• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP

5.2 Saran

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian mengenai strategi perempuan pesisir dalam mengatasi kemiskinan pada keluarga nelayan miskin di Kelurahan Bagan Deli, maka terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai saran dari penelitian ini:

1. Pemerintah seharusnya lebih memerhatikan keadaan perempuan-perempuan di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan. Yakni dengan mengadakan program pemberdayaan untuk meningkatkan keterampilan perempuan. Dengan keterampilan yang dimiliki oleh perempuan, maka akan memberikan lebih banyak peluang untuk memperoleh penghasilan yang lebih baik. Dengan penghasilan yang lebih baik tentu akan berdampak baik pula pada perekonomian keluarga mereka. 2. Pemberian modal dengan bunga yang rendah untuk membuka usaha

dengan memanfaatkan keterampilan yang telah diberikan pada program sebelumnya. Membuka lapangan pekerjaan agar perempuan di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan dapat memperoleh pekerjaan yang lebih baik sehingga tidak ada perempuan yang bekerja sebagai buruh kopek udang dengan upah yang minim.

3. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat menganalisis sumberdaya lokal yang ada di Kelurahan Bagan Deli sehingga perempuan dapat mengembangkan sumberdaya lokal tersebut agar menjadi suatu komoditas yang dapat dimanfaatkan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kemiskinan Nelayan

Masyarakat yang berada di kawasan pesisir menghadapi berbagai permasalahan yang menyebabkan kemiskinan. Pada umumnya mereka menggantungkan hidupnya dari pemanfaatan sumberdaya laut dan pantai yang membutuhkan investasi besar dan sangat bergantung musim. Sebagian besar dari mereka bekerja sebagai nelayan kecil, buruh nelayan, pengolah ikan skala kecil dan pedagang kecil karena memiliki kemampuan investasi terbatas. Nelayan kecil hanya mampu memanfaatkan sumberdaya di daerah pesisir dengan hasil tangkapan yang cenderung terus menurun akibat persaingan dengan kapal besar dan penurunan mutu sumberdaya pantai. Hasil tangkapan juga mudah rusak sehingga melemahkan posisi tawar mereka dalam transaksi penjualan. Selain itu, pola hubungan eksploitatif antara pemilik modal dengan buruh dan nelayan, serta usaha nelayan yang bersifat musiman dan tidak menentu menyebabkan masyarakat miskin di kawasan pesisir cenderung sulit untuk keluar dari jerat kemiskinan dan belitan utang pedagang atau pemilik kapal (Febrianto & Rahardjo, 2005).

Menurut UU No. 6 Tahun 1964, pengertian nelayan dibedakan menjadi dua, yaitu nelayan pemilik dan nelayan penggarap. Nelayan pemilik ialah orang atau badan hukum yang dengan hak apapun berkuasa atas sesuatu kapal atau perahu yang dipergunakan dalam usaha penangkapan ikan. Nelayan penggarap

adalah semua orang yang sebagai kesatuan dengan menyediakan tangannya turut serta dalam usaha penangkapan ikan di laut.

Lebih lanjut Retnowati (2011) mengemukakan bahwa nelayan dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Nelayan pemilik adalah orang atau perseorangan yang melakukan usaha penangkapan ikan, dengan hak atau berkuasa atas kapal/perahu dan/atau alat tangkap ikan yang dipergunakan untuk menangkap ikan.

2. Nelayan penggarap adalah seseorang yang menyediakan tenaganya atau bekerja untuk melakukan penangkapan ikan yang pada umumnya membentuk satu kesatuan dengan yang lainnya dengan mendapatkan upah berdasarkan bagi hasil penjualan ikan hasil tangkapan.

3. Nelayan tradisional adalah orang perorangan yang pekerjaannya melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan perahu dan alat tangkap yang sederhana.

4. Nelayan kecil pada dasarnya berasal dari nelayan tradisional hanya saja dengan adanya modernisasi/motorisasi perahu dan alat tangkap mereka tidak lagi semata-mata mengandalkan perahu tradisional melainkan menggunakan diesel atau motor.

