• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekosistem Perairan Pesisir

Kawasan pesisir (coastal zone) merupakan suatu ekosistem (ke arah darat dan laut) yang di dalamnya terjadi interaksi yang kompleks baik faktor fisik, ekologi, biologi, sosial ekonomi dan budaya, sehingga timbul masalah yang kompleks dan memerlukan pemecahan secara holistik. Kawasan pesisir semakin penting karena di dalammnya terdapat sumberdaya yang dapat dimanfaatkan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan kawasan pesisir yang semakin meningkat dengan orientasi ekonomi (economy oriented) dan mengabaikan keberlanjutan ekologi (sustainable ecology) menyebabkan ekosistem pesisir dan laut menjadi rusak. Kondisi perairan pesisir semakin memburuk yang disebabkan oleh berbagai pencemar karena aktivitas di kawasan pesisir (Manurung, 2011 diacu oleh Manurung, 2012 ).

Wilayah pesisir merupakan daerah yang cukup penting di Indonesia. Wilayah Indonesia sebagian besar didominasi oleh lautan, sehingga sumberdaya alam yang terdapat di daerah pesisir di Indonesia juga melimpah, karena di daerah pesisir terdapat lebih dari satu ekosistem. Menurut Kusumastanto (2006), wilayah pesisir memiliki konsentrasi-konsentrasi keunggulan wilayah yang tidak dimiliki wilayah lain, yaitu (1) keunggulan sumberdaya alam misalnya mangrove, terumbu karang, dan padang lamun, (2) karakteristik kultural yang khas dengan ciri egaliter, inward looking dan dinamis, dan (3) adanya keterkaitan hubungan masyarakat dengan sumberdaya wilayah pesisir (Sulistianto, 2010).

Wilayah laut dan pesisir beserta sumberdaya alamnya memiliki makna strategis bagi pengembangan ekonomi Indonesia, karena dapat diandalkan sebagai salah satu pilar ekonomi nasional. Karakteristik dari ekosistem pesisir adalah mempunyai beberapa jumlah ekosistem yang berada di daerah pesisir. Contoh ekosistem lain yang ikut kedalam wilayah ekosistem pesisir adalah ekosistem mangrove, ekosistem lamun (seagrass), dan ekosistem terumbu karang. Dari ekosistem pesisir ini, masing masing ekosistem mempunyai sifat- sifat dan karakteristik yang berbeda beda (Yudianto, 2014).

Menurut Yudianto (2014) secara prinsip ekosistem pesisir mempunyai 4 fungsi pokok bagi kehidupan manusia, yaitu: sebagai penyedia sumberdaya alam, penerima limbah, penyedia jasa pendukung kehidupan, dan penyedia jasa-jasa kenyamanan. Komponen abiotik dari suatu ekosistem pesisir terbagi atas tiga komponen utama:

1. Unsur dan senyawa anorganik, karbon, nitrogen dan air yang terlibat dalam siklus materi di suatu ekosistem,

2. Bahan organik, karbohidrat, protein dan lemak yang mengikat komponen abiotik dan biotik, dan

3. Regim iklim, suhu dan faktor fisik lain yang membatasi kondisi kehidupan. Dahuri (2001) diacu oleh Daeli dkk., (2013) menyatakan bahwa secara empiris wilayah pesisir merupakan tempat aktivitas ekonomi yang mencakup perikanan laut dan pesisir, transportasi dan pelabuhan, pertambangan, kawasan industri, agribisnis dan agroindustri, rekreasi dan pariwisata serta kawasan pemukiman dan tempat pembuangan limbah.

Ancaman terhadap sumberdaya pesisir, antara lain adalah sedimentasi, pecemaran, degradasi habitat serta degradasi sumberdaya dan keanekaragaman hayati. Dahuri (1996) dalam Tuwo (2011) menguraikan bahwa ada lima belas ekosistem yang saling terkait di wilayah pesisir dan laut, yaitu: tujuh ekosistem daerah daratan, yakni ekosistem pertanian, air tawar, rawa-rawa, danau, sungai, anak sungai, dan kolam serta empat ekosistem daerah laut yakni ekosistem padang lamun, karang, pelagis, dan demersal. Selain itu juga empat ekosistem daerah pantai yakni hutan pantai, rawa pasang surut, mangrove, dan estuaria.

