan. Bentuk tuturan

R HENDARYAN, 2015

merujuk pada kata dan kalimat yang jelas untuk diterima dan dipahami karena memiliki nilai kehalusan, makna tuturan merujuk pada maksud dan tujuan yang jelas yang terkandung dalam tuturan.

4. Kearifan lokal dalam bidang bahasa yang diangkat dan digunakan oleh penutur dwibahasawan Sunda-Indonesia dalam menunjukkan kesantunan berbentuk ungkapan dan pribahasa yang memiliki nilai-nilai

a. Pernyataan bijaksana sebagai falsafah kehidupan (Sunda = wawaran

luang), contoh Silih asah silih asih silih asuh;

b. Pendorong berperilaku baik (Sunda = pangjurung laku hade), contoh

Hade ku basa goreng ku basa; dan

c. Pencegah perilaku salah (Sunda = panyaram lampah salah), contoh Ulah

getas harupateun;

5.2 Implikasi

Bahasa merupakan nikmat Allah yang manusiawi dan komunikatif. “Allah mengajarkan (manusia) pandai berbicara” (Al-Qurat surat Ar-rahman ayat 4). Dengan bahasa kita bisa berkomunikasi dengan sesama dan dengan bahasa pula kita berpikir untuk membuat kehidupan ini lebih maju dalam bingkai “Silih asih, silih asah, silih asuh”. Bahasalah yang akan membawa kekehidupan ini tentram atau sebaliknya sebuah bangsa bisa hancur karena bahasa.

Berbahasa berarti menggunakan bahasa untuk saling menyampaikan dan menerima pesan antara penutur dan mitra tuturnya. Pesan sebagai isi komunikasi dan penutur akan diterima dan ditindkalanjuti oleh mitra tutur jika komunikasi berlangsung lancar karena tidak terhambat oleh penentu keharmonisan komunikasi. Salah satu penentu keberhasilan (kelancaran) komunikasi itu adalah penutur menggunakan cara berkomunikasi yang diterima oleh mitra tutur. Hal yang dimaksud adalah santun berbahasa. Dengan memperhatikan kesantunan berbahasa pelaku komunikasi yang saling menghormati, saling menjaga martabat diri, saling

menyampaikan dan menerima pesan dengan menaati norma kebahasaan dan nilai sosial kemasyarakatan yang berlaku dan dipelihara oleh masyarakat.

Kesantunan tak terbatas siapa pelaku komunikasi, kapan berkomunikasi, dimana berkomunikasi dan bagaimana situasi komunikasi. Seseorang anak harus santun kepada orang tuanya, gurunya, teman sebayanya, orang yang lebih tinggi usianya, demikian juga sebaliknya. Orang tua harus santun kepada anaknya (sekaligus memberi contoh), guru harus santun kepada anak didiknya (mendidik), seseorang yang lebih tua harus santun kepada yang lebih muda, seseorang harus santun pula pada teman sebayanya. Kesantunan tidak akan merendahkan martabat diri seseorang, malah sebaliknya, kesantunan dalam berbahasa akan menempatkan diri orang tersebut pada karakter (santun) yang terpuji.

Kapan dan dimana berkomunikasi menuntut kita memahami dan menerapkan konsep bahasa yang “baik”. Bahasa yang baik diartikan sebagai bahasa yang pemakaiannya memperhatikan situasi dan kondisi pemakaiannya. Bahasa yang santun adalah bahasa yang memperhatikan tempat dan waktu komunikasi. Setting and scene sebagai salah satu indikator kesantunan menurut Dell Hymes (1978) mengacu pada tempat dan waktu terjadinya komunikasi. Dengan begitu bahasa yang baik adalah bahasa yang santun.