5. Nelayan gendong adalah nelayan yang dalam keadaan senyatanya dia tidak melakukan penangkapan ikan karena kapal tidak dilengkapi dengan alat tangkap melainkan berangkat dengan membawa modal dari juragan yang akan digunakan untuk membeli ikan di tengah laut kemudian akan dijual kembali.

Secara garis besar nelayan dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu nelayan kecil dan nelayan besar. Nelayan kecil dicirikan dengan masih rendahnya teknologi pada alat tangkap dan armada yang digunakan. Secara kultural, masyarakat nelayan kecil masih berorientasi subsisten. Kondisi ini sangat berbeda jauh dengan nelayan besar yang telah menggunakan teknologi modern pada alat tangkap maupun armadanya. Nelayan besar sudah tidak lagi berada pada kondisi subsisten namun telah berada pada tingkat komersialis lanjut. Karakteristik lain yang bisa dilihat pada penggunaan tenaga kerja. Nelayan kecil lebih banyak menggunakan tenaga kerja dari dalam keluarga, sedangkan nelayan besar telah mempekerjakan tenaga buruh upahan dengan jumlah yang besar (Mubyarto, dkk., 1984; Satria, 2001).

Menurut Retnowati (2011), kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Namun, menurut ILO (1977) dalam penelitian Agunggunanto (2011), kebutuhan dasar dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu pertama, kebutuhan dasar yang diperlukan sekali untuk mempertahankan hidupnya, yaitu tercukupinya makanan, perumahan dan pakaian, seperti peralatan dan perlengkapan rumah tangga. Kedua, kebutuhan lainnya termasuk penyediaan pelayanan utama yang diberikan untuk masyarakat seperti air minum, sanitasi, pengangkutan umum dan kesehatan, fasilitas pendidikan dan budaya. Menurut Kornita dan Yusuf (2009), karakteristik keluarga miskin biasanya diwarnai pendidikan yang relatif rendah, karena terjadi semacam vircius cycle atau lingkaran setan. Pendidikan yang rendah akan memiliki

pekerjaan yang rendah dan tentunya memperoleh pendapatan yang rendah pula, kemampuan membiayai pendidikan rendah dan seterusnya.

Permasalahan utama yang dominan dihadapi oleh keluarga nelayan adalah masalah kemiskinan yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan keterampilan dalam mengelola sumberdaya keuangan keluarga, manajeman alokasi waktu dan pekerjaan yang kurang efisien, keterampilan pengolahan hasil perikanan yang masih terbatas, dan rendahnya posisi tawar menawar (bargaining power position) bagi nelayan kecil yang dikarenakan lemahnya sistem kelembagaan dan keterampilan berorganisasi (Puspitawati 2013). Prasetyo (2004) dalam Puspitawati (2013) membuktikan bahwa keluarga nelayan masih mempunyai kemampuan yang rendah dalam mengelola keuangan keluarga yang dibuktikan dengan rendahnya perencanaan keuangan dan rendahnya pelaksanaan strategi penghematan pengeluaran terutama pada saat musim melaut dan sedikit melakukan strategi penambahan pendapatan keluarga.

Menurut Widodo (2011), umumnya mereka menggantungkan hidupnya dari pemanfaatan sumberdaya laut dan pantai yang membutuhkan investasi besar dan sangat bergantung pada musim. Sebagian besar dari mereka bekerja sebagai nelayan kecil, buruh nelayan, pengolah ikan skala kecil dan pedagang kecil karena memiliki kemampuan investasi terbatas. Nelayan kecil hanya mampu memanfaatkan sumberdaya di daerah pesisir dengan hasil tangkapan yang cenderung terus menurun akibat persaingan dengan kapal besar.

