BAB IV DESKRIPSI DAN HASIL ANALISIS DATA 4.1.5. Struktur Masyarakat Pertanian Desa Rokan Baru Desa Rokan Baru pada awalnya adalah sebuah desa eks transmigrasi yang mayoritas masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani padi. Artinya dahulu sebelum beralih ke tanaman kelapa sawit, mayoritas masyarakat Desa Rokan Baru memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan cara mengolah lahan gambut dengan menjadikannya sebagai lahan pertanian padi. Namun seiring dengan masuknya tanaman kelapa sawit ke daerah ini pada tahun 2000, tanaman padi yang dahulunya sebagai mata pencaharian utama bagi seluruh masyarakat desa kini berganti menjadi tanaman kelapa sawit. Dengan adanya perubahan secara fisik yang terjadi dalam pemanfaatan lahan gambut tersebut, maka sudah dipastikan bahwa masyarakat petani di Desa Rokan Baru pun mengalami perubahan, baik itu pada struktur maupun pada hubungan-hubungan sosial yang terjadi pada sistem produksi pertanian. Sebab, Struktur sosial komunitas petani dibentuk oleh kehadiran pola hubungan sosial yang terkait dengan sumberdaya agraria (lahan), dalam hal ini mengikuti penguasaan sumberdaya agraria. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sanderson dalam Wisadirana (2005), komunitas petani adalah sebuah komunitas yang menyandarkanhidupnya pada pertanian, baik sebagai pemilik sumberdaya agraria (lahan)maupun bukan pemilik (tunakisma). Oleh sebab itu, gambaran struktur sosialkomunitas petani akan bertumpu pada posisi para petani dalam penguasaan sumberdaya agraria, baik melalui penguasaan tetap (pemilikan) maupun penguasaan sementara (seperti bagi hasil). Pada dasarnya, transformasi pertanian yang terjadi pada masyarakat Desa terdifferensiasi ke dalam dua lapisan. Adapun lapisan-lapisan tersebut adalah sebagai berikut: a. Petani Pemilik Lahan Kepemilikan lahan di Desa Rokan Baru seluruhnya berbentuk kepemilikan tetap. Kepemilikan tetap tersebut telah berlangsung sejak sebelum terjadinya peralihan pemanfaatan lahan gambut dari tanaman padi ke tanaman kelapa sawit. Pemilik lahan yang dimaksud di sini adalahpara petani yang memiliki lahan pertanian di desa ini dengan kepemilikan tetap (baik petani pemilik yang lahannya diusahakan sendiri dan atau petani pemilik yang lahannya diusahakan oleh orang lain). Petani pemilik lahan di desa ini terdiri dari petani pemilik yang berdomisili di Desa Rokan Baru dan petani pemilik yang berdomisili di luar Desa Rokan Baru. Seperti yang diutarakan Bapak Marno (Kepala Desa Rokan Baru) berikut ini: “Sekarang ini pemilik lahan sawit nggak hanya orang desa kita saja, dari luar desa kita juga banyak yang punya sawit di sini, misalnya orang-orang dari Bagan Batu, Balam, Rantau Perapat, Kota Pinang, Kisaran dan ada lagi daerah lain saya lupa dek”. Hal yang sama juga dikatakan oleh Bapak Ikhsan (Sekretaris Desa Rokan Baru), yaitu sebagai berikut: “Lahan-lahan kelapa sawit di desa ini ada yang dimiliki oleh masyarakat Desa Rokan Baru, dan ada juga yang dimiliki oleh masyarakat yang bukan masyarakat Desa Rokan Baru. Masyarakat dari luar desa itu, ada yang dari Bagan Batu, Kota Pinang, AekKanopan, Balam, Ujung Tanjung, Lubuk Pakam dan kota-kota lainnya di Sumatera Utara dan Riau”. Dari hasil wawancara dengan Bapak Marno dan Bapak Ikhsan menunjukkan bahwa pemilik lahan dari luar Desa Rokan Baru merupakan penduduk yang berdomisili di kota-kota yang ada di Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Riau, Seperti Rantau Perapat, Kisaran, Lubuk Pakam, Kota Pinang, AekKanopan, Bagan Batu, Balam dan Ujung Tanjung. Pada dasarnya, pola penguasaan lahan tetap atau kepemilikan lahan tetap yang dimiliki oleh masyarakat Desa Rokan Baru maupun masyarakat dari luar Desa Rokan Baru ini di peroleh melalui tiga cara, yaitu sebagai berikut: 1. Lahan yang Diperoleh dari Program Transmigrasi Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa masyarakat transmigrasi dari Jawa lah yang pertama kali menghuni Desa Rokan Baru. Masyarakat transmigrasi ini secara resmi memperoleh 2 hektar lahan pertanian dan satu hektar perkarangan rumah dari pihak pemerintah di masa itu. Lahan ini awalnya diperuntukkan untuk tanaman padi, namun dikarenakan kurang menguntungkan, tanaman padi ini dialihkan menjadi tanaman kelapa sawit oleh masyarakat Desa Rokan Baru. Sebagian besar penduduk desa yang menguasai atau memiliki lahan di desa ini adalah keturunan atau anak-anak dari para masyarakat transmigrasi yang didatangkan dari Pulau Jawa, sedangkan selebihnya adalah masyarakat pendatang. 