• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi dan Pemanfaatan Sukun

Sukun (Artocarpus altilis) termasuk genus Artocarpus, famili Moraceae,

ordo Urticales, dan kelas Dicotiledoneae (Citrosoma 1988 di dalam Anonim 2002), merupakan tanaman pekarangan yang telah ratusan tahun dikenal sebagai tanaman penghijau di Indonesia. Tanaman sukun berasal dari New Guinea Pasific

dan berkembang sampai ke Indonesia. Tanaman ini merupakan tanaman yang dapat tumbuh subur di daerah tropis, baik pada dataran rendah maupun dataran tinggi (sampai 1000 m di atas permukaan laut). Tanaman sukun memiliki toleransi dan daya adaptasi yang tinggi serta tahan terhadap penyakit (Shadily 1984 yang dikutip dalam Anonim 2002). Hal ini menyebabkan pohon sukun tersebar meluas di Indonesia.

Sukun merupakan tanaman tahunan yang berbuah musiman dengan panen raya di bulan Januari-Februari dan panen susulan di bulan Juli-Agustus. Pada usia 4 tahun setelah tanam, sukun sudah menghasilkan buah yang produksinya bertambah sejalan dengan pertambahan umur tanaman. Produksi sukun berkisar antara 200-750 buah/pohon/tahun (Syah & Nazaruddin 1994). Gambar buah dan tanaman sukun disajikan pada Gambar 1.

(a) (b) Gambar 1 Buah sukun (a) dan pohon sukun (b)

Buah sukun memiliki bagian daging buah yang dapat dimakan sebesar 81.21% dan bagian yang dibuang yaitu kulit buah serta hati buah yang pahit

rasanya sebesar 18.79%. Sukun dapat digolongkan sebagai buah yang memiliki potensi sebagai bahan substitusi pangan khususnya karbohidrat karena didukung oleh kandungan zat gizinya yang sangat baik (Tabel 1). Dibandingkan dengan beras, buah sukun memiliki kandungan mineral dan vitamin yang lebih lengkap dengan nilai kalori rendah, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai makanan diet. Buah sukun mengandung asam amino esensial yang tidak diproduksi oleh tubuh manusia seperti histidin, isoleusin, lisin, methionin, triptofan, dan valin (Widowati 2003).

Tabel 1 Perbandingan komposisi buah sukun dengan sumber karbohidrat lain

Zat Gizi

Nilai per 100 gram bagian yang dapat di makan Sukun tua Terigu Beras giling Jagung kuning Ubi kayu Talas Energi (kal) Air (g) Potein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Vitamin B1 (mg) Vitamin B2 (mg) Vitamin C (mg) 108 69.3 1.3 0.3 28.2 21 59 0.4 0.12 0.06 17 357 12 8.9 1.3 77.3 16 106 1.2 0 0.12 0 349 13.0 6.8 0.7 78.9 10 140 0.8 0.12 0 0 317 24.0 7.9 3.4 63.6 9 148 2.1 264 0.33 9 158 60 0.8 0.3 37.9 33 40 0.7 230 0.06 0 104 73 1.9 0.2 23.7 38 61 1.0 6 0.13 4 Sumber : USDA ( 2004 ) Tepung Sukun

Sukun termasuk golongan buah klimakterik dengan puncak klimakterik yang dicapai dalam waktu singkat karena proses respirasinya berlangsung cepat. Dibandingkan dengan jenis buah klimakterik lain, buah sukun memiliki kecepatan respirasi yang lebih tinggi. Buah sukun segar mempunyai umur simpan sekitar 2-4 hari setelah dipetik. Buah yang jatuh dan memar mempunyai daya simpan yang lebih pendek (Syah & Nazaruddin 1994). Buah sukun dapat diawetkan dengan pengeringan dalam bentuk gaplek atau tepung. Berdasarkan   kandungan

karbohidrat yang cukup tinggi (28.2%), buah sukun berpeluang untuk diolah menjadi tepung.

