Bengkoang
Klasifikasi botani bengkoang menurut Lukitaningsih (2009) adalah sebagai berikut. Kingdom : Plantae Divisio : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Fabales Famili : Fabaceae Genus : Pachyrhizus Spesies : P. erosus
Nama Binomial : Pachyrhizus erosus (L) Urb
Bengkoang digolongkan dalam suku polong-polongan (Fabaceae) karena menghasilkan buah berbentuk polong (garis pipih) dan berambut halus yang berbiji 4-9 butir. Daun bengkoang berbentuk majemuk menyirip, beranak daun tiga, dan memiliki bunga dengan warna kelopak putih kebiruan. Bengkoang memiliki batang yang menjalar, membelit, dan berambut halus ke arah bawah (Lestarianto, 2013). Ilustrasi tanaman bengkoang dapat dilihat pada Gambar 1.
Bagian biji dan daun bengkoang tidak dapat dimakan karena mengandung rotenon yaitu racun pembunuh serangga dan ikan (Lestarianto, 2010). Bagian tanaman bengkoang yang dapat dimakan adalah umbi. Umbi bengkoang berbentuk bulat dan berwarna putih dengan kulit luar yang kuning pucat dan tipis. Bentuk umbi bengkoang dapat dibedakan menjadi 2, yaitu: bulat pipih dan bulat panjang. Bentuk bengkoang bulat pipih lebih berasa manis, air yang lebih banyak, kulitnya tipis, dan tidak banyak serat. Sedangkan bentuk bengkoang bulat panjang rasanya tawar, lebih berserat, berwarna agak kekuningan, dan memiliki kulit yang tebal (Astawan, 2009).
Bengkoang dibudidayakan di daerah dataran rendah. Biasanya ditanam di sela-sela tanaman cabai dan lada. Akarnya yang mampu bersimbiosis dengan Rhizobium bersifat menguntungkan karena dapat menambat nitrogen. Panjang akar mencapai 2 m, sedangkan panjang tanaman dapat mencapai 4-5 m. Tanaman bengkoang membentuk umbi akar (cormus) yang bisa mencapai bobot 5 kg (Astawan, 2009).
Bengkoang (Pachyrhizus erosus) merupakan tanaman asli Amerika Tengah khususnya Mexico. Di daerah asal (Mexico), bengkoang disebut jicama/xicama. Awalnya bengkoang dikenal sebagai obat bagi suku Aztec terutama bagian bijinya, selanjutnya disebarkan oleh bangsa Spanyol. Di Eropa bengkoang dikenal dengan sebutan yam bean, sedangkan di Indonesia bengkoang disebarkan dari Filipina ke Ambon, kemudian dibudidayakan ke seluruh Indonesia. Varietas yang banyak dibudidayakan di Indonesia adalah bengkoang gajah dan badur. Bengkoang gajah sudah dapat dipanen pada usia 4-5 bulan, sedangkan bengkoang badur 7-11 bulan (Astawan, 2009). Sentra produksi
bengkoang di Indonesia terdapat di pulau Jawa, Madura, Sumatera (Sumatera Barat di Padang, dan Sumatera Utara di daerah Binjai).
Kadar air umbi bengkoang yang tinggi bersifat menyegarkan dan dapat menggantikan cairan tubuh. Umbi bengkoang juga kaya mineral seperti fosfor, zat besi, dan kalsium. Komposisi zat gizi umbi bengkoang dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi zat gizi umbi bengkoang
Zat Gizi Dasar Kadar per 100g Persentase RDA(%) Energi (Kkal) 38,000 2,00 Karbohidrat (g) 8,820 7,00 Protein (g) 0,720 1,00 Lemak total (g) 0,190 <1,00 Kolesterol (mg) 0 0 Serat pangan (g) 4,900 13,00 Vitamin Folat (µg) 12,000 3,00 Niasin (mg) 0,200 1,50 Asam pantotenat (mg) 0,135 3,00 Piridoksin (mg) 0,042 3,00 Riboflavin (mg) 0,029 2,00 Thiamin (mg) 0,020 2,00 Vitamin A (IU) 21,000 1,00 Vitamin C (mg) 20,200 34,00 Vitamin E (mg) 0,460 3,00 Vitamin K (µg) 0,300 <1,00 Elektrolit Natrium (mg) 4,000 <1,00 Kalium (mg) 150,000 3,00 Mineral Kalsium (mg) 12,000 1,00 Tembaga (mg) 0,048 5,00 Zat Besi (mg) 0,600 7,00 Magnesium (mg) 12,000 3,00 Mangan (mg) 0,600 3,00 Zinc (mg) 0,160 1,00 Fito-Nutrien ß-karoten (µg) 13,000 -- α-karoten (µg) 0 -- Lutein-zeaxanthin (µg) 0 --
Keterangan: RDA: Recommended Dietary Allowances
Bengkoang juga merupakan diet rendah kalori (35-39 kkal dalam 100g). Umbi bengkoang mengandung asam askorbat dalam jumlah yang cukup besar. Asam-asam amino yang terdapat pada umbi bengkoang antara lain: asam aspartat, asam glutamat, glisin, histidin, arginin, treonin, alanin, prolin, tyrosin, valin,
metionin, isoleusin, leusin, fenilalanin, serin, sistein, dan lisin (Noman, et al., 2007).
