• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : TANAH DAN IDENTITAS PRIMORDIAL MARIND

A. MANUSIA ADALAH TANAH DAN BAHASA

1. Tanah: dari Aturan hingga Semangat

Sebelum datangnya MIFEE, masyarakat Marind telah hidup dengan melewati berbagai persoalan sosial-ekonomi modern dalam sejarah panjangnya: dari perjumpaan pertama mereka dengan tentara kolonial dan para misionaris dari Belanda, tergabungnya Papua Barat dalam NKRI, hingga diberlakukannya UU Otonomi Khusus (Otsus) bagi Papua oleh pemerintah Indonesia pada tahun 2001. Kesemuanya itu telah membawa Marind sampai pada kondisi kehidupannya saat ini, dimana sebagai satu bentuk kebudayaan, Marind adalah hasil dari perkawinan terus-menerusnya dengan budaya modern yang melahirkan identitas kekiniannya.

Bagi orang dari luar yang baru datang dan melihat hidup keseharian masyarakat Marind di kampung-kampung yang jauh dari kota Merauke, mungkin sepintas lalu akan dengan mudah memberikan presepsi atau penilaian tertentu tentang apa yang dilihatnya. Persepsi atau penilaian instan semacam itu memang susah untuk dihindari mengingat berdasarkan dari observasi yang penulis lakukan selama di lapangan, sebagian aktivitas keseharian Masyarakat Marind masih berlangsung seperti halnya yang diceritakan dalam beberapa laporan para misionaris Belanda. Bahwa masyarakat Marind mempunyai tradisi berkebun di hutan dengan mendirikan bevak (gubuk) dan tinggal bersama keluarganya selama beberapa hari untuk menanam atau memanen pisang, sayur-sayuran dan umbi-umbian, serta beberapa jenis tanaman rempah. Selain berkebun, di hutan juga terdapat dusun sagu sebagai tumbuhan yang memberi makanan

109

pokok, rawa-rawa yang menyimpan berbagai jenis ikan, serta kasuari, rusa dan kangguru sebagai sasaran perburuan. Kehidupan masyarakat berjalan dengan menggantungkan (baca: mempercayakan) sumber-sumber penghidupan mereka kepada alam. Hutan di sekitar mereka menyediakan – bahkan menjamin – terpenuhinya segala kebutuhan pangan mereka sehari- hari sepanjang tahun.

Keterpenuhan inilah yang seringkali menggiring orang lain kepada penafsiran yang terlampau cepat dan cenderung positifistik, bahwa Marind adalah sebuah kehidupan tanpa celah, tanpa banyak permasalahan, damai seperti masyarakat pra-kapital dalam gambaran Marx; atau dari kacamata korporasi seperti PT. Medco dan PT. Rajawali yang cenderung melihat Marind sebagai masyarakat pemalas dengan budaya terbelakang, tidak mau bekerja dan tidak pernah berfikir tentang masa depan, oleh karena itu harus dikenalkan dengan budaya pertukaran modern;133 atau bisa juga mengikuti kecenderungan lembaga donor yang merevisi pandangan itu dengan lebih melihat budaya (dalam hal ini adalah Marind) sebagai basis perekonomian yang potensial, oleh karena itu tinggal didampingi dan diarahkan visi-misinya sambil perlahan diarahkan untuk membangun sistem kelembagaan produksi yang sesuai. Maka dengan tidak merujuk pada ketiga pandangan tersebut, dalam bagian ini penulis mencoba untuk sedikit demi sedikit menjelaskan bahwa Marind adalah kehidupan yang memiliki nalarnya sendiri, bahkan dalam konteks sosial-ekonomi.

110 a. Sistem Kepemilikan

Alam, terutama tanah, secara adat senantiasa menjadi hal dimana sistem kehidupan Marind berpijak. Berbagai konsep adat yang mengatur sistem tenurial hingga saat ini masih berlaku dan sebagian besar belum berubah, dari hak kepemilikan dan penguasaan marga hingga pembagian tanggungjawab dalam kehidupan rumah tangga. Oleh karena itu setiap pembahasan tentang Marind tidak akan bisa terlepas dari nilai-nilai dasar yang membentuk nalar dan pola kehidupan mereka sejak masa-masa lampau hingga saat ini. Pembahasan ini akan menjelaskan ikatan masyarakat dengan tanahnya secara formal dan material dalam tradisi Marind, serta kaitannya dengan sistem kepemilikan yang secara konprehensif telah dijelaskan oleh Verschueren.

