• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mangrove Secara Umum

Hutan mangrove merupakan tipe hutan tropika dan subtropika yang khas, tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak di jumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak dan daerah yang landai. Mangrove tumbuh optimal di wilayah pesisir yang memiliki muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur. Sedangkan di wilayah pesisir yang tidak bermuara sungai, pertumbuhan vegetasi mangrove tidak optimal. Mangrove sulit tumbuh di wilayah pesisir yang terjal dan berombak besar dengan arus pasang surut kuat, karena kondisi ini tidak memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur yang diperlukan sebagai substrat bagi pertumbuhannya (Dahuri, 2003).

Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 (delapan) famili, dan terdiri atas 12 (dua belas) genera tumbuhan berbunga yaitu Avicennia, Sonneratia, Rhyzophora, bruguiera, Ceriops,

Xylocarpus, Lumnitzera, Languncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen, 2002).

Mangrove merupakan karakteristik dari bentuk tanaman pantai, estuari atau muara sungai, dan delta di tempat yang terlindung daerah tropis dan sub tropis. Dengan demikian maka mangrove merupakan ekosistem yang terdapat di antara daratan dan lautan dan pada kondisi yang sesuai mangrove akan membentuk hutan yang ekstensif dan produktif. Karena hidupnya di dekat pantai, mangrove sering juga dinamakan hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau, atau hutan bakau. Hutan bakau sebagian besar vegetasinya didominasi oleh jenis

bakau, dan disebut hutan payau karena hutannya tumbuh di atas tanah yang selalu tergenang oleh air payau (Dedi, 2008).

Bentuk morfologi C. tagal dapat dilihat pada Gambar 1, sedangkan taksonomi C. tagal adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Malpighiales Famili : Rhizophoraceae Genus : Ceriops

Spesies : Ceriops tagal

Gambar 1. Ceriops tagal

Tengar adalah nama sekelompok tumbuhan dari marga Ceriops, suku

Rhizophoraceae. Dari segi penampilan, tengar mirip dengan bakau, meski

umumnya lebih kecil. Deskripsi umum dari C. tagal yaitu pohon kecil atau semak dengan ketinggian mencapai 25 m. Kulit kayu berwarna abu-abu, kadang-kadang coklat, halus dan pangkalnya menggelembung. Memiliki nama ilmiah C. tagal,

tumbuhan ini juga dikenal dengan beberapa nama lain seperti tangar, tengal,

tengah, tingi, palun, parun, bido-bido dan lain-lain (Noor et al., 1999).

Akar banir dari bentukan seperti akar tunjang, kadang membentuk akar lutut atau akar nafas yang menonjol. Batang berkayu, warna coklat agak jingga. Bagian bawah batang terdapat banyak akar tunjang dengan panjang ± 50 cm. Percabangannya banyak dan tidak teratur. Hipokotil berbintil, berkulit halus, agak menggelembung dan seringkali agak pendek. Leher kotiledon menjadi kuning jika sudah matang/dewasa. Ukuran hipokotil silindris panjang 4-25 cm dan diameter 8-12 mm. Daun hijau mengkilap dan sering memiliki pinggiran yang melingkar ke dalam, ukuran daunnya 1-10 x 2-3,5 cm (Noor et al, 1999).

Faktor-Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Pertumbuhan C. tagal Tanah

Jenis tanah yang mendominasi kawasan mangrove biasanya adalah fraksi lempeng berdebu, akibat rapatnya bentuk perakaran-perakaran yang ada. Fraksi lempung berpasir hanya terdapat dibagian depan (arah pantai). Nilai pH tanah dikawasan mangrove berbeda-beda, tergantung pada tingkat kerapatan vegetasi yang tumbuh dikawasan tersebut. Jika kerapatan rendah, tanah akan mempunyai nilai pH yang tinggi. Nilai pH tidak banyak berbeda, yaitu antara 4,6-6,5 dibawah tegakan jenis Rhizophora spp (Noor et al., 1999).