Bangsa Indonesia terdiri atas suku bangsa yang majemuk dengan bahasa dan budaya satu sama lain berbeda. Kenyataan terdapatnya perbedaan tersebut jangan sampai mengurangi nilai-nilai kesantunan karena dapat dipastikan setiap bahasa mempunyai piranti kesantunan bahasa dan budaya masing-masing yang menjungjung tinggi nilai-nilai budaya yang terkait dengan pilar-pilar karakter (santun) baik yakni: 1) mencintai Allah dan ciptaan-Nya; 2) memiliki kemandirian dan tanggung jawab; 3) menjungjung nilai kejujuran; 4) melaksanakan amanah; 5) bersikap horamt/ santun; 6) memiliki rasa percaya diri, kreatif dan ulet; 7) memiliki jiwa kepemimpinan dan keadilan; 8) bersikap rendah hati; dan 9) bertoleransi pada sesama.

R HENDARYAN, 2015

Santun dalam berbahasa artinya menggunakan nila-nilai yang benar tentang bahasa dan memperhatikan kebaikan serta norma kemasyarakatan dalam berkomunikasi, lingkungan sosial budaya masyarakat yang mempengaruhi pemakaian bahasa. Kegiatan berbahasa akan terkait dengan lingkungan sosial budaya dan kesantunannya akan terkait dengan norma yang dianut oleh masyarakatnya. Lingkungan sosial budaya merasakan betapa perlunya anggota masyarakat santun dalam berbahasa. Dengan kesantunan, lingkungan sosial budaya akan beroleh keharmonisan dalam berkomunikasi, kerukunan dalam bermasyarakat, dan kenyamanan dalam berkehidupan.

Masyarakat yang menjunjung tinggi nilai kepribadian/karakter (santun) berbahasa santun akan merasakan kesantunan sebagai bagian penting dan proses pendidikan, khususnya pendidikan formal. Sekolah berada dalam lingkungan masyarakat bahkan tidak bisa dipisahkan dari masyarakat. Jawaban siapa yang ada di sekolah (siswa, guru, karyawan, pimpinan) mengisyaratkan bahwa sekolah juga merupakan institusi sosial. Untuk itu “sekolah harus menjadi gambaran (miniatur) dan masyarakat lingkungannya” (Sauri, 2006). Sistem pendidikan di sekolah harus mampu menjadikan siswa memiliki kecerdasan emosional disamping kecerdasan intelektual. Kemampuan berkomunikasi merupakan salah satu kecerdasan emosional yang harus dimiliki oleh siswa selama dan sesudah mengikuti pendidikan. Komunikasi yang diharapkan dalam pendidikan adalah komunikasi yang berlangsung dalam suasana edukatif sehingga akhirnya siswa dapat berkomunikasi yang memperhatikan norma dan nilai yang berlaku. Bahasa yang komunikatif dan memberikan nilai positif bagi penutur dan mitra tuturnya disebut juga bahasa santun. Dengan demikian, pendidikan barus bisa mewujudkan pendidikan berbahasa santun. Kesantuan sebagai salah satu tujuan pendidikan bahasa belum menunjukkan pencapaian hasil yang membanggakan. Bahkan ironisnya, kesantunan dalam bahasa mengalami pengikisan. Orang tua sering mengeluhkan anaknya menggunakan bahasa yang tidak menunjukkan kesantunan, demikian guru juga merasakan siswa-siswanya

belum bisa membedakan mana bahasa santun dan mana bahasa yang tidak santun. Dalam tanyangan telivisi tak jarang kita lihat, orang-orang terhormat (pejabat pemerintah) kurang bahkan tidak menunjukkan kesantunan ketika berbahasa. Kesantunan dalam berbahasa dapat dibentuk dan diwujudkan dalam proses pendidikan (pembelajaran) yang tidak hanya melibatkan pihak sekolah (siswa, guru) melainkan juga pelibatan lingkungan masyarakat. Untuk ini diperlukan strategi yang terus menerus dikembangkan secara komprehensif dan terpadu. Sauri (2006:72) berpendapat “pengembangan strategi pendidikan berbahasa santun diartikan sebagai upaya mendayagunakan potensi yang dimiliki sekolah seperti kurikulum, guru, metode dan situasi edukatif guna mewujudkan kesantunan berbahasa di kalangan warga sekolah”.