Tepung merupakan salah satu bentuk alternatif produk setengah jadi yang dianjurkan, karena lebih tahan disimpan, mudah dicampur (dibuat komposit), diperkaya zat gizi (difortifikasi), dibentuk, dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan modern yang serba praktis (Winarno 2000). Bentuk tepung merupakan produk antara yang fleksibel, mempunyai daya simpan yang lebih baik, serta mudah dalam pendistribusian dan pengangkutan. Pengolahan sukun dalam bentuk tepung memberikan nilai kepraktisan dalam pengolahannya lebih lanjut. Kandungan air yang rendah serta bentuk tepung yang ringan menyebabkan produk antara ini mudah untuk diangkut, dikemas, maupun didistribusikan. Hal ini pula yang memungkinkan produk tepung sukun untuk diproduksi dan dipasarkan secara massal dan meluas. Prosedur pembuatan tepung sangat beragam, dibedakan berdasarkan sifat dan komponen kimia bahan pangan. Secara garis besar bahan pangan yang dapat diolah menjadi tepung dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu bahan pangan yang mudah menjadi coklat apabila dikupas dan bahan pangan yang tidak mudah mengalami pencoklatan (Widowati 2003).

Pembuatan tepung sukun dimulai dengan pengupasan buah, perendaman dan pencucian, pemotongan, pemblansiran selama 10 menit, perajangan/penyawutan, pengeringan, dan penepungan (Gambar 2). Hal yang perlu mendapat perhatian khusus saat pengolahan adalah buah sukun mengandung polifenol cukup tinggi, sehingga saat dikupas dan dirajang akan cepat berubah warna menjadi kecoklatan (Prabawati & Suismono 2009). Pada umumnya umbi-umbian dan buah-buahan mudah mengalami pencoklatan setelah dikupas. Hal ini disebabkan oleh reaksi oksidasi antara bahan pangan dengan udara (oksigen), sehingga terjadi reaksi pencoklatan akibat pengaruh enzim yang terdapat dalam bahan pangan tersebut (browning enzymatic).

Pencoklatan karena aktivitas enzim merupakan reaksi antara oksigen dengan suatu senyawa polifenol yang dikatalisis oleh enzim polifenol oksidase. Oleh karena itu, setelah dikupas, buah segera direndam dalam air (Prabawati & Suismono 2009) atau larutan garam 1% (Widowati & Damardjati 2001) kemudian dilakukan pemblansiran untuk menonaktifkan enzim fenolase. Demikian pula saat

perajangan atau penyawutan, sawut harus segera direndam dalam air lalu dipres untuk mengeluarkan air dan senyawa fenol.

Gambar 2 Diagram alir proses pembuatan tepung sukun (Widowati 2003)

Bobot kotor buah sukun berkisar antara 1200-2500 gram dengan rendemen daging buah 81.21%. Dari total berat daging buah setelah disawut dan dikeringkan akan dihasilkan rendemen sawut kering sebanyak 11 – 20% dan

Buah sukun 

Pengupasan 

Pembelahan 

Pemblansiran dengan uap, 10‐20 menit 

Penyawutan/perajangan  Pengeringan   Sawut kering  Penepungan  Tepung sukun  Pengayakan 

rendemen tepung sebesar 11 – 25%, tergantung tingkat ketuaan dan jenis sukun. Buah sukun yang baik untuk diolah menjadi tepung adalah buah mengkal (setengah matang) yang dipanen 10 hari sebelum tingkat ketuaan optimum. Pengeringan sawut sukun menggunakan alat pengering sederhana berkisar antara 5-6 jam dengan suhu pengeringan 55-60 oC. Bila pengeringan dilakukan di bawah sinar matahari maka lama pengeringan sangat tergantung pada cuaca (1-2 hari bila udara cerah) (Widowati 2003).

Komposisi Kimia Tepung Sukun

Tepung sukun mengandung 84.03% karbohidrat, 9.09% air, 2.83% abu, 3.64% protein dan 0.41% lemak. Tabel 2 menunjukkan bahwa kandungan protein tepung sukun lebih tinggi dibandingkan tepung ubi kayu, tepung ubi jalar, dan tepung pisang (Widowati et al. 2001).