Bagi masyarakat Marind, tanah telah menjadi dasar dari segala sistem kehidupan yang berlaku bagi mereka. Tanah Marind yang telah terbagi menjadi milik masing-masing marga berdiri di atas dua sistem dasar hak, yaitu hak kepemilikan dan hak pemanfaatan. Kedua hak ini, menurut tete Moses Kaize dari kampung Zanegi, ditentukan oleh sejarah perjalanan para leluhur Marind yang berpindah dari satu hutan ke hutan lain sambil selalu menandai setiap wilayah yang telah dikuasainya. dengan menggunakan nama orang yang dipenggalnya untuk menamai anaknya, atau nama wilayah tersebut untuk menamai anjing atau binatang piaraannya. Siapa (marga) yang dalam sejarahnya datang dan menduduki suatu wilayah hutan terlebih dahulu maka merekalah yang memegang hak kepemilikan atas wilayah

111

tersebut. Jadi setiap nama dari semua orang di suku Marind bisa dipastikan memiliki keterkaitan dengan satu kawasan hutan tertentu. Itulah salah satu yang mendasari hak kepemilikan.134

Secara internal di tingkat marga, kedua hak tersebut mengandung ketentuan bahwa tidak ada hak kepemilikan yang berada di tangan individu atau perseorangan, melainkan berada di tangan semua anggota magra secara komunal sebagai wujud dari kedaulatan, yang dalam hal penanggungjawabannya diserahkan kepada ketua marga. Sedangkan yang berlaku bagi setiap masyarakat secara individu adalah hak pemanfaatan yang terbatas di dalam sesama anggota marga. Tidak ada marga yang tidak mempunyai tanah. Bahkan, sekali lagi, nama dari marga itu sendiri berkaitan erat dengan tanah atau kehidupan alam tertentu. Misalnya Gebze yang mempunyai arti kelapa dan Mahuze yang mempunyai arti sagu .135

Pada suatu hari di kampung Kaliki, Okto Waken, seorang teman dari Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke (SKP- KAMe) memperingatkan ketika penulis hendak mengupas dan memecahkan buah kelapa dengan sembarangan, aduh mas, jangan begitu, kamu pu cara itu bisa bikin dorang Gebze marah besar . Peristiwa ini di kemudian hari

menemukan penjelasannya di kampung Makaling ketika sekali lagi penulis hendak membelah buah kelapa, kepada penulis dan beberapa rekan peneliti, bapak Martinus Ndiwaend, kepala adat golongan Mayo mengatakan, ini tidak bisa sembarang, ada yang marah nanti. Ini ada caranya . Kemudian ia

134

Moses Kaize. 20/07/2011. Wawancara. Merauke: Zanegi. 135 Leonardus Mahuze. 20/07/2011. Wawancara. Merauke: Zanegi.

112

menyuruh cucunya untuk membelah kelapa tersebut.136 Dari cerita singkat tersebut bisa diketahui betapa sebutir buah kelapa secara substansial telah terkait erat dengan manusianya, bahkan bukan bersifat individual, melainkan identitas marga.

Seluruh tanah orang Marind terbagi atas kepemilikan oleh boan

(marga). Batas tanah antara satu marga dengan marga lainnya ditandai dengan tanda-tanda alam dan diketahui dengan jelas oleh marga itu sendiri maupun oleh marga tetangganya. Batas tanah antar-marga dalam satu kampung pun diketahui dengan jelas, termasuk kepemilikan setiap jengkal dusun137 sagu dan setiap pohon yang ditanam. Seorang kepala marga memiliki tanggungjawab untuk mengelola hak atas tanah (juga berlaku pada wilayah perburuan binatang dan penangkapan ikan) diantara anggota marga dan hubungan antar marga atau sub-marga. Misalnya bahwa hak kepemilikan tanah tidak ada di tangan sub-marga, hanya di tangan marga. Di suatu kampung, misalnya, jika ada marga Basik-basik dan marga Balagaize yang merupakan sub-marga dari Basik-basik, maka marga Balagaize tidak bisa begitu saja menyerahkan tanah kepada pihak lain, tanpa persetujuan marga Basik-basik. Akan tetapi sebaliknya dalam hal hak kepemilikan tanaman: jika marga Balagaize berkebun kelapa atau menanam sagu, maka kelapa dan sagu itu tidak bisa begitu saja dimanfaatkan oleh marga Basik-basik, meskipun