Hal yang akan menjadi penanda pertama karakter (santun) seseorang yang bisa diamati adalah penggunaan bahasanya. Kebenaran seseorang dalam berbahasa (tidak berbohong), kedermawanan (memberikan keuntungan), kebaikan (memperhatikan situasi) dan kehalusan dalam berbahasa akan menunjukan bahwa pemakai bahasa itu mempunyai satu sisi karakter (santun) yang positif yakni “santun”.

Berbahasa bukan hanya sekedar menuturkan bunyi-bunyi yang bermakna ke dalam rentetan kata dan kalimat agar dipahami oleh orang lain. Perbuatan berbahasa melibatkan aspek mental yang bertemali dengan sikap dan perilaku komunikasi. Dalam tataran bahasa, kita mengenal adanya komponen sikap bahasa yakni kesetiaan berbahasa, kebanggaan berbahasa, kesadaran adanya norma bahasa. Pemakaian bahasa yang tidak melibatkan aspek mental (sikap) akan menjadikan bahasa sebagai pemicu terjadinya berbagai masalah kemanusiaan seperti yang dapat kita temukan sekarang (dekadensi moral). Orang tua menyatakan keanehan dan kegundahannya karena anak-anaknya bersikap, berbahasa, dan berperilaku kasar kepada teman-teman, saudara, bahkan kepada orang tuanya sendiri. Guru-guru di sekolah pun merasa prihatin karena siswa-siswanya kurang mempunyai sikap hormat ketika

R HENDARYAN, 2015

berkomunikasi di sekolah. Masyarakat sering dibuat resah oleh tawuran siswa dan perkelahian masal akibat bahasa yang digunakan bersifat saling mengejek. Demikian adanya pemakaian bahasa yang menunjukan karakter (santun).

Bahasa, karakter, dan pendidikan tidak dapat dipisahkan. Pendidikan bahasa yang mengesampingkan karakter akan menjadikan lulusan yang tidak berkarakter positif sehingga berkemungkinan berpengaruh terhadap martabat bangsa. Lickona (2001) mengungkapkan sepuluh tanda sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran, yakni 1) meningkatnya kekerasan dikalangan remaja; 2) penggunaan kata dan bahasa yang memburuk; 3) pengaruh peer group yang kuat dalam tindak kekerasan; 4) meningkatnya perilaku merusak diri; 5) semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk; 6) menurunnya etos kerja; 7) semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru; 8) rendahnya rasa tanggung jawab individu dan negara; 9) membudayanya ketidakjujuran; dan 10) adanya saling curiga dan kebencian diantara sesama. Kalau semua ciri itu kita perhatikan, pada hakikatnya semua itu bermula dari pemakaian bahasa yang tidak berkarakter (santun). Bahasa yang tidak berkarakter (santun) bisa saja bersumber dari pendidikan bahasa yang tidak menghubungkan bahasa dan pembelajarannya dengan pendidikan karakter (santun).

Perlunya pendidikan karakter (santun) seakan-akan tak pernah berhenti dibicarakan, dibahas dalam berbagai kesempatan baik dalam situasi formal akademis maupun dalam pembicaraan-pembicaraan atau tulisan-tulisan di media masa. Hampir semuanya berpendapat bahwa karakter (santun) bangsa ini telah mengalami dekandensi sehingga disana-sini muncul perilaku anak bangsa yang tidak lagi sesuai dengan norma dan nilai keagamaan, etika sosial, dan nila-nilai pendidikan yang dijadikan sebagai kerangka dasar acuan dalam bersikap dan berprilaku. Dari berbagai masalah karakter (santun) yang muncul, pendidikan dijadikan sebagai “tersangka” yang harus bertanggung jawab atas kemerosotan moral dan hilangnya karakter (santun) bangsa yang selama ini terkenal oleh bangsa lain sebbagai bangsa yang beradab. Pendidikan “dituduh” telah gagal dalam mengemban misinya sehingga

dinyatakan tidak mampu lagi melahirkan generasi yang bisa membangun dirinya dan bangsanya melalui kecerdasan akademik, kekuatan spiritual, dan kebaikan karakter (santun).

