• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Kajian Empiris

6. Sistem Penilaian

Penilaian yang dilaksanakan di sekolah dasar antara lain berupa ulangan harian, ulangan tengah semester, dan ulangan akhir semester serta ulangan kenaikan kelas. Dengan demikian, untuk satuan pendidikan sekolah dasar ulangan yang bersifat kolektif sebanyak empat kali , yaitu dua kali ulangan tengah semester dan dua kali ulangan akhir semester. Jumlah tersebut bertambah jika sekolah mengadakan jenis ulangan lain, seperti uji kendali mutu, uji khusus kemampuan membaca, menulis, dan berhitung, atau ulangan jenis lain. Ulangan harian , ulangan tengah semester, dan ulangan akhir semester ganjil lebih sering dilaksanakan oleh sekolah masing-masing. Tetapi, ulangan akhir semester kedua (ulangan kenaikan kelas) sering dilaksanakan oleh gugus atau Unit Pelaksana Tugas Diknas Kecamatan masing-masing. Berkaitan dengan hasil penilaian, sekolah menggunakannya sebagai salah satu pertimbangan kenaikan kelas. Dalam penyusunan KTSP, kriteria dan ketentuan kenaikan kelas setiap sekolah telah dicantumkan, sehingga setiap sekolah mempunyai aturan jelas tentang kenaikan kelas. Karena itu, pada kenyataannya setiap tahun ada siswa yang tinggal kelas dengan adanya ketentuan dan kriteria ini. Aturan kenaikan kelas di setiap sekolah berbeda-beda. Selain itu, ada sekolah yang menganut prinsip tidak ada siswa yang tinggal kelas sesuai dengan prinsip dasar kurikulum berbasis kompetensi yang dilaksanakan dengan pendekatan belajar aktif karena menahan anak satu tahun lagi di kelas yang sama dipandang sebagai hukuman yang melanggar hak asasi potensi tumbuh kembang anak dan kasih sayang kepada anak.

Bipoupout J C dalam artikelnya “The Contribution of the Competency-based Approach to Education for all in Cameroon” dalam Prospects Vol. 37, No. 2, 205-221 menunjukkan perlunya peningkatkan praktik dalam pengalaman belajar-mengjar siswa SD dalam penerapan kurikulum berbasis kompetensi dengan adanya pengajaran remedial untuk mengatasi masalah mengulang kelas di SD di Kamerun.

Grantham, Madeline Kay (2000) dalam artikelnya “Impact of Small Class Size on Achievement” berdasarkan penelitian tentang promosi sosial (anak yang naik kelas tidak kehilangan temannya) dan ulang kelas di SD di New York menunjukkan bahwa tinggal kelas dan promosi sosial tidak mememuhi kebutuhan siswa yang gagal mencapai prestasi. Peneliti juga mengajukan berbagai saran untuk meningkatkan lingkungan belajar, termasuk menerapkan kelompok campuran anak yang memiliki kemampuan yang berbeda. Dari guru-guru yang diteliti, 60% percaya bahwa siswa tidak boleh dipromosi secara social jika prestasi

26 belajarnya tidak tercapai, 70% percaya bahwa mereka tidak boleh bersama-sama dengan teman sebayanya jika prestasi mereka di bawah rata-rata, 30% percaya bahwa masalah perilaku akan terjadi karena tinggal kelas ini. Semua guru setuju bahwa mengulang kelas adalah pilihan terbaik.