Hutan mangrove tanahnya selalu basah, mengandung garam, mempunyai sedikit oksigen dan kaya akan bahan organik. Bahan organik yang terdapat di dalam tanah, terutama berasal dari sisa tumbuhan yang diproduksi oleh mangrove sendiri. Serasah secara lambat akan diuraikan oleh mikroorganisme, seperti bakteri, jamur dan lainnya. Selain itu juga terjadi sedimen halus dan partikel

kasar, seperti potongan batu dan koral, pecahan kulit kerang dan siput. Biasanya tanah mangrove kurang membentuk lumpur berlempung dan warnanya bervariasi dari abu-abu muda sampai hitam (Soeroyo, 1993).

Umumnya tanah yang ditumbuhi mangrove adalah tanah-tanah yang bertekstur halus, mempunyai tingkat kematangan rendah, mempunyai kadar garam rendah alkalinitas tinggi, dan sering mengandung lapisan sulfat masam atau bahan sulfidik (cat clay). Kandungan liat atau debu umumnya tinggi, kecuali tanah-tanah atau pecahan batu karang. Lapisan gambut dengan kandungan garam tinggi kadang-kadang ditemukan pada tanah mangrove baik di daerah batu karang maupun di daerah endapan liat (Mardiana, 2005).

Suhu

Suhu penting dalam proses fisiologis, seperti fotosintesis dan respirasi. Pada Rhizophora spp., Ceriops spp., Exocoecaria spp., dan Lumnitzera spp., laju tertinggi produksi daun baru adalah pada suhu 26-28 ºC, untuk Bruguiera spp adalah 27ºC dan Avicennia marina memproduksi daun baru pada suhu 18-20 ºC (Hutchings and Saenger, 1987).

Pasang Surut

Pasang surut menentukan zonasi komunitas flora dan fauna mangrove. Durasi pasang surut berpengaruh besar terhadap perubahan salinitas pada areal mangrove. Salinitas air menjadi sangat tinggi pada saat pasang naik dan menurun selama pasang surut. Perubahan tingkat salinitas pada saat pasang merupakan salah satu faktor yang membatasi distribusi jenis mangrove. Pada areal yang selalu tergenang hanya Rhizophora mucronata yang tumbuh baik, sedangkan

Bruguiera spp dan Xylocarpus spp jarang mendominasi daerah yang sering

tergenang. Pasang surut juga berpengaruh terhadap perpindahan massa antara air tawar dengan air laut, dan oleh karenanya mempengaruhi organisme mangrove (Ansori, 1998).

Salinitas

Kebanyakan tumbuhan memiliki toleransi sangat rendah terhadap salinitas, sehingga tidak mampu tumbuh di dalam atau di dekat air laut. Hal ini terjadi karena kebanyakan jaringan makhluk hidup lebih cair daripada air laut, akibatnya air dari dalam jaringan tumbuhan dapat keluar akibat proses osmosis, sehingga tumbuhan kekeringan, menjadi layu, dan mati. Lingkungan yang keras ini menyebabkan diversitas hutan mangrove cenderung lebih rendah daripada umumnya hutan hujan tropis (Noor et al., 1999).

Secara umum di perairan terdapat dua tipe rantai makanan yaitu rantai makanan langsung dan rantai makanan detritus. Di ekosistem mangrove, rantai makanan yang ada untuk biota perairan adalah rantai makanan detritus. Detritus diperoleh dari daun mangrove yang gugur ke perairan kemudian mengalami penguraian dan berubah menjadi partikel kecil yang dilakukan oleh mikroorganisme seperti bakteri dan fungi (Dedi, 2000 dalam oleh Emma, 2009).