Bengkoang memiliki rasa yang manis, oleh karena itu bengkoang biasanya dikonsumsi segar atau diolah minimal menjadi rujak, manisan, asinan, salad, koktail, serta campuran dalam pembuatan tekwan. Rasa manis pada bengkoang dihasilkan oleh inulin yang tergolong serat pangan (oligosakarida). Inulin tidak dapat langsung dipecah menjadi gula, diperlukan enzim inulase untuk pemecahannya, sehingga di dalam usus akan difermentasi. Sifat prebiotik inulin menyebabkan inulin sangat cocok menggantikan gula pada orang diabetes maupun yang sedang berdiet kalori rendah (Rudrappa, 2009).
Selain menjadi makanan, umbi putih bengkoang juga telah lama digunakan dalam berbagai kosmetik seperti masker wajah untuk tabir surya, memutihkan, dan menyegarkan kulit serta bahan dasar obat kanker, diabetes, dan nyeri perut (Lukitaningsih, 2010). Saat ini bengkoang sudah banyak dipasarkan dalam bentuk bubuk atau pasta untuk masker kulit (Astawan, 2009). Olahan bengkoang dalam bentuk bubuk/tepung dapat meningkatkan nilai ekonomis, memperpanjang masa simpan, dan diversifikasi produk olahan bengkoang.
Bengkoang memiliki potensi untuk pengembangan industri tepung kaya pati dan protein. Hal ini dikarenakan bobot kering bengkoang mencapai 6 - 22% dengan 50% pati dan 10% protein di dalamnya. Jika rata-rata hasil panen 35
ton/hektar, maka tiap hektar akan menghasilkan pati sebanyak 1,05 – 3,85 ton pati dan 0,21 – 0,77 ton protein (Hasani dan Karuniawan 2010). Komposisi kimia tepung bengkoang dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi zat gizi umbi dan tepung bengkoang
Zat gizi Umbi Bengkoang Tepung Bengkoang Basis basah Basis kering Basis basah Basis kering Air (%) 83,71±0,13 - 5,79 ± 0,04 - Lemak (%) 0,12±0,03 0,74±0,18 0,54±0,01 0,57±0,01 Abu (%) 0,53±0,02 3,25±0,12 2,14±0,04 2,27±0,04 Protein (%) 1,57±0,01 9,64±0,06 5,68±0,06 6,03±0,06 Serat kasar (%) 1,48±0,12 9,08±0,74 6,26±0,01 6,64±0,01 Karbohidrat (%) 14,11±0,05 86,37±1,16 85,85±0,15 91,12±0,16 Gula reduksi (%) 2,00±0,01 12,28±0,06 11,34±0,03 12,04±0,03 Sukrosa (%) 3,62±0,01 22,22±0,06 19,12±0,01 20,29±0,01 Total gula (%) 5,63±0,02 34,56±0,12 30,46±0,40 32,33±0,40 Pati (%) 5,18±0,01 31,80±0,06 21,00±0,76 22,29±0,81 Energi (kkal/100g) 62,12±0,16 381,06±0,98 366,29±0,14 388,79±0,15 Sumber : Ayeh (2013)
Bengkoang merupakan Famili Fabaceae. Fabaceae dan Leguminoceae
diketahui sebagai tanaman yang mengandung fitoestrogen. Fitoestrogen adalah senyawa alami dari tumbuhan yang mampu mempengaruhi aktivitas estergonik tubuh. Fitoestrogen dapat menggantikan hormon estrogen yang produksinya berkurang akibat menopause. Hormon estrogen yang berkurang menjadi penyebab munculnya berbagai gejala yang tidak disukai wanita seperti: kulit keriput, kering, kelihatan tua, emosi labil, dan kerapuhan tulang atau osteoporosis. Biasanya wanita melakukan terapi pengganti hormon (pemberian dari luar) untuk meningkatkan kandungan estrogen, namun terapi ini menimbulkan menstruasi tidak teratur hingga endometosis atau kanker rahim jika tidak dikontrol karena peningkatan kadar hormon estrogen yang berlebihan (estrogen dominan) (Lukitaningsih, 2010).
