• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Kajian Pustaka

1. Tingkat Tutur Bahasa Jawa

Kajian pustaka terhadap karya-karya ilmiah dan hasil penelitian yang berobjek tingkat tutur (undha-usuk) bahasa Jawa memiliki peran penting terutama untuk mengetahui jangkauan penelitian yang telah dilakukan, dan keselarasan antara teori dengan kenyataan lapangan perihal keadaan pemakaian tingkat tutur yang sebenarnya (konkret lapangan). Dengan pertimbangan tersebut, beberapa karya ilmiah dan hasil penelitian yang dimanfaatkan untuk pijakan penelitian adalah Ki Padmasusastra (1899), Poedjosoedarmo dkk (1979), Sudaryanto (1989), Purwo (1995), Ekowardono dkk (1993), Dwiraharjo (1997), Sasangka (2004), dan Edi Subroto, dkk (2008).

a. Ki Padmasusastra (1899): Warna Basa

Ki Padmasusastra (1899): Warna Basa (dikutip melalui Sudaryanto, 1989) memuat ihwal unggah-ungguhing basa yang memuat 13 konsep pembagian tingkat tutur bahasa Jawa. Pembagian konsep ini pun diakui dan diikuti oleh kementerian PP dan K, yang dimuat kembali dalam Karti Basa tahun 1946. Adapun konsep pembagian yang di lakukan oleh Ki Padmasusastra, sebagai berikut:

11 commit to user

1) basa ngoko: a. ngoko lugu

2) b. ngoko andhap: i. ngoko andhap antya-basa 3) ii. ngoko andhap basa-antya 4) basa krama: a. wredha-krama

5) b. mudha-krama 6) c. kramantara

7) basa madya: a. madya-ngoko 8) b. madya-krama 9) c. madyantara 10) krama desa 11) krama inggil 12) krama kadhaton 13) basa kasar

Ketiga belas konsep tersebut pembagiannya atas dasar bentuk leksikonnya, yang muncul akibat tiga komponen tutur yang terlibat dalam pertuturan, yakni: (1) penutur, (2) mitra tutur, (3) yang dituturkan. Adapun batasan masing-masing konsep diterangjelaskan di bawah ini, sebagai berikut:

1) Basa ngoko lugu adalah bahasa Jawa lugu (sederhana, wajar, alami), yang belum mengalami perubahan apapun, dan semua leksikonnya berwujud ngoko. Contoh: Lha wong kowe, patut karo wujudmu, bisamu ya mung mangan lan turu „Lha memang kamu, sesuai dengan sosokmu, hanya bisa

2) Basa ngoko andhap antya-basa adalah tuturan yang leksikonnya terdiri atas ngoko dan krama inggil. Contoh: Sliramu mono wis ora kekurangan apa-apa, bebasan mung kari dhahar karo sare „Kalau kamu sudah tidak kekurangan apa-apa, ibarat hanya tinggal makan dan tidur‟.

3) Basa ngoko andhap basa-antya adalah tuturan yang leksikonnya terdiri atas ngoko, krama, dan krama inggil. Contoh: Sliramu mono wis ora kekirangan apa-apa, bebasan kantun dhahar lan sare „Kalau kamu sudah tidak kekurangan apa-apa, ibarat hanya tinggal makan dan tidur‟. 4) Basa wredha-krama adalah tuturan yang semua leksikonnya berwujud

krama. Tuturan ini digunakan oleh orang tua kepada orang yang lebih muda usianya. Contoh: Pun anak makaten sampun boten kekirangan punapa-punapa, bebasan kantun nedha kaliyan tilem „Kalau saudara commit to user

(lebih muda) sudah tidak kekurangan apa-apa, ibarat hanya tinggal makan dan tidur‟.

5) Basa mudha-krama adalah tuturan yang leksikonnya terdiri atas krama dan krama inggil. Tuturan ini digunakan oleh anak muda kepada orang tua. Contoh: Panjenengan makaten sampun boten kekirangan punapa-punapa, bebasan kantun nedha kaliyan tilem „Kalau Bapak sudah tidak kekurangan apa-apa, ibarat hanya tinggal makan dan tidur‟.

6) Basa kramantara adalah tuturan yang semua leksikonnya berwujud krama. Tuturan ini digunakan oleh orang yang sejajar status sosialnya. Contoh: Sampeyan ngaten, sampun boten kekirangan punapa-punapa, bebasan kantun nedha kaliyan tilem „Saudara (itu), sudah tidak kekurangan apa-apa, ibarat hanya tinggal makan dan tidur‟.