Pendidikan karakter (santun) bukan merupakan sesuatu yang baru dalam pendidikan kita. Kita tidak boleh lupa apa yang dikatakan Kihajar Dewantara tentang tujuan pendidikan dan fungsi pendidikan sebagaimana tersirat pada pasal 3 UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter (santun) serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”. Jadi, wacana publik selama ini tentang pendidikan karakter (santun) sebenarnya bukan sesuatu yang baru.

Selama ini pembahasan-pembahasan pendidikan karakter (santun) seolah-olah menjadi objek bahasan pendidikan nilai, pendidikan moral, dan kewarganegaraan, padahal sebetulnya harus merupakan pendidikan integratif apalagi dalam pendidikan formal disekolah-sekolah. Bahasa dan pendidikan bahasa harus mampu memberikan kontribusi pada pendidikan karakter (santun) karena karakter (santun) itu sendiri seperti yang dikemukakan oleh Art-Ong (Makalah Human Values Integrated

Instructional Model “dapat dibentuk melalui pendidikan/pembelajaran”). Guru mesti membentuk karakter (santun) yang baik pada diri siswa. seorang yang berkarakter (santun) adalah seorang yang memiliki kekuatan moral dan lima nilai kemanusiaan yaitu kebenaran, kebajikan, kedamaian, kasih sayang dan tanpa kekerasan. Nilai-nilai tersebut terkait dalam tuntutan berbahasa dan pembelajarannya, yakni santun berbahasa dan pembelajaran bahasa yang santun.

Pendidikan bahasa santun pada masyarakat tidak berbatas empat dinding kelas yang dilaksanakan di sekolah. Pada dasarnya pendidikan berbahasa santun adalah pembentukan dan atau pengubahan karakter peserta didik. Model yang bisa dijadikan sebagai alternatif dalam melakanakan pendidikan bahasa santun dilakukan melalui langkah-langkah

R HENDARYAN, 2015

1. Pengertian + pemahaman; 2. Pembelajaran + pembinaan; 3. Pemodelan + peneladanan; 4. Pelatihan + pembiasaan.

Pengertian dimaksudkan sebagai proses mengartikan konsep-konsep yang bersifat teoretis praktis. Sekaitan dengan pendidikan kesantunan, pengertian yang bersifat pengetahuan diharapkan dimiliki oleh peserta didik sebagai dasar atau pondasi untuk kemampuan berbahasa santun. Dengan demikian dalam konteks pendidikan berbahasa santun yang dipentingkan bukan hafal teori-teori santun berbahasa melainkan memiliki pengetahuan-pengetahuan praktis untuk bisa berbahasa santun. Pemahaman merupakan penyerta pengertian. Dengan memahami pesertas didik akan memiliki kesadaran sehingga timbul atau terbentuk sikap positif terhadap kesantunan berbahasa. Sikap inilah yang akan menjadi dasar untuk perilaku berbahasa santun.

Pembelajaran berbahasa santun harus diupayakan untuk mengoptimalkan potensi yang ada dalam peserta didik karena setiap individu mempunyai potensi yang bisa dikembangkan sehingga bisa diarahkan pada pencapaian tujuan pendidikan. Sekaitan dengan pendidikan berbahasa santun, pembalajaran merupakan proses yang bisa dibentuk sesuai dengan kemampuan masing-masing individu dalan berbahasa. Pembelajaran berbahasa santun harus dilakukan melalui penambahan porsi kegiatan melalui proses pembinaan. Proses pembinaan lebih diarhakna pada penanaman sikap positif terhadap bahasa yang dipelajari di samping menumbuhkembangkan keinginan untuk lebih tau dan lebih bisa.

