• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI

2.1 Konsep Mengenai Perjanjian

2.1.1 Syarat Lahirnya Suatu Perjanjian

Perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian maupun karena undang-undang, hal ini sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1233 KUHPerdata. Sumber terpenting dari perikatan adalah perjanjian, terutama perjanjian obligatoir yang diatur lebih lanjut di dalam Bab Kedua Buku Ketiga KUHPerdata “Tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau perjanjian.”

Semua tindakan, baik perikatan yang terjadi karena undang-undang maupun perjanjian merupakan fakta hukum. Fakta hukum adalah kejadian-kejadian, perbuatan atau tindakan, atau keadaan yang menimbulkan, beralihnya, berubahnya atau berakhirnya suatu hak. Singkatnya, fakta hukum adalah fakta ang menimbulkan akibat hukum. Fakta ini dapat berupa perbuatan atau tindakan, juga dapat berupa fakta lainnya, seperti fakta hukum apa adanya, misalnya, kelahiran, kematian, kedewasaan atau keadaan belum dewasa, hubungan kekerabatan, ataupun lewatnya

waktu atau daluarsa.62

Menurut azas konsensualisme, suatu perjanjian dilahirkan pada detik tercapainya sepakat atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi obyek perjanjian. Sepakat adalah suatu persesuaian paham dan kehendak antara dua pihak tersebut. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu adalah juga yang dikehendaki oleh pihak yang lainnya, meskipun tidak sejurusan tetapi secara bertimbal balik. Kedua kehendak itu bertemu satu sama lain.

62

Herlien Budiono, 2010, Ajaran Umum Hukum Perjanjian Dan

Dengan demikian maka untuk mengetahui apakah telah dilahirkan suatu perjanjian dan bilamanakah perjanjian itu dilahirkan, harus dipastikan apakah telah tercapai sepakat tersebut dan bilamana tercapainya sepakat itu.

Apabila sudah tercapai kata sepakat antara para pihak yang membuat perjanjian, maka sahlah sudah perjanjian itu atau mengikatlah perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Namun ada perjanjian-perjanjian yang lahirnya tidak cukup hanya dengan adanya sepakat saja,

tetapi disamping itu diperlukan suatu formalitas atau suatu perbuatan yang nyata,63

dan perjanjian-perjanjian "formal" atau perjanjian-perjanjian riil, itu adalah pengecualian. Selain kesepakatan untuk lahirnya perjanjian juga haruslah dipegang teguh tentang adanya suatu persesuaian kehendak antara kedua belah pihak. Apabila kedua kehendak itu berselisih, tak dapatlah lahirnya suatu perjanjian. Jadi

kesepakatan berarti persesuaian kehendak.64

Kehendak atau keinginan ini harus dinyatakan. Kehendak atau keinginan yang disimpan di dalam hati, tidak mungkin diketahui pihak lain dan karenanya tidak mungkin melahirkan sepakat yang diperlukan untuk melahirkan suatu perjanjian. Menyatakan kehendak ini tidak terbatas pada mengucapkan perkataan, ia dapat dicapai pula dengan memberikan tanda apa saja yang dapat menterjemahkan kehendak itu baik oleh pihak yang mengambil prakarsa yaitu pihak yang menawarkan maupun oleh pihak yang menerima penawaran.

63

R.Subekti I, Op.cit, h. 4 64

Keinginan atau kemauan para pihak saja tidaklah cukup untuk memunculkan akibat hukum. Untuk terbentuknya perjanjian diperlukan pula unsur bahwa akibat hukum tersebut adalah untuk kepentingan pihak yang satu atas beban pihak yang lain atau bersifat timbal balik. Perlu diperhatikan, akibat hukum perjanjian hanya mengikat para pihak dan tidak dapat mengikat pihak ketiga, dan tentunya tidak dapat membawa kerugian bagi pihak ketiga. Hal ini merupakan asas umum dari hukum kontrak dan juga termuat di dalam ketentuan Pasal 1315 KUHPerdata jo Pasal 1340 KUHPerdata yang menetapkan bahwa suatu perjanjian hanya berlaku antara

pihak-pihak yang membuatnya.65

Mengenai proses membuat perjanjian menurut pendapat Ros Macdonald dan Denise McGrill sebagai berikut ”just a drafting is the process of converting the

underlying intention of the party or parties into a written document, construction is the process od derinving the tru intention of the party or parties from the document.”66 yang artinya membuat kontrak merupakan proses konversi niat yang

mendasari pihak-pihak yang membuat kontrak menjadi dokumen tertulis konstruksinya adalah proses menuangkan niat dari pihak-pihak ke dokumen yang dibuat.