7) Basa madya-ngoko adalah tuturan yang leksikonnya terdiri atas madya dan ngoko. Contoh: nDika ngoten empun boten kekurangan napa-napa, bebasan kari mangan lan turu mawon „Saudara (itu), sudah tidak kekurangan apa-apa, ibarat hanya tinggal makan dan tidur‟.

8) Basa madya-krama adalah tuturan yang leksikonnya terdiri atas madya dan krama. Contoh: Sampeyan ngoten empun boten kekirangan napa-napa, bebasan kantun dhahar lan sare mawon „Saudara (itu), sudah tidak kekurangan apa-apa, ibarat hanya tinggal makan dan tidur‟.

9) Basa madyantara: tuturan yang leksikonnya terdiri atas madya dan krama inggil. Contoh: Siadhi ngoten empun boten kekirangan napa-napa, bebasan kantun dhahar lan sare mawon „Siadhi (itu), sudah tidak kekurangan apa-apa, ibarat hanya tinggal makan dan tidur‟.

10) Basa krama desa adalah tuturan yang dipakai oleh orang desa, dan dianggap merupakan krama yang keladuk (lebih dari semestinya). Contoh: Tiyang ketigen, inggih sami nanem palawijah onten dhekeman, janggel, kacang, tela pohung „Musim kemarau, semua orang menanam palawija ada jahe, jagung, kacang, ketela pohon‟.

11) Basa krama inggil2 adalah tuturan yang semua leksikonnya krama inggil. Contoh: Panjenengan dalem makaten sampun samapta ing samidayanipun, bebasan kantun dhahar kaliyan sare; benten kaliyan abdi dalem kawula, ingkang tansah kecingkrangan „Saudara (itu) sudah tidak kekurangan apa-apa, ibarat hanya tinggal makan dan tidur; berbeda dengan pembantu saya, yang selalu kekurangan‟.

12) Basa kadhaton (bagongan) adalah jenis tuturan yang digunakan dalam lingkungan keluarga raja atau di dalam lingkungan istana. Contoh: Pakenira makaten ampun boya kekirangan punapi-punapi, bebasan kentun nedha lan tilem besaos „Saudara (itu) sudah tidak kekurangan apa-apa, ibarat hanya tinggal makan dan tidur‟.

13) Basa kasar adalah tuturan kasar dan dihindari dalam pemakaian bahasa Jawa yang sopan dan santun. Contoh: Lha wong rupamu, pantes karo dhapure, jegosmu ya mung nguntal karo micek „Lha memang sosokmu, pantas dengan watakmu, hanya bisa makan dan tidur‟.

Pembagian ketiga belas konsep tingkat tutur tersebut, bila ditabulasikan berdasarkan korelasi jenis leksikonnya dengan tiga komponen tutur pada pertuturannya: (1) penutur, (2) mitra tutur, (3) yang dituturkan, diperoleh sistematika ala Sudaryanto (1989:100), pada tabel 2.1 berikut ini:

Tabel 2.1: Korelasi Tingkat Tutur , Bentuk Kata dan Komponen Tutur

No Jenis Kata

Nama Tingkat Tutur

N gok o M ady a K rama K rama Inggil Kasar Kh u su s K a ta B a sa K a d a th o n 1 2 3 4 5 6 7 8 1 Ngoko Lugu + - - - - -

2 Ngoko Andhap Antya-Basa + - - + - - 3 Ngoko Andhap Basa-Antya + - + + - -

4 Wredha Krama - - +* - - -

5 Mudha Krama - - + + - -

2 Ki Padmasusastra (1899) dalam memberikan contoh pada basa krama inggil perlu dicermati

kembali karena contoh yang ditampilkan kurang sesuai dengan konsep yang diungkapkan. Leksikon yang digunakan ternyata sebagian berjenis krama, yakni: makaten, sampun, ing,

samidayanipun, bebasan, kantun, kaliyan, ingkang, tansah, kecingkrangan; madya: benten. commit to user

1 2 3 4 5 6 7 8 6 Kramantara - - + - - - 7 Madya-Ngoko + + - - - - 8 Madya-Krama - + + - - - 9 Madyantara - + - + - - 10 Krama Desa - - +** +** - - 11 Krama Inggil - - - +*** - - 12 Basa Kadhaton - - - + 13 Basa Kasar + - - - + - Keterangan:

* Afiks yang dipakai seperti pada ngoko.