Proses pendidikan bahasa santun tidak cukup mengandalkan hal-hal yang bersifat teori dan pengetahuan melainkan harus diupayakan terwujudnya sebuah model yang akan dijadikan sebagai contoh perilaku. Dalam konteks pendidikan berbahasa santun pemodelan merupakan hal yang sangat penting karena memungkinkan peserta didik tidak mengalami verbalisme. Tanpa adanya model yang

nyata sebagai contoh penggunaan berbahasa santun dalam berbagai konteks, peserta didik hanya akan bisa menghafal dan mengetahui teori berbahasa santun tetapi tidak bisa mengaplikasikannya dalam pemakaian bahasa yang sebenarnya. Model dalam pendidikan bahasa santun harus merupakan sosok yang patut dijadikan teladan. Oleh karena itu, peneladanan harus dilakukan setelah pemodelan. Dengan adanya peneladanan, peserta didik akan tumbuh kepercayaannya sehingga akan menajdikan yang bersangkutan memiliki keyakinan bahwa yang sedang dilakukannya merupakan hal yang positif dalam pemakaian bahasa yang sesungguhnya.

Langkah berikutnya adalah pelatihan dan pembiasaan. Kemampuan berbahasa merupakan kemampuan yang akan dimiliki seseorang melalui proses berlatih. Dalam konteks pendidikan kesantunan berbahasa, peserta didik diberi kesempatan yang sangat leluasa untuk melakukan latihan yang didasari oleh stimulus penggunaan bahasa yang santun. Latihan yang dimaksud dalam konteks ini adalah latihan yang terstruktur dan berkesinambungan. Pelatihan tidak akan memberi perubahan yang sangat signifikan tanpa diikuti oleh pembiasaan. Proses berbahasa pada hakikatnya adalah proses membiasakan bertutur dengan pola-pola bahasa yang diketahui oleh penuturnya. Bahasa merupakan serangkaian kebiasaan, oleh karena itu dalam konteks pendidikan bahasa yang santun harus diciptakan lingkungan yang memungkinkan pesertad didik dapat membiasakan kemampuan-kemampuan berbahasa yang dimilikinya.

Sistematika kegiatan pendidikan berbahasa santun dapat dikemukakan sebagai berikut.

1. Penentuan tujuan pendidikan;

2. Penentuan konteks penggunaan bahasa; 3. Penentuan materi pendidikan;

4. Penentuan metode pendidikan; 5. Penentuan media pendidikan; 6. Penentuan sumber pendidikan;

R HENDARYAN, 2015

7. Penentuan langkah-langkah pendidikan; 8. Penentuan penilaian sikap;

9. Penentuan penilaian unjuk kerja.

Pendidikan pada hakikatnya merupakan upaya sadar dan berencana untuk mencapai tujuan. Pernyataan ini akan memberikan makna bahwa pendidikan berbahasa santun harus didasari oleh adanya kesadaran, pentingnnya penggunaan bahasa santun dalam berkomunikasi. Proses pendidikan yang dimaksud harus dilaksanakan secara berencana karena pendidikan berbahasa santun jangan sampai memunculkan peserta didik yang kurang bisa menggunakan hasl belajarnya dalam kepentingan pemakaian bahasa sesungguhnya. Pendidikan berbahasa santun harus bertujuan untuk mewujudkan peserta didik (masyarakat) yang mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa-bahasa yang diterima oleh masyarakat karena bahasa tersebut sesuai dengan norma bahasa itu dan sesuai pula dengan nilai-nilai sosial budaya masyarakat tempat digunakannya bahasa itu.

