• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Umum Tanaman Aren

Aren (Arenga pinnata) merupakan salah satu sumber daya alam di daerah tropis. Distribusinya tersebar luas, sangat diperlukan dan mudah didapatkan untuk keperluan sehari-hari oleh masyarakat setempat sebagai sumber daya yang berkesinambungan. Di Indonesia pohon aren sebagian besar secara nyata digunakan untuk bahan bangunan, keranjang, kerajinan tangan, atap rumah, gula, manisan buah dan lain sebagainya (Sumarni et al., 2003).

Tanaman Aren (Arenga pinnata) merupakan salah satu jenis tanaman tahunan yang hampir semua bagiannya dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan pangan, sandang dan papan. Nira merupakan hasil utama dari tanaman aren yang bernilai ekonomis tinggi selain pati, ijuk dan buah atau bijinya.Tanaman aren juga dapat dikembangkan dalam sistem agroforestri antara tanaman kehutanan dan pertanian (Saleh et al., 2007).

Tanaman aren tersebar di seluruh Nusantara dan banyak terdapat khususnya di daerah-daerah perbukitan yang lembab. Pohon aren merupakan pohon yang menghasilkan bahan baku bagi perindustrian. Populasi tanaman aren semakin berkurang dan langka diakibatkan oleh perambahan hutan dan penebangan pohon aren tidak diregenerasi dengan tanaman aren muda. Selain itu, populasi aren di alam juga semakin berkurang akibat banyaknya pohon yang sudah tua, sehingga tidak produktif lagi sedangkan upaya peremajaan populasi aren belum dilakukan secara maksimal (Mujahidin et al., 2003; Murniati dan Rofik, 2008).

Sampai saat ini dikenal 3 jenis aren yaitu : 1. Aren (Arenga pinnata) dari suku Aracaceae

Aren (Arenga pinnata) dari suku Aracaceae (pinang-pinangan), merupakan tumbuhan berbiji tertutup (Angiospermae) yaitu biji buahnya terbungkus daging buah.

2. Aren gelora (Arenga undulatifolia) dari suku Aracaceae

Aren jenis ini mempunyai batang tegak, pendek dan ramping. Pangkal batang bertunas sehingga tanaman ini tampak berumpun. Daunnya tersusun teratur dalam satu bidang datar, sisi daunnya memiliki untai yang banyak dan bergelombang.

3. Aren sagu (Arenga microcarpa) dari suku Aracaceae

Aren sagu adalah suatu jenis tumbuhan aren yang berbatang tinggi, sangat ramping dan berumpun banyak.

(Sunanto, 1993).

Permasalahan pokok pengembangan tanaman aren yaitu pada umumnya aren belum dibudidayakan secara menyeluruh. Petani masih mengandalkan tanaman yang tumbuh secara alami, dimana aren tumbuh berkelompok dengan jarak tanam yang tidak beraturan sehingga terjadi pemborosan lahan. Hal ini menyebabkan tingkat produktivitas lahan maupun tanaman aren rendah sehingga menyebabkan pendapatan petani semakin menurun (Maliangkay, 2007).

Pohon aren merupakan tumbuhan serbaguna yang setiap bagian dari pohonnya dapat dimanfaatkan. Produk utama tanaman aren adalah nira yang biasanya diolah menjadi gula aren. Setiap pohon dapat menghasilkan 15 liter nira setiap hari dengan rendemen gula sebesar 12%. Tanaman aren dapat

menghasilkan produk makanan seperti kolang kaling dari buah betina yang sudah masak dan tepung aren untuk bahan makanan dalam bentuk kue, roti dan biskuit yang berasal dari pengolahan bagian dalam batang tanaman (Helen et al., 2003; Alam dan Baco, 2004; Maliangkay et al., 2004; Irawan et al., 2009).