Menurut Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (2006) dalam Retnowati (2011), sebab-sebab pokok yang menimbulkan kemiskinan pada nelayan adalah:

a. Belum adanya kebijakan, strategi dan implementasi program pembangunan kawasan pesisir dan masyarakat nelayan yang terpadu di antara para pemangku kepentingan pembangunan.

b. Adanya inkonsistensi kuantitas produksi (hasil tangkapan), sehingga keberlanjutan aktivitas sosial ekonomi perikanan di desa-desa nelayan terganggu.

c. Masalah isolasi geografis desa nelayan sehingga menyulitkan keluar-masuk arus barang, jasa, kapital, dan manusia, yang mengganggu mobilitas sosial ekonomi.

d. Adanya keterbatasan modal usaha atau modal investasi, sehingga menyulitkan nelayan meningkatkan kegiatan ekonomi perikanannya. e. Adanya relasi sosial ekonomi yang “eksploitatif” dengan pemilik

perahu, pedagang perantara (tengkulak), atau pengusaha perikanan dalam kehidupan masyarakat nelayan.

f. Rendahnya tingkat pendapatan rumah tangga nelayan, sehingga berdampak negatif terhadap upaya peningkatan skala usaha dan perbaikan kualitas mereka.

Berdasarkan pemaparan penyebab kemiskinan yang dikemukakan oleh Retnowati (2011), kemiskinan nelayan sesuai dengan kemiskinan yang dikemukakan oleh Sajogyo yaitu kemiskinan akibat adanya eksploitasi dari adanya hubungan patron-client.

2.2 Faktor- faktor Penyebab Kemiskinan Nelayan

Pada artikel ilmiah Hamdani (2013) menyimpulkan bahwa faktor-faktor kemiskinan nelayan tradisional adalah sebagai berikut :

1. Kualitas Sumber Daya Manusia, yang ditandai dengan tingkat pendidikan yang rendah sebagai salah satu indikator dari rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia, indikator ini sangat menentukan seseorang atau sekelompok orang berstatus golongan masyarakat miskin atau bukan miskin. Dimana mereka yang berpendidikan rendah, produktifitasnya rendah. Rendahnya produktifitas akan berpengaruh pada rendahnya pendapatan. Sedangkan tingkat pendapatan merupakan salah satu ciri dari penduduk miskin.

2. Pekerjaan alternatif menjadi penting bagi nelayan tradisional, ketika laut tidak lagi menyediakan ikan untuk ditangkap, karena pada kenyataannya pekerjaan sebagai nelayan adalah pekerjaan yang bergantung pada kemurahan alam (laut) dalam menyediakan sumber dayanya. Apalagi penghasilan nelayan tradisional dari kegiatan melaut tidak bisa diandalkan, bahkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan sehari-hari tidak jarang harus meminjam kepada saudara.

3. Kebiasaan nelayan, hal tersebut ditandai dengan kebiasaan atau sosial budaya yang kurang memperhatikan, dimana mereka mempunyai pola hidup yang kurang memperhitungkan kebutuhan masa depannya, artinya setiap kali mendapat hasil tangkapan yang melimpah atau lebih maka pada saat itu pula mereka akan membelanjakan atau

menghabiskannya. Misalnya mereka membeli perhiasan, pakaian, dan sebagainya secara berlebihan.

4. Kepemilikan modal, merupakan salah satu faktor utama dalam pengembangan usaha, jika nelayan tradisional tidak memiliki modal usaha maka mereka tidak dapat melakukan peningkatan hasil produksi baik dari segi jumlah maupun kualitasnya. Tidak dapat melakukan peningkatan hasil produksi mengakibatkan rendahnya produktifitas nelayan tradisional dan hal ini berakibat pada rendahnya pendapatan yang diterima.

5. Teknologi yang digunakan, hal tersebut ditandai dengan masih tradisionalnya peralatan yang digunakan yakni badan perahu berbahan kayu, ada yang menggunakan motor tempel, juga ada yang menggunakan layar sebagai pengganti motor tempel, panjang antara 5-8 meter, lebar 0,5-1 meter, awak perahu 1-5 orang, kecepatan jelajah terbatas.

