• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PENGAMPUNAN PAJAK DALAM HUKUM

3. Subjek Pajak, Wajib Pajak dan Penanggung Pajak

Dalam bidang pajak dikenal beberapa pihak yang saling berhubungan. Mereka adalah Subjek Pajak, Wajib Pajak, dan Penanggung Pajak.82

a. Subjek Pajak

Subjek Pajak adalah orang atau badan yang telah memenuhi syarat subjektif. Undang-Undang Pajak Penghasilan, misalnya, menyebutkan bahwa Subjek Pajak dapat berupa orang, badan, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, termasuk Bentuk Usaha Tetap (permanent establishment). Orang dalam hal ini menyangkut manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban. Sementara itu pengertian badan memang agak berbeda dengan apa yang selama ini banyak dipahami dalam Hukum Keperdataan. Dalam Hukum Keperdataan, yang namanya badan sebagai subjek hukum haruslah berbadan hukum. Dalam hal ini yang dapat menjadi badan hukum adalah Perseroan Terbatas, yayasan, dan koperasi. Sementara itu dalam hal pajak yang dimaksud sebagai badan tidak selalu badan hukum. Bentuk CV, Firma,

82

Y. Sri Pudyatmoko, Pengantar Hukum Pajak, (Yogyakarta:Penerbit Andi:2009) hlm.20

Kongsi, Persekutuan, atau perkumpulan orang pun dapat menjadi badan.

Bahkan dalam UU Nomor 28 Tahun 2007 ditentukan sangat luas, yakni sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap (Pasal 1.3).

Di dalam pasal 4 ayat (1) huruf o dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 ditentukan bahwa yang termasuk dalam pengertian penghasilan yang dapat dikenakan pajak adalah iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas. Dengan demikian perkumpulan dari mereka yang melakukan pekerjaan bebas seperti perkumpulan para dokter, pengacara, PPAT, akuntan publik dan sebagainya sepanjang menerima penghasilan dari anggotanya dapat dikategorikan sebagai wajib pajak.83

Untuk menjadi subjek pajak, syarat subjektif harus dipenuhi. Syarat subjektif yakni syarat yang melekat pada diri subjek yang

83

Pasal 4 ayat (1) huruf o Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan

bersangkutan, seperti misalnya lahir di Indonesia, berdomisili di Indonesia, berkedudukan atau didirikan di Indonesia, dan sebagainya. Atau, kalau tidak tinggal dan berkedudukan di Indonesia, maka memiliki kekayaan di Indonesia atau memperoleh penghasilan dari Indonesia. Subjek pajak dinilai potensial untuk dikenakan pajak, tetapi belum mempunyai kewajiban untuk membayar pajak.

b. Wajib Pajak

Wajib pajak adalah subjek pajak yang telah memenuhi syarat objektif, selain juga syarat subjektif.84 Syarat objektif adalah syarat yang berkaitan dengan sasaran pengenaan pajak (objek pajak). Sebagai contoh adalah seseorang yang tinggal di Indonesia yang memperoleh penghasilan dan penghasilan tersebut memenuhi syarat untuk dikenakannya pajak.

Di dalam ketentuan, khususnya di dalam Pasal 1 Butir 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 dimasukkan pula sebagai Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.85

Subjek pajak/wajib pajak itu menurut tempatnya dapat dibedakan menjadi subjek pajak/wajib pajak dalam negeri dan luar negeri. Subjek pajak/wajib pajak dalam negeri adalah subjek pajak/wajib pajak yang

84

Ibid, hal.22.

85

Pasal 1 Butir 2 dalam UU No 28 Tahun 2007 Tentang “ Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan”

bertempat tinggal, berkedudukan, atau berdomisili di dalam negeri. Adapun subjek pajak/wajib pajak luar negeri adalah subjek pajak/wajib pajak yang bertempat tinggal, berdomisili, atau berkedudukan di luar negeri, tetapi memiliki objek pajak di dalam negeri. Pembedaan tersebut di dalam Undang-Undang Tentang Pajak Penghasilan membawa konsekuensi pembedaan perlakuan. Subjek pajak/wajib pajak dalam negeri dikenakan pajak terhadap seluruh penghasilannya, dari mana pun berasal, berdasarkan penghasilan bersihnya, dengan tarif progresif, dan sekaligus dikenai kewajiban untuk mengisi SPT (Surat Pemberitahuan). Adapun untuk subjek pajak/wajib pajak luar negeri dikenakan pajak terhadap penghasilan yang berasal dari dalam negeri saja (Indonesia), berdasarkan penghasilan kotor, dengan tarif proporsional, dan tidak diwajibkan untuk mengisi SPT.