Menurut Irwan (2007) selain ekosistem mangrove dan estuaria, ekosistem pantai yang sering dijumpai adalah :

1. Formasi pes-caprae, yaitu vegetasi pantai yang sedang mengalami peninggian. 2. Formasi Barringtonia, yaitu vegetasi pantai yang sedang mengalami proses

pengikisan formasi.

3. Dunes, yaitu perbukitan pasir. 4. Pantai yang berbatu-batu. 5. Hutan air payau.

Dampak Aktivitas Manusia Terhadap Ekosistem Pesisir

Kerusakan lingkungan di wilayah pantai/pesisir Indonesia sampai saat ini belum bisa ditanggulangi dengan optimal. Bahkan yang terjadi saat ini, berbagai kerusakan lingkungan di wilayah pesisir semakin meluas. Penyebab kerusakan lingkungan di wilayah pesisir tersebut lebih didominasi oleh pencemaran minyak, sampah, dan lain-lain, abrasi pantai, kerusakan mangrove dan terumbu karang. Dengan melihat penyebab kerusakan tersebut terlihat bahwa aktivitas manusia lah yang menjadi penyebab utama kerusakan lingkungan di wilayah pesisir dan laut.

Padahal kalau dilihat dari dampak kerusakan tersebut sebagai besar akan berdampak kepada aktivitas manusia dan lingkungan, seperti rusaknya biota laut, terancamnya pemukiman nelayan, terancamnya mata pencaharian nelayan dan sebagainya. Oleh sebab itu apabila hal ini tidak secepatnya ditanggulangi dengan optimal maka dikhawatirkan sumber daya pesisir dan laut akan semakin terdegradasi. Selain itu juga aktivitas masyarakat pesisir akan semakin terancam (Vatria, 2013).

Akumulasi dari berbagai kegiatan eksploitasi yang bersifat parsial/sektoral di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil atau dampak kegiatan lain di hulu wilayah pesisir yang didukung peraturan perundang-undangan yang ada sering menimbulkan kerusakan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Peraturan perundang-undangan yang ada lebih berorientasi pada eksploitasi Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tanpa memperhatikan kelestarian sumber daya. Sementara itu, kesadaran nilai strategis dari pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan, terpadu, dan berbasis masyarakat relatif kurang (UU No. 27, 2007).

Penggunaan plastik, kaleng, peptisida, bahan bakar untuk kebutuhan aktivitas manusia. Secara singkat bahwa sumber utama pencemaran pesisir terdiri dari tiga jenis kegiatan, yaitu kegiatan industri (pertambangan timah dan minyak, angkutan laut dan pariwisata bahari), kegiatan rumah tangga, dan kegiatan pertanian. Sementara itu bahan utama yang terkandung dalam buangan limbah dari ketiga sumber tersebut berupa sedimen, unsur hara, pestisida, organisme patogen dan sampah. . Jika dianalisis secara mendalam, dapat disimpulkan bahwa kawasan-kawasan yang termasuk pada tingkat pencemaran yang tinggi merupakan

kawasan-kawasan pesisir yang padat penduduk, kawasan industri dan juga pertanian (Vatria, 2013).

Kondisi perairan pesisir yang tercemar akan menyebabkan terganggunya kelangsungan hidup biota yang ada di sekitarnya, seperti sumberdaya perikanan dan ekosistem pesisir dan laut (mangrove, padang lamun dan terumbu karang) dan pada akhirnya akan berdampak luas terhadap penurunan pendapatan masyarakat pesisir yang menggantungkan hidupnya pada produktivitas hayati di wilayah pesisir dan laut. Pencemaran yang disebabkan oleh logam dapat mengubah struktur komunitas perairan, jaringan makanan, tingkah laku, efek fisiologi, genetik dan resistensi (Racmansyah dkk., 1998 diacu oleh Damaianto dan Ali, 2014).