Penyadapan Nira Aren

Nira mempunyai sifat mudah menjadi asam karena adanya proses fermentasi oleh Saccharomyces cereviceae oleh karena itu nira harus segera ditangani atau diolah setelah diambil dari pohon, paling lambat 90 menit setelah dikeluarkan dari wadah penyadapan. Nira aren memiliki aw diatas 0,9 sehingga khamir dan bakteri dapat tumbuh dengan baik, disamping itu kandungan nutrien seperti sukrosa merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroba. Aktivitas mikroorganisme tersebut menyebabkan perubahan-perubahan fisik seperti kejernihan, kemanisan, aroma, dan rasa serta perubahan-perubahan kimia seperti pH dan komposisi kimia, proses perubahan meliputi terjadinya peningkatan jumlah mikroba dalam bahan pangan. Nira adalah media yang subur untuk pertumbuhan mikroorganisme seperti bakteri Acetobacter acetic dan sel ragi dari genus Saccharomyces. Pada nira yang mengalami fermentasi, sel ragi dari genus Saccharomyces akan lebih aktif untuk mensintesa gula (glukosa) dan menghasilkan alkohol dan gas CO2 (Winarno, 1993; Budiyanto, 2004).

Teknik penyadapan nira aren dilakukan dengan cara sebagai berikut : - Penyadapan dilakukan dua kali dalam sehari yaitu pada pukul 05.30 sampai

06.30 pagi dan pukul 16.00 sampai 17.00 pada sore hari. Penyadapan yang dilakukan pagi hari diambil sore harinya sambil memasang wadah penyadapan yang baru untuk diambil keesokan harinya.

- Apabila bunga jantan terlihat mekar, tandan bunga jantannya dipotong tepat pada ruas paling ujung.

- Jika pada tandan bunga jantan yang telah dipotong niranya terus menetes sampai keesokan harinya, berarti nira sudah siap untuk disadap.

- Selanjutnya tandan bunga jantan dibersihkan dari buih dan disayat 1 - 2 mm setiap hari untuk memperlancar keluarnya nira.

- Kemudian ujung tandan bekas pemotongan dibungkus dengan daun atau ijuk. Jika nira yang keluar keesokan harinya semakin banyak, maka pembungkusnya sudah bisa dilepas dan diganti dengan wadah penyadapan yang diikatkan pada tandan daun.

- Sebelum mengganti dengan wadah penyadapan, buih-buih yang terdapat disekitar tandan yang telah dipotong dibersihkan kembali.

- Agar diperoleh nira yang baik, wadah penyadapan yang akan dipakai sebaiknya dicuci terlebih dahulu dengan air yang mengalir, kemudian diasapi dengan menggunakan bara api sampai terasa panas dan kering.

- Selanjutnya dimasukkan bahan pengawet untuk mencegah agar nira tidak menjadi asam, biasanya berasal dari daun-daunan, seperti daun togog (famili Moraceae), daun jambu air (Syzigium aqueum), daun manggis (Garcinia mangostana L.) dan pucuk awi tali (Gigantochloa apus).

- Untuk mencegah masuknya kotoran seperti debu dan semut, biasanya celah diantara tangkai bunga aren dan mulut wadah penyadapan disumbat dengan ijuk. Untuk mencegah masuknya air hujan, di atas mulut wadah penyadapan diberi atap dari ijuk atau karung. Namun bila air hujan masih dapat masuk ke

dalam wadah dapat diatasi dengan cara membuang airnya, karena air hujan tidak bercampur dengan nira.

(Irawan et al., 2009).

Manfaat Nira Aren

Tanaman aren sebagian besar telah diusahakan oleh petani namun belum diusahakan dalam skala yang besar dikarenakan pengelolaan tanaman ini belum menerapkan teknik budidaya yang baik sehingga menyebabkan produktivitas tanaman rendah. Saat ini produk utama tanaman aren adalah nira hasil penyadapan dari bunga jantan yang dijadikan gula aren maupun minuman ringan, cuka dan alkohol. Nira aren merupakan salah satu sumber bahan pangan dalam pembuatan gula. Secara tradisional, masyarakat mengolah nira aren menjadi gula

batu (gula merah) atau juga menjadi gula semut yang berupa bentuk kristal (Akuba, 2004; Baharuddin et al., 2007; Rindengan dan Manaroinsong, 2009).

Manfaat nira :

1. Nira aren segar yang manis diminum sebagai obat tuberkulosis, paru, disentri, wasir, dan dapat melancarkan buang air besar.