136

Martinus Ndiwaend. 25/03/2012. Wawancara. Merauke: Makaling. 137

Istilah dusu di si i tidak bermakna sebagai satuan wilayah yang berada di dalam Desa seperti ya g iasa didapati di perka pu ga Ja a. Dusu di si i adalah suatu ka asa dimana secara dominan ditumbuhi satu jenis tanaman tertentu, misalnya kelapa atau sagu, yang kemudian disebut se agai dusu kelapa atau dusu sagu . Mu gki e urut pe ulis dala ahasa oder ora g le ih e aha i ya jika dikataka se agai perke u a .

113

marga Basik-basik adalah marga utamanya. Meskipun dalam struktur yang lebih besar, seluruh masyarakat Marind terbagi dalam empat golongan spiritual, yaitu Imo, Mayo, Ezam dan Sosom, akan tetapi perbedaan golongan ini sama sekali tidak berpengaruh pada sistem tenurial. Kepemilikan tanah tetap berada di tangan marga inti.

Ketika ritual-ritual orang Marind masih berjaya, mereka dikenal memiliki teknologi pembuatan bedeng-bedeng tanam untuk mengatasi penggenangan karena kebun mereka terletak di daerah rendah di tepian sungai atau rawa. Bahkan beberapa dari mereka masih bisa menunjukkan dimana letak dan posisi bedeng-bedeng itu dulu dibikin oleh kakek- kakeknya. Biasanya mereka bercocok-tanam di sekitar dusun sagu, dan terbatas pada tanaman pisang, umbi-umbian dan kelapa, termasuk sagu. Tanaman sagu bukan merupakan tanaman yang hidup liar, melainkan hasil penanaman yang dilakukan oleh orang Marind sejak bergenerasi lalu. Namun, kegiatan yang menjadi sumber pangan terpenting bagi orang Marind bukanlah bertani, melainkan berburu dan menangkap ikan.

Verschueren menganalisa bahwa di masa lalu masyarakat Marind melakukan kegiatan pertanian lebih banyak didorong oleh kebutuhan simbolisasi dalam praktek-praktek ritual, ketimbang untuk memenuhi kebutuhan pangan. Alasan inilah yang menyebabkan kegiatan bertani menjadi semakin tidak penting setelah hampir seluruh ritual itu dilarang dan dihentikan oleh penyebaran agama.138 Pendapat Verschueren tersebut bisa

114

penulis sepakati, bukan hanya karena penjelasan yang sama juga penulis dapatkan dari beberapa warga di kampung-kampung Marind, melainkan juga karena pendapat itu bisa diterima secara logis, bahwa jika sekedar untuk kebutuhan konsumsi, maka apa yang telah disediakan oleh alam sudahlah cukup memadai. Sementara itu satu-satunya yang tersisa dari tradisi ritual itu adalah tanaman wati, yaitu sejenis tanaman yang secara fungsional mengandung efek memabukkan, dan oleh masyarakat Marind biasa dikonsumsi langsung tanpa vermentasi; namun secara adat, tanaman ini memiliki nilai yang sakral, dimana segala ritual dan perjanjian apa pun belum sah sebelum diletakkannya tanaman wati tersebut sebagai stempel legalitas adatnya.