Fungsi Ekologis Hutan Mangrove

Fungsi ekologis mangrove menurut Dahuri et al. (1996) dalam Azis (2006) adalah sebagai berikut:

a. Dalam ekosistem hutan mangrove terjadi mekanisme hubungan antara ekosistem mangrove dengan jenis-jenis ekosistem lainnya seperti padang lamun dan terumbu karang.

b. Dengan sistem perakaran yang kokoh ekosistem hutan mangrove memiliki

kemampuan meredam gelombang, menahan lumpur dan melindungi pantai dari abrasi, gelombang pasang dan topan.

c. Sebagai pengendalian banjir, hutan mangrove yang banyak tumbuh di daerah

estuaria juga dapat berfungsi untuk mengurangi bencana banjir.

d. Hutan mangrove dapat berfungsi sebagai penyerap bahan pencemar

(environmental service), khususnya bahan-bahan organik.

e. Sebagai penghasil bahan organik yang merupakan mata rantai utama dalam

jaring-jaring makanan di ekosistem pesisir, serasah mangrove yang jatuh dan gugur ke dalam air akan menjadi substrat yang baik bagi bakteri dan sekaligus berfungsi membantu proses daun-daun tersebut menjadi detritus. Selanjutnya detritus menjadi bahan makanan bagi hewan pemakan, seperti cacing, udang-udang kecil dan akhirnya hewan-hewan ini akan menjadi makanan larva ikan,udang, kepiting dan hewan lainnya.

f. Merupakan daerah asuhan (nursery ground) hewan-hewan muda (juvenile

stage) yang akan bertumbuh kembang menjadi hewan-hewan dewasa dan juga

merupakan daerah pemijahan (spawning ground) beberapa perairan seperti udang,ikan dan kerang-kerangan.

Salinitas Mangrove

Di Indonesia, areal yang selalu digenangi walaupun pada saat pasang rendah umumnya didominasi oleh Avicennia alba atau Sonneratia alba. Areal

yang digenangi oleh pasang sedang didominasi oleh jenis-jenis Rhizophora. Adapun areal yang digenangi hanya pada saat pasang tinggi, yang mana areal ini lebih ke daratan, umumnya didominasi oleh jenis-jenis Bruguiera dan Xylocarpus

granatum, sedangkan areal yang digenangi hanya pada saat pasang tertinggi

(hanya beberapa hari dalam sebulan) umumnya didominasi oleh Bruguiera

sexangula dan Lumnitzera littorea.

Pengaruh Salinitas Terhadap Fisiologi

Dalam kaitannya dengan adaptasi terhadap kandungan garam, mangrove dikelompokkan menjadi dua kelompok yakni (1) salt-excreting mangrove, seperti jenis Avicennia, Aegiceras, dan Aegialitis, dan (2) non-secretor mangrove, seperti jenis Rhizophora, Bruguiera, Sonneratia, dan lain-lain. Sehubungan dengan ini Hutching dan Saenger (1987) mengemukakan tiga cara mangrove beradaptasi terhadap garam sebagai berikut:

1. Sekresi garam (salt extrusion/salt secretion)

Flora mangrove menyerap air dengan salinitas tinggi kemudian mengekskresikan garam dengan kelenjar garam yang terdapat pada daun. Mekanisme ini dilakukan oleh Avicennia, Sonneratia, Aegiceras, Aegialitis,

Acanthus, Laguncularia dan Rhizophora (melalui unsur-unsur gabus pada

daun).

2. Mencegah masuknya garam (salt exclusion)

Flora mangrove menyerap air tetapi mencegah masuknya garam, melalui saringan yang terdapat pada akar. Mekanisme ini dilakukan oleh Rhizophora,

Ceriops, Sonneratia, Avicennia, Osbornia, Bruguiera, Excoecaria, Aegiceras, Aegalitis, dan Acrostichum.

3. Akumulasi garam (salt accumulation)

Flora mangrove seringkali menyimpan Na dan Cl pada bagian kulit kayu, akar dan daun yang lebih tua. Daun penyimpan garam umumnya sukulen dan pengguguran daun sukulen ini diperkirakan merupakan mekanisme mengeluarkan kelebihan garam yang dapat menghambat pertumbuhan dan pembentukan buah.