2. Nira aren segar untuk membuat adonan di perusahaan roti atau jamu tradisional.

3. Nira aren dibuat gula merah. 4. Nira aren dibuat tuak dan cuka. (Wisnuwati, 1996).

Nira segar mempunyai kadar gula kurang lebih 10-15%. Selain dibuat gula, nira juga dapat diproduksi menjadi minuman keras atau cuka. Nira jika diberi ragi dan dibiarkan selama satu atau dua malam akan menjadi minuman

keras yang lebih dikenal sebagai tuak. Jika sistem peragian tersebut diperbaiki kadar alkohol tersebut dapat dimurnikan dan dengan alkohol ini dapat dibuat berbagai minuman keras lainnya. Nira juga bisa dibuat menjadi cuka dengan fermentasi bakteri sehingga dihasilkan asam asetat (Sembiring, 1990).

Komposisi Kimia Nira Aren

Nira segar mengandung sukrosa 13,9 - 14,9%, abu 0,04%, protein 0,2%, dan kadar lemak 0,02% dalam 100 ml. Produksi nira aren bisa mencapai 8,0 - 30,0 liter per hari per pohon (Burhanuddin, 2005). Komposisi nira aren dalam 100 ml disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi nira aren dalam 100 ml

Komponen Jumlah Sukrosa 3% Glukosa 1,2% Fruktosa 12% Rafinosa 0,8% Air 82,76% Abu 0,24%

Sumber : Depkes. R.I., (1981).

Nira mempunyai sifat mudah menjadi asam karena adanya proses fermentasi oleh Saccharomyces cereviceae oleh karena itu nira harus segera ditangani atau diolah setelah diambil dari pohon, paling lambat 90 menit setelah dikeluarkan dari wadah penyadapan. Data-data fisis nira aren disajikan pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Data-data fisis nira aren

Komponen Jumlah Densitas 1,02 - 1,03 pH 7 Warna Bening Wujud Cair Aroma Wangi Rasa Manis

Adapun komposisi kimia dari berbagai jenis nira (tiap 100 g bahan) disajikan pada Tabel 3 di bawah ini :

Tabel 3. Komposisi kimia berbagai jenis nira (tiap 100 g bahan)

Komponen Kelapa Aren Siwalan

Air (g) 84,2 87,2 86,1

Protein (g) 0,2 0,2 0,3

Lemak (g) 0,17 0,02 0,02

Karbohidrat (g) 14,77 12,34 13,54

Abu (g) 0,66 0,24 0,04

Sumber : Susanto dan Saneto, (1994).

Gula cetak yang baik yakni memiliki karakteristik yang sesuai syarat berdasarkan Dewan Standarisasi Nasional. Komposisi kimia gula cetak (bahan baku) disajikan pada Tabel 4 di bawah ini.

Tabel 4. Komposisi kimia gula cetak (bahan baku)

Komponen SNI 01-3743-1995 Jenis gula cetak Aren Kelapa Tebu

Air (%bb) Maks. 10 10,3 8,8 8,3

Abu (%bb) Maks. 2 2,8 3,6 1,9

Lemak(%bk) --- 1,7 1,9 1,6

Protein(%bk) --- 1,5 2,9 0,7

Gula Pereduksi(%bb) Maks. 10 11,8 6,0 5,4

Sukrosa(%bb) Min. 77 75,8 84,3 86,0

Bagian tak larut air(%bb) Maks. 1 0,3 0,2 0,7 Total padatan terlarut(oBrix) --- 83,8 89,7 87,4 Sumber : Dewan Standarisasi Nasional, (1995).

Fermentasi Pada Nira Aren

Kerusakan nira yang diakibatkan oleh aktivitas mikroorganisme ditandai dengan rasa asam pada nira, buih yang berwarna putih, dan juga berlendir. Sukrosa akan mengalami degradasi akibat lingkungan yang asam, panas, dan mineral tertentu melalui reaksi hidrolisis. Reaksi hidrolisis atau reaksi inversi

sukrosa ini dapat terjadi secara spontan pada kondisi yang asam (Rahman et al., 2004; Wang, 2004).

Nira mudah mengalami fermentasi, karena mengandung ragi liar yang amat aktif. Nira yang terlambat dimasak warnanya berubah menjadi keruh dan kekuning-kuningan, rasanya masam, dan baunya menyengat. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan dari sukrosa sampai dengan alkohol terlibat kegiatan ragi, selanjutnya dari alkohol ke asam asetat terlibat kegiatan bakteri dan hasilnya berupa cuka berasa masam. Proses perubahan tersebut terjadi karena rendahnya derajat keasaman (pH) nira. Adapun proses perubahan itu sebagai berikut :

(Santoso, 1993).