6. Peranan lembaga ekonomi, hal tersebut disinyalir karena belum adanya lembaga ekonomi atau lembaga perkumpulan nelayan yang bertugas menaungi keperluan, menyalurkan hasil tangkapan, serta memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan nelayan tradisional.

Selanjutnya Kusnadi (2002: 2) menyatakan kesulitan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan tradisonal dipengaruhi oleh sejumlah faktor internal dan eksternal. Adapun faktor-faktor tersebut adalah :

1. Faktor internal

a. Keterbatasan kualitas sumber daya manusia

b. Keterbatasan kemampuan modal usaha dan teknologi penangkapan

c. Hubungan kerja dalam organisasi penangkapan yang seringkali kurang menguntungkan buruh

d. Kesulitan melakukan diversifikasi usaha penangkapan e. Ketergantungan yang sangat tinggi terhadap okupasi melaut

f. Gaya hidup yang dipandang boros, sehingga kurang berorientasi ke masa depan

2. Faktor eksternal

a. Kebijakan pembangunan perikanan yang lebih berorientasi kepada produktivitas untuk menunjang pertumbuhan ekonomi nasional dan parsial b. Sistem pemasaran hasil perikanan yang lebih menguntungkan padagang

perantara

c. Kerusakan akan ekosistem pesisir dan laut karena pencemaran dari wilayah darat, praktek penangkapan ikan dengan bahan kimia, perusakan terumbu karang, dan konservasi hutan bakau di kawasan pesisir

d. Penggunaan peralatan tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan e. Terbatasnya teknologi pengolahan pasca panen

f. Terbatasnya peluang kerja di sektor non perikanan yang tersedia di desa nelayan

g. Kondisi alam dan fluktuasi musim yang tidak memungkinkan nelayan melaut sepanjang tahun

h. Isolasi geografis desa nelayan yang mengganggu mobilitas barang, jasa, modal, dan manusia.

Banyak penelitian telah membuktikan bahwa tekanan kemiskinan yang melanda kehidupan nelayan tradisional sesungguhnya disebabkan oleh faktor-faktor yang kompleks (Satria, 2001; Suyanto, 2003). Faktor-faktor-faktor tersebut tidak hanya berkaitan dengan fluktuasi musim ikan, keterbatasan sumber daya manusia, modal serta akses, jaringan perdagangan ikan yang eksploitatif terhadap nelayan sebagai produsen, tetapi juga disebabkan oleh dampak negatif modernisasi perikanan atau revolusi biru yang mendorong terjadinya pengurasan sumber daya laut secara berlebihan. Proses demikian masih terus berlangsung hingga sekarang dan dampak lebih lanjut yang sangat terasakan oleh nelayan adalah semakin menurunnya tingkat pendapatan mereka dan sulitnya memperoleh hasil tangkapan. Hasil-hasil studi tentang tingkat kesejahteraan hidup di kalangan nelayan telah menunjukan bahwa kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi atau ketimpangan pendapatan merupakan persoalan krusial yang dihadapi dan tidak mudah untuk diatasi (Kusnadi, 2002).

2.3 Strategi Perempuan Pesisir

Andriati (1992) mengungkapkan, bahwa salah satu strategi adaptasi yang ditempuh oleh rumah tangga nelayan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi adalah mendorong para istri mereka untuk ikut mencari nafkah. Kontribusi ekonomi perempuan yang bekerja sangat signifikan bagi para nelayan. Perempuan-perempuan yang terlibat dalam aktivitas mencari nafkah merupakan

pelaku aktif perubahan sosial-ekonomi masyarakat nelayan (Upton dan Susilowati, 1992 dalam Kusnadi 2000).

