• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA TEORITIS

C. Teori Moral Development

Teori ini dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg (1958) dengan mengikuti perkembangan dari keputusan moral seiring penambahan usia yang semula diteliti Piaget (1932), yang menyatakan bahwa logika dan moralitas berkembang melalui tahapan-tahapan konstruktif. Teori ini berpandangan bahwa penalaran moral, merupakan dasar dari perilaku etis dan mempunyai enam tahapan perkembangan yang dapat teridentifikasi. Kohlberg memperluas

pandangan dasar ini, dengan menentukan bahwa proses perkembangan moral pada prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan perkembangannya berlanjut selama kehidupan walaupun ada dialog yang mempertanyakan implikasi filosofis dari penelitiannya.

Keenam tahapan perkembangan moral dari Kohlberg dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan pasca- konvensional. Tidak dimungkinkan untuk melompati suatu tahapan; setiap tahap memiliki perspektif yang baru dan diperlukan, dan lebih komprehensif, beragam, dan terintegrasi dibanding tahap sebelumnya. Kohlberg menggunakan cerita-cerita tentang dilema moral dalam penelitiannya, dan ia tertarik pada bagaimana orang-orang akan menjustifikasi tindakan-tindakan mereka bila mereka berada dalam persoalan moral yang sama. Teorinya didasarkan pada tahapan perkembangan konstruktif; setiap tahapan dan tingkatan memberi tanggapan yang lebih adekuat terhadap dilema-dilema moral dibanding tahap atau tingkat sebelumnya.

Tahapan-tahapan

Tingkat 1 (Pra-Konvensional)

1. Orientasi kepatuhan dan hukuman

2. Orientasi minat pribadi (Apa untungnya buat saya?) Tingkat 2 (Konvensional)

3. Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas (Sikap anak baik) 4. Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial (Moralitas hukum dan

Tingkat 3 (Pasca-Konvensional) 5. Orientasi kontrak sosial

6. Prinsip etika universal (Principled conscience)

Tingkat 1: Pra-Konvensional

Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak- anak, walaupun orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang berada dalam tingkat pra-konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung. Tingkat pra- konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral, dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris.

Dalam tahap pertama, individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah secara moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin salah tindakan itu. Tahap dua menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku yang benar didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap dua kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri.

Dalam tahap dua perhatian kepada orang lain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang bersifat intrinsik. Kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam tingkat pra-konvensional, berbeda dengan kontrak sosial (tahap lima),

sebab semua tindakan dilakukan untuk melayani kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka dari tahap dua, perpektif dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara moral.

Tingkat 2: Konvensional

Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa. Orang di tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat. Tingkat konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam perkembangan moral.

Dalam tahap tiga, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang- orang lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Dalam tahap empat, adalah penting untuk mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi sosial karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekedar kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi.

Tingkat 3: Pasca-Konvensional

Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri dari tahap lima dan enam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa individu-individu adalah entitas yang terpisah dari masyarakat kini menjadi

semakin jelas. Akibat ‘hakekat diri mendahului orang lain’ ini membuat tingkatan pasca-konvensional sering tertukar dengan perilaku pra- konvensional. Dalam tahap lima, individu-individu dipandang sebagai memiliki pendapat-pendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dan adalah penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa memihak. Permasalahan yang tidak dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai ditahan atau dihambat. pemerintahan yang demokratis merupakan contoh tindakan yang berlandaskan pada penalaran tahap lima.

Dalam tahap enam, penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak menggunakan prinsip etika universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap keadilan juga menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Walau Kohlberg yakin bahwa tahapan ini ada, ia merasa kesulitan untuk menemukan seseorang yang menggunakannya secara konsisten. Tampaknya orang sukar, kalaupun ada, yang bisa mencapai tahap enam dari model Kohlberg ini.