Laju Dekomposisi Serasah

Mason (1974) membagi proses-proses dekomposisi menjadi tiga yaitu pelindihan (leaching), penghawaan (weathering) dan aktivitas biologi. Ketiga proses tersebut berlangsung secara simultan. Leaching adalah mekanisme hilangnya bahan-bahan yang dapat larut dari serasah atau detritus organik oleh hujan atau aliran air. Weathering adalah mekanisme pelapukan oleh faktor-faktor fisik, seperti pengikisan dan penguapan air dari serasah oleh angin, es dan pergerakan gelombang. Aktivitas biologi adalah proses yang menghasilkan pecahan-pecahan detritus bahan organik secara bertahap oleh mahkluk hidup. Makhluk hidup yang melakukan dekomposisi dikenal sebagai dekomposer, pengurai atau saproba. Serasah atau organik yang berasal dari bahan tumbuhan yang telah mati setelah mengalami beberapa tahapan dekomposisi dapat menghasilkan energi potensial bagi kehidupan konsumer. Sebutan serasah biasanya digunakan untuk bahan dalam ekosistem daratan khususnya bahan yang berasal dari tumbuhan tingkat tinggi, sedang detritus digunakan untuk bahan dalam ekosistem perairan.

Proses dekomposisi dimulai dari proses penghancuran yang dilakukan oleh makrobentos terhadap tumbuhan dan sisa bahan organik mati selanjutnya menjadi

ukuran yang lebih kecil. Kemudian dilanjutkan dengan proses biologi yang dilakukan oleh bakteri dan fungi untuk menguraikan partikel-partikel organik. Proses dekomposisi oleh bakteri dan fungi sebagai dekomposer mengeluarkan enzim yang dapat menguraikan bahan organik menjadi protein. Kecepatan terdekomposisi mungkin berbeda dari waktu ke waktu tergantung faktor-faktor yang mempengaruhinya (Sunarto, 2003).

Laju dekomposisi bahan organik ditentukan oleh faktor bahan organik dan lingkungan yang mempengaruhi berbagai aktivitas organisme, organisme tersebut membantu pada proses awal perombakan bahan organik dalam tanah (Notohadiprawiro, 1998).

Proses dekomposisi serasah daun A. marina terjadi selama 105 hari. Hasil penelitian memperlihatkan adanya perubahan berat kering dan perubahan fisik serasah daun A. marina yang bervariasi. Rata-rata berat kering berbeda-beda pada setiap stasiun. Pada hari ke-105, bobot berat kering serasah daun A. marina pada stasiun I adalah sebesar 1,83, stasiun II sebesar 5,0, dan pada stasiun III sebesar 3,73. Nilai bobot kering terendah terdapat pada stasiun I sebesar 1,83 yang artinya stasiun I mengalami laju dekomposisi paling cepat. Hal ini sesuai dengan literatur (Indriani, 2008), Perubahan bobot kering serasah daun A. marina mengalami penurunan dengan lamanya penguraian per 15 hari. Penurunan berat kering daun terbesar yaitu pada daerah dekat dengan aliran air laut yang berfungsi untuk memberikan asupan air laut bagi tambak-tambak di sekitarnya (Naibaho, 2014).

Kecepatan dekomposisi serasah dapat diketahui dengan menempatkan serasah daun mangrove yang massanya diketahui di dalam kantong serasah yang tidak dapat dimasuki oleh mikrofauna pemakan daun serasah daun, seperti

Gastropoda dan kepiting. Kantong-kantong berisi serasah daun ini selanjutnya ditempatkan di areal mangrove dan pengamatan dilakukan dengan selang waktu tertentu. Tiap kali pengamatan sisa serasah yang terdapat dalam kantong tersebut ditimbang (Hogarth, 1999).

Hasil Penelitian Odum dan Heald (1975) dilaporkan bahwa sekitar 83% dari total produksi daun daun mangrove (880 gram berat kering/m²/tahun) didekomposisi. Lebih lanjut dilaporkan bahwa laju dekomposisi serasah daun tersebut sangat bervariasi, tergantung kondisi substrat dimana serasah daun tersebut jatuh. Serasah daun yang jatuh di tempat atau substrat dasar yang kering, proses dekomposisinya cenderung lebih lambat dibandingkan bila jatuh di perairan. Adapun kecepatan dekomposisinya juga berbeda, tergantung pada kadar garam perairan dimana serasah daun itu jatuh, air laut cenderung lebih cepat mendekomposisi serasah daun mangrove dibandingkan dengan air payau dan terlambat adalah air tawar.