Masyarakat lokal yang bergantung pada sumber daya alam sebagai matapencarian seringkali menanggulangi ketidakpastian penghasilan dengan diversifikasi matapencarian. Hal ini bertujuan untuk memperkecil resiko dan kelemahan nelayan (Chambers et al., 1989; Davies 1996; Ellis 2000; Allison & Ellis 2001). Oleh karena itu, dalam masyarakat-masyarakat nelayan, kegiatan menangkap ikan jarang menjadi pekerjaan yang ekslusif. Kegiatan ini selalu dikombinasikan oleh nelayan dengan pekerjaan-pekerjaan lainnya. Menurut Kusnadi (2000), dalam situasi eksploitasi secara berlebihan dan ketimpangan pemasaran hasil tangkapan, rasionalisasi ekonomi akan mendorong nelayan-nelayan menganekaragamkan sumber pekerjaan daripada hanya bertumpu sepenuhnya pada pekerjaan mencari ikan. Penganekaragaman sumber pekerjaan tersebut merupakan salah satu bentuk strategi nafkah ganda yang dikembangkan nelayan. Dalam kaitannya dengan pengembangan strategi nafkah ganda, lebih lanjut Satria (2009b) menjelaskan bahwa terdapat dua macam strategi nafkah ganda, yakni di bidang perikanan dan non-perikanan. Penganekaragaman sumber pendapatan tidak hanya di bidang perikanan saja, seperti usaha budidaya ikan (tambak), budidaya rumput laut dan pengolahan ikan tradisional, akan tetapi mencakup juga kegiatan-kegiatan di bidang non-perikanan. Kegiatan di bidang non-perikanan yang dilakukan nelayan dalam kaitannya untuk menambah pendapatan adalah menjadi buruh bangunan, buruh perusahaan, dan kuli-kuli panggul di pasar. Menurut Allison dan Ellis (2001) mengemukakan bahwa penganekaragaman sumber pendapatan (diversifikasi) merupakan pilihan yang

rasional ditengah tingginya resiko nelayan dalam menghadapi fluktuasi musim ikan dan cuaca yang tidak menentu. Penelitian Coulthard (2008), menemukan bahwa pada saat memasuki musim nontangkap maka beberapa matapencarian tambahan nelayan akan bermunculan seperti penjahit, pekerja pabrik, pekerja perkebunan dan pekerja pemerintah.

Namun Kristianti et al (2014) berpendapat bahwa penggolongan strategi bertahan hidup dalam dua sektor, yaitu: strategi ekonomi serta sosial. Pada masyarakat nelayan strategi ekonomi dilakukan dengan cara:

1. Memberdayakan seluruh anggota keluarga untuk menjaga kelangsungan perekonomian rumah tangga,

2. Diversifikasi pekerjaan dengan tidak hanya memiliki satu tumpuan mata pencaharian,

3. Menekan pengeluaran makan, dan non makan dengan cara mengurangi porsi makan atau mengurangi frekuensi makan,

4. Hutang piutang, dengan meminjam uang tetangga atau saudara ketika kesulitan karena tidak ada bunga.

Sedangkan strategi sosial ditempuh dengan beberapa cara seperti: 1. Hubungan patron-klien antara pemasok ikan dan nelayan,

2. Arisan untuk menghimpun dana tak terduga untuk menjadi simpanan dan bantuan ketika membutuhkan dana.

Wisdaningtyas (2011), mengemukakan ada dua indikator untuk mengukur strategi sosial, yaitu intensitas meminjam kepada patron dan intensitas meminjam kepada tetangga. Menurut Zid (2011), strategi bertahan hidup yang dilakukan oleh perempuan dapat dibedakan menurut umur, tingkat pendidikan, dan status perkawinan.

Strategi sosial lainnya adalah memanfaatkan ikatan sosial seperti kekerabatan, pertetanggaan maupun pertemanan. Menurut Harper dan Gillespie (1997) dalam jurnal Widodo (2011), hubungan timbal balik antar anggota masyarakat merupakan elemen yang mendasar dalam strategi nafkah rumah tangga miskin. Hubungan timbal balik pada masa lampau seringkali berupa tukar menukar tenaga kerja dalam kegiatan produksi maupun sosial kemasyarakatan. Ketika ekonomi berkembang, bentuk hubungan timbal balik ini mengalami perkembangan. Model tukar menukar tenaga kerja berkembang menjadi model kerja sama baik berdasarkan bagi hasil maupun pengupahan.