Beberapa penelitian telah dilakukan terhadap tanaman bengkoang dan hasilnya sangat bermanfaat bagi kesehatan. Salah satunya, pemberian ekstrak bengkoang dapat meningkatkan proliferasi sel kelenjar payudara pada konsentrasi 75 mg/ml maksimum 125 mg/ml. Ekstrak bengkoang menekan atropi rahim tikus terovaktomi dengan mengoreksi kekurangan hormon estrogen, bersinergi dengan estrogen endogen melindungi organ yang dipelihara. Konsumsi ekstrak bengkoang juga dapat meningkatkan densitas tulang femur tikus terovaktomi, sehingga bengkoang mencegah osteoporosis (Lukitaningsih, 2010).
Antioksidan
Senyawa yang mampu memberikan satu atom hidrogen pada radikal bebas adalah antioksidan. Kemampuan antioksidan menghambat oksidasi akibat radikal bebas dapat melindungi sel dari kerusakan dan mencegah timbulnya penyakit akibat kerusakan sel dan jaringan. Antioksidan bukan hanya dapat mencegah kerusakan oksidatif pada tubuh manusia, tetapi juga dapat mencegah kerusakan pada bahan makanan. Berdasarkan sumbernya, antioksidan dibedakan menjadi 2, yaitu: antioksidan alami dan antioksidan sintetis (Wikipedia, 2011).
Antioksidan alami diisolasi dari bahan alam yang berasal dari tumbuhan dan tersebar pada berbagai bagian tanaman mulai dari kayu, kulit kayu, akar, daun, bunga, buah, biji, rimpang, dan serbuk sari (Prakasa, 2010). Antioksidan merupakan salah satu metabolit sekunder yang dihasilkan tanaman. Antioksidan digunakan tanaman untuk melindungi diri dari paparan radikal seperti cahaya matahari yang berlebihan. Antioksidan diproduksi tanaman untuk melindungi membran, organel, dan makromolekul terhadap tekanan lingkungan seperti gangguan senyawa oksidatif (Herawati, et al., 2011).
Antioksidan alami terbagi atas antioksidan vitamin dan enzim. Antioksidan vitamin seperti tokoferol (vitamin E), vitamin C, dan karotenoid lebih dikenal dibanding antioksidan enzim: superoksida dismutase (SOD), katalase, glutation peroksidase, dan antioksidan lain yang dapat meredam radikal bebas. Secara alami radikal bebas dihasilkan dalam metabolisme tubuh (endogen) yang berasal dari autoksidasi, oksidasi enzimatik dan respiratory burst. Begitu juga dengan antioksidannya yang dihasilkan di dalam tubuh. Tetapi perubahan radikal pada kehidupan manusia menyebabkan banyaknya radikal bebas eksogen yang dapat masuk ke tubuh seperti dari polusi udara, radiasi UV, sinar-X, pestisida, asap rokok, dan konsumsi makanan yang mengandung peroksida lipid (Judarwanto, 2013).
Ketidakseimbangan jumlah radikal bebas dan antioksidan di dalam tubuh menyebabkan terjadinya stress oksidatif. Oleh karena itu dibutuhkan antioksidan eksogen untuk menyeimbangkan jumlah antioksidan dengan radikal bebas dan mencegah kerusakan oksidatif (Setiawan dan Suhartono, 2005).
Antioksidan sintetik yang banyak digunakan adalah BHT (Butylated Hydroxy Toluene), BHA (Butylated Hydroxy Anysole), PG (Propil Galat), TBHQ
(Tert-Butyl Hydroxyl Quinon), NDGA (Nordihidroguairetic Acid), dan
α-tokoferol. Antioksidan sintetik dapat berbahaya bagi kesehatan, misalnya BHA dan BHT yang dapat menyebabkan pembengkakan organ hati (Gordon et al., 2001 dalam Prakasa, 2010).