c. Penanggung Pajak

Penanggung pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban wajib pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (Pasal 1.28 UU KUTAP). Jadi mereka adlaah orang atau pihak yang bertanggung jawab dalam pemenuhan kewajiban pajak. Dalam menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, wajib pajak diwakili dalam hal :86

86

1). badan oleh pengurus;

2). badan yang dinyatakan pailit oleh kurator;

3). badan dalam pembubaran oleh orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan;

(a). badan dalam likuidasi oleh likuidator;

(b). suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya; atau

(c). anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali atau pengampunya (Pasal 32 ayat (1) UU No.28 Tahun 2007).

Penanggung pajak kadang kala memang sekaligus wajib pajak itu sendiri. Misalnya, untuk wajib pajak orang pribadi, selain sebagai wajib pajak, ia juga sekaligus penaggung pajak. Artinya ia bertanggung jawab terhadap apa yang mestinya dipenuhi dalam soal pajak yang wajib baginya.

B. Pengampunan Pajak Dalam Hukum Perpajakan

1. Pengertian dan Sumber Hukum Pengampunan Pajak

Pembangunan nasional yang berlangsung secara terus-menerus dan berkesinambungan selama ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun, untuk merealisasikan tujuan tersebut diperlukan suatu anggaran pembangunan yang cukup besar. Salah satu usaha untuk mewujudkan peningkatan penerimaan untuk pembangunan tersebut adalah dengan menggali sumber dana

yang berasal dari dalam negeri, yaitu pajak. Pajak merupakan sumber penerimaan yang dominan dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hampir 70 persen penerimaan berasal dari sektor pajak. Karena itu untuk mencapai target penerimaan negara dari sektor perpajakan dibutuhkan upaya-upaya yang nyata, serta mengimplementasikan dalam bentuk kebijakan pemerintah. Salah satunya adalah tax amnesty atau pengampunan pajak. Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan subyek pajak maupun obyek pajak.Subyek pajak dapat berupa kembalinya dana-dana yang berada di luar negeri, sedangkan dari sisi obyek pajak berupa penambahan jumlah wajib pajak.87

Sebenarnya Indonesia pernah menerapkan amnesti pajak pada 1984. Namun pelaksanaannya tidak efektif karena wajib pajak kurang merespons dan tidak diikuti dengan reformasi sistem administrasi perpajakan secara menyeluruh.Pengampunan pajak diharapkan menghasilkan penerimaan pajak yang selama ini belum atau kurang bayar, disamping meningkatkan kepatuhan membayar pajak karena makin efektifnya pengawasan, didukung semakin akuratnya informasi mengenai daftar kekayaan wajib pajak.

Secara umum pengertian pengampunan pajak adalah kebijakan pemerintah yang diberikan kepada pembayar pajak tentang forgiveness / pengampunan pajak, dan sebagai ganti atas pengampunan tersebut pembayar pajak diharuskan untuk membayar uang tebusan. Mendapatkan pengampunan pajak artinya data laporan

87

Makalah Peran Tax Amnesty Dalam Pembangunan Indonesia,

http://hanifhanifku.blogspot.co.id/2016/09/makalah-peran-tax-amnesty-dalam.html diakses tanggal 7 Februari 2017

yang ada selama ini dianggap telah diputihkan dan atas beberapa utang pajak juga dihapuskan.88

Menurut UU Pengampunan Pajak dalam Pasal 1 Ayat (1) mengatakan bahwa pengampunan pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap Harta dan membayar Uang Tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Menurut "PMK No. 118/PMK.03/2016" Pengampunan Pajak adalah adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap Harta dan membayar Uang Tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak.89

Sumber Hukum Materiil Pengampunan Pajak haruslah berasal dan bersumber dari pancasila. Pancasila merupakan sumber hukum materiil bagi semua hukum yang ada di Indonesia. Begitu juga dengan sumber hukum pengampunan pajak. Nilai-nilai Pancasila Menjadi Inspirasi sekaligus Bahan (Materi) dalam Menyusun Semua Peraturan Hukum Perpajakan. Pancasila sekaligus sebagai Alat Penguji Setiap Peraturan Hukum Perpajakan yang Berlaku, Apakah Bertentangan atau Tidak dengan Nilai-nilai Pancasila seperti yang tercantum dalam ketetapan MPR No. III/2000 Pasal 1, 2, 3.