Perubahan bobot serasah per satuan waktu disebabkan terjadinya proses dekomposisi dimana mikroorganisme tanah memanfaatkan karbon serasah sebagai

bahan makanan dan membebaskannya sebagai CO2. Perubahan bobot molekul

juga terjadi pada proses dimana senyawa kompleks yang berbobot molekul tinggi akan diubah menjadi senyawa yang lebih sederhana dengan bobot molekul yang lebih rendah (Aprianis, 2011).

Laju dekomposisi serasah dipengaruhi oleh jenis serasah, jenis pohon, dan penggenangan lantai hutan mangrove oleh air laut (Day, 1982 dalam oleh Alrasjid, 1986). Selama 10 sampai 14 hari, hampir semua kehilangan bobot serasah daun secara fisik yang menyebabkan karbon organik terlarut (Dissolved

Organic Carbon) tercuci. Diketahui bahwa sekitar 30 sampai 50 persen

bahan-bahan organik serasah daun hilang dengan cara seperti ini dan sisanya yaitu karbohidrat seperti selulosa yang tidak larut. Bahan-bahan ini selanjutnya diuraikan dengan bantuan enzim ekstraseluler yang dihasilkan oleh bakteri atau fungi. Satu di antara berbagai macam substrat yang banyak terurai di awal proses dekomposisi adalah tannin. Keberadaan tannin pada serasah daun dapat menghambat pertumbuhan bakteri pada serasah daun yang mengalami

dekomposisi, terjadi setelah kandungan taninnya berkurang

(Gonzales dan Mee, 1988 dalam Yunasfi, 2006).

Faktor fisik kimia lingkungan, termasuk salinitas mempengaruhi keberadaan mikroorganisme dimana suatu mikroorganisme memiliki kemampuan beradaptasi yang tinggi terhadap lingkungannya dalam melangsungkan aktivitas kehidupan meliputi pertumbuhan, menghasilkan energi dan bereproduksi (Darkuni, 2001).

Dekomposisi menjadi sempurna ketika campuran bahan organik dikembalikan kelingkungan dalam bentuk anorganik atau bentuk mineral, yaitu karbon dalam bentuk karbondioksida, nitrogen dalam bentuk ammonia dan fosfor dalam bentuk fosfat (Moore-Landecker, 1990).

Dari hasil penelitian Dewi (2010) tentang laju dekomposisi serasah daun

Avicennia marina di hutan mangrove Sicanang Belawan, Medan. Didapatkan laju

dekomposisi daun Avicennia marina pada tingkat salinitas 0-10 ppt, 10-20 ppt, 20-30 ppt, dan >30 ppt dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Laju dekomposisi serasah daun Avicennia marina pada berbagai tingkat salinitas di Secanang Belawan

Salinitas Laju Dekomposisi (gram)

Kontrol Hari ke-15 Hari ke-30 Hari ke-45 Hari ke-60 0-10 ppt 50 25,11 27,23 20,28 19,06 10-20 ppt 50 30,02 32,84 16,13 16,23 20-30 ppt 50 25,68 41,86 39,3 36,3 >30 ppt 50 22,87 17,87 10,69 9,49

Sumber : Dewi (2010).

Ratio C/N merupakan faktor kimia pembentuk kecepatan dekomposisi dan mineralisasi nitrogen. Penyebab pembusukan pada bahan organik diakibatkan adanya karbon dan nitrogen. Rasio C/N digunakan untuk mendapatkan degradasi biologis dan bahan-bahan organik yaitu sampah tersebut baik atau tidak untuk dijadikan kompos, serta menunjukkan kematangan kompos (Allo., dkk 2014).