Setiap perjanjian harus jelas apa yang menjadi objek perjanjian. Jika yang menjadi objek adalah barang, maka harus jelas apa jenisnya, jumlahnya, harganya. Setidak-tidaknya dan keterangan objek yang diperjanjikan harus dapat ditetapkan apa

65

Herlien Budiono, Op.cit, h. 10 66

Ros Macdonald & Denise McGrill, 2008, Drafting Second Edition, LexixNexis Butterworths, Australia, page 3

yang menjadi hak dan kewajibannya masing-masing.67 Bentuk perjanjian pada umumnya bebas ditentukan para pihak. Namun undang-undang menetapkan bahwa beberapa perjanjian tertentu harus dibuat dalam bentuk tertentu. Penetapan demikian oleh undang-undang mengenai bentuk yang diwajibkan mengakibatkan bahwa akta menjadi syarat mutlak bagi terjadinya perbuatan hukum tersebut. Menurut pendapat Peter Mahmud Marzuki, aturan-aturan hukum yang menguasai kontrak sebenarnya penjelmaan dari dasar-dasar filosofis yang terdapat pada asas-asas hukum secara

umum.68

Terdapat beberapa teori yang berkaitan dengan hukum perjanjian yaitu sebagai berikut:

a) Teori Kehendak (wilstheorie)

Kehendak (will) adalah dasar dari keseluruhan hukum keperdataan. Pengingkaran bahwa orang yang melakukan tindakan hukum memiliki otonomi, tidak akan memecahkan masalah apapun. Menurut teori kehendak, faktor yang menentukan adanya perjanjian adalah kehendak. Meskipun demikian, terdapat hubungan yang tidak terpisahkan antara kehendak dan pernyataan. Oleh karena itu suatu kehendak harus dinyatakan. Namun apabila terdapat ketidak sesuaian antara kehendak dan pernyataan, maka tidak terbentuk suatu perjanjian. Kelemahan dari teori ini adalah akan timbul

67

C.S.T. Kansil, 1992, Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, h. 194.

68

Peter Mahmud Marzuki, 2003, Batas-batas Kebebasan Berkontrak, Yuridika, Jakarta, h. 196

kesulitan apabila terdapat ketidak sesuaian antara kehendak dan pernyataan. Karena dalam kehidupan sehari-hari seseorang harus mempercayai apa yang

dinyatakan oleh orang lain.69

b) Teori Pernyataan (verklaringstheorie)

Menurut teori pernyataan, pembentukan kehendak terjadi dalam ranah kejiwaan seseorang. Sehingga pihak lawan tidak mungkin mengetahui apa yang sebenarnya terdapat didalam benak seseorang. Dengan demikian suatu kehendak yang tidak dikenali oleh pihak lain tidak mungkin menjadi dasar dari terbentuknya suatu perjanjian. Agar suatu kehendak dapat menjadi perjanjian, maka kehendak tersebut harus dinyatakan. Sehingga yang menjadi dasar terikatnya seseorang terhadap suatu perjanjian adalah apa yang dinyatakan oleh orang tersebut. Lebih lanjut menurut teori ini, jika ketidaksesuaian antara kehendak dan pernyataan, maka hal ini tidak akan menghalangi terbentukanya perjanjian. Teori pernyataan lahir sebagai jawaban terhadap kelemahan teori kehendak. Namun teori ini juga memiliki kelemahan karena teori pernyataan hanya berfokus pada pernyataan dan tidak memperhatikan kehendak seseorang. Sehingga terdapat potensi kerugian yang terjadi apabila tidak terdapat kesesuaian antara kehendak dan

pernyataan.70

69

Herlien Budiono, Op.cit, h. 77-79 70

c) Teori Kepercayaan (vertrouwenstheorie)

Teori kepercayaan berusaha untuk mengatasi kelemahan dari teori pernyataan. Oleh karena itu teori ini juga dapat disebut sebagai teori pernyataan yang diperlunak. Menurut teori ini, tidak semua pernyataan melahirkan perjanjian. Suatu pernyataan hanya akan melahirkan perjanjian apabila pernyataan tersebut menurut kebiasaan yang berlaku didalam masyarakat menimbulkan kepercayaan bahwa hal yang dinyatakan memang benar dikehendaki. Dengan kata lain, hanya pernyataan yang disampaikan sesuai dengan keadaan tertentu (normal) yang menimbulkan perjanjian. Lebih lanjut menurut teori ini terbentuknya perjanjian tergantung pada kepercayaan atau pengharapan yang muncul dari pihak lawan sebagai akibat

dari pernyataan yang diungkapkan.71

Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa yang akan menjadi alat pengukur tentang tercapainya persesuaian kehendak tersebut adalah pernyataan-pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak. Undang-undang berpangkal pada azas konsensualisme, namun untuk menilai apakah telah tercapai konsensus ini adalah hal yang penting karena merupakan saat lahirnya perjanjian yang mengikat laksana suatu undang-undang, para pihak terpaksa berpijak pada pernyataan-pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak, dan pernyataan-pernyataan itu sebaiknya dibuat dalam tulisan untuk mendapatan kepastian hukum dalam pembuktiannya. Perjanjian juga didasarkan pada suatu kepercayaan, sebagaimana

71

untuk menjawab permasalahan yang diangkat dalam tesis ini maka teori perjanjian dapat digunakan untuk mengkaji kasus mengenai pembatalan perjanjian jual beli yang terjadi di Pengadilan Negeri Denpasar.