Secara mikrobiologis bila alkohol kontak langsung dengan udara dan dibiarkan selama waktu tertentu akan berubah menjadi asam. Asam cuka dihasilkan oleh kegiatan Acetobacter. Bakteri tersebut bersifat aerob dimana untuk mendapatkan energi, mikroba menggunakan glukosa atau zat organik lainnya sebagai substrat untuk dioksidasi menjadi karbondioksida dan air (Waluyo, 2007).

Pada fermentasi alkohol, tahapan awal yang terjadi yakni gula yang terdapat pada bahan baku diubah menjadi alkohol dan CO2 dimana berlangsung secara anaerob. Setelah alkohol dihasilkan pada kegiatan tersebut kemudian fermentasi asam asetat segera terjadi. Bakteri asam asetat mengubah alkohol menjadi asam asetat secara aerob. Jenis ragi dari genus Saccharomyces seperti

Alkohol (ethyl)

Sukrosa Glukosa dan

fruktosa

Asam asetat (cuka) Karbondioksida

Saccharomyces cereviseae merupakan mikroorganisme yang dikenal dapat

memfermentasi gula (glukosa) menjadi alkohol dan CO2 (Budiyanto, 2004; Hidayat et al., 2006).

Fermentasi gula oleh ragi misalnya Saccharomyces cerevisiae dan

Saccharomyces ellipsoideus dapat menghasilkan etil alkohol (etanol) dan CO2

melalui reaksi sebagi berikut : Ragi

C6H12O6 2C2H5OH + 2CO2

(enzim)

Reaksi ini merupakan dasar dari pembuatan tape, brem, tuak, minuman anggur, bir, roti, dan lain-lainnya. Alkohol yang berasal dari fermentasi ragi dengan adanya oksigen akan mengalami fermentasi lebih lanjut oleh bakteri, misalnya Acetobacter aceti menjadi asam asetat sebagai berikut :

C2H5OH + O2 CH3COOH + H2O (Winarno et al., 1980).

Fermentasi laktat alkohol asetat merupakan fermentasi spontan yang terjadi pada nira yang melibatkan bakteri asam laktat, khamir, dan bakteri asam asetat. Mikroorganisme awal yang terdapat di dalam nira segar adalah bakteri Leuconostoc spp. dan Lactobacillus spp. yang diduga merupakan mikroorganisme dominan pada nira. Saccharomyces cereviceae adalah khamir yang biasa melakukan fermentasi alkohol. Bakteri asam laktat dan khamir bekerja secara bersama dalam proses fermentasi nira. Bakteri asam laktat homofermentatif memetabolisme gula melalui jalur Embden-Meyerhoff-Parnass menghasilkan produk utama berupa asam laktat, sedangkan bakteri asam laktat heterofermentatif memetabolisme gula melalui jalur fosfoketolase menjadi asam laktat dan produk

organik lainnya seperti alkohol, asam asetat, asam lemak bebas, asam format, amonia, diasetil, asetonin, dan CO2. Spesies Acetobacter yang terkenal adalah

Acetobacter aceti, Acetobacter orleanensis, Acetobacter liquefasiensis, dan

Acetobacter xylinum. Meskipun ciri-ciri yang dimiliki hampir sama dengan spesies lainnya Acetobacter xylinum dapat dibedakan dengan yang lainnya karena memiliki sifat yang unik. Acetobacter xylinum yang ditumbuhkan pada media yang mengandung banyak gula dapat memecah komponen gula dan mampu membentuk suatu polisakarida yang dikenal dengan selulosa ekstraseluler (Daulay, 2003; Salminen et al., 2004; Sumanti et al., 2004).