88

Pengertian Tax Amnesty, http://www.lembagapajak.com/2016/07/pengertian-pengampunan-pajak-tax-amnesty-adalah.html diakses tanggal 7 Februari 2017

89

Pasal 1 Butir 2 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 118/PMK.03/2016 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak

Peraturan yang mendasari pelaksanaan Pengampunan Pajak tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK03/2016 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 119/PMK.08/2016 tentang Tata Cara Pengalihan Harta Wajib Pajak ke Dalam Wiayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Penempatan pada Instrumen Investasi di Pasar Keuangan dalam rangka Pengampunan Pajak.

2. Tujuan dan Sasaran Pengampunan Pajak Pengampunan Pajak bertujuan untuk:90

a. mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan Harta, yang antara lain akan berdampak terhadap peningkatan likuiditas domestik, perbaikan nilai tukar Rupiah, penurunan suku bunga, dan peningkatan investasi;

b. mendorong reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan serta perluasan basis data perpajakan yang lebih valid, komprehensif, dan terintegrasi; dan

c. meningkatkan penerimaan pajak, yang antara lain akan digunakan untuk pembiayaan pembangunan.

Pengampunan Pajak ditujukan terhadap subjek dan objek pajak yang dituangkan dalam Pasal 3 UU Pengampunan Pajak diantaranya :91

90

1. Setiap Wajib Pajak berhak mendapatkan Pengampunan Pajak.

2. Pengampunan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Wajib Pajak melalui pengungkapan Harta yang dimilikinya dalam Surat Pernyataan.

3. Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu Wajib Pajak yang sedang:

a. dilakukan penyidikan dan berkas penyidikannya telah dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan;

b. dalam proses peradilan; atau

c. menjalani hukuman pidana, atas Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.

4. Pengampunan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengampunan atas kewajiban perpajakan sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir, yang belum atau belum sepenuhnya diselesaikan oleh Wajib Pajak. 5. Kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas

kewajiban:

a. Pajak Penghasilan; dan

b. Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Wajib Pajak yang dimaksudkan dalam hal ini antara lain:92 1. Wajib Pajak Orang Pribadi

2. Wajib Pajak Badan

91

Pasal 3 UU No 11 Tahun 2016 Tentang “ Pengampunan Pajak”

92

Siapa Yang Bisa Memanfaatkan?, http://pajak.go.id/content/amnesti-pajak diakses tanggal 10 Februari 2017

3. Wajib Pajak yang bergerak di bidang Usaha Mikro Kecil dan Menengan (UMKM)

4. Orang Pribadi atau Badan yang belum menjadi Wajib Pajak

3. Subjek Hukum Pengampunan Pajak

Subjek Hukum Pengampunan Pajak yang dituangkan dalam Pasal 3 UU Pengampunan Pajak diantaranya :93

1. Setiap Wajib Pajak berhak mendapatkan Pengampunan Pajak.

2. Pengampunan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Wajib Pajak melalui pengungkapan Harta yang dimilikinya dalam Surat Pernyataan.

3. Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu Wajib Pajak yang sedang:

a. dilakukan penyidikan dan berkas penyidikannya telah dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan;

b. dalam proses peradilan; atau

c. menjalani hukuman pidana, atas Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.

93

C. Pengampunan Pajak Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 1. Tarif dan Cara Menghitung Uang Tebusan Pengampunan Pajak

Berdasarkan Pasal 4 UU No.11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, ditekankan aspek penghitungan tarif uang tebusan dalam keikutsertaan wajib pajak dalam pengampunan pajak.94 Uang Tebusan yang dimaksudkan merupakan sejumlah uang yang dibayarkan ke kas negara untuk mendapatkan pengampunan pajak. Tarif uang tebusan yang harus dibayarkan merupakan hasil dari Surat Pernyataan Harta untuk Pengampunan Pajak yang selanjutnya disebut Surat Pernyataan yang merupakan surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk mengungkapkan Harta, Utang, nilai Harta Bersih serta penghitungan dan pembayaran Uang Tebusan. Yang dimaksud dengan “Harta” adalah akumulasi tambahan kemampuan ekonomis berupa seluruh kekayaan, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang digunakan untuk usaha maupun bukan untuk usaha, yang berada di dalam dan/atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yang dimaksud dengan “Utang” adalah jumlah pokok utang yang belum dibayar yang berkaitan langsung dengan perolehan Harta.