Keterikatan individu nelayan dalam hubungan sosial merupakan pencerminan diri sebagai makhluk sosial. Dalam kehidupan bermasyarakat, hubungan sosial yang dilakukan rumah tangga nelayan merupakan salah satu upaya untuk mempertahankan keberadaanya. Hubungan tersebut bukan hanya melibatkan dua individu, melainkan juga banyak individu. Hubungan antar individu tersebut akan membentuk jaringan sosial yang sekaligus merefleksikan terjadinya pengelompokan sosial dalam kehidupan bermasyarakat.

Jaringan sosial merupakan seperangkat hubungan khusus atau spesifik yang terbentuk di antara sekelompok orang. Karakteristik hubungan tersebut dapat digunakan sebagai alat untuk menginterpretasi motif-motif perilaku sosial dari

orang-orang yang terlibat didalamnya. Strategi jaringan sosial (bentuk dan corak) yang umum dikembangkan pada komunitas nelayan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dibidang kenelayanan (misalnya penguasaan sumberdaya, permodalan, memperoleh keterampilan, pemasaran hasil, maupun untuk pemenuhan kebutuhan pokok) (Wahyono et al., 2001).

Hasil penelitian menunjukan bahwa semua rumah tangga nelayan mengaku mempunyai jaringan sosial yang bersifat informal. Menurut Alfiasari et al. (2009) jaringan sosial informal tersebut mengindikasikan adanya kepercayaan dan hubungan timbal balik yang lebih familiar dan bersifat personal. Ikatan yang lebih familiar dan bersifat personal membuat hubungan-hubungan sosial antar rumah tangga menjadi lebih dekat. Dengan demikian hubungan-hubungan sosial tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengeksplorasi upaya-upaya kolektif guna mengoptimalkan sumberdaya yang ada dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rumah tangga nelayan.

Berdasarkan status sosial-ekonomi rumah tangga nelayan yang terlibat dalam suatu jaringan, terdapat dua jenis hubungan sosial, yaitu hubungan sosial yang bersifat horizontal dan vertikal (Kusnadi, 2000). Hubungan sosial yang bersifat horizontal terjadi jika individu yang terlibat didalamnya memiliki status sosial-ekonomi yang relatif sama. Sebaliknya, di dalam hubungan sosial yang bersifat vertikal, individu-individu yang terlibat didalamnya tidak memiliki status sosial-ekonomi yang sepadan, baik kewajiban maupun sumber daya yang dipertukarkan. Hubungan sosial yang bersifat vertikal sebagiannya terwujud dalam bentuk hubungan patron-klien.

Patron diperankan oleh para pengepul hasil-hasil tangkapan nelayan, sedangkan klien diperankan oleh nelayan itu sendiri. Hasil penelitian menemukan bahwa hubungan patron-klien dibentuk oleh adanya jaringan kepentingan, yakni hubungan yang bermuara pada tujuan tertentu atau tujuan khusus. Tujuan keduabelah pihak menjalani hubungan patron-klien adalah untuk mendapatkan keuntungan berupa barang dan jasa, atau sumberdaya lain yang tidak dapat diperoleh melalui cara lain atas pengorbanan yang telah diberikannya. Patron memiliki kepentingan untuk mendapatkan hasil tangkapan nelayan dengan harga murah dan memberikan kredit atau pinjaman dengan bunga tinggi. Sedangkan klien atau nelayan-nelayan berkepentingan untuk mendapatkan jaminan sosial ekonomi, berupa pinjaman uang disaat situasi sulit, bantuan barangbarang atau keperluan alat tangkap. Jika ada nelayan yang terbukti tidak menjual hasil tangkapan ke patron tersebut maka suatu saat ketika nelayan (klien) membutuhkan bantuan tidak akan dilayani lagi.