Nangka

Nangka termasuk famili Moraceae dimana lahan penanaman yang sesuai untuk tanaman ini tanahnya tidak tergenang air. Adapun ketinggian tempat yang sesuai untuk nangka yaitu sekitar 700 m dari permukaan laut. Pohon berbatang besar dengan tinggi mencapai 30 m. Bunga berbentuk tongkol yang tumbuh pada batang atau dahan. Buah termasuk buah semu, berbentuk bulat telur, berkulit tebal, dan berduri. Buah muda banyak yang dibuat sayur, sedangkan yang telah masak dimakan sebagai buah. Warna kuning pada nangka yang telah masak menandakan adanya beta karoten dan karoten lainnya yang berfungsi sebagai antikanker dan antioksidan (Wirakusumah, 2000).

Nangka adalah spesies tanaman yang multi manfaat dimana dapat dimanfaatkaan untuk makanan, kayu, bahan bakar, pakan ternak, dan produk obat-obatan dan industri. Produk ekonomi utama nangka adalah buah yang digunakan baik ketika dewasa maupun belum dewasa. Nangka yang masih mentah memiliki tekstur yang sangat mirip dengan tekstur ayam, sehingga nangka

dapat digunakan sebagai pengganti daging bagi para vegetarian. Biji nangka dapat dipanggang seperti chestnut, atau direbus. Daging buah yang manis dan lezat dapat digunakan sebagai pencuci mulut atau diawetkan dalam sirup. Buah dan bijinya juga diolah dengan berbagai cara untuk menghasilkan makanan dan produk lainnya. Selain itu, daun nangka, kulit batang, bunga, biji dan lateks digunakan sebagai obat tradisional. Kayu dari pohon juga digunakan untuk berbagai keperluan. Buah memiliki gizi yang kaya karbohidrat, protein, kalium, kalsium, zat besi, dan vitamin A, B, dan C. Daging buah nangka merupakan sumber serat makanan. Adanya isoflavon, antioksidan, dan fitonutrien dalam buah menunjukkan bahwa nangka memiliki sifat anti kanker. Hal ini juga diketahui membantu menyembuhkan bisul dan gangguan pencernaan (APAARI, 2012).

Tanaman nangka (Artocarpus heterophyllus) dalam bahasa Inggris dikenal dengan nama jackfruit. Dewasa ini, nangka telah tersebar luas di berbagai daerah tropis, terutama di Asia Tenggara. Tanaman nangka sering disalahartikan sebagai

Artocarpus integer, padahal A. integer nama lainnya adalah cempedak. Nangka

termasuk pohon buah-buahan yang banyak ditanam di hutan, kebun, atau kadang tumbuh liar pada tanah yang tidak tergenang air. Tumbuhan asli Nusa Tenggara ini tumbuh baik di perbukitan dan dapat ditemukan dari 50 - 1.200 m dpl. Daging buah dan biji dapat dimakan, buah muda dibuat sayur. Kayu dipakai untuk bahan bangunan, getah digunakan sebagai perekat untuk menangkap burung, daun untuk makanan ternak, serta batang dan kulit kayu mengandung zat warna yang dapat

digunakan untuk mewarnai makanan atau bahan pakaian (Elevitch and Manner, 2006; Dalimartha, 2008).

Manfaat Kayu Nangka

Pohon nangka dapat dimanfaatkan sebagai obat tradisional. Khasiat kayu pada tumbuhan nangka yaitu sebagai antispasmodik (obat yang mengurangi kejang otot di usus) dan sedatif (obat penghilang rasa nyeri), daging buah sebagai ekspektoran (obat pelancar dahak), daun muda sebagai pakan ternak. Getah kulit kayu juga telah digunakan sebagai obat demam, obat cacing dan sebagai antiinflamasi yaitu obat mengurangi peradangan (Ersam, 2001).

Berbagai penelitian telah dilakukan dalam rangka mengeksplorasi pengembangan tumbuhan nangka sebagai senyawa antikanker, diantaranya adalah senyawa flavon yang berasal dari Artocarpus memperlihatkan bioaktivitas sebagai antitumor yang tinggi pada sel leukimia L 1210. Artokarpin hasil isolasi kayu pada nangka memiliki aktivitas yang potensial sebagai whitening agent dan antikanker kulit (Suhartati, 2001; Arung et al., 2008).