Tabel 2 Komposisi kimia aneka tepung umbi-umbian dan buah-buahan

Kadar (%)

Komoditas Sukun Pisang Labu

kuning Ubijalar Ubikayu Air Abu Protein Lemak Karbohidrat 9.09 2.83 3.64 0.41 84.03 10.11 2.66 3.05 0.28 84.01 11.14 5.89 5.04 0.08 77.65 7.80 2.16 2.16 0.83 86.95 7.80 2.22 1.60 0.51 87.87 Sumber: Widowati et al. (2001)

Karbohidrat merupakan komponen terbesar dalam tepung sukun. Komponen karbohidrat yang terdapat dalam tepung sukun berada dalam bentuk pati (69%), karbohidrat terlarut (6.9%), total gula (4.07%) dan gula reduksi (2.65%) (Graham & de Bravo 1981). Komposisi kimia dari pati sukun dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Komposisi pati sukun

Komponen Kadar (%) Komponen Kadar (%) Protein kasar 0.53 Lemak 0.39

Air 10.83 Amilosa 22.52

Abu 1.77 Amilopektin 77.48

Seperti halnya pati dari sumber lain, molekul pati sukun tersusun atas dua kelompok makromolekul, yaitu amilosa dan amilopektin. Kedua polimer tersebut disusun oleh monomer α-D-glukosa yang berikatan satu sama lain melalui ikatan glikosidik (Whistler & Daniel 1985). Perbedaan antara kedua makromolekul tersebut terletak pada pembentukan percabangan pada struktur liniernya, ukuran derajat polimerisasi, ukuran molekul dan pengaturan posisi pada granula pati seperti dapat dilihat pada Gambar 3.

(a)

(b)

Gambar 3 Struktur amilosa (a) dan amilopektin (b) (Roder et al. 2005)

Amilosa disusun oleh molekul glukosa yang dihubungkan satu sama lain dengan ikatan α-1,4-glikosidik, sehingga membentuk polimer yang linier dengan sedikit cabang yang dibentuk oleh ikatan α-1,6-glikosidik (< 1%) atau satu dari 300-1000 residu glukan (Roder et al. 2005). Berat molekul amilosa berkisar antara 105 – 106 Da dengan derajat polimerisasi mencapai kisaran 500 – 6000. Gugus hidroksil pada molekul amilosa dapat berinteraksi satu sama lain membentuk struktur heliks melalui ikatan hidrogen (Whistler & Daniel 1985).

Amilopektin memiliki ukuran molekul yang sangat besar dengan berat molekul mencapai 107 – 109 Da dan derajat polimerisasi antara 3x105 – 3x106. Glukosa penyusun molekul amilopektin dihubungkan satu sama lain dengan ikatan α-1,4-glikosidik pada rantai linier dan ikatan α-1,6-glikosidik pada

percabangannya. Jarak yang dibentuk antara cabang yang satu dengan cabang yang lain pada struktur amilopektin sekitar 20 residu (Roder et al. 2005).

Proporsi amilosa dan amilopektin dari berbagai sumber pati berbeda-beda, demikian juga berat molekulnya. Umumnya pati memiliki proporsi amilopektin yang lebih besar jika dibandingkan dengan amilosa. Pati sukun memiliki kandungan amilosa beragam, tergantung varietas dan tempat tumbuh. Sebagai contoh kadar amilosa tepung sukun Kulon Progo dan Purworejo adalah sebesar 17 - 20%, sedangkan untuk tepung sukun Cilacap, Kediri, Bone dan Kepulauan Seribu berkisar antara 11 – 17% (Prabawati & Suismono 2009).

Kandungan pati serta proporsi amilosa dan amilopektin tepung sukun menjadi penting apabila tepung sukun tersebut akan digunakan sebagai bahan baku ataupun bahan pembantu pada produk pangan seperti bihun. Kandungan amilosa tinggi (>25 g/100 g) berperan penting dalam pembentukan jaringan gel dan struktur bihun yang diproduksi dari beras (Juliano & Sakurai 1985). Pembentukan gel yang baik akan mengurangi tingkat kelengketan produk bihun yang dihasilkan. Pati sukun asal Indonesia memiliki kandungan amilosa yang tergolong rendah (11-20%), tetapi didukung oleh sifat amilografi dan sifat fungsional lainnya berpotensi untuk diolah menjadi bihun.

Sifat Fungsional Pati Sukun

a. Karakteristik Gelatinisasi

Salah satu karakteristik fisik pati yang penting untuk dievaluasi dalam kaitannya terhadap sifat fungsional pati ketika diaplikasikan pada produk pangan adalah karakteristik gelatinisasi. Jika pati dipanaskan dengan air, maka pati akan mengalami peningkatan kelarutan yang diikuti oleh peningkatan viskositas dan pada akhirnya akan membentuk pasta. Fenomena ini dikenal dengan istilah gelatinisasi pati. Jika pemanasan dilanjutkan selama jangka waktu tertentu kemudian didinginkan, maka perubahan viskositas pati akan membentuk profil yang berbeda-beda, tergantung pada jenis pati.