Sesuai yang diatur dalam Pasal 4 bahwa tarif uang Tebusan yang dikenakan terbagi sesuai dengan letak harta yang berada di dalam atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tarif Uang Tebusan dikenakan 2% didalam NKRI dan 4% diluar NKRI untuk periode penyampaian bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak UU Pengampunan Pajak

94

berlaku, 3% didalam NKRI dan 6% diluar NKRI untuk periode pada bulan keempat hingga tanggal 31 Desember 2016, dan 5% didalam NKRI dan 10% diluar NKRI untuk periode yang dimulai tanggal 1 Januari 2017 hingga 31 Maret 2017. Serta Tarif Uang Tebusan bagi Wajib Pajak yang peredaran usahanya sampai dengan Rp 4,8 miliar pada Tahun Pajak Terakhir sebesar 0,5% bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan nilai Harta sampai dengan Rp 10 miliar dalam Surat Pernyataan dan 2% bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan nilai Harta lebih dari Rp 10 miliar dalam Surat Pernyataan.

Sesuai dengan Pasal 5 UU Pengampunan Pajak, cara penghitungan Uang Tebusan dilakukan dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dengan dasar pengenaan Uang Tebusan. Pengenaan Uang Tebusan dihitung berdasarkan nilai Harta bersih yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Terakhir (SPT PPh). Nilai Harta Bersih merupakan selisih antara nilai Harta dikurangi nilai Utang.95

2. Tata Cara Pengampunan Pajak Atas Kewajiban Perpajakan

Berdasarkan Pasal 8 UU Pengampunan Pajak, untuk memperoleh Pengampunan Pajak, Wajib Pajak harus menyampaikan Surat Pernyataan kepada Menteri. Yang dimaksud dengan “Menteri” adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.96 Penyampaian Surat Pernyataan dalam Pengampunan Pajak harus ditandatangani

95

Pasal 5 UU No 11 Tahun 2016 tentang “Pengampunan Pajak”

96

oleh Wajib Pajak orang pribadi, pemimpin tertinggi berdasarkan akta pendirian badan atau dokumen lain yang dipersamakan, bagi Wajib Pajak badan atau penerima kuasa, dalam hal ini pemimpin tertinggi dalam keadaan sedang berhalangan. Pemberian Surat Pernyataan kepada Wajib Pajak setelah melalui proses yang telah diatur dalam UU Pengampunan Pajak dengan dilakukannya pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan; dan/atau penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan untuk masa pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir sampai dengan diterbitkannya Surat Keterangan. Yang dimaksud dengan “Tahun Pajak” adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender, kecuali jika Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. Yang dimaksud dengan “Surat Keterangan” adalah surat yang diterbitkan oleh Menteri sebagai bukti pemberian Pengampunan Pajak. Bagi Wajib Pajak yang telah diterbitkan Surat Keterangan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 UU Pengampunan Pajak, memperoleh fasilitas Pengampunan Pajak berupa :97

a. penghapusan pajak terutang yang belum diterbitkan ketetapan pajak, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan, dan tidak dikenai sanksi pidana di bidang perpajakan, untuk kewajiban perpajakan dalam masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir;

97

b. penghapusan sanksi administrasi perpajakan berupa bunga, atau denda, untuk kewajiban perpajakan dalam masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir;

c. tidak dilakukan pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, atas kewajiban perpajakan dalam masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir; dan

d. penghentian pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, dalam hal Wajib Pajak sedang dilakukan pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan atas kewajiban perpajakan, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir, yang sebelumnya telah ditangguhkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3), yang berkaitan dengan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5).