Antioksidan bersumber dari alam (buah dan sayur) lebih diminati karena kombinasi antioksidan yang dimiliki dan dengan dosis rendah, sehingga tidak berisiko. Berbeda dengan suplemen antioksidan yang biasanya dominan satu jenis
antioksidan dan dengan dosis tinggi yang dapat berisiko. Jika ditinjau dari mekanisme kerjanya, antioksidan terbagi atas: antioksidan primer, sekunder, dan tersier. Antioksidan primer dapat mengubah radikal bebas menjadi bentuk yang stabil, memutus reaksi berantai, sehingga mencegah pembentukan radikal bebas baru. Antioksidan primer biasa merupakan antioksidan enzim seperti: SOD (Super Oksida Dismutase), katalase, dan glutation peroksidase. Antioksidan sekunder memiliki kemampuan mengurangi laju awal reaksi berantai. Yang tergolong antioksidan sekunder adalah antioksidan vitamin, antara lain: vitamin C, E, dan β -karoten. Sedangkan antioksidan tersier mampu memperbaiki kerusakan sel dan jaringan akibat oksidasi oleh radikal bebas. Contohnya enzim metionin sulfooksida reduktase mampu memperbaiki kerusakan DNA (Wikipedia, 2011). Flavonoid
Komponen antioksidan dapat dihasilkan tanaman berupa senyawa fenolik (flavonoid, asam, fenolik, tannin, dan lignan). Komponen fenolik terbukti mampu menangkal radikal bebas. Senyawa flavonoid telah teridentifikasi dalam bengkoang. Struktur kimia flavonoid (Gambar 2) memiliki inti flavon terdiri dari 15 atom C dengan 3 cincin (C6-C3-C6) (Lukitaningsih, 2009).
Terdapat tujuh jenis senyawa utama flavonoid, yaitu: flavon, isoflavon, flavonol, flavanon, antosianin, katekin, dan khalkon. Khalkon merupakan flavonoid yang memiliki 2 gugus fenol yang terhubung dengan 3 atom karbon. Turunan dari struktur khalkon yang berisi 3 cincin dapat membentuk struktur flavanon. Dari bentuk flavanon inilah jenis-jenis flavonoid lainnya dihasilkan, termasuk isoflavon, flavonol, flavanol, dan flavon (Lukitaningsih, 2009).
Isoflavon diklasifikasikan sebagai fitoestrogen. Diduga struktur kimia isoflavon mirip dengan hormon estrogen dan obat osteoporosis sintetis ipriflavon. Estrogen dan ipriflavon dapat melindungi densitas mineral tulang pada wanita pasca menopause, menghambat kerusakan, dan sekaligus menstimulasi pembentukan tulang. Struktur kimianya yang mirip dengan hormon estrogen (fitoestrogen) membuat senyawa ini berperan penting dalam penyembuhan penyakit yang disebabkan oleh hormon, seperti kanker payudara, ovarium, prostat, dan sindrom post menopose. Daidzein dan geinistein juga berperan menurunkan kolesterol (Lukitaningsih, 2010).
Isoflavon yang merupakan bagian dari flavonoid dapat berperan sebagai antioksidan, sehingga berguna untuk mencegah: (1) kerusakan oksidatif membran sel, (2) aterosklerosis akibat teroksidasinya LDL (kolesterol jahat), (3) penyakit jantung koroner, (4) penyakit kardiovaskuler, dan (5) kerusakan oksidatif DNA. Selain itu, daya antioksidan isoflavon juga berguna untuk memberi efek antiproliferatif dan menghambat pertumbuhan sel melanoma (salah satu pemicu kanker) (Astawan, 2009).
Isoflavon juga dibuktikan dapat memberikan efek farmakologis, seperti: (1) menurunkan risiko kanker payudara, ovarium, dan kanker prostat, (2)
menurunkan kadar kolesterol total maupun low density lipoprotein (LDL), serta meningkatkan kolesterol baik high density lipoprotein (HDL), (3) menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik, (4) bersifat antimutagenesis (mencegah mutasi gen), serta (5) mencegah osteoporosis pada wanita pasca menopause. Penyakit kronis pasca menopause menyebabkan wanita banyak menggunakan hormon estrogen sebagai terapi. Beberapa penelitian menunjukkan terapi tersebut dalam waktu lama menyebabkan risiko kanker terutama payudara dan rahim. Alternatifnya dapat menggunakan isoflavon karena antioksidan ini memiliki struktur yang hampir sama dengan hormon estrogen dan kemampuannya berikatan dengan reseptor estrogen di dalam sel (Lukitaningsih, 2010).