Menurut Schoch dan Maywald (1968) seperti yang dikutip oleh Purwani et al. (2006), penggolongan pasta pati dibagi menjadi 4 yaitu tipe A, tipe B, tipe C

dan tipe D. Pati tipe A adalah tipe pasta pati yang mengalami pembengkakan tinggi dengan viskositas puncak yang tinggi kemudian mengalami pengenceran secara cepat selama pemanasan. Tipe B adalah pasta pati yang memiliki karakter pembengkakan sedang dengan memperlihatkan viskositas puncak yang lebih rendah dan lebih tidak encer. Tipe C adalah pasta yang memiliki sifat pembengkakan terbatas, tidak memperlihatkan puncak pada viskositas maksimum namun viskositasnya yang cenderung tinggi tetap dipertahankan atau meningkat selama pemanasan. Tipe D adalah tipe pati yang pastanya sulit membengkak dan sulit mengental pada konsentrasi normal.

Profil gelatinisasi pati dapat ditentukan dengan menggunakan instrumen

Brabender Amylograph atau Rapid Visco Analyzer. Prinsip kedua instrumen tersebut adalah mengukur perubahan viskositas suspensi pati ketika mengalami pemanasan dan pendinginan dengan pola tertentu. Profil gelatinisasi pati sukun disajikan pada Tabel 4 dan Gambar 4.

Tabel 4 Profil gelatinisasi pati sukun pada konsentrasi 6 g/100 ml

Parameter Nilai

Suhu gelatinisasi 73.3 °C Viskositas puncak (P) 790 BU Viskositas pasta panas (H) 786 BU Viskositas pasta dingin (C) 1091 BU Viskositas breakdown (P-H) 4 BU

Setback (C-H) 305 BU

Keterangan: BU = Brabender Unit Sumber : Rincón dan Padilla (2004)

Berdasarkan analisis dengan menggunakan Brabender Viscoamylograph, suhu gelatinisasi pasta pati sukun pada konsentrasi 6 g/100 g adalah 73.3 °C. Nilai suhu ini lebih tinggi dibandingkan pati kentang (61.6 °C), tetapi lebih rendah dari pati jagung (83.3 °C). Rincón dan Padilla (2004) menyebutkan bahwa suhu gelatinisasi dipengaruhi oleh ukuran granula, dimana granula dengan ukuran lebih kecil akan lebih tahan terhadap kerusakan dan gangguan terhadap susunan molekulnya, sehingga suhu gelatinisasinya menjadi lebih tinggi.

Setelah gelatinisasi, viskositas pati meningkat dengan tajam, terutama disebabkan oleh berkurangnya air yang tersedia. Puncak viskositas merupakan parameter penting yang membedakan antara pati yang satu dengan yang lain. Pati sukun menunjukkan nilai viskositas puncak 790 BU, jauh lebih tinggi dari viskositas puncak pati jagung (302 BU) (Rincón & Padilla 2004). Viskositas pati jagung dan pati kentang mengalami penurunan selama proses holding isothermal, sementara pati sukun viskositasnya justru meningkat pada periode ini.

Rincón dan Padilla (2004) menyatakan bahwa viskositas pasta panas dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya efek pencampuran granula pati yang membengkak, fragmen granula, koloid dari molekul pati terdispersi, tingkat pengembangan amilosa dan persaingan untuk mendapatkan air bebas antara amilosa yang mengembang dengan granula yang tersisa. Pati sukun lebih mampu mempertahankan integritas strukturnya di bawah kondisi panas dan tekanan, hal ini dapat terlihat dari nilai viskositas breakdown yang hanya mencapai 4 BU.