2.4 Penelitian Terdahulu

Pada skripsi yang berjudul “Strategi Bertahan Hidup Perempuan di Daerah Pesisir (Dusun Muara, Desa Muara, Kabupaten Tangerang, Banten)” oleh Nanda Karlita (2015), Institut Pertanian Bogor, menyimpulkan bahwa :

1. Kemiskinan perempuan di Dusun Muara dapat digambarkan terbatasnya pemberdayaan perempuan di Dusun Muara dengan tidak adanya program untuk belajar ketrampilan bagi para perempuan. Terbatasnya kesempatan perempuan juga tergambarkan pada perempuan di Dusun Muara seperti tidak ada waktu yang cukup untuk mengembangkan ketrampilan yang

dimiliki. Selain waktu yang dimiliki kurang, kepemilikian modal usaha yang kurang juga mengakibatkan terbatasnya kesempatan bagi perempuan. Pada dimensi terbatasnya kapasitas bagi perempuan di Dusun Muara terlihat bahwa perempuan tidak memiliki lapangan pekerjaan karena ketidakmampuan mereka dalam membaca dan menulis. Pada dimensi terbatasnya keamanan, perempuan di Dusun Muara hanya sebagain sedikit yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Mereka yang memiliki jaminan kesehatan adalah mereka yang mau untuk mengurusi semua berkas untuk melengkapi persyaratan untuk memiliki jamkesmas.

2. Strategi bertahan hidup perempuan di Dusun Muara dapat dibagia menjadi dua, yaitu strategi bertahan hidup ekonomi dan sosial. Strategi bertahan hidup ekonomi dibedakan menjadi enam, yaitu mengikuti simpan pinjam, mengikuti paket hari raya, berinvestasi, melakukan berbagai pekerjaan, berbagi bahan makanan, dan berbagi aliran listrik. Sementara pada strategi bertahan hidup sosial terdapat arisan dan juga meminjam. Strategi bertahan hidup yang dilakukan oleh perempuan kaya dan miskin juga berbeda. Pada perempuan kaya, mereka tidak menjadi buruh pengering rumput laut melaiankan sebagai pemilik rumput laut yang mereka cari sendiri ke tepi pantai.

3. Hubungan karakteristik individu dengan strategi bertahan hidup ada lima variabel yang memilliki hubungan yaitu besar tanggungan, jenis ketrampilan, umur, pengalaman kerja, dan status perkawinan. Namun ada variabel tingkat pendidikan yang tidak memiliki hubungan dengan strategi bertahan hidup.

Lalu pada penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Slamet Widodo (2011) dalam jurnal Makara, Sosial Humaniora, Universitas Trunojoyo yang berjudul “Strategi Nafkah Berkelanjutan Bagi Rumah Tangga Miskin di Daerah Pesisir” menyimpulkan bahwa Faktor penyebab kemiskinan di Kwanyar Barat adalah rendahnya akses terhadap modal terutama modal finansial. Akses yang terbatas terhadap modal finansial menyebabkan nelayan tidak mampu mengakses modal fisik berupa teknologi penangkapan yang lebih modern. Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya konflik perebutan sumber daya dengan nelayan dari daerah lain. Sehingga tidak bisa pergi melaut dengan aman. Konflik seringkali harus berakhir dengan hilangnya harta benda bahkan nyawa. Walaupun pada saat ini konflik sudah dapat diatasi, potensi timbulnya konflik ulangan masih sangat tinggi.

Strategi nafkah yang dilakukan oleh rumah tangga nelayan miskin terdiri atas strategi ekonomi dan strategi sosial. Strategi ekonomi dilakukan dengan cara melakukan pola nafkah ganda, pemanfaatan tenaga kerja rumah tangga dan migrasi. Sedangkan strategi sosial dilakukan dengan memanfaatkan ikatan kekerabatan yang ada. Kelembagaan kesejahteraan tradisional juga mempunyai peran yang penting bagi rumah tangga miskin dalam memenuhi kebutuhan

Dokumen terkait