• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. LANDASAN TEORI

B. Stres Kerja

1. Pengertian Stres

Zautra (dalam Passer & Smith, 2004) mendefinisikan stres sebagai respon terhadap suatu peristiwa yang ditandai dengan munculnya emosi-emosi negatif.

Looker & Gregson (2004) mendefinisikan stres sebagai sebuah keadaan yang dialami individu ketika terjadi sebuah ketidaksesuaian antara tuntutan-tuntutan yang diterima dan kemampuan untuk mengatasinya

Sarafino (dalam Smet, 1994) mendefinisikan stres sebagai suatu kondisi yang disebabkan oleh transaksi antara individu dengan lingkungan yang menimbulkan persepsi jarak antara tuntutan-tuntutan yang berasal dari situasi dengan sumber-sumber daya sistem biologis, psikologis dan sosial seseorang.

Stres didefinisikan sebagai sebuah pola dari penilaian kognitif, respon fisiologis dan kecenderungan perilaku yang muncul ketika menanggapi sebuah ketidakseimbangan yang dirasakan antara permintaan situasional dan sumber daya yang dibutuhkan untuk mengatasi hal tersebut (Passer&Smith, 2004).

Menurut Santrock (2003), stres adalah respon individu terhadap stressor, keadaan atau peristiwa yang mengancam dan mempengaruhi kemampuan coping.

Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa stres adalah respon individu baik secara kognitif, fisiologis maupun perilaku yang muncul karena terjadi ketidakseimbangan antara

18

tuntutan-tuntutan yang diterima dengan sumber daya atau kemampuan yang ada.

2. Pengertian Stres Kerja

Stres kerja pada intinya merujuk pada kondisi dari pekerjaan yang mengancam individu Ancaman ini dapat berasal dari tuntutan pekerjaan itu atau karena kurang terpenuhinya kebutuhan individu. Stres kerja ini muncul sebagai bentuk ketidakharmonisan individu dengan lingkungan kerjanya (Diahsari, 2001).

Karasek’s (Landy&Conte, 2004) menyatakan bahwa kombinasi antara tuntutan pekerjaan yang tinggi dengan rendahnya kontrol terhadap pekerjaan akan menghasilkan tegangan pekerjaan yang tinggi dimana berpengaruh terhadap munculnya gangguan pada kesehatan.

Beehr dan Newman (dalam Diahsari, 2001) mengatakan bahwa stres kerja adalah interaksi antara kondisi kerja dengan sifat-sifat pekerja yang mengubah fungsi fisik maupun psikis yang normal. Definisi ini menunjukkan bahwa stres kerja merupakan tuntutan pekerjaan yang tidak mampu diimbangi oleh kemampuan karyawan.

Berdasarkan pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa stres kerja adalah sebuah kondisi dimana terjadi ketidakseimbangan / ketidakharmonisan antara tuntutan-tuntutan yang berasal dari pekerjaan dengan kemampuan yang ada individu yang ditandai dengan munculnya perubahan fungsi fisik maupun psikis menjadi tidak normal.

19

3. Sumber Stres Kerja

Luthan (dalam Susiyatri, 2004), menyebutkan bahwa sumber stres berasal dari empat faktor yaitu:

a. Sumber dari luar organisasi, yang meliputi perubahan sosial, teknologi, keluarga, kondisi ekonomi dan finansial, kelas dan ras, serta kondisi lingkungan.

b. Sumber dari dalam organisasi, yang meliputi strategi dan kebijaksanaan administrasi, desain dan struktur organisasi, proses organisasi dan kondisi kerja.

c. Sumber kelompok, yang dikategorikan menjadi tiga area, yaitu: kurangnya kohesifitas kelompok, kurangnya dukungan kelompok, dan inter-individual (interpersonal dan intergroup conflict).

d. Sumber dari diri karyawan itu sendiri, misalnya peran yang ambigu, adanya konflik peran dan kepribadian individu yang mempengaruhi individu dalam bekerja.

Margolis, Kroes & Quinn (dalam Shcultz&Shcultz, 1990) mengatakan bahwa para psikolog menggunakan kata overload dalam mengidentifikasi dua tipe penyebab stres kerja, yaitu:

Quantitative Overload, ialah kondisi dimana tuntutan pekerjaan yang harus diselesaikan dalam jangka waktu tertentu sangat tinggi. Sebagai contoh, sebuah penelitian terhadap pasien serangan jantung usia muda menemukan bahwa tujuh puluh persen dari mereka bekerja lebih dari enam puluh jam per minggu.