Pantai Labu

Pantai Labu merupakan kecamatan yang terletak di Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara, berada di 3°40’44,9”LU dan 98°54’30,7”BT. Sebelah utara Pantai Labu berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Beringin, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Batang Kuis/Kecamatan percut Sei Tuan (Badan Pusat Statistik Kabupaten Deli Serdang, 2005 dalam Sembiring, 2008).

Daerah pesisir Pantai Labu merupakan daerah yang telah mengalami eksploitasi dikarenakan kawasan Pantai Labu telah dimanfaatkan untuk berbagai aktivitas, yaitu: 1) pariwisata pantai; 2) pertambakan; 3) pemukiman; 4) penangkapan ikan dan kerang. Adanya aktivitas tersebut memberikan dampak negatif berupa pencemaran pantai pesisir. Muara Pantai Labu merupakan daerah

estuari dengan zona transisi antara dua lingkungan perairan yakni air asin dari Selat Malaka dan air tawar dari sungai. Kawasan di sekitar Pantai Labu terdiri dari vegetasi mangrove dan pada daerah tertentu di muara Pantai Labu ada dijumpai pemukiman penduduk yang sebagian mata pencahariannya sebagai nelayan (Sitorus, 2008).

Makrozoobentos

Bentos merupakan organisme air hidupnya terdapat pada substrat dasar suatu perairan baik bersifat sesil maupun vagil. Berdasarkan sifat hidupnya bentos dibedakan menjadi fitobentos yang bersifat tumbuhan serta zoobentos yang bersifat hewan (Barus, 2004).

Di antara bentos yang relatif mudah diidentifikasi dan peka terhadap perubahan lingkungan perairan adalah jenis-jenis yang termasuk dalam invertebrate makro. Kelompok ini lebih dikenal dengan makrozoobentos. Ukuran tubuh makrozoobentos dapat mencapai sekurang-kurangnya 3-5 mm pada saat pertumbuhan maksimum. Makrozoobentos, terutama yang bersifat herbivora dan detrivora dapat menghancurkan makrofit akuatif yang hidup maupun yang mati dan serasah yang masuk ke dalam perairan menjadi potongan-potongan yang lebih kecil, sehingga memudahkan mikroba untuk menguraikan menjadi nutrien bagi produsen perairan. Organisme yang termasuk makrozoobentos diantaranya adalah Oligochaeta, Mollusca, Nematoda, Annelida, dan beberapa ordo dari kelas Crustacea seperti ordo Isopoda, Decapoda, Copepoda, Ostracoda dan Amphipoda. (Nugroho, 2006).

Makrozoobentos adalah makroinvertebrata yang sebagian atau seluruh siklus hidupnya berada di substrat dasar perairan. Pada umumnya makrozoobentos

di dalam perairan terdiri dari kelompok Crustacea, Amphipoda, Decapoda, Oligocheata, Mollusca, Nematoda (Cummins, 1975), Komposisi dan struktur komunitas makrozoobentos ditentukan oleh lingkungannya. Oleh karena itu makrozoobentos dapat digunakan sebagai indikator pencemaran di perairan (Handayani dkk., 2011 diacu oleh Nanda dkk., 2012).

Kelimpahan makrozoobentos pada ekosistem pantai sangat penting pengaruhnya terhadap struktur rantai makanan. Makrozoobentos bersifat relatif menetap pada dasar perairan. Tekanan ekologis yang berlebihan dapat mengurangi kelimpahan organisme ini sehingga dapat mengganggu keseimbangan ekosistem. Penyebaran makrozoobentos erat sekali hubungannya dengan kondisi perairan dimana organisme ini ditemukan. Sumber bahan organik pada sedimen adalah lamun dan tinja biota bentik. Gangguan lingkungan di daerah pesisir akan mempengaruhi secara langsung organisme-organisme yang menjadi sumber bahan organik dalam sedimen tersebut (Hutabarat, 2000 diacu oleh Ruswahyuni, 2008).