** Penggunaannya dianggap “kebablasen” (keladuk).

*** Faktanya tidak pernah terwujudkan, menjelang dasa warsa lima puluhan sudah jarang digunakan.

Tampaknya pembagian atas ketiga belas konsep tersebut terhadap penggunaan bahasa Jawa saat ini sangat teoritis dan cenderung artifisial. Ki Padmasusastra pun menyatakan bahwa basa kadhaton sudah tidak digunakan lagi oleh komunitasnya di Keraton Surakarta (sejak tahun 1899).

b. Poedjosoedarmo, dkk (1979): Tingkat Tutur Bahasa Jawa

Poedjosoedarmo, dkk (1979) membagi bahasa Jawa atas sembilan tingkat tutur, lebih sederhana bila dibandingkan dengan konsep yang diajukan oleh Ki Padmasusastra (1899). Adapun konsep yang diajukan Poedjosoedarmo dkk (1979), adalah sebagai berikut:

1) Tingkat tutur ngoko: a. ngoko lugu

2) b. antya basa

3) c. basa antya

4) Tingkat tutur madya: a. madya-ngoko 5) b. madyantara

6) c. madya-krama

7) Tingkat tutur Krama: a. wredha-krama 8) b. kramantara

9) c. mudha-krama

Dalam konsep tersebut diakui pula bahwa tingkat tutur kramantara dan wredha-krama hampir sudah tidak terdengar lagi. Poedjosoedarmo dkk (1979) pun memberi ilustrasi terhadap ke dua tingkat tutur kramantara (1) dan wreda-krama (2), sebagai berikut:

(1) Pak, sampeyan mangke purih numbasaken buku kangge mas Kris.

(2) Nak Trisno, sampeyan mangke dipun purih numbasaken buku kangge mas Kris.

„Nak Trisno, kamu nanti disuruh (diminta membelikan buku untuk mas Kris).

Fenomena yang terjadi saat ini ada kecenderungan bahwa tingkat tutur kramantara dan wreda-krama bergeser pada tataran madya, dengan alasan mendasar yang dikemukakan oleh penuturnya, yakni “penyederhanaan” dan “kepraktisan semata”.

c. Sudaryanto (1989): Pemanfaatan Potensi Bahasa

Sudaryanto (1989) dalam membagi tingkat tutur bahasa Jawa didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan yang telah dilakukan oleh pendahulu-pendahulunya, yakni Poerbatjaraka (1957), Kartoamidjojo (1962), dan Hadiwidjana (1967)3.

Adapun dasar pertimbangan yang dipergunakan adalah adanya kesamaan antarpara pendahulunya, yakni (1) kesamaan konsep antara ngoko lugu dan krama inggil-nya Kartoamidjojo (1962) dengan basa baku dan basa hurmat-nya Hadiwidjana (1967), (2) kesamaan konsep krama ngoko antara Poerbatjaraka (1957) dengan Kartoamidjojo (1962).

Pertimbangan lain yang dipergunakan Sudaryanto (1989) adalah tingkat tutur wredha-krama, kramantara, dan krama inggil sudah jarang digunakannya, serta ada kecenderungan pula bahwa tingkatan krama telah mencakup pada konsep krama-ngoko dan krama madya, sedang tingkatan krama alus mencakup konsep mudha-krama.

Atas dasar pertimbangan tersebut maka Sudaryanto (1989:103) membagi tingkat tutur bahasa Jawa atas empat tingkatann, yakni:

3

a. Poerbatjaraka (1957) membagi tingkat tutur bahasa Jawa atas empat bagian, yakni: (1) ngoko,

(2) krama (meliputi madya dan krama), (3) ngoko-krama (ngoko yang kemasukan krama), dan (4) krama-ngoko (krama yang kemasukan ngoko).

b. Kartoamidjojo (1962) membagi tingkat tutur atas tujuh tingkatan, yakni: (1) ngoko-kasar, (2)

ngoko-lugu, (3) ngoko-krama atau ngoko-alus (di dalamnya termasuk ngoko-andhap, antya-basa atau antya-basa-antya), (4) krama-lugu (meliputi kramantara), (5) krama-alus (meliputi mudha-krama), (6) krama inggil, dan (7) krama-ngoko (meliputi basa madya dan krama madya).

c. Hadiwidjana (1967) membagi tingkat tutur atas empat tingkatan, yakni: (1) basa baku, (2)

basa krama, (3) basa madya, (4) basa hurmat. commit to user

1) ngoko 2) ngoko alus 3) krama 4) krama alus

Pembagian tersebut menyiratkan konsep lingual halus pada tingkatan ngoko dan krama. Konsep “halus” lebih bersifat maknawi (Sudaryanto, 1989:103) atau bersangkutan dengan sikap atau memositifkan referen; pemositifan dapat berarti penghormatan, peninggian, pengluhuran, penghargaan (Sudaryanto, 1989:106).