20

Qualitative Overload, ialah tingginya tingkat kesulitan pekerjaan yang harus diselesaikan oleh karyawan. Hal ini berkaitan dengan ketidakmampuan dalam memenuhi tuntutan pekerjaan.

Hardjana (1994) dalam bukunya menjelaskan bahwa terdapat dua sumber stres yaitu : sumber stres yang berasal dari dalam diri (internal sources), misalnya menderita suatu penyakit, konflik internal dan sumber stres yang berasal dari lingkungan luar (eksternal sources), baik lingkungan kerja maupun lingkungan sekeliling.

Dalam penelitian ini yang menjadi fokus penelitian adalah faktor-faktor yang berasal dari luar individu (eksternal). Hal ini didasarkan pada hasil yang ingin diungkap oleh peneliti yaitu tingkat stres kerja yang banyak dipengaruhi oleh situasi pada pekerjaan subyek dimana pada situasi tersebut menimbulkan adanya tuntutan dan tekanan yang harus dipenuhi. Situasi tersebut antara lain deadline, tekanan dari atasan, resiko fisik, psikis serta sosial.

4. Gejala Stres Kerja

Spector (dalam Widyarani, 2006) menjelaskan tiga jenis reaksi/gejala yang dialami seseorang ketika menghadapi situasi yang menekan. Ketiga jenis reaksi/gejala tersebut adalah:

a. Reaksi Psikologis

Reaksi psikologis adalah reaksi psikis terhadap stres yang dialami. Biasanya gejala ini terjadi secara bersamaan dengan intensitas

21

yang cukup tinggi. Contoh dari reaksi psikologis adalah cemas, frustasi, daya ingat menurun, kecewa, gelisah, sulit memecahkan masalah dan lesu. Behr&Newman (Jasinta, 2002) menyebutkan gejala stres berdasarkan aspek psikologis seperti adanya ketegangan, perasaan bingung, marah, serta sensitif, memendam perasaan, komunikasi tidak efektif, mengurung diri, depresi, merasa terasing dan mengasingkan diri, kebosanan, lelah mental, menurunnya fungsi intelektual, kehilangan daya konsentrasi, kehilangan semangat hidup, menurunnya harga diri dan rasa percaya diri, kehilangan spontanitas dan kreativitas.

b. Reaksi Fisiologis

Reaksi fisik yang muncul ketika seseorang menghadapi situasi yang penuh dengan tekanan disebut reaksi fisiologis. Bagian fisik yang paling sering terasa sakit adalah daerah kepala dan perut. Contoh dari reaksi fisiologis yaitu sakit kepala, sakit perut, tekanan darah meningkat dan sebagainya.

c. Reaksi Perilaku

Ketika seseorang menunjukkan perilaku tertentu yang intensitasnya meningkat atau menurun secara drastis sewaktu mengalami stres itu maka itu disebut reaksi perilaku. Contoh dari reaksi perilaku adalah merokok, berdoa, dan sulit tidur.

Behr&Newman (Jasinta, 2002) menambahkan gejala stres berdasarkan aspek perilaku antara lain, menunda ataupun menghindari pekerjaan, penurunan prestasi dan produktifitas, perilaku sabotase,

22

meningkatnya frekuensi absensi, perilaku makan yang tidak normal (kebanyakan atau kekurangan), penurunan berat badan secara drastis, meningkatnya kecenderungan perilaku beresiko tinggi (ngebut, judi), meningkatnya agresivitas dan kriminalitas, penurunan kualitas hubungan interpersonal dengan keluarga dan teman, serta kecenderungan bunuh diri.

5. Konsekuensi / Akibat Stres

Landy&Conte (2004) membagi membagi konsekuensi / akibat stres menjadi tiga kategori yaitu:

a. Perilaku

Akibat stres pada perilaku dibagi menjadi dua bagian yaitu: yang pertama, pemrosesan informasi (information processing), dimana stres berpengaruh buruk pada memori, waktu reaksi, akurasi dan performansi terhadap tugas. Individu yang mengalami stres memiliki kesulitan dalam memfokuskan perhatiannya. Bagian kedua adalah performansi kerja (job performance). Yerkes dan Dowson (dalam Landy&Conte, 2004) mengemukakan bahwa hubungan antara stres dengan performansi adalah berbentuk U (gambar 1) terbalik dimana semakin tinggi tingkat stres maka performansi yang dihasilkan juga semakin meningkat. Namun, peningkatan ini hanya sampai pada titik tertentu setelah melewati titik tersebut performansi akan menurun. Stres yang meningkat sampai titik optimal merupakan stres yang baik, yang menyenangkan, disebut dengan eustress. Melewati titik optimal stres disebut distress, peristiwa atau situasi