3. Perlakuan Perpajakan Pengampunan Pajak

Sesuai dengan Pasal 14 undang-undang Pengampunan Pajak, kegiatan dalam mengikuti pengampunan pajak diharapkan kewajiban bagi Wajib Pajak untuk menyelenggarakan pembukuan menurut ketentuan Undang-Undang mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, harus membukukan selisih antara nilai Harta bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) yang disampaikan dalam Surat Pernyataan dikurangi dengan nilai Harta bersih yang

telah dilaporkan oleh Wajib Pajak dalam SPT PPh Terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, sebagai tambahan atas saldo laba ditahan dalam neraca.98

Perlakuan perpajakan berhubungan dengan pengalihan hak dan pembatasan hak yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak terhadap Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak untuk dapat mendapatkan pengampunan pajak. Ketetapan perlakuan perpajakan atas harta yang belum diungkap yang dituangkan dalam Pasal 18 menekankan adanya ditemukan hal yang berkaitan dengan data dan/atau informasi mengenai Harta yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan setelah diperolehnya Surat Keterangan oleh Wajib Pajak. Dengan adanya penemuan hal tersebut maka Wajib Pajak tidak lagi untuk menyampaikan Surat Pernyataan sampai dengan periode Pengampunan Pajak berakhir namun dianggap menjadi tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada saat ditemukannya data dan/atau informasi mengenai Harta dimaksud, paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak UU Pengampunan Pajak berlaku. Dengan ketentuan yang ada dalam UU Pengampunan Pajak maka Wajib Pajak akan dikenai Pajak Penghasilan ditambah dengan sanksi administrasi perpajakan.99

98

Pasal 14 Butir 1 UU No 11 Tahun 2016 tentang “Pengampunan Pajak”

99

4. Upaya Hukum Dan Ketentuan Pidana

Mengenai sengketa pajak yang ada telah ditentukan upaya hukum yang ada sesuai dengan Pasal 19 UU Pengampunan Pajak. Sengketa yang berkaitan dengan Undang-Undang ini hanya dapat diselesaikan melalui pengajuan gugatan kepada badan peradilan pajak. Sengketa yang terjadi dalam perpajakan karena adanya penemuan pelanggaran akan kerahasiaan data dan informasi sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 21 UU Pengampunan Pajak. Pasal ini menekankan aturan sebagai berikut :100

1). Menteri menyelenggarakan Manajemen Data dan Informasi dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang ini.

2). Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, dilarang membocorkan, menyebarluaskan, dan/atau memberitahukan data dan informasi yang diketahui atau diberitahukan oleh Wajib Pajak kepada pihak lain.

3). Data dan informasi yang disampaikan Wajib Pajak dalam rangka Pengampunan Pajak tidak dapat diminta oleh siapapun atau diberikan kepada pihak manapun berdasarkan peraturan perundang-undangan lain, kecuali atas persetujuan Wajib Pajak sendiri.

4). Data dan informasi yang disampaikan Wajib Pajak digunakan sebagai basis data perpajakan Direktorat Jenderal Pajak.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 21 UU Pengampunan Pajak, apabila terjadi pelanggaran maka telah diatur ketentuan pidananya dalam Pasal 23 UU

100

Pengampunan Pajak dimana ditekankan bagi setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun serta penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar. Namun dalam Pasal 22 UU Pengampunan Pajak mengatur bahwa Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.101

101

BAB IV

AKIBAT HUKUM PEMBERIAN PENGAMPUNAN PAJAK BAGI USAHA MIKRO KECIL MENENGAH DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG

NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK

A. Kedudukan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Dalam Menerima

Pengampunan Pajak

UMKM dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu: standard regime dan

presumptive regime. Dalam standard regime, UMKM tidak dibedakan perlakuan perpajakannya. Namun demikian terdapat beberapa negara yang menerapkan standard regime dengan penyederhanaan formulir perpajakan, tata cara pembayaran, atau dengan pengurangan tarif. Negara-negara yang menerapkan

standard regime untuk UMKM pada umumnya negara-negara maju yang komunitas UMKM-nya telah memiliki efisiensi administrasi tinggi dan mempunyai kemampuan book-keeping yang memadai. Sementara itu, dalam model presumptive regime, pajak dikenakan berdasarkan pada kondisi tertentu dari Wajib Pajak. Presumptive regime biasa digunakan terutama di negara yang mayoritas pembayar pajaknya adalah kelompok tidak memenuhi kewajiban

Dokumen terkait