• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA

7.2 Strategi Pasif ( Penekanan atau Pegetatatan Pengeluaran)

7.2.1 Pengeluaran sandang

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa petani miskin yang ada di Desa Silima Kuta juga melakukan pembatasan pengeluaran atau sering dikenal dengan istilah pengiritan biaya agar bisa mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Hal ini sesuai dengan penuturan salah satu informan yaitu Pak K Berutu ( Lk, 65 Tahun) yang menyatakan:

“kalau keluarga kami itu tidak terlalu mempermasalahkan untuk harus membeli baju baru,

apalagi kalau anak-anak kami maunya orang itu dibelikkan baju monja aja. Kayak akulah bisa kujaitkan untuk bajuku sikit-sikit, itupun kalau ada yang sudah rusak bisa kuperbaiki lagi supaya bisa dipakai lagi. Jadi dengan kami mengirit biaya kesitu kan bisa uangnya kami pergunakan untuk usaha tani ataupun kami simpan uangnya untuk persiapan nanti

jika ada keperluan mendadak”

Hal yang sama juga diungkapkan oleh salah satu informan, yaitu Pak Lius Tumangger (50 Tahun)yang menyatakan:

“ kalau kami untuk keperluan masalah pakaian dan keperluan-keperluan lain bagi kami tidak terlalu penting harus baru , yang penting bisa kami pakek. Kayak baju sekolah anak-anak kami jarangnya kami belikkan baru, karena bisanya dipakek lagi untuk adek-adeknya lagi karena kan sayanglah kalau gak dipakek lagi. Kalau kami irit-irit kan bisa kami tabungkan uangnya sikit-sikit untuk biaya usaha tani kami, karena kalau gak kayak gitu maunyansama sekali gak ada kami pegang uang kalau pas mau perawatan tanaman kami. Apalagi anak saya banyak jadi sanagt terasa kali biaya yang dibutuhkan”

7.2.2 Pangan

Dalam strategi mempertahankan usaha taninya, petani miskin menggunakan strategi pengurangan atau pengiritan biaya dari segi pangan, seperti yang diungkapkan oleh salah satu informan, yaitu Buk Marisa Berutu ( 34 Tahun) yang menyatakan:

“ setiap harinya, kami selalu makan makanan yang sederhana, seperti kalau untuk makan

siang maunya kukasih anakku makan ubi aja tapi gak setiap hari juga. Trus ikan kami pun setiap hari makan ikan asin ajanya, baru sayur-sayur bisanya langsung kami ambil dari ladang , kayak daun ubi dan sayur-sayur lain, karena lumayan lah gak perlu kami belik kepasar biar irit biaya kami. Jadi dengan kami mengirit biaya untuk kebutuhan pangan kan bisalah kami alokasikan uangnya keusaha tani kami, kayak belik pupuk, kompos dan

kebutuhan lain untuk pertanian kami”

Hal senada juga diungkapkan oleh salah satu informan, yaitu Buk Sabar Tumangger ( 50 Tahun) yang menyatakan:

“kalau untuk makan kami sehari hari ya seadanya ajalah , kadang pun maunya kami makan gak pakek ikan, karena blanjapun sekali seminggunya cuman, jadi langsung habislah karena sikit-sikit nya dibelik. Kadang pun maunya kami masakkan ubi untuk makan siang kami diladang, itupun kami sukurinya. Kalau sayur-sayuran banyaknya kami tanami, kayak daun ubi sama sayur-sayur lain. Jadi gak perlulah kami blik lagi. Jadikan kalau kami irit-irit kan bisa uangnya kami simpan dan bisa nanti kami olah untuk

Hal yang sama juga diungkapkan oleh salah satu informan, yaitu Buk Arman Manik (50 Tahun) yang menyatakan:

“ kalau untuk makan kami sehari-hari yah apa adanyalah. Kalau untuk sayur-sayur bisanya kami gak perlu belik karena adanya kami tanam sendiri di ladang, kalau ikan kami Cuma makan ikan asin yang murah-murah itunya. Kalau makan-makan daging palinglah sekali-sekali itupun karena ada juga ternak ayam kami. Jadi irit-iritlah kami untuk makan kami. Jadi adapun uang kami mendinglah kami gunakan untuk keperluan pertanian kami”