d. Ekowardono dkk (1993): Kaidah Penggunaan Ragam Krama

Ekowardono dkk (1993) membagi tingkat tutur atas dua tingkatan pokok. Kedua tingkatan tersebut diperinci lagi menjadi empat tingkatan, mirip dengan pembagian tingkat tutur ala Sudaryanto (1989), yakni:

1) Ngoko: a. ngoko lugu 2) b. ngoko alus 3) Krama: a. krama lugu 4) b. krama alus

e. Dwiraharjo (1997): “Fungsi dan Bentuk Krama dalam Masyarakat Tutur Jawa Studi Kasus di Kotamadya Surakarta”

Dwiraharjo (1997:50-51) membagi tingkat tutur atau undha-usuk atau unggah-ungguhing basa atas dasar fungsinya, yakni ada tiga jenis:

1) basa ngoko 2) basa madya 3) basa krama

Tampaknya pembagian konsep tingkat tutur yang dilakukan oleh Dwiraharjo (1997:50-51) lebih bersifat normatif. Adanya tingkat tutur dalam bahasa Jawa dapat mencerminkan tingkat kesopanan antara penutur dengan lawan tuturnya. Tingkat tutur ngoko mencerminkan rasa sopan santun rendah (low honorifics); tingkat tutur madya mencerminkan sopan santun sedang (middle honorifics); tingkat tutur krama mencerminkan sopan santun tinggi (high honorifics). Dwiraharjo (1997) hanya terfokus pada kajian fungsi dan bentuk krama yang terjadi dalam kehidupan masyarakat tutur Jawa di Kotamadia Surakarta. commit to user

f. Edi Subroto, dkk (2008): Buku Pedoman:Pemakaian Tingkat Tutur Ngoko dan Krama dalam Bahasa Jawa

Edi Subroto, dkk (2008:13) melakukan penyederhanaan tingkat tutur atas dasar penyederhanaan tingkat tutur sehingga menghasilkan pemilahan ngoko dan krama agar tidak terlalu rumit, tetap mudah dipahami, dan tetap berpegang pada nilai-nilai sopan santun dalam bertutur Jawa di tengah masyarakat Jawa. Penyederhanaan tersebut menghasilkan bahwa tingkat tutur bahasa Jawa ada dua yakni ngoko dan krama. Tingkat ngoko dipilah menjadi ngoko lugu dan ngoko alus. Tingkat krama dipilah menjadi krama lugu, wredha krama, dan mudha krama.

Edi Subroto, dkk (2008:30) memberikan pedoman secara umum tentang pemakaian tingkat tutur: ngoko, krama, dan krama inggil, yakni:

1) Bentuk ngoko lugu dipakai oleh semua penutur yang sebaya, berteman akrab, atau orang yang lebih tua/lebih tinggi jabatan (status sosial) kepada yang lebih muda/lebih rendah jabatannya (status sosial). Bentuk ngoko lugu baku dipakai untuk hal-hal penting dalam suasana tutur bersungguh-sungguh.

2) Bentuk kata krama inggil tidak boleh dipakai untuk diri sendiri atau hal-hal yang berkaitan dengan diri sendiri.

3) Bentuk krama inggil atau mudha krama dipakai oleh penutur yang lebih muda kepada yang lebih tua; yang lebih rendah derajadnya kepada yang lebih tinggi atau bawahan kepada atasan; menantu kepada mertua; murid kepada guru; santri kepada ustad.

Bertolak dari sumber kajian di atas, tampaknya terdapat alur kesamaan dalam penentuan konsep tingkat tutur bahasa Jawa. Alur kesamaan tersebut dapat ditelusuri melalui tabel 2.2 di bawah ini.

Tabel 2.2: Keselarasan Konsep dalam Tingkat Tutur Bahasa Jawa No Tokoh Tingkat Tutur Ki P admasusa stra ( 1899) P oe djoso eda rmo dkk ( 19 79) S uda rya nto (1989) P ur wo ( 1991) Ekow ardono dkk ( 1993 ) Dw ira ha rjo ( 1997) S asa ngka ( 2004) Edi S ubroto dkk (200 8 ) 1 Ngoko Lugu + + + + + + +*** +

2 Ngoko Andhap Antya-Basa + + +** + 3 Ngoko Andhap Basa-Antya + +

4 Wredha Krama + +* + + + + + 5 Mudha Krama + + + +**** + 6 Kramantara + +* 7 Madya-Ngoko + + + + + 8 Madya-Krama + + 9 Madyantara + + 10 Krama Desa + 11 Krama Inggil + + + + + + 12 Basa Kadhaton + 13 Basa Kasar + 14 Netral + Keterangan:

* sudah tidak muncul lagi ** selaras dengan krama *** dianggap ngoko

**** selaras dengan krama andhap