23

dialami sebagai ancaman yang mencemaskan karena stres yang tidak menyenangkan justru akan merusak jika disebabkan oleh ketakutan, luka fisik yang menahun, dikeluarkan dari pekerjaan, rugi dalam usaha dan lain-lain (Tunggal, dalam Susiyatri, 2004).

b. Psikologis

Konsekuensi stres secara psikologis antara lain kecemasan, depresi, burnout, kelelahan, tekanan pekerjaan, ketidakpuasan terhadap pekerjaan dan hidup (Kahn; Byosiere, dalam Landy&Conte, 2004). Burnout adalah sebuah bagian ekstrem dari tekanan psikologis yang merupakan hasil dari respon berkepanjangan terhadap stressors pekerjaan yang melebihi kemampuan individu untuk mengatasinya.

c. Fisiologis

Beehr dan Newman (dalam Jasinta, 2002) mengemukakan yang termasuk gejala fisik akibat stres adalah detak jantung dan tekanan darah

24

meningkat, sekresi adrenalin dan nonadrenalin meningkat, Gangguan gastrointestinal misalnya gangguan lambung, kelelahan fisik, mudah terluka, kematian, gangguan kardiovaskuler, timbulnya masalah respirasi, keringat berlebihan, gangguan kulit, sakit kepala, kanker dan gangguan tidur.

Dari berbagai penelitian, stres paling banyak berpengaruh pada sistem pembuluh jantung dan perut serta berperan dalam gangguan tidur dan menimbulkan kelelahan fisik yang berlebihan Behr&Newman (dalam Diahsari, 2001).

6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stres

Menurut Hardjana (1994), ada dua faktor yang mempengaruhi stres yaitu:

a. Faktor pribadi, meliputi unsur intelektual, motivasi, dan kepribadian.

1. Unsur intelektual berkaitan dengan sistem berfikir. Individu yang condong berfikir negatif dan pesimis, dan berkeyakinan irasional lebih mudah terkena stres daripada orang yang berfikiran positif, optimis dan berkeyakinan rasional.

2. Unsur motivasi, jika peristiwa yang mendatangkan stres itu mengancam cita-cita hidup, individu yang menghadapi peristiwa tesebut akan menghadapi stres lebih berat.

3. Unsur kepribadian, salah satu yang paling penting adalah harga diri ( self-esteem). Orang yang memiliki harga diri rendah, mudah merasa tidak

25

memiliki kemampuan untuk mengatsi stres yang datang kepadanya. Sebaliknya, orang yang memiliki harga diri tinggi lebih tahan terhadap stres.

b. Faktor situasi, dapat tampil dalam dalam beberapa bentuk:

1. Bila hal, peristiwa, orang, dan keadaan itu mengandung tuntutan berat dan mendesak.

2. Bila hal itu berhubungan dengan perubahan hidup, seperti masuk kerja, menikah, menjadi orang tua.

3. Ketidakjelasan (ambiguity) dalam situasi. Misalnya, di tempat kerja fungsi tidak jelas, tugas kabur, ukuran penilaian kerja tidak ada.

4. Tingkat diinginkannya suatu hal (desirability). Hal yang diinginkan kurang mendatangkan stres daripada hal yang diinginkan. Misalnya, di PHK.

5. Kemampuan orang mengendalikan hal yang membawa stres (controlability). Orang yang mampu mengendalikan, pada umumnya kurang terkena stres daripada orang yang kurang mampu mengendalikan stres.

Smet (1994) mengemukakan faktor-faktor yang mengubah pengalaman stres adalah sebagai berikut:

1. Variabel dalam kondisi individu: umur, tahap kehidupan, jenis kelamin, temperamen, faktor-faktor genetik, inteligensi, pendidikan, suku, kebudayaan, status ekonomi dan kondisi fisik

26

2. Karakteristik kepribadian: ekstrovert-introvert, satabilitas emosi secara umum, tipe A, ketabahan (hardiness), locus of control, kekebalan dan ketahanan.

3. Variabel sosial-kognitif: dukungan sosial yang dirasakan, jaringsn sosial dan kontrol pribadi.

4. Hubungan dengan lingkungan sosial, dukungan sosial yang diterima, integrasi dalam jaringan sosial.

5. Strategi coping. Sarafino (1994) mendefinisikan coping sebagai suatu proses yang terjadi ketika individu berusaha untuk mengontrol adanya ketidakseimbangan antara tuntutan dengan sumberdaya-sumberdaya yang dimilikinya dalam situasi stres.

Dokumen terkait