5.3 Rekomendasi

Penelitian yang telah menghasilkan deskripsi karakteristik kemampuan penutur dwibahasawan Sunda-Indonesia dalam berunjuk santun berbahasa Indonesia merekomendasikan hal-hal berikut:

1. Kehidupan bermasyarakat keberlangsungannya sangat ditentukan oleh keberhasilan komunikasi antara penutur dengan mitra tutur. Keberhasilan komunikasi ini ditentukan oleh pemahaman dan penggunaan bahasa yang santun. Oleh karenanya, untuk mewujudkan kesantuanan dalam berbahasa hendaknya penutur dan mitra tutur memperhatikan norma bahasa dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat yang berlaku dan diterima oleh masyarakat. 2. Penutur dan mitra tutur hendaknya menggunakan kata, kalimat, dan intonasi

yang mengindikasikan penunjukan kesantunan sehingga mitra tutur menunjukan simpati pada penutur.

3. Penutur dan mitra tutur (masyarakat) hendaknya berkomunikasi melalui bahasa dengan memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut.

a. Perlukah bertutur, dengan siapa bertutur, bagaimana cara bertutur. b. Dalam berkomunikasi hendaknya pelaku komunikasi memperhatikan

strategi “raba rasa”, “balik rasa”, “genah rasa”.

4. Budaya daerah memiliki nilai-nilai kebaikan yang telah tertanam dan dipeliharaa oleh masyarakatnya. Nilai-nilai kebaikan ini harus diimplementasikan dalam kehidupan modern sekarang karena memiliki kearifan lokal dalam bidang bahasa berisi fatwa-fatwa atau petuah kepada masyarakat budaya itu agar berbudi pekerti baik dan berbahasa dengan santun. Penutur dwibahasawan Sunda-Indonesia harus paham berikutnya mengaplikasikan kearifan lokal dalam bidang bahasa sebagai berikut.

a. Hade ku basa goreng ku basa;

b. Kudu bisa silih asih, silih asah, silih asuh;

c. Sangkan cageur, bageur, bener, pinter, tur singer.

5. Penelitian sejenis yang akan mengembangkan penelitian ini akan memperkaya khasanah keilmuan dan konsep kesantunan yang masih belum memiliki kebakuan. Oleh karenanya sangat dinantikan keterwujudannya.

R HENDARYAN, 2015

EKSPRESI KESANTUNAN DALAM TUTURAN BAHASA INDONESIA OLEH PENUTUR DWIBAHASAWAN SUNDA-INDONESIA

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Alwasilah, C.A. (2006). Pokonya Sunda. Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Kiblat, Pusat Studi Sunda.

Alwi, H & Sugono, D. (1999). Politik Bahasa. Risalah Seminar Politik Bahasa. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas

Austin, J.L. (1962). How To Do Thing With Word. Oxford: Oxford University Press. Brown, G & Yule, G. (1980). Analisis Wacana (Terjemahan Discourse Analysis),

Indah Fajar Wahyuni. Jakarta: Gramedia.

Budiningsih, A. (2008). Pembelajaran Moral Berpijak pada Karakteristik Siswa dan

Budayanya. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, A & Agustina L. (2010). Sosiolinguistik. Bandung: Rineka Cipta.

Djajasudarma, F. (2010). Metode Linguistik. Ancangan Metode Penelitian dan

Kajian. Bandung: Refika Aditama.

Denzin, N & Lincoln Y. (2009). Qualitative Research. California: Sage Publication Ltd.

Fishman, J.A. (1972). The Sociology of Language. Massachussetts: Newbury House Publication.

Fraenkel, J & Wallen N.E. (2000). How To Design and Evaluate Research in

Education. SanFransisco: Mc Graw Hill.

Grice, H.P. (1975). Logic and Conversation. New York: Academik Press Halim, A. (1981). Bahasa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta: Pusat Bahasa

Hymes, D. (1972). Model of Interactive of Language and Social Life. New York: Holt Winson

Kridalaksana, H. (1984). Kamus Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia.

Dokumen terkait