Moraceae dilaporkan sebagai salah satu sumber senyawa fenol, Artocarpus yang merupakan salah satu genus utama famili ini menghasilkan berbagai jenis senyawa flavonoid. Keistimewaan dari flavonoid yang dihasilkan oleh Artocarpus ialah adanya substituen isoprenil pada C-3 dan pola 2’, 4’-dioksigenasi atau 2’, 4’, 5’-trioksigenasi pada cincin B dari kerangka dasar flavonoid. Ciri ini diwujudkan pada berbagai jenis senyawa seperti flavon dengan prenil bebas pada C-3 piranoflavon, oksepinoflavon, oksosinoflavon, dihidrobenzosanton, dan kuinonodihidrobenzosanton. Senyawa-senyawa jenis ini belum pernah ditemukan pada tumbuhan lain. Selain mempunyai struktur molekul yang unik, beberapa senyawa flavon yang berasal dari Artocarpus juga memperlihatkan bioaktivitas antitumor yang tinggi pada sel leukimia L 1210 (Suhartati, 2001).

Komposisi Kimia Kayu Nangka

Nangka (Artocarpus heterophyllus) merupakan tumbuhan lokal yang terdapat di berbagai daerah di Indonesia. Pohon nangka ini biasanya dimanfaatkan sebagai obat tradisional. Kandungan kimia kayu nangka antara lain, morin, sianomaklurin (zat samak), flavon, dan tannin. Selain itu, di bagian kulit kayu nangka juga terdapat senyawa flavonoid yang baru, yakni morusin, antokarpin, artonin E, sikloartobilosanton, dan artonol B. Bioaktivitas senyawa flavonoid tersebut terbukti secara empirik sebagai antikanker, antivirus, antiinflamasi, diuretik, dan antihipertensi (Ersam, 2001).

Kayu nangka mengandung zat warna kuning yang dinamakan morine, alkaloid, saponin, glukosida, dan Ca oxalat. Kulit kayu mengandung resin, cycloheterophyllin, dan tanin. Daun mengandung alkaloid, saponin, glukosida, tannin, dan Ca oxalat. Getah mempunyai zat aktif asam serotat, steroketone, dan artostenone. Daging buah mengandung albuminoid, karbohidrat, minyak lemak, vitamin C, dan karoten. Tannin berbentuk serbuk atau berlapis-lapis seperti kulit kerang, berbau khas dan mempunyai rasa sepat (astrigent). Tannin mempunyai sifat atau daya bakteriostatik, fungistatik dan merupakan racun. Untuk memperoleh ekstrak dengan kualitas dan kuantitas yang tinggi, maka umumnya digunakan etanol atau aseton dengan perbandingan volume air yang sebanding. Senyawa tannin adalah senyawa astringent yang memiliki rasa pahit dari gugus polifenolnya yang dapat mengikat dan mengendapkan atau menyusutkan protein. Tannin mempunyai sifat atau daya bakteriostatik. Bakteriostatik adalah zat yang bekerja menghambat pertumbuhan bakteri sedangkan bakterisidal adalah zat yang bekerja mematikan bakteri. Senyawa golongan flavonoid dari beberapa bahan

alam dilaporkan memiliki aktivitas antibakteri. Diantara komponen tersebut, alkaloid, flavonoid, dan triterpenoid diduga berperan sebagai pengawet dalam nira tebu, bersifat inhibitor enzim dan antimikroba (Filianty et al., 2006; Dalimartha, 2008; Akroum et al., 2009; Ismarani, 2012).

Aktivitas mikroorganisme dapat dikendalikan dengan penghambatan secara fisik maupun kimia. Bahan antimikroba adalah penghambat mikroorganisme secara kimia yang mengganggu aktivitas metabolisme mikroba. Antibakteri adalah zat yang menghambat pertumbuhan bakteri. Beberapa zat antibakteri bersifat bakteriostatik pada konsentrasi rendah dan bersifat bakterisidal pada konsentrasi tinggi (Chomnawang et al., 2005).

Tanaman nangka dapat tumbuh di daerah beriklim subtropis. Tanaman

nangka berukuran sedang, ketinggiannya 8 - 25 meter dengan diameter 30 - 80 cm. Seluruh bagian tumbuhan mengeluarkan getah putih pekat apabila

dilukai yang dikenal sebagai lateks. Kulit batang nangka mengandung 3,3 % tannin (Elevitch and Manner, 2006).