Gambar 4 Profil gelatinisasi pati sukun pada konsentrasi 6% (Rincón & Padilla 2004)

Kenaikan viskositas yang terjadi saat pasta panas mengalami pendinginan disebabkan oleh kecenderungan pati untuk mengalami retrogradasi. Karakteristik ini terutama disebabkan oleh afinitas di antara gugus hidroksil. Molekul amilosa yang terdispersi secara acak dapat menyusun molekul-molekulnya untuk membentuk agregat dengan kelarutan rendah, sampai akhirnya terbentuk gel. Viskositas pasta dingin pati sukun (1091 BU) lebih besar dari viskositas

puncaknya (790 BU). Hal ini disebabkan selama pendinginan viskositas pasta sukun meningkat karena tingginya kecenderungan fraksi amilosa untuk mengalami retrogradasi (Rincón & Padilla 2004).

b. Swelling Power dan Kelarutan

Kemampuan granula pati untuk mengembang dapat ditentukan dari viskositas puncak pasta pada saat mengalami pemanasan ataupun dari pengukuran

swelling volume atau swelling power. Swelling volume adalah perbandingan volume pasta pati terhadap berat keringnya (Collado et al. 2001). Sementara

swelling power didefinisikan sebagai perbandingan antara berat sedimen pasta pati dengan berat kering pati yang dapat membentuk pasta (Wattanachant et al.

2002b).

Pada umumnya pati dengan swelling power atau swelling volume yang tinggi mempunyai kelarutan pasta pati yang tinggi pula. Kim et al. (1996) melaporkan bahwa pati kentang yang memiliki swelling power lebih tinggi dibanding pati kacang-kacangan (navy bean dan pinto bean) memiliki kelarutan yang lebih tinggi pula.

Swelling power dari pati sukun semakin meningkat dengan peningkatan suhu (Tabel 5). Fenomena ini terutama terjadi pada peningkatan suhu dari 70 °C ke 80 °C. Swelling power berhubungan dengan ikatan asosiatif di antara granula pati. Karakter dan kekuatan jaringan misel pada granula pati berhubungan dengan kandungan amilosa dalam pati tersebut dimana kadar amilosa yang rendah akan menghasilkan swelling power yang lebih besar (Rincón & Padilla 2004).

Tabel 5 Swelling power dan kelarutan tepung sukun pada berbagai suhu Suhu (°C) Swelling power (g/100 g amilosa) Kelarutan (g/100 g bk) 60 35.7 ± 0.11 2.31 ± 0.17 70 46.9 ± 0.35 2.75 ± 0.26 80 144.9 ± 0.12 5.28 ± 0.24 90 238.1 ± 2.17 8.93 ± 2.8 Sumber: Rincón dan Padilla (2004)

Keterkaitan antara swelling power dan kelarutan berhubungan dengan kemudahan molekul air untuk berinteraksi dengan molekul dalam granula pati dan menggantikan interaksi hidrogen antar molekul, sehingga granula akan lebih mudah menyerap air dan memiliki pengembangan tinggi. Muhamed et al. (2008) menyatakan bahwa pengembangan granula terjadi ketika granula dipanaskan bersama air dan ikatan hidrogen yang menstabilkan struktur heliks ganda dalam kristal terputus dan digantikan oleh ikatan hidrogen dengan air. Adanya pengembangan tersebut akan menekan granula dari dalam, sehingga granula akan pecah dan molekul pati terutama amilosa akan keluar.

Sebagai akibat dari peristiwa swelling akan terjadi peningkatan kelarutan, dimana kelarutan tertinggi terjadi pada suhu 90 °C. Peningkatan kelarutan ini disebabkan oleh adanya molekul amilosa terlarut yang bocor dan keluar dari granula pati yang mengalami swelling (Rincón & Padilla 2004). Semakin banyak molekul amilosa yang keluar dari granula pati maka kelarutan akan semakin tinggi. Oleh karena itu, pati dengan kandungan amilosa tinggi pada umumnya akan memiliki kelarutan yang tinggi pula. Namun demikian tidak selamanya kandungan amilosa berbanding lurus dengan kelarutan. Keberadaan kompleks antara amilosa dengan lipid, seperti pada pati kacang-kacangan, dapat mengurangi kelarutan amilosa (Kim et al. 1996).