Dengan segala kerumitannya, inilah salah satu bagian yang tersisa dari ke-Marind-an, yang mampu bertahan dalam perjalanan panjangnya ke arah modern. Hal yang selanjutnya juga perlu dijelaskan adalah apa saja yang telah dialami oleh ke-Marind-an sepanjang perjalanan tersebut, yang pastinya turut membentuk kediriannya hingga saat ini. Maka dalam rangka itu, secara garis besar penulis akan menunjuk pada era kolonial dan orde baru, terkait dengan sejauhmana pengaruh kedua era itu turut mewarnai perjalanan ke-Marind-an.

b. Agama dan Spiritualitas

Dalam laporan Dinas Sosial pemkab Merauke tahun 1972 diceritkan beberapa peristiwa yang dianggap penting dalam sejarah perjumpaan

115

Marind dengan kebudayaan luar. Dimulai sejak kapal pemerintah Belanda memasuki daerah Marind melalui muara sungai Maro di daerah Papua Selatan pada tahun 1902, masyarakat Marind mulai berinteraksi dengan kebudayaan lain melalui berbagai bentuk penerimaan hingga perlawanan. Arus perdagangan dari kapal-kapal Eropa, Cina dan Queensland (Australia) tumbuh dan berkembang pesat tak hanya membawa pergi segala sumber daya alam, bahkan juga mendatangkan penyakit kelamin (Granuloma Venereum) yang mulai muncul pada tahun 1905. Pada saat itu juga lah misi Katholik masuk ke Merauke.

Pada masa-masa itu aktivitas ritual mengalami peningkatan, begitu juga penyerangan dan pengayauan, baik sesama Marind atau terhadap kapal- kapal asing. Hingga pada tahun 1909 misi Katholik mulai bertindak melakukan pelarangan terhadap upacara-upacara dan pesta-pesta adat Marind, dan membuka kampung teladan Alatep dan Okaba sebagai usaha pencegahan penyebaran penyakit dengan mendirikan rumah-rumah keluarga dan rumah-rumah pemuda (asrama) pada tahun 1913-15. Pembukaan kampung yang kedua mulai dilakukan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1922, empat tahun setelah sekitar 18% masyarakat Marind dimusnahkan oleh Spanyol-flu. Kali ini kampung dibangun dalam bentuk yang lebih modern, yaitu dengan melenyapkan rumah-rumah adat (rumah pria, rumah wanita, dan rumah inisiasi yang disebut gotad) dan diganti dengan perumahan keluarga. Kampung didirikan dengan mengumpulkan beberapa komunitas yang sebelumnya hidup secara terpisah. Segala upacara, pesta dan

116

pelakunya.139 Hingga pada tahun yang sama pula, tepatnya tanggal 17 April, kerja dan jerih payah pastor Petrus Vertenten membuahkan hasil, yaitu untuk pertama kalinya misi Katholik melakukan permandian terhadap 29 orang Marind: Rakyat Marind mulai hidup kembali, Gereja Merauke mulai berkembang .140 Hingga saat penelitian ini dilakukan, penulis tak menjumpai satu kampung pun yang berdiri tanpa geraja.

Sebagai bagian dari kerja awal pemerintah NKRI di Merauke, pelaporan sejarah 70 tahun masyarakat Marind tersebut bisa dipastikan tidak mungkin terlepas dari segala kepentingan politis tertentu yang melatarinya. Oleh karena itu penting juga untuk mendudukkan ini sebagai sutu wacana sejarah tentang Marind, dimana selain laporan Dinas Sosial Merauke tersebut juga terdapat banyak laporan lain yang membahas hal yang sama, salah satunya adalah Jeroen Overweel.

Tidak berbeda jauh dengan apa yang diceritakan secara singkat dalam laporan tersebut, Overweel juga menceritakan bahwa proses perjumpaan Marind dengan Misi Katholik dan pemerintah kolonial Belanda telah menghasilkan dampak positif dan negatif bagi perkembangan sosial- budayanya. Penghapusan berbagai ritual dan atribut adat serta perombakan rumah ala adat menjadi rumah modern oleh Misi dan pemerintah Belanda, di satu sisi, telah membuahkan hasil yaitu teratasinya berbagai penyakit berbahaya yang diderita Masyarakat Marind, namun di sisi lain, hal itu telah

139

Pemerintah Kabupaten Merauke. 1972. Marind: 70 Tahun Dalam Proses Akulturasi. Merauke: Dinas Sosial, hlm: 61-65.

140

A. Vriens MSC. 1974. Sejarah Gereja Katolik di Wilayah Keuskupanagung Merauke dan Keuskupan Agats, dalam Sejarah Geraja Katolik Indonesia. Jakarta: Kantor Wali Gereja Indonesia, hlm: 617.