Radikal Bebas
Radikal bebas merupakan senyawa yang sangat tidak stabil karena memiliki elektron yang tidak berpasangan, sehingga radikal bebas akan melakukan proses oksidasi untuk mendapatkan pasangan elektron dari molekul yang ada di sekitarnya. Oksidasi dilakukan terhadap makromolekul biologi (protein, lipid, dan DNA), sehingga dapat menyebabkan kerusakan sel dan menimbulkan berbagai penyakit pada manusia dan kerusakan pada makanan akibat oksidasi lemak. Kerusakan makromolekul pata tubuh bisa menimbulkan katarak, kanker, dan penyakit pembuluh darah (Langsethm, 1995 dalam Suryanto dan Wehantouw, 2009). Sebaliknya oksidasi radikal bebas dapat bersifat menguntungkan karena membantu reaksi penting di dalam tubuh dan juga bermanfaat dalam proses pembuatan obat-obatan, plastik yang dirancang khusus, dan produk lainnya (Judarwanto, 2013).
Radikal bebas dapat berasal dari dalam (endogen) dan luar tubuh (eksogen). Radikal endogen berasal dari autooksidasi, oksidasi enzimatik, dan
respiratory burst, sedangkan radikal eksogen dapat bersumber dari asap rokok, polusi udara, radiasi UV, sinar-X, dan pestisida. Radikal bebas dapat terbentuk dari hasil samping proses oksidasi atau pembakaran seperti saat bernafas maupun dari olahraga yang berlebihan, dan saat terjadi peradangan dalam tubuh. Pada saat infeksi atau peradangan dalam tubuh, radikal berfungsi untuk membunuh mikrooganisme penyebab infeksi. Namun, paparan radiasi dari luar tubuh dalam jumlah yang berlebihan dan secara terus-menerus akan menyebabkan kerusakan sel, mengurangi adaptasi sel terhadap lingkungan yang dapat menimbulkan penyakit, serta mengakibatkan kematian pada sel (Judarwanto, 2013).
Radikal bebas dan spesies oksigen reaktif (ROS) merupakan kondisi patologik dari penyakit tertentu seperti terjadinya inflamasi, gangguan metabolik, penuaan sel, aterosklerosis, dan karsinogen (Suryanto dan Wehantouw, 2009). Inflamasi adalah proses yang diperantarai sintesis prostaglandin dengan katalis sikooksigenase. Pada proses ini dihasilkan zat antara berupa radikal bebas (Lautan, 1997). ROS meliputi radikal hidroksil (*OH), radikal anion superoksida (O2*-), hidrogen peroksida (H2O2), dan singlet oksigen (1O2). Radikal bebas dan ROS menyebabkan kerusakan pada komponen biologi seperti protein, DNA, dan lipid (Suryanto dan Wehantouw, 2009).
Paparan radikal bebas yang berlebihan dan terus-menerus akan berdampak negatif pada tubuh. Seperti timbulnya penyakit kronis: kanker, serangan jantung, menurunnya fungsi ginjal, katarak, bahkan alzheimer. Penyakit kronis membutuhkan waktu bertahun-tahun dalam proses pembentukannya di dalam
tubuh. Radikal bebas dapat merusak DNA bila terbentuk di sekitar DNA seperti pada radiasi biologis. Jika radikal bebas mengambil elektron dari sel tubuh maka struktur DNA akan berubah, sehingga terjadi mutasi gen. Jika mutasi berlangsung tahunan maka akan terbentuk sel kanker. Pada umumnya semua jaringan di dalam tubuh dapat menangkal radikal bebas menggunakan enzim khusus dari dalam jaringan tersebut. Namun, seiring dengan pertambahan usia manusia secara alami tubuh mengalami degradasi dan kemunduran, sehingga tidak lagi mampu menangkal radikal bebas yang masuk ke dalam tubuh maka dibutuhkan antioksidan eksogen sebagai penangkal radikal bebas (Judarwanto, 2013).