Tepung Beras

Tepung beras diperoleh dari hasil penggilingan beras, baik dengan cara kering maupun cara basah. Tepung beras dapat dihasilkan dari berbagai varietas beras. Tepung beras yang diproduksi dari beras dengan varietas berbeda akan menghasilkan tepung beras yang berbeda pula terutama dalam kandungan protein, lemak, pati dan rasio amilosa dengan amilopektin. Perbedaan komposisi kimia beras turut menentukan keragaman sifat fisiko-kimia tepung beras (Luh & Liu 1980). Komposisi kimia dari tepung beras dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Komposisi kimia tepung beras Komposisi Jumlah (per 100 gram)

Air (g) 11.90 Abu (g) 0.63 Protein (g) 5.95 Lemak (g) 1.39 Karbohidrat (g) 80.38 Serat pangan (g) 2.40 Sumber: USDA SR-21 (2008)

Dalam teknologi pengolahan pangan modern, tepung beras digunakan antara lain untuk mengontrol viskositas, memisahkan adonan dengan adonan lain, mengatur tingkat pencoklatan, memudahkan pengeluaran produk dari cetakan serta memperbaiki kerenyahan. Di Asia, beras terutama dikonsumsi dalam bentuk bihun selain ditanak menjadi nasi (Juliano & Sakurai 1985). Beras tidak memiliki kandungan gluten yang dibutuhkan untuk membentuk adonan yang viskoelastis, sehingga umumnya dalam pembuatan bihun beras dilakukan pragelatinisasi terhadap tepung beras agar dapat berfungsi sebagai pengikat (binder) bagi adonan. Derajat pragelatinisasi tepung beras berperan penting dalam membentuk tekstur bihun. Komponen yang berperan dalam membentuk matriks gel dan struktur bihun adalah amilosa (Hormdok & Noomhorm 2007). Bihun beras yang baik dapat dihasilkan dari beras berkadar amilosa sedang hingga tinggi (>22%).

Beberapa penelitian terhadap tepung atau pati beras sebagai bahan baku ataupun bahan pembantu pada proses produksi mie/bihun telah banyak dilakukan. Sandhu et al. (2010) dalam studinya melaporkan bahwa pencampuran pati kentang dengan pati beras sangat mempengaruhi karakteristik sensori dan kualitas pemasakan bihun. Dinyatakan lebih lanjut bahwa penggunaan pati beras sebagai bahan pensubstitusi parsial terhadap pati kentang dalam proses pembuatan bihun berbahan dasar pati kentang dapat meningkatkan ketahanan bihun terhadap panas. Hasil penelitian lain melaporkan bahwa bihun yang diproduksi dari beras dan disubstitusi parsial oleh pati jagung akan menghasilkan bihun dengan nilai kekerasan yang lebih rendah dan tingkat kelicinan (slipperiness) serta transparansi bihun yang lebih tinggi (Wang et al. 2000).

Penggunaan tepung beras lebih dari 10% dalam suatu produk pangan memerlukan perhatian terhadap karakteristik tepung beras tersebut. Bean (1986) di dalam Munarso (1998) menyebutkan bahwa rasio amilosa – amilopektin dan suhu gelatinisasi merupakan faktor utama yang menentukan kesesuaian tepung beras dengan spesifikasi produk yang dikehendaki. Berdasarkan kandungan amilosanya, beras dapat dikelompokkan dalam empat kelas (Juliano & Sakurai 1985). Tabel 7 menyajikan kisaran kadar amilosa dan suhu gelatinisasi dari setiap kelas beras. Suhu gelatinisasi diukur sebagai suhu titik akhir birefringence

(birefringence end point temperature = BEPT), yaitu suhu dimana 95 – 98% sifat

birefringence telah hilang ketika pati dipanaskan dalam air dan diamati dengan mikroskop polarisasi (Bean 1986 di dalam Munarso 1998).

Tabel 7 Klasifikasi beras berdasarkan kandungan amilosanya Kelas Kadar amilosa (%) BEPT (°C) Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi 2 – 9 9 – 20 20 – 25 25 – 33 - 55 – 69.5 70 – 74 74.5 - 79 Sumber: Juliano dan Sakurai (1985)

Berdasarkan analisis menggunakan instrumen Brabender Amylograph, tepung beras menghasilkan profil gelatinisasi yang sangat dipengaruhi oleh kandungan amilosanya. Kurva amilograf dari tepung beras dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Profil gelatinisasi tepung beras dengan kadar amilosa tinggi dan sedang (Wang et al. 2000) Waktu (menit) Viskositas (RVU ) Amilosa tinggi (>23.5%) Amilosa sedang (19-23.5%)