117

memisahkan Marind dari budayanya,141 bahkan juga melanggar primordialitasnya.

Kedua kondisi yang saling bertentangan ini juga persis sebagaimana yang penulis temui di lapangan. Bapak Leo Mahuze dan tete Moses Kaize di Zanegi. Keduanya menceritakan dengan semangat bahwa di masa kolonial, tidak ada hal yang dinanti-nantikan oleh masyarakat melebihi kedatangan pastor Vertenten yang delalu disambut gembira oleh masyarakat dengan tari- tarian dan berbagai sajian makanan istimewa.142 Namun janggalnya apa yang dikatakan oleh kedua tetua adat tersebut seolah bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh kepala adat golongan Mayo kampung Makaling Martinus Ndiwaend bahwa pada saat itu kakeknya berhasil menyembunyikan tanaman

wati dan menanamnya kembali secara diam-diam di tengah hutan:

Belanda mengatakan bahwa kita pu budaya itu sigo-sigo, itu sesuatu yang tidak pernah terjadi. Belanda datang kasih bunuh kita pu pakaian adat itu. Nyanyi-nyanyi, ritual adat, upacara-upacara tidak boleh. Setiap orang tua yang mau kukuhkan anak itu sembunyi di hutan, termasuk kita ini disembunyikan di hutan, baru jadi manusia adat betul. Akhirnya rasa minder itu sampai sekarang. Apalagi pada saat itu pastornya orang Belanda ketat betul, kahos [tradisi makan pinang] saja dilarang. … Moyang kita waktu

Belanda kasih lepas dorang pu pakaian adat itu mereka menangis, dan

menangis. […] Jadi Petrus Vertenten dia orang itu yang kasih rubah Marind punya budaya. Benda-benda budaya itu mereka kubur.143

Dari beberapa cerita tentang kondisi masyarakat Marind di masa lalu tersebut, hal yang perlu dilihat selanjutnya adalah apa yang pada dasarnya terjadi dan dialami oleh masyarakat Marind, yang tak lain adalah keterbelahan spiritualitas. Bahkan ketika saat ini masyarakat Marind telah

141 Jeroen A. Overweel. 1992. Suku Marind Dalam Alam dan Lingkungannya yang Berubah. Merauke: YAPSEL.

142

Leonardus Mahuze, Moses Kaize. 28/02/2012. Wawancara. Merauke: Zanegi. 143 Martinus Ndiwaend. 25/03/2012. Wawancara. Merauke: Makaling.

118

memegang Katholik, Protestan dan Islam sebagai agama yang diyakininya, mereka tetap memposisikan adat sebagai jalan spiritual yang tak tergantikan. Kondisi semacam itu bahkan nampak jelas ketika penulis mengikuti sidang adat antar kampung dan distrik pada tanggal 19-20 April 2012 di kampung Makaling (selanjutnya disebut Sidang Makaling) dalam membahas penolakan MIFEE. Seperti pada umumnya, sebuah pertemuan selalu dibuka dengan do a. Tetapi yang beda dalam pertemuan tersebut adalah, do a pembuka dilakukan sebanyak tiga kali secara berbeda, yaitu do a Katholik yang dipimpin oleh pastor, do a adat Mayo dan do a adat Imo yang dipimpin oleh ketua adat masing-masing. Dalam setiap do a, masyarakat melakukannya dengan sangat khusuk. Tidak terlihat pembedaan antara do a Katholik dan do a adat selain hanya cara dan bentuk materialnya.

Akan tetapi di luar masalah do a, Sidang Makaling tersebut adalah pertemuan sakral, karena hampir semua peserta, termasuk kepala distrik Okaba, hadir dengan mengenakan pakaian adat dan membawa benda-benda symbol dari marga dan golongan masing-masing. Benda-benda tersebut dikumpulkan dan dirangkai menjadi satu, menjadi apa yang mereka sebut sebagai Ka u, tempat mereka menghadapkan do a dan sumpah atas nama moyang. Dari proses tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa pada ujungnya masyarakat kembali kepada yang primordial, kepada totem-totem yang mengikat mereka dengan para moyang. Dengan kata lain, menghadap Ka u tak lain ialah menghadap pada diri sendiri dalam segala sakralitasnya: Anim- Ha.

119

Dokumen terkait