Struktur komunitas makrozoobentos memiliki fungsi sangat penting di dalam perairan karena sebagian besar menempati tingkat trofik kedua maupun ketiga sedangkan bagian yang lain mempunyai peranan penting di dalam proses mineralisasi dan pendaurulangan bahan-bahan organik, baik yang berasal dari perairan maupun dari daratan. Peranan penting lainnya dalam siklus nutrien di dasar perairan sehingga dalam ekosistem perairan makrozoobentos berperan sebagai salah satu mata rantai penghubung dalam aliran energi dan siklus materi mulai alga planktonik sampai konsumen tingkat tinggi (Nugroho, 2006).

Parameter Fisika Kimia Pendukung Kehidupan Makrozoobentos

Kehidupan organisme bentik dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya baik fisik, kimia maupun biologi (suhu, salinitas, pH, tekstur sedimen dan kandungan bahan organik pada sedimen). Suhu merupakan parameter fisik yang sangat mempengaruhi pola kehidupan organisme perairan, seperti distribusi, komposisi, kelimpahan dan mortalitas. Suhu juga akan menyebabkan kenaikan metabolisme organisme perairan, sehingga kebutuhan oksigen terlarut menjadi meningkat (Nybakken, 1988). Kelas Polychaeta akan melakukan adaptasi terhadap kenaikan suhu atau salinitas dengan aktivitas membuat lubang dalam lumpur dan membenamkan diri di bawah permukaan substrat. Peningkatan suhu perairan akan meningkatkan kecepatan metabolisme tubuh organisme yang hidup didalamnya, sehingga konsumsi oksigen menjadi lebih tinggi (Taqwa, 2010).

Sifat fisik perairan seperti kedalaman, kecepatan arus, warna, kecerahan dan suhu air. Sifat kimia perairan antara lain, kandungan gas terlarut, bahan organik, pH, kandungan hara dan faktor biologi yang berpengaruh adalah komposisi jenis hewan dalam perairan diantaranya adalah produsen yang merupakan sumber makanan bagi hewan bentos dan hewan predator yang akan mempengaruhi kelimpahan bentos (Setyobudiandi, 1997 diacu oleh Rakhmanda, 2011).

Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi keberadaan bivalvia menurut Sitorus (2008) adalah sebagai berikut:

1. Suhu Air

Suhu merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan dan distribusi bentos seperti bivalvia. Suhu mempengaruhi proses metabolisme dan biokimia seperti

aktivitas enzim dan konsumsi okesigen, pertumbuhan dan repdroduksi serta morfologi. Suhu yang baik untuk kelangsungan hidup tiram mutiara berkisar 25-30°C.

2. Salinitas

Salinitas acapkali disebut kadar garam yang artinya adalah jumlah berat semua garam (dalam gram) yang terlarut dalam satu liter air. Salinitas menunjukkan jumlah ion-ion terlarut. Perubahan salinitas berpengaruh pada proses difusi dan osmotik. Variasi salinitas di estuari berkisar antara 15-32‰. 3. pH

pH sangat penting sebagai parameter kualitas air karena mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan air. Selain itu ikan dan makhluk-makhluk akuatik lainnya hidup pada selang pH antar 7-8,5. Adanya penambahan kadar organik ke dalam perairan akan menurunkan nilai air pH yang disebabkan pengurairan bahan organik tersebut menghasilkan CO2. pH air laut permukaan Indonesia pada umumnya bervariasi dari lokaso ke lokasi antara 6,0-8,5. Perubahan ph dapat mempunyai akibat buruk terhadap kehidupan biota laut. 4. Substrat Dasar

Susunan substrat dasar sangat penting bagi organisme yang hidup di zona dasar, baik di air dalam maupun pada air mengalir. Dasar perairan yang berbatu dan partikel tanah halus akan memiliki keanekaragaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan dasar perairan yang berpasir.