Penguraian bahan-bahan organik yang terkandung dalam sampah organik daun adalah hasil kegiatan penguraian oleh mikroorganisme dan selanjutnya diperlukan oleh mikroorganisme itu sendiri sebagai sumber energi. Adanya perbedaan hasil pengiraian bahan organik dapat disebabkan oleh perbedaan bioaktivator yang diberikan dan kandungan mikroorganisme yang ada dalam activator (Marady, 2009 dalam Allo., dkk 2014).

Dengan bertambahnya waktu, kadarnitrogen organik berkurang karena konversi menjadi amonia. Beberapa jenis organisme memanfaatkan nitrogen pada daun dan mengeluarkan tinja (kotoran) dari organisme tersebut. Kotoran itu mengandung amonia yang menempel pada serasah daun tanaman. Berdasarkan jumlah makrobentos memiliki empat tingkat salinitas kandungan nitrogen yang (Effendi, 2003 dalam Gultom, 2009).

Nilai N yang mengalami peningkatan dan penurunan selama proses pengomposan, hal ini dikarenakan nitrogen (N) yang bersifat fluktuatif. Secara

keseluruhan kadar nitrogen pada kompos matang masing-masing komposter mengalami peningkatan. Kadar nitrogen dibutuhkan mikroorganisme untuk memelihara dan pembentukan sel tubuh. Semakin banyak kandungan nitrogen, maka akan semakin cepat bahan organik terurai, karena mikroorganisme yang menguraikan bahan kompos memerlukan nitrogen untuk perkembangannya (Sriharti, 2008).

Perkembangan salinitas berpengaruh terhadap perkembangan jenis makrobentos. Adanya masukan air sungai atau hujan akan menurunkan kadar salinitas, yang mengakibatkankematian beberapa makrobentos tersebut. Kehidupan beberapa makrobentos tergantung pada rendahnyasalinitas, tetapi ada juga sebaliknya. Aktivitas makroorganisme yang tahan terhadap salinitas yang tinggi dan mikoorganisme membantu dalam proses pendekomposisian bahan organik dalam tanah (Arief, 2003 dalam Gultom, 2009).

Menurut Effendi (2003) kadar karbondioksida di perairan dapat mengalami pengurangan akibat proses fotosintesis dan evaporasi yang terjadi. Karbon yang terdapat di atmosfer dan perairan diubah menjadi karbon organik melalui proses fotosintesis. Di perairan, bentuk unsur fosfor berubah secara terus-menerus, akibat proses dekomposisi dan sintesis antara bentuk organik dan bentuk anorganik yang dilakukan oleh mikroba. Keberadaan fosfor yang berlebihan dapat diakibatkan oleh pertumbuhan alga di perairan.

Latar Belakang

Di Indonesia diperkirakan luas hutan mangrove sangat beragam. Luas mangrove di Indonesia 4,25 juta hektar. Umumnya mangrove dapat ditemukan di seluruh kepulauan Indonesia. Mangrove tersebar luas, di Irian Jaya sekitar 2,94 juta hektar (38%), Kalimantan 978 hektar (28%) dan Sumatera 673.300 hektar (Noor et al., 1999). Saat ini, kondisi mangrove benar-benar dalam proses kemunduran. Tingginya tekanan populasi, konversi mangrove ke pertanian dan produksi garam, industri tambang, industrialisasi pesisir dan urbanisasi, serta konversi pesisir ke pertambakan menjadi penyebab utama degradasi ekosistem mangrove (Vaiphasa dkk., 2006).

Kawasan hutan mangrove dari tahun ke tahun semakin berkurang, menurut BAKOSURTANAL (Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, 2009) dalam Ghufran (2012) tercatat untuk wilayah Sumatera Utara tahun 2009 luas wilayah kawasan mangrove hanya mencapai 50.369,793 ha dimana jumlah ini jauh berkurang berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan tahun 1996 yang mencapai 136.900 ha.