2. Lahan yang Diperoleh dari Membuka Hutan Memperoleh lahan dengan cara membuka hutan adalah salah berasal dari luar Desa Rokan Baru) untuk mendapatkan sumber daya agraria yang diperlukan sebagai tempat untuk menjalankan usaha pertanian. Umumnya, hutan-hutan yang dibuka oleh para petani pendatang ini berada di pinggiran Desa Rokan Baru. 3. Lahan yang Diperoleh dari Proses Transfer Pola penguasaan lahan atau kepemilikan lahan yang terakhir adalah melalui proses transfer. Dalam proses transfer lahan ini, petani melakukannya melalui dua mekanisme, yaitu melalui transaksi jual-beli lahan kosong atau kebun, dan melalui mekanisme pewarisan dari orang tua kepada anak. Pada beberapa tahun belakangan, transfer sumberdaya agraria melalui mekanisme jual beli terus meningkat karena akhir-akhir ini semakin banyak kebutuhan petani yang hanya dapat mereka penuhi dengan cara menjual lahan maupun pindah ke daerah lain. Dari penjabaran di atas, tercermin bahwa sistem penguasaan lahan di Desa Rokan Baru adalah bercorak kepemilikan lahan perseorangan atau pribadi. Dengan sistem ini, pemilik bebas untuk melakukan pemindahan hak milik kepada petani lainnya baik itu melalui proses jual beli maupun warisan. Sistem ini ternyata berakibat pada adanya pola kepemilikan lahan pertanian yang sifatnya berpencar. Yang dimaksud dengan kepemilikan lahan pertanian yang sifatnya berpencar di sini ialah suatu usaha seorang petani yang memiliki beberapa bidang Desa Rokan Baru. Hal ini terlihat dalam hasil wawancara dengan BapakMarno (Kepala Desa Rokan Baru) berikut ini: “Rata-rata semua masyarakat di desa ini memiliki lahan pertanian sendiri, hanya saja ada yang 1 hektar, 2 hektar dan ada juga yang 5 hektar, bahkan lebih. Pokoknya paling sedikit 1 hektar lah yang dimiliki warga sini, dan itu belum termasuk perkarangan rumah. Tapi, kalau ada yang lebih dari dua hektar itu berarti letak ladangnya lebih dari satu tempat atau di satu tempat dengan cara membeli ladang dari beberapa orang. Desa ini kan awalnya desa transmigrasi, jadi tanah-tanah di sini sudah terpetak-petakkan”. Dari hasil wawancara tersebut terlihat bahwa seluruh masyarakat Desa Rokan Baru memiliki lahan pertanian, yang membedakannya hanya terletak pada besaran luas lahan yang dimiliki antar warga. Ada masyarakat desa yang hanya memiliki satu hektar, dua hektar dan bahkan lebih. Masyarakat yang memiliki lahan lebih dari dua hektar di desa ini adalah masyarakat yang memiliki lahan yang letaknya berpencar atau terletak di beberapa lokasi di kawasan Desa Rokan Baru, sebab, desa ini pada awalnya adalah desa transmigrasi yang semua lahan desanya telah dibagi-bagi oleh pemerintah sesuai dengan jumlah keluarga transmigran yang didatangkan. b. Petani Pemilik Lahan Sekaligus Buruh Tani Pada masyarakat Desa Rokan Baru, petani pada lapisan ini lebih dikenal dengan istilah “tukang dodos” atau “penjaga ladang”. Petani pada lapisan ini adalah petani yang memiliki lahan pertanian dengan kepemilikan tetap. Selain itu, untuk menambah penghasilan keluarganya, petani pada lapisan ini juga menjalankan perannya sebagai buruh tani bagi petani lainnya. Pekerjaan sebagai memiliki lahan seluas 1-2 hektar. Seperti yang di ungkapkan oleh bapak Ikhsan (Sekretaris Desa) berikut ini: “Beberapa warga yang juga bekerja sebagai buruh tani ini adalah warga yang biasanya penghasilan dari