Tanaman nangka mengandung senyawa potensial dalam menghambat enzim tirosinase, yaitu polifenol. Flavonoid merupakan salah satu dari golongan polifenol yang memiliki peran besar dalam aktivitas enzim tirosinase karena mengandung gugus fenol dan cincin pyren. Struktur dari flavonoid secara prinsip sesuai sebagai substrat dan mampu berkompetisi sehingga dapat menjadi penghambat enzim tirosinase. Golongan flavonoid yang terdapat dalam kulit batang nangka yaitu artocarpetin (5,2′,4′-trihydroxy-7-methoxyflavone), norartocarpetin (5,7,2’,4’-tetrahydroxyflavone), dihydromorin (5,7,2′,4′

tetrahydroxyflavanol), dan streppogenin (5,7,2’,4’-tetrahydroxyflavanone) (Chang, 2009).

Penyimpanan

Pengendalian suhu di dalam ruang penyimpanan adalah merupakan hal yang sangat penting. Terjadinya perubahan-perubahan dari kondisi yang dikehendaki dapat merusak. Perubahan suhu dapat dicegah bila ruang penyimpanan diisolasi dengan cukup, mempunyai alat pendingin yang cukup, dan perbedaan suhu koil pendingin dan suhu ruang penyimpanan kecil. Apabila suatu ruang dengan suhu yang dikehendaki 50°F, didinginkan dengan suatu koil pendingin yang beroperasi pada suhu 26°F, maka udara dapat bervariasi dengan dua derajat atau lebih. Suatu ruang dengan suhu 32°F disertai dengan koil atau gulungan kawat pengatur arus tegangan listrik yang cukup pada suhu 26°F akan memberikan variasi suhu kurang dari satu derajat. Perbedaan antara suhu zat pendingin dan ruang merupakan hal yang paling penting, terutama untuk mengatur kelembapan udara yang dikehendaki agar dicapai daya simpan yang optimum bagi bahan pangan (Desrosier, 1988).

Pendinginan dapat memperlambat kecepatan reaksi-reaksi metabolisme, dimana pada umumnya setiap penurunan suhu 8°C kecepatan reaksi akan berkurang menjadi kira-kira setengahnya. Penyimpanan bahan pangan pada suhu rendah dapat memperpanjang masa hidup jaringan-jaringan di dalam bahan pangan tersebut. Hal ini disebabkan bukan hanya karena keaktifan respirasi menurun, tetapi juga karena pertumbuhan mikroba penyebab kebusukan dan kerusakan dapat dihambat. Pendinginan tidak dapat membunuh mikroba tetapi

hanya menghambat pertumbuhannya, oleh karena itu setiap bahan pangan yang akan didinginkan harus dibersihkan terlebih dahulu (Winarno et al., 1980).

Pengaruh pendinginan terhadap mikroba dalam bahan pangan tergantung pada suhu penyimpanannya. Semakin besar perbedaan suhu penyimpanan dengan suhu pertumbuhan optimum mikroba, maka kecepatan pertumbuhannya menjadi lambat dan akhirnya terhenti sama sekali. Mendekati suhu minimum untuk pertumbuhan mikroba, maka fase adaptasinya (fase lag) bertambah lama (Nurwantoro dan Djarijah, 1997).

Gula Aren

Di Indonesia gula merah sering disebut sebagai gula jawa. Pembuatan gula merah ini dikabarkan sudah berlangsung sebelum adanya produksi gula putih. Sampai pada saat ini, gula merah tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Gula merah sering tidak dapat tergantikan oleh gula atau pemanis lain, terutama pada pembuatan aneka jenis makanan tradisional. Hal ini dikarenakan oleh aroma dan rasa gula merah lebih khas dibandingkan dengan gula putih. Oleh karena itu, dengan kelebihan tersebut bukan suatu hal yang aneh apabila tingkat konsumsi gula merah selalu meningkat dari tahun ke tahun. Salah satu jenis gula merah yaitu gula aren yang terbuat dari nira aren (enau) dijual dalam bentuk seperti gula merah yang lain. Gula aren ini lebih bagus, wangi, dan berwarna cokelat agak kekuningan (Lutony, 1993; Agung, 2005).

Gula aren diperoleh dari proses penyadapan nira aren yang kemudian

Dokumen terkait