D. Teori Keagenan

Agent memiliki informasi yang lebih banyak (full information) dibanding dengan principal di sisi lain, sehingga menimbulkan adanya asimetry information. Informasi yang lebih banyak dimiliki oleh manajer dapat memicu untuk melakukan tindakan-tindakan sesuai dengan keinginan dan kepentingan untuk memaksimumkan utilitynya. Sedangkan bagi pemilik modal dalam hal ini investor, akan sulit untuk mengontrol secara efektif tindakan yang

dilakukan oleh manajemen karena hanya memiliki sedikit informasi yang ada. Oleh karena itu, terkadang kebijakan-kebijakan tertentu yang dilakukan oleh manajemen perusahaan tanpa sepengetahuan pihak pemilik modal atau investor.

Teori keagenan dapat dipandang sebagai suatu versi dari game theory

(Mursalim, 2005), yang membuat suatu model kontraktual antara dua atau lebih orang (pihak), dimana salah satu pihak disebut agent dan pihak yang lain disebut principal. Principal mendelegasikan pertanggungjawaban atas

decision making kepada agent, hal ini dapat pula dikatakan bahwa principal

memberikan suatu amanah kepada agent untuk melaksanakan tugas tertentu sesuai dengan kontrak kerja yang telah disepakati. Wewenang dan tanggungjawab agent maupun principal diatur dalam kontrak kerja atas persetujuan bersama.

Scott (2000) menyatakan bahwa perusahaan mempunyai banyak kontrak, misalnya kontrak kerja antara perusahaan dengan para manajernya dan kontrak pinjaman antara perusahaan dengan krediturnya. Kontrak kerja yang dimaksud adalah kontrak kerja antara pemilik modal dengan manajer perusahaan, dimana antara agent dan principal ingin memaksimumkan utility

masing-masing dengan informasi yang dimiliki.

Menurut Scott (2000), terdapat dua macam asimetri informasi yaitu: 1. Adverse selection, yaitu bahwa para manajer serta orang-orang dalam

lainnya biasanya mengetahui lebih banyak tentang keadaan dan prospek perusahaan dibandingkan investor pihak luar. Dan fakta yang mungkin

dapat mempengaruhi keputusan yang akan diambil oleh pemegang saham tersebut tidak disampaikan informasinya kepada pemegang saham.

2. Moral hazard, yaitu bahwa kegiatan yang dilakukan oleh seorang manajer

tidak seluruhnya diketahui oleh pemegang saham maupun pemberi pinjaman. Sehingga manajer dapat melakukan tindakan diluar pengetahuan pemegang saham yang melanggar kontrak dan sebenarnya secara etika atau norma mungkin tidak layak dilakukan.

Manajer sebagai pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan pemilik (pemegang saham). Oleh karena itu sebagai pengelola, manajer berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik. Sinyal yang diberikan dapat dilakukan melalui pengungkapan informasi akuntansi seperti laporan keuangan. Asimetri antara manajemen (agent) dengan pemilik (principal) memberikan kesempatan kepada manajer untuk bertindak oportunis, yaitu memperoleh keuntungan pribadi. Dalam hal pelaporan keuangan, manajer dapat melakukan manajemen laba (earnings

management) untuk menyesatkan pemilik (pemegang saham) mengenai

kinerja ekonomi perusahaan.

Akuntan publik diharapkan dapat menjembatani kepentingan pihak investor dan kreditor dengan pihak manajemen (agent) dalam mengelola keuangan perusahaan. Sebagai perantara, akuntan harus dapat bertindak jujur, bijaksana, dan profesional.

Akuntan publik harus mempunyai tanggung jawab bahwa informasi yang mereka berikan disajikan secara lengkap dan jujur kepada para pengguna informasi tersebut. Sehingga mereka dapat mengetahui kinerja perusahaan yang sesungguhnya dan dapat dijadikan sebagai dasar yang tepat untuk mengambil keputusan.

E. Independensi

Tanggung jawab yang besar, maka merupakan suatu hal yang penting bagi akuntan yang bekerja di suatu kantor akuntan publik untuk memiliki independensi dan keahlian yang tinggi. Jika akuntan tidak independen terhadap manajemen kliennya, pendapat yang dia berikan tidak mempunyai arti. Dalam Seprian (2007) independensi akuntan publik mencakup dua aspek, yaitu: (1) independensi sikap mental, dan (2) independensi penampilan.