menjadi buruh tani ini untuk menambah pendapatan keluarganya, ya biar tiap hari asap di dapur tetap mengepullah bisa dibilang, dan ada juga petani yang juga bekerja menjadi buruh tani ini anaknya kuliah. Selain itu juga karena pengaruh luas lahan mereka, biasanya mereka cuma punya sawit 1 atau 2 hektar saja”. Hal yang sama juga di sampaikan oleh Bapak Ambik yang merupakan salah seorang petani yang juga bekerja sebagai buruh tani: “Cemanalah mau dibilang ya, anak bapak dua lagi yang sekolah, yang satu kelas 2 SMA, yang satu lagi kuliah di Pekan Baru, sawit bapak cuma 1 hektar, belum lagi untuk uang dapur. Ya kalau enggak dari menjaga dan memanen sawit orang dari mana lagi bapak dapat duit yud”. Informan lainnya, yaitu Bapak Wagiso juga mengungkapkan berikut ini: “Adek lihat sendirilah rumah saya, kecil kayak gini. Belum lagi anak semuanya harus sekolah. Walaupun sudah ada dana BOS, tapi uang yang lain-lainnya dan uang jajan anak-anak itu enggak mungkin enggak dikasih. Cuma satunya anak bapak yang belum sekolah”. Dari hasil wawancara tersebut, terlihat bahwa gambaran tentang petani pada lapisan ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Scott tentang kebutuhan Subsistensi keluarga petani. Scott (1994: 21) mengatakan bahwa keharusan memenuhi kebutuhan subsistensi keluarga yang mengatasi segala-galanya seperti kekurangan tanah, dan memiliki keluarga yang besar, sering kali memaksa petani menambah penghasilannya dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan lain seperti Dalam bekerja sebagai buruh tani, petani yang juga menjadi buruh tani ini tidak mengerjakan pekerjaan pertanian di lahan milik majikan secara individual, hanya pekerjaan tertentu yang dikerjakan secara individual karena pekerjaan tersebut tidak membutuhkan kerja sama dan tenaga kerja tambahan. Ini seperti yang diungkapkan oleh Bapak Ambik berikut ini: “Kalau manen sawit, bapak nggak sendirian, bapak bawa anggota lagi untuk bantu-bantu bapak memanen. Itu biar kerjaannya cepat selesai. Jadi kalau manen sawit berkelompok, nanti ada yang bagian tugasnya ngambil buah dari pohon, ada yang mengumpulkan buah dari pohon ke tempat sementara, dan ada yang melangsir buah keluar ketempat timbangan, jadi dengan begitu kerjaannya cepat selesai. Biasanya bapak bawa anggota 2, 3 atau 4 orang untuk membantui bapak, kalau ladangnya yang mau di panen nggak luas palingan cuma bawa 2 orang, kalau luas baru bawa anggota 3 atau 4 orang, tergantung dari luas lahan yang mau di panen juga. Tapi kalau pekerjaan lain, macam memupuk, nyemprot itu gak perlu bawa anggota, bapak sendiri saja juga bisa ngerjainnya. Informan lainnya, yaitu Bapak Sumardi juga mengatakan seperti ini: “Kalau manen nggak bawa anggota, nanti pekerjaan lain terbengkalai. Kita kan punya ladang juga. Jadi kalau manen sawit orang itu lama, ladang kita terbengkalai lah atau pekerjaan lain yang seharusnya bisa menambah penghasilan malah gak bisa dikerjakan”. Pekerjaan pertanian yang dapat dilakukan secara individual karena dianggap ringan seperti membabat, menyemprot rumput liar dengan racun, dan memupuk kelapa sawit. Sedangkan pekerjaan yang membutuhkan kerja sama kelompok adalah pada saat memanen kelapa sawit.Kerja sama kelompok ini dibentuk karena beberapa pekerjaan memanen ini tidak dapat atau sulit untuk Apabila pekerjaan ini dikerjakan secara individual maka pekerjaan tersebut akan selesai dalam waktu yang relatif lama misalnya apabila biasanya memanen kelapa sawit secara berkelompokdapat dilakukan setengah hari, maka apabila buruh tani bekerja memanen sawit secara individual dapat memanen kelapa sawit selama satu atau dua hari. Memanen kelapa sawit lebih lama akan merugikan buruh tani, sebab buruh tani akan kehilangan waktu untuk mengerjakan pekerjaan pertanian lainnya. Dalam dokumen Hubungan Patron Klien antara Petani Sawit Lahan Gambut dengan Buruh Tani di Desa Rokan Baru Kecamatan Pekaitan Kabupaten Rokan Hilir (Halaman 49-56)