5. Oksigen Terlarut

Oksigen terlarut adalah salah satu factor penting dalam setiap sistem perairan. Oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar bagi organisme akuatik

termasuk bentos, karena digunakan untuk respirasi. Kehidupan di air dapat bertahan jika ada oksigen terlarut minimum sebanyak 4 mg/l. jumlah oksigen terlarut meningkat sejalan dengan menurunnya suhu dan menurun dengan naiknya salinitas.

6. Biological Oxygen Demand (BOD)

Pengukuran BOD didasarkan kepada kemampuan mikroorganisme untuk menguraikan senyawa organik. Pengukuran yang umumnya dilakukan oleh mikroorganisme dalam air untuk memecah bahan organic yang ada di dalam air lingkungan tersebut (Wardhana, 1995). Manahan (1984) diacu oleh Wargadinata (1995) menyatakan bahwa kebutuhan oksigen oleh hidrobiota akan meningkat bila oksigen terlarut dalam perairan kecil, hal ini dapat diakibatkan karena banyaknya substansi yang terlarut dalam air. Angka BOD yang tinggi menunjukkan terjadinya pencemaran organik di perairan.

Makrozoobentos Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan

Menurut Nugroho (2006) dalam lingkungan yang dinamis, analisis biologi khususnya analisis struktur komunitas bentos, dapat memberikan gambaran yang jelas tentang kualitas perairan. Dengan sifatnya yang menetap, perubahan-perubahan kualitas air dan substrat tempat hidupnya sangat mempengaruhi komposisi maupun kelimpahannya. Beberapa organisme makrozoobentos sering dipakai sebagai spesies indikator kandungan bahan organik dan dapat memberikan gambaran yang lebih tepat dibandingkan dengan pengujian secara fisika kimia. Kelebihan penggunaan makrozoobentos sebagai indikator pancemaran organik karena:

1. Mudah ditemukan di habitat perairan

2. Jumlahnya sangat banyak pada lingkungan yang berbeda jenis bentos yang hidup berbeda pula.

3. Perairan yang kecil kadang-kadang tidak dapat menjadi tempat hidup ikan, tetapi dapat menjadi tempat hidup bentos.

4. Perpindahannya sangat terbatas sehingga mudah diawasi.

5. Ukurannya kecil tetapi mudah dikumpulkan dikoleksi dan diidentifikasi. 6. Pengamatan dapat dilakukan lebih cepat dengan peralatan sederhana.

7. Bentos adalah konsumsi sebagian besar ikan, sehingga perubahan komunitas bentos dapat mempengaruhi jaring-jaring makanan di perairan tersebut.

Makrozoobentos umumnya sangat peka terhadap perubahan lingkungan perairan yang ditempatinya, karena itulah makroinvertebrata ini sering dijadikan sebagai indikator ekologi di suatu perairan dikarenakan cara hidup, ukuran tubuh, dan perbedaan kisaran toleransi di antara spesies di dalam lingkungan perairan. Menurut Ravera (1979) diacu oleh Sinaga (2009) daya toleransi bentos terhadap pencemaran bahan organik dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu:

1. Jenis Intoleran

Jenis intoleran memiliki kisaran toleransi yang sempit terhadap pencemaran dan tidak tahan terhadap tekanan lingkungan, sehingga hanya hidup dan berkembang di perairan yang belum atau sedikit tercemar.

2. Jenis Toleran

Jenis toleran mempunyai daya toleran yang lebar, sehingga dapat berkembang mencapai kepadatan tertinggi dalam perairan yang tercemar berat.

3. Jenis Fakultatif

Jenis fakultatif dapat bertahan hidup lingkungan yang agak lebar, antara perairan yang belum tercemar sampai dengan tercemar sedang dan masih dapat hidup pada perairan yang tercemar berat.

Kriteria tingkat kondisi perairan berdasarkan indeks keanekaragaman jenis tersaji dalam Tabel 1.