Setiap akuntan harus menjaga integritas dan keobjektivan dalam tugas proesional dan setiap auditor harus independen dari semua kepentingan yang bertentangan atau pengaruh yang tidak layak. Ia juga harus menghindari situasi yang dapat menimbulkan kesan pada pihak ketiga bahwa ada pertentangan kepentingan atau keobjektivan sudah tidak dapat dipertahankan. Mautz dan Sharaf (1993) menyatakan bahwa untuk dapat menjalankan kewajibannya, ada tiga komponen yang harus dimiliki oleh auditor, yaitu kompetensi, independensi, dan due professional care. Mempertahankan perilaku yang independen bagi auditor dalam memenuhi tanggung jawab

mereka adalah penting. Tetapi yang juga penting adalah bahwa pemakai laporan keuangan tersebut memiliki kepercayaan atas independensi tersebut. Shockley (1981) dalam Nizarul, Trisni dan Liliek (2007) melakukan penelitian tentang empat faktor yang berpengaruh terhadap independensi akuntan publik dimana responden penelitiannya adalah kantor akuntan publik, bank dan analis keuangan. Faktor yang diteliti adalah pemberian jasa konsultasi kepada klien, persaingan antar KAP, ukuran KAP dan lama hubungan audit dengan klien.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa KAP yang memberikan jasa konsultasi manajemen kepada klien yang diaudit dapat meningkatkan risiko rusaknya independensi yang lebih besar dibandingkan yang tidak memberikan jasa tersebut. Tingkat persaingan antar KAP juga dapat meningkatkan risiko rusaknya independensi akuntan publik. KAP yang lebih kecil mempunyai risiko kehilangan independensi yang lebih besar dibandingkan KAP yang lebih besar. Sedangkan faktor lama ikatan hubungan dengan klien tertentu tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap independensi akuntan publik. Kepercayaan masyarakat terhadap profesi akuntan publik berhubungan langsung dengan mutu pemeriksaan dan salah satu elemen penting dalam kendali mutu tersebut adalah independensi.

Libby (1995) dalam Koroy (2005:917) menyatakan bahwa pekerjaan auditor adalah pekerjaan yang melibatkan keahlian (expert). Semakin berpengalaman seorang internal auditor maka semakin mampu dia menghasilkan kinerja yang lebih baik dalam tugas-tugas yang semakin kompleks, termasuk dalam melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap penerapan struktur pengendalian intern.

Pengalaman audit diperoleh auditor selama mereka mengerjakan penugasan auditnya. Pengalaman akan diperoleh jika prosedur penugasan dan supervisi berjalan dengan baik. Prosedur penugasan adalah prosedur yang menjamin terjadinya keseimbangan antara kebutuhan, keahlian, pengembangan dan pemanfaatan personel dalam pelaksanaan perikatan (IAPI 2004).

Salah satu ciri dari keahlian (expertise) auditor yang sudah diteliti dalam riset keperilakuan adalah mengenai perhatiannya terhadap informasi negatif dan positif (auditor attendance to negative and positive information), yang telah ditunjukkan Anderson dan Maletta (1994) dalam Koroy (2007). Hasil studi mereka didasarkan pada temuan dalam pengauditan dan psikologi yang menunjukkan pengalaman memainkan peran penting dalam sejauh mana perilaku konservatif/berorientasi negatif diperlihatkan. Anderson dan Maletta mendapatkan mahasiswa dan staf auditor yang tidak berpengalaman lebih memperhatikan informasi negatif dibandingkan auditor senior.

Dalam rangka memenuhi persyaratan sebagai seorang profesional, auditor harus menjalani pelatihan yang cukup. Pelatihan tersebut berupa kegiatan-

kegiatan, seperti seminar, simposium, lokakarya pelatihan itu sendiri dan kegiatan penunjang keterampilan lainnya. Auditor yang kurang berpengalaman terlalu terfokus pada informasi negatif sehingga semakin negatif juga mereka dalam membuat pertimbangan audit.