7.2.3 Pendidikan

Dalam mempertahankan usaha taninya, petani miskin menggunakan strategi pengurangan atau pengiritan biaya seperti dalam segi pendidikan, seperti yang diungkapkan oleh salah satu informan, yaitu Bapak Sadar Berutu (Lk, 40 Tahun) yang menyatakan:

“ untuk mengurangi biaya keluarga kami, seperti masalah pendidikan anak-anak kami paling besar, lebih baik kami menyekolahkannya di kampung ini. Kebetulan ada sekolah SMA dikampung ini, jadi bisa mengirit biaya kami. Kalau mau kesekolah anak kami harus berjalan kaki, padahal sekolahnya sangat jauh dari rumah kami. Kalau mau blik kreta untuk kendaraannya kami belum ada uang. Lagianpun setelah pulang dari sekolahnya dia bisa langsung keladaang untuk membantu kami diladangwalaupun hanya sebentar saja, daripada dia hanya bermain-main dengan kawannya dikampung. Selain itupun untuk biaya membeli pupuk sama kompos saja uang kami tidak cukup, untunglah ada bantuan dari pemerintah untuk petani miskin di desa ini, meskipun hanya sedikit saja yang diberikan.tapi itupun lumayan kami rasa karena bisa mengirit biaya pengeluaran kami. Jadikan kalau adapun tadi biaya yang kami pegang kan bisa kami gunakan ke usaha tani kami, kayak belik pupuk sikit-sikit, kompos supaya gak mendadak kali nanti pas mau butuh perawatan”

Hal senada juga diungkapkan salah satu informan, yaitu Pak Lius tumangger ( 50Tahun) yang menyatakan:

“ kalau naka-anak saya semuanya kusekolahkan disini, karena sama sajanya dimanapun sekolah. Karena kalau gak kayak gitu bengkak kalilah biaya kalau harus sekolah diluar. Belum lagi makannya, kosnya. Tapi kan kalau disini mereka sekolah gak perlu pakek biaya besar, palinglah untuk jajannya sama biaya bukunya, karena uang sekolah gaaknya bayar. Jadi kalaupun ada uang tadi kami iritkan kan bisa untuk keperluan usaha tani kami. Lagian kan bisanya pulang sekolah dibantu-bantu orang itu kami kerja bentar diladang, jadi lebih

ringan jadinya kerjaan kami”

Dalam hal penekanan atau pengiritan biaya pengeluaran, petani miskin di Desa Sillima Kuta banyak yang melakukan penghematan baik dalam kebutuhan sandang, pangan, pendidikan dan biaya usaha taninya. Seperti terlihat dari kebutuhan makan sehari hari, petani miskin hanya

makan ikan asin dan sayur-sayuran yang diambil dari pertaniannya sendiri. Dari segi pendidikan anak-anaknya,para petani miskin lebih memilih untuk mneyekolahkan anak-anaknya disekolah terdekat yang ada di desa tersebut. Karena menurut mereka, jika harus sekolah di luar , maka pasti akan membutuhkan biaya yang besar. Selain itu para orang tua juga sedikit terbantu pada usaha taninya, dimana sepulang sekolah anak-anaknya bisa membantu mereka bekerja di ladang meskipun hanya sebentar. Kemudian para Bapak-bapak kebanyakan tidak suka nongkrong untuk minum diwarung meskipun ada juga yang sebagian terlihat mau berkumpul-kumpul di warung. Para bapak-bapak lebih memilih untuk minum dirumah sendiri. Jadi terlihat ada kebersamaan bersama keluarga jika malam hari. Selain itu bisa mengirit pengeluaran mereka. Mau tidak mau hal ini harus dilakukan para petani miskin yang ada di desa tersebut, karena dengan menerapkan hidup sederhana dan tidak bermewah-mewahan maka akan mencukupi kebutuhan keluarganya dan dengan sistem pengiritan tersebut maka petani miskin yang ada di Desa Silima Kuta bisa menyimpan untuk biaya keperlun lainnya, kususnya lebih fokus untuk membiayai usaha taninya.

Dokumen terkait