Tabel 1. Kriteria Tingkat Kondisi Perairan Berdasarkan Bioindikator Makrobentos

H’ Indikasi

<1,0 - Keanekaragaman biota sangat rendah - Pencemaran berat

- Kesuburan sulit dimanfaatkan 1 – 1,5 - Keanekaragaman biota rendah

- Pencemaran sedang sampai berat - Kesuburan sulit dimanfaatkan 1,5 – 2 - Keanekaragaman biota sedang

- Pencemaran ringan sampai sedang - Kesuburan dapat dimanfaatkan >2,0 - Keanekaragaman biota tinggi

- Pencemaran ringan atau belum tercemar

- Kesuburan dapat dimanfaatkan

Sumber : Anggoro (1988) diacu oleh Kawuri dkk., (2012) modifikasi Lee dkk., (1978) dalam Taqwa (2010).

Contoh makrozoobentos sebagai bioindikator kualitas air di perairan pesisir menurut Pakpahan dkk., (2013) adalah jika perairan tercemar berat terdapat Nassarius sp., jika tercemar sedang adalah Neritina sp., Cerithium sp., Pinna sp., Portunus sp., Arenicola sp., sedangkan tercemar ringan adalah Uca sp., Planaria sp., Mactra sp., untuk perairan yang tidak tercemar dijumpai Mactromeris sp., Balanus sp., Astropecten sp., Cerithium sp.. Namun ada juga genus yang dapat dijumpai pada berbagai kategori kualitas perairan yaitu Perinereis sp. Arenicola sp., Portunus sp..

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pantai Labu merupakan kecamatan yang terletak di Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara, berada di 3°40’44,9”LU dan 98°54’30,7”BT. Daerah ini merupakan daerah estuari dengan zona transisi antara dua lingkungan perairan, yakni air asin dari Selat Malaka dan air tawar yang mengalir dari sungai. Menurut Supriharyono (2000) bahwa kombinasi pengaruh air laut dan air tawar tersebut akan menghasilkan suatu komunitas yang khas, dengan kondisi lingkungan yang bervariasi.

Daerah pesisir Pantai Labu pada saat ini merupakan daerah yang telah mengalami penurunan keseimbangan ekosistem, ditandai dengan terjadinya penurunan tangkapan biota yang bernilai ekonomis bagi nelayan di daerah ini. Hal ini disebabkan karena kawasan Pantai Labu telah mengalami perkembangan pemanfaatannya oleh berbagai aktifitas manusia, seperti areal pemukiman, pertambakan, dan juga pemanfaatan potensi pariwisata pantai (Sembiring, 2008).

Dalam suatu perairan wilayah pesisir terdapat satu atau lebih sumber daya pesisir. Ekosistem alami wilayah pesisir antara lain adalah terumbu karang, hutan mangrove, padang lamun, pantai berpasir, formasi pes-caprea, formasi baringtonia, estuaria, laguna, dan delta (Dahuri dkk., 2004).

Kondisi estuaria memberikan kekhasan kualitas fisika airnya, lebih lanjut kondisi ini juga menyebabkan spesies organisme yang hidup di estuaria juga khas dan beragam. Struktur komunitas mencakup keanekaragaman spesies. Menurut Indrawan dkk (2007) menyatakan keanekaragaman spesies mencakup seluruh

spesies yang ditemukan di bumi. Mengenali dan menklasifikasikan spesies adalah salah satu tujuan utama biologi konservasi.

Pengkajian kualitas perairan dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti dengan analisis fisika dan kimia air serta analisis biologi. Untuk perairan yang dinamis, analisis fisika dan kimia air kurang memberikan gambaran kualitas perairan yang sesungguhnya dan dapat memberikan penyimpangan- penyimpangan yang kurang menguntungkan, karena kisaran nilai-nilai peubahnya sangat dipengaruhi keadaan sesaat. Lingkungan yang dinamis, analisis biologi khususnya analisis struktur komunitas hewan bentos dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai kondisi perairan. Faktor yang mendasari penggunaan bentos sebagai organisme indikator kualitas perairan adalah karena sifat bentos yang relatif diam atau memiliki mobilitas yang rendah sehingga sangat banyak mendapat pengaruh dari lingkungan (Hawkes, 1979 diacu oleh Agustinus dkk., 2007).