Goos, Mieke; Van Damme, Jan; Onghena, Patrick; Petry, Katja (2011) dalam artikel “First-Grade Retention: Effects on Children's Actual and Perceived Performance throughout Elementary Education”. Society for Research on Educational Effectiveness. 2040 Sheridan Road, Evanston, IL 60208 (http://www.sree.org) meneliti 3707 siswa SD di Belgia yang tinggal kelas di kelas I yang bahasa ibunya adalah bahasa Fleming. Studi ini menunjukkan bahwa siswa yang mengulang kelas memulai tahun ajaran dengan kelebihan pada matematika dan kelancaran membaca dibandingkan murid-murid baru. Para guru mereka tetap menilai sama buruknya dalam keterampilan matematika dan bahasa. Setelah waktu berlalu siswa yang mengulang kelas berkembang lebih lambat sehingga membuat mereka dirugikan dalam penampilan (pencapaian prestasi) aktual dan dalam pandangan atau persepsi guru terhadap mereka di kelas akhir SD. Perbandingan dengan kelompok yang berprestasi rendah tapi dinaikkan ke kelas II menunjukkan bahwa prestasi mereka lebih baik dalam jangka pendek dan jangka panjang karena mereka dinilai lebih positif oleh guru kelas di atasnya dan mampu menunjukkan kelancaran dalam matematika dan membaca.

Pemerintah Australia pada umumnya mengikuti prinsip bahwa dalam situasi normal, anak-anak SD naik kelas dari tahun ke tahun. Tinggal kelas hanya diperbolehkan dalam situasi khusus namun tetap demi kepentingan terbaik anak, dengan mempertimbangkan kriteria berikut ini: (a) tidak boleh terjadi di kelas I tapi di kelas selanjutnya; (b) harus didiskusikan dengan orang tua siswa pada periode waktu tertentu sebelum pilihan tinggal kelas diambil; (c) haurs dikemukakan apa saja yang telah dilakukan guru untuk mencegah ulang kelas ini; (d) bukti-bukti perlu diberikan mengapa tinggal kelas itu menjadi pilihan terbaik dengan mengemukakan manfaat yang diantisipasi dan pertimbangan mengenai alternatif lain; (e) harus diperhatikan bahwa dengan meningkatnya pilihan lain yang lebih bermakna untuk membantu memaksimalkan kemajuan anak, ulang kelas adalah pilihan yang tidak ditempuh banyak sekolah lain; (f) ada keprihatinan bahwa dampak negatif ulang kelas – menyingkirkan teman-teman sebayanya, persepsi diri yang negatif, dan lain-lain mungkin lebih besar daripada manfaat ulang kelas yang diantisipasi. Karena itu, ditutuntut komitmen yang sungguh-sungguh dari pihak siswa, sekolah, dan orang tua; dan (g) betapa pun, tidak

27 boleh anak yang tinggal kelas lebih dari satu kali. (Primary Education, http://www.aussieeducator. org.au/education/levels/primary.html#tbt).

Sekolah dasar di Inggris yang menerapkan kurikulum berbasis outcome pada prinsipnya tidak menganut sistem ulang kelas karena siswa naik kelas sesuai dengan usianya. Ulang kelas hanya diberlakukan karena kurangnya kehadiran di sekolah, misalnya karena siswa menderita penyakit yang lama, dan terutama pada tahun-tahun yang menuntut siswa mengikuti tes terstandar. Selain itu, siswa yang menunjukkan kecerdasan yang hebat secara signifikan dibanding teman sebayanya dapat melompat kelas. (http://en.wikipedia.org/wiki/ Education_in_England)

Berdasarkan hasil tes PISA, anak-anak di negara-negara tempat lebih banyak siswa tinggal kelas mencatat skor lebih buruk dan tinggal kelas lebih banyak dialami anak-anak dari keluarga kelas sosial-ekonomi yang lebih rendah. Selain itu, para siswa di negara-negara yang menerapkan pemindahan siswa yang lemah ke sekolah lain atau mengeluarkan siswa yang nakal meraih skor lebih buruk. (PISA 2009 Executive Summary; http://www.pisa2006.helsinki.fi/)

Berdasarkan kajian empiris ini dalam penerapan kurikulum yang ditata ulang, diusulkan agar kebijakan tinggal kelas di SD/MI ditinggalkan karena sesuai dengan prinsip pendekatan kurikulum berbasis kompetensi yang dilaksanakan melalui belajar aktif, tiap siswa terus naik kelas dan evaluasi hanya menunjukkan tingkat pencapaian kompetensi yang telah ditunjukkan pada akhir tiap kelas.

28

Dokumen terkait