Aliran energi di ekosistem mangrove bermula dari daun. Daun memegang peran penting dan merupakan sumber nutrisi sebagai awal rantai makanan. Pada ekosistem mangrove, rantai makanan yang terjadi adalah rantai makanan detritus. Sumber utama detritus berasal dari daun-daun dan ranting-ranting yang telah membusuk. Daun-daun yang gugur akan dimakan oleh jenis-jenis bakteri dan fungi. Bakteri dan fungi ini akan dimakan oleh sebagian Protozoa dan Avertebrata lainnya dan kemudian Protozoa dan Avertebrata tersebut akan dimakan oleh

karnivor sedang, kemudian karnivor sedang ini dimakan oleh karnivor yang lebih tinggi (Romimohtarto dan Sri, 2001).

Kondisi salinitas sangat mempengaruhi komposisi mangrove. Berbagai jenis mangrove mengatasi kadar salinitas dengan cara yang berbeda-beda. Beberapa diantaranya secara selektif mampu menghindari penyerapan garam dari media tumbuhnya, sementara beberapa jenis yang lainnya mampu mengeluarkan garam dari kelenjar khusus pada daunnya (Noor et al., 1999).

Serasah yang jatuh di lantai hutan mangrove mengalami proses dekomposisi baik secara fisik maupun biologis, yang dapat menyuburkan kawasan pesisir. Serasah yang sudah terdekomposisi tersebut berguna untuk menjaga kesuburan tanah mangrove dan merupakan sumber pakan untuk berbagai jenis ikan dan Avertebrata melalui rantai makanan fitoplankton dan zooplankton sehingga keberlangsungan populasi ikan, kerang, udang dan lainnya dapat tetap terjaga. Serasah mangrove yang terdekomposisi akan menghasilkan unsur hara yang diserap oleh tanaman dan digunakan oleh jasad renik di lantai hutan dan

sebagian lagi akan terlarut dan terbawa air surut ke perairan sekitarnya (Suwarno, 1985 dalam Rismunandar, 2000). Sesuai dengan pernyataan di atas

maka dilakukan penelitian mengenai Laju dekomposisi serasah daun

Ceriops tagal pada berbagai tingkat salinitas dan kandungan unsur hara karbon,

nitrogen, fosfor di Kampung Nipah Desa Sei Naga Lawan Kecamatan Perbaungan.

Tujuan Penelitian

1. Menentukan laju dekomposisi serasah daun Ceriops tagal pada berbagai

2. Menentukan kandungan unsur hara karbon (C), nitrogen (N) dan fosfor (P) pada serasah daun C. tagal yang mengalami dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas.

Hipotesis Penelitian

1. Laju dekomposisi serasah daun C. tagal lebih lambat pada tingkat salinitas 21-30 ppt

2. Pelepasan unsur hara C, N dan P pada proses dekomposisi serasah daun

C. tagal lebih cepat pada tingkat salinitas 21-30 ppt

Manfaat Penelitian

1. Dapat digunakan sebagai satu acuan dalam pengelolaan ekosistem mangrove

untuk menentukan zonasi pemanfaatan kawasan mangrove.

2. Dapat digunakan sebagai satu acuan untuk penentu lokasi yang sesuai untuk

AHMAD RUDIANSAH. Decomposition rate of C. tagal litter leaf at the various levels of salinity in the village of Sei Nagalawan Nipah sub-district of Perbaungan. Under academic supervisior by YUNASFI and DENI ELFIATI

Litter is beneficial to the process of decomposition of marine organisms as a source of food for the preservation of mangrove ecosystems. In the process of litter decomposition also releases nutrients that are needed by the mangrove plants were affected by the salinity level of seawater. For that research in the mangrove forest areas Kampung Nipa in the village of Sei Nagalawan Nipah sub-district of Perbaungan in June-September, 2015. This study aims to determine the effect of salinity on the rate of leaf litter decomposition C. tagal and determine the availability of nutrients carbon (C), nitrogen (N) and phosphorus (P) contained in the leaf litter C. tagal. The results of the study of leaf litter C. tagal at 10-20 ppt salinity level more quickly decomposes. The average weight of the rest of the leaf

Dokumen terkait