G. Kualitas Audit

DeAngelo (1981) menyatakan bahwa kualitas audit dapat dilihat dalam dua dimensi, pertama auditor harus mampu mendeteksi salah saji material, kedua salah saji tersebut harus dilaporkan. Kemampuan untuk mendeteksi salah saji material sangat dipengaruhi oleh kemampuan teknologi auditor, prosedur audit dan jumlah sampling yang digunakan. Kemampuan untuk melaporkan salah saji material secara tepat tergantung pada sikap independensi auditor, jika auditor berada dalam tekanan personal, emosional dan keuangan maka auditor dapat kehilangan independensinya.

Audit yang berkualitas akan mampu mengurangi faktor ketidakpastian yang berkaitan dengan laporan keuangan yang disajikan oleh pihak manajemen. Karena itu wajar jika kemudian kualitas audit menjadi topik yang selalu memperoleh perhatian mendalam dari profesi akuntan, pemerintah dan masyarakat serta para investor. Berkaitan dengan kasus Enron, WorldCom, dan jatuhnya KAP Arthur Andersen merupakan saat yang tepat mempertanyakan kualitas audit yang telah diberikan oleh KAP big international tersebut. Hal tersebut telah melahirkan perubahan terhadap undang-undang di Amerika Serikat dengan berlakunya Sarbanes-Oxley Act

Juni tahun 2002 diikuti dengan PMK No. 17/PMK.01/2008 tentang Jasa Akuntan Publik di Indonesia. Undang-undang tersebut diantaranya mengatur tentang rotasi wajib bagi auditor serta KAP tidak diperbolehkan memberikan jasa non audit disamping pemberian jasa audit pada klien karena dapat mengganggu independensi auditor. Kualitas audit akan selalu diragukan jika jasa-jasa lain yang diberikan dianggap membahayakan keobjektifan dan independensi auditor.

H. Penelitian Terdahulu

Nizarul, Trisni dan Liliek (2007) menemukan bahwa independensi berpengaruh signifikan tehadap kualitas audit, selanjutnya interaksi independensi dan etika auditor sebagai variabel moderasi berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit. Hal ini berarti kualitas audit didukung oleh sampai sejauh mana auditor mampu bertahan dari tekanan klien disertai dengan perilaku etis yang dimiliki.

Nurul Dwi Ayuni (2008) menemukan bahwa pendidikan, pelatihan berpengaruh positif terhadap kualitas audit atas sistem informasi berbasis komputer. Namun pengalaman berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap kualitas audit atas sistem informasi berbasis komputer. Hal ini berarti variabel independen yang terdiri dari pelatihan, pendidikan dan pengalaman auditor secara bersama-sama tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen yaitu kualitas audit atas sistem informasi berbasis komputer.

Susiana dan Arleen (2007) melakukan penelitian mengenai pengaruh independensi, mekanisme corporate governance, dan kualitas audit terhadap integritas laporan keuangan. Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa independensi dan kualitas audit tidak berpengaruh secara signifikan terhadap integritas laporan keuangan.

Rizmah Nurchasanah dan Wiwin Rahmanti (2004) menganalisis faktor- faktor penentu kualitas audit. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa faktor pengalaman audit dan faktor keterlibatan pimpinan KAP berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit.

I. Kerangka Pemikiran

Dalam penelitian ini, peneliti akan membahas mengenai pengaruh independensi, pengalaman audit dan etika auditor terhadap kualitas audit. Berdasarkan kerangka teori yang telah dikemukakan, dapat disederhanakan dalam bentuk model sebagai berikut:

Variabel Independen Variabel Dependen

Independensi Auditor Pengalaman Auditor Etika Auditor Kualitas Audit

Gambar 2.1 Model Penelitian

J. Perumusan Hipotesis

Berdasarkan atas landasan teori dan kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Ha1 : Independensi auditor berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas audit.

Ha2 : Pengalaman auditor berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas audit.

Dokumen terkait