Berdasarkan fakta yang terjadi di kawasan Pantai Labu tersebut serta penjelasan dari beberapa literatur di atas, maka dilakukan penelitian untuk mengetahui keanekaragaman makrozoobentos yang membentuk komunitas sehingga hasilnya akan diketahui kualitas air pada perairan pantai labu dari stasiun yang ditentukan berdasarkan aktivitas yang dilakukan pada kawasan Pantai Labu. Penelitian ini menggunakan pengambilan data lapangan lalu dilakukan analisa data beberapa metode.

Perumusan Masalah

Perairan Kecamatan Pantai Labu terdiri atas pantai, sungai kecil menuju muara, muara, serta ekosistem mangrove. Pantai pada kawasan tersebut diperuntukkan sebagai kawasan kegiatan pariwisata, sedangkan sungai merupakan dermaga serta tempat docking (perbaikan kapal) dan dipengaruhi pemukiman penduduk, muara yang berdekatan dengan ekosistem mangrove merupakan jalur lalu lintas kapal penangkapan ikan.

Berdasarkan uraian di atas maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kualitas air akibat berbagai aktivitas seperti pariwisata, dermaga serta tempat docking, pemukiman, jalur transportasi kapal penangkapan ikan pada perairan Kecamatan Pantai Labu?

2. Apakah berbagai aktivitas tersebut mempengaruhi kondisi keanekaragaman makrozoobentos?

Kerangka Pemikiran

Bioindikator merupakan spesies atau populasi makhluk hidup, hewan, tumbuhan, atau mikroorganisme yang kehadirannya dapat memberikan respon terhadap perubahan kondisi lingkungan.

Kondisi perairan pesisir sangat berpengaruh terhadap kehidupan biota yang menghuninya. Beberapa sifat fisika kimia pesisir yang berpengaruh penting terhadap kehidupan organisme adalah salinitas, suhu, substrat, oksigen terlarut, pasang surut.

Keanekaragaman makrozoobentos sangat penting pada kawasan pesisir selain menunjang keberlangsungan rantai makanan, juga sebagai bioindikator

untuk menentukan kualitas perairan pesisir dari berbagai aktivitas yang dilakukan di perairan Kecamatan Pantai Labu. Berdasarkan hal tersebut kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

Tujuan Penelitian

1. Menganalisis kualitas perairan Kecamatan Pantai Labu dari berbagai aktivitas seperti pariwisata, pemukiman, jalur transportasi kapal penangkapan ikan, dermaga serta docking melalui indeks keanekaragaman dan indeks pencemaran.

2. Mengetahui komunitas makrozoobentos di perairan Kecamatan Pantai Labu. Aktivitas Manusia

Penurunan Kualitas Air

Makrozoobentos Sebagai Bioindikator

Status Perairan

Mempengaruhi Kehidupan Biota di Perairan

Ekosistem Pesisir

Parameter Fisika, Kimia, Biologi

Manfaat Penelitian

1. Memberikan data mengenai komunitas makrozoobentos yang merupakan satu dari banyak keanekaragaman hayati di perairan Kecamatan Pantai Labu.

2. Memberikan informasi mengenai status kualitas perairan tersebut yang diketahui melalui indeks keanekaragaman makrozoobentos dan parameter fisika kimia pendukung kehidupan makrozoobentos sehingga menjadi acuan pemerintah setempat dalam upaya pengendalian pencemaran dari aktivitas di sekitar perairan Kecamatan Pantai Labu.

ABSTRAK

ATIKAH ASRY. Komunitas Makrozoobentos Sebagai Bioindikator Pencemaran Perairan Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang. Dibimbing oleh YUNASFI dan ZULHAM APANDY HARAHAP.

Kecamatan Pantai Labu merupakan wilayah pesisir yang telah mengalami perkembangan pemanfaatannya oleh berbagai aktifitas manusia yang akan mempengaruhi kualitas perairan. Pengkajian kualitas perairan dapat diketahui dengan analisis biologi seperti makrozoobentos. Penelitian ini bertujuan menganalisis kualitas perairan Kecamatan Pantai Labu dari berbagai aktivitas

Dokumen terkait