Profil gelatinisasi yang dihasilkan oleh beras berkadar amilosa tinggi dan sedang menunjukkan pola yang serupa. Beras dengan kandungan amilosa tinggi memiliki nilai viskositas yang lebih tinggi dibandingkan beras berkadar amilosa sedang. Pada saat suhu dipertahankan pada 95 °C, pati beras mengalami penurunan viskositas yang menunjukkan ketahanan panas dari pati tersebut tidak terlalu baik. Tetapi pada saat dilakukan pendinginan, viskositas pati beras mengalami peningkatan yang menunjukkan kecenderungan yang tinggi dari pati tersebut untuk beretrogradasi. Retrogradasi merupakan karakteristik pati yang sangat penting terutama dalam aplikasinya pada produk bihun, karena berkaitan dengan kemampuan pati tersebut untuk membentuk struktur untaian bihun yang tidak rapuh.

Evaluasi Pati Sebagai Bahan Baku Bihun

Sifat fisiko-kimia pati akan sangat mempengaruhi sifat fungsionalnya. Dalam pembuatan bihun berbahan baku pati dibutuhkan pati dengan sifat fungsional tertentu agar bihun yang dihasilkan memiliki karakteristik yang baik. Sifat fungsional pati sebagai bahan baku tersebut terutama berkaitan dengan pembentukan adonan dan tekstur bihun yang dihasilkan.

Pati yang ideal digunakan sebagai bahan baku bihun adalah pati dengan kandungan amilosa tinggi, pembengkakan granula dan kelarutan terbatas serta memiliki profil gelatinisasi tipe C (Lii & Chang 1981). Pati dengan kandungan amilosa tinggi cenderung mudah mengalami retrogradasi dan menghasilkan pasta dengan penampakan lebih opaque seperti halnya pati beras dan pati jagung (Wattanachant et al. 2002a).

Kecepatan pati untuk mengalami retrogradasi dibutuhkan dalam pembentukan struktur bihun pada saat bihun mengalami pendinginan. Retrogradasi pati akan menentukan tingkat kekerasan dan penampakan bihun atau soun (starch noodle). Menurut Kim et al. (1996), soun yang diproduksi dari bahan baku pati dengan kandungan amilosa tinggi memiliki kekerasan yang lebih tinggi namun transparansinya lebih rendah bila dibandingkan dengan soun yang diproduksi dari pati dengan kandungan amilosa lebih rendah. Pada tingkat tertentu

kekerasan bihun atau soun dibutuhkan untuk memperoleh soun dengan tekstur tegar, sehingga dapat memberikan mouthfeel yang disukai ketika dikonsumsi.

Selain mempengaruhi tingkat kekerasan dan transparansi, kandungan amilosa pati mempengaruhi kelengketan serta susut masak dan pengembangan bihun atau soun kering pada saat dimasak (direhidrasi). Kim et al. (1996) menyatakan bahwa pati dengan swelling power dan kandungan amilosa yang tinggi tidak selalu menghasilkan soun dengan susut masak yang tinggi pula. Kompleks antara lemak dengan amilosa diduga dapat menurunkan susut masak soun yang dihasilkan. Lebih lanjut Kim et al. (1996) menjelaskan bahwa pati dengan kandungan amilosa tinggi dan ukuran granula kecil akan menghasilkan soun dengan tingkat pengembangan dan susut masak yang lebih rendah bila dibandingkan dengan soun dari pati dengan kandungan amilosa rendah dan granula besar.

Kim et al. (1996) memaparkan hubungan antara profil gelatinisasi dengan karakteristik soun yang dihasilkan. Soun yang berasal dari pati kacang-kacangan dengan profil gelatinisasi tipe C memiliki susut masak dan kelengketan yang rendah namun kekerasannya lebih tinggi bila dibandingkan dengan soun yang dihasilkan dari pati dengan profil gelatinisasi tipe A. Pati dengan profil gelatinisasi tipe C cenderung lebih stabil terhadap pemanasan, sehingga keluarnya padatan dari soun yang diproduksi dengan bahan dasar pati tersebut dapat ditekan dan soun memiliki tingkat kelengketan yang rendah.

Pati sukun memiliki kandungan amilosa rendah (11-20%, Prabawati & Suismono 2009), swelling power dan kelarutan tinggi (Rincón & Padilla 2004), viskositas yang cenderung meningkat selama pemanasan dan holding time serta kecenderungan untuk mengalami retrogradasi setelah didinginkan (Akanbi et al.

2009). Bila dibandingkan dengan syarat pati ideal untuk bahan baku bihun, maka