Ekstraksi
Ekstraksi adalah salah satu tahap terpenting dalam proses analisis. Ekstraksi merupakan cara pemisahan komponen dari campurannya dengan cara penarikan komponen yang dapat larut, sehingga terpisah dari komponen yang tidak dapat larut. Teknik ekstraksi bergantung pada tekstur, kandungan air bahan, dan jenis senyawa yang akan diekstrak atau diisolasi (Harborne 1987 dalam Sundari 2008). Metode ekstraksi menggunakan pelarut terbagi 2, yaitu: cara panas dan cara dingin. Ekstraksi cara panas seperti refluks, digesti, soxhletasi, infus, dan dekok menggunakan suhu di atas suhu kamar. Sedangkan metode ekstraksi cara dingin menggunakan suhu kamar. Ekstraksi cara dingin terdiri dari perkolasi dan maserasi (Hamdani, 2013).
Maserasi dilakukan untuk mengekstrak bahan yang tidak tahan panas atau bahan yang belum diketahui kandungannya. Proses maserasi membutuhkan waktu lama dan pelarut dalam jumlah banyak (kekurangan proses maserasi). Sederhananya metode ekstraksi maserasi dapat dikatakan sebagai perendaman,
karena prosesnya merendam sampel dalam pelarut dan dilakukan pengadukan bila perlu. Prinsipnya menggunakan gerak kinetik pelarut yang dapat menembus jaringan bahan, sehingga komponen yang diinginkan dapat larut dalam pelarut. Kelebihan maserasi adalah sederhana dan tidak memerlukan peralatan spesifik (Hamdani, 2013dan Yulanda, 2007 dalam Winata, 2011).
Tahap awal ekstraksi adalah dengan menghaluskan jaringan tanaman yang akan diekstrak (memperkecil ukuran partikel bahan) dengan tujuan memperbesar luas permukaannya, sehingga lebih banyak komponen metabolit yang diekstrak. Sebelum diekstrak, bahan harus dikeringkan untuk mempertahankan kandungan metabolit dalam tanaman yang telah dipotong, sehingga metabolisme tanaman atau bahan tersebut terhenti (Mursito, 2002 dalam Winata, 2011).
Metode DPPH
Metode yang akhir-akhir ini popoler digunakan untuk menentukan aktivitas antioksidan adalah DPPH. DPPH atau 2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl
(Gambar 3) adalah radikal bebas stabil dengan rumus molekul C18H12N5O6 dan mempunyai berat molekul sebesar 394,32. DPPH dalam pelarut alkohol akan berwarna ungu dan menyerap kuat pada panjang gelombang 517 nm. Warna ungu akan memudar menjadi kuning lemah seiring dengan terikatnya atom H oleh DPPH. Metode DPPH banyak digunakan karena prosesnya sederhana, cepat, tepat, dan tidak tergantung pada kepolaran bahan yang akan diuji. Metode DPPH juga sangat sensitif, sehingga tidak memerlukan banyak sampel (Aji, 2009 dalam Winata, 2011).
Gambar 3. Struktur kimia radikal bebas DPPH (Molyneux, 2004)
Prinsip pengukuran aktivitas antioksidan metode DPPH adalah dengan penangkapan atom H dari senyawa antioksidan bahan uji oleh radikal bebas DPPH. Reaksi penangkapan atom H dari antioksidan oleh DPPH dapat dilihat pada Gambar 4. Dalam Gambar 4, antioksidan disimbolkan sebagai RH, sedangkan R• merupakan antioksidan yang telah kehilangan atom hidrogennya.
Gambar 4. Reaksi Penangkapan atom H dari antioksidan oleh DPPH (Winata, 2011)
Radikal DPPH akan mengikat atom H dari senyawa yang mengandung antioksidan, kemudian dihasilkan DPPH nonradikal dalam bentuk tereduksi dan berwarna kuning lemah dan juga dihasilkan radikal bebas (R•) pada tahap awal reaksi berlangsung. Radikal (R•) yang terakhir akan mengalami reaksi lanjutan yang mengontrol keseluruhan stoikiometri, yaitu sejumlah molekul DPPH direduksi oleh satu molekul reduktan (Lukitaningsih, 2009).
DPPH merupakan radikal bebas stabil, dalam bentuk teroksidasi DPPH menerima elektron dari senyawa lain dan membentuk molekul diamagnetik stabil (Hartono et al., 1998 dalam Winata, 2011). DPPH hanya dapat mengukur senyawa antioksidan yang terlarut dalam pelarut organik, khususnya alkohol. DPPH dapat digunakan pada sampel padatan ataupun larutan dan tidak spesifik untuk komponen antioksidan partikular, tetapi DPPH digunakan untuk mengukur kapasitas antioksidan secara keseluruhan (Molyneux, 2004).