• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Korporasi a. Pengertian Korporasi

Kata korporasi berasal dari bahasa Inggris, yakni corporation yang diartikan sebagai badan hukum.12 Dalam bahasa Belanda disebut corporatie

recht persoon yang diartikan sebagai korporasi atau badan hukum korporasi

juga diartikan sebagai badan hukum yang maksudnya suatu perkumpulan atau organisasi yang oleh hukum diperlakukan seperti rnanusia (Personal), yaitu memiliki persamaan hak dan kewajiban, dan memililu hak digugat dan menggugat dimuka pengadilan.13

Dari pengertian tersebut, maka suatu kejahatan yang dilakukan oleh korporasi adalah suatu bentuk kejahatan yang dilakukan berhubungan dengan badan hukum. Suatu badan hukum yang telah mendapatkan pengesahan pendiriannya, sejak saat itu pula badan hukum tersebut memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan kegiatannya serta mendapatkan perlindungan hukum dari pemerintah untuk setiap kegiatan usaha yang dilakukannya sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Menurut pendapat Salman Luthan bentuk kejahatan yang dilakukan oleh korporasi dapat digolongkan dalam tiga pengertian sebagai berikut:14 1. Crime for corporation yaitu kejahatan yang dilakukan oleh korporasi itu

sendiri atau dapat dikatakan sebagai corporate crime are clearly

committed for the corporate.

2. Crime against corporation atau yang disebut dengan employee crime.

12 Kamus Inggris-Indonesia, Jhon M.Echols dan Hasan Shadily, Penerbit PT Gramedia Jakarta.

13

Albertus Magnus Sunur. Pertanggungjawaban Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana , Jurnal Cendekia, Vol. 1, No. 2, Oktober 2012. Hlm. 1

14 Salman Luthan, Anatomi Kejahatan Korporasi dan Penanggulangan, Jurnal Hukum, Penerbit Pusat Studi Hukum UI, Jogjakarta, 1994, hlm. 18

commit to user

3. Criminal corporation yaitu korporasi yang sengaja dibentuk dan dikendalikan untuk melakukan kejahatan.

Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa korporasi adalah kumpulan organ yang terbentuk secara terorganisir dan memiliki tujuan antara lain mencari keuntungan. Dalam menjalankan korporasi tersebut kadang kala korporasi tersebut, baik disengaja atau tidak disengaja dapat melakukan perbuatan pidana atau perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian pada pihak lainnya.

Pertanggungjawaban pidana, sangat erat kaitannya dengan perbuatan pidana serta pelaku tindak pidana itu sendiri. Dalam arti bahwa apakah pelaku tindak pidana dimaksud telah memiliki unsur kesalahan dan atas unsur kesalahan dimaksud mampu atau tidak untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatan yang telah dilakukannya. Apabila korporasi melakukan perbuatan pidana, maka yang berkedudukan sebagai pelaku atau dader adalah para pengurus korporasi, sedangkan terhadap korporasi tidaklah dapat dimintakan pertanggungjawaban pidananya. Hal demikian dapat dijumpai dalam ketentuan pasal 59 KUHP yang menentukan "Dalam hal-hal dimana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota pengurus atau komisaris yang temyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tidak dipidana".15

Mencermati ketentuan pasal 59 KUHP dimaksud, yang dianggap pelaku tindak pidana dilakukan oleh korporasi adalah mereka sebagai pengurus korporasi, sedangkan korporasi tidaklah dapat dikatakan sebagai pelaku tindak pidana, karena yang berkedudukan sebagai pelaku tindak pidana dalam ketentuan KUHP adalah rnereka yang melaksanakan perbuatan pidana secara nyata, sedangkan korporasi tidak melakukan perbuatan secara nyata. Melihat pada rumusan delik pasal 59 KUHP dimaksud dapat dikatakan bahwa para penyusun KUHP dahulu dipengaruhi

15

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana: Dua Pengertian Dasardalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1994, hlm. 13.

commit to user

asas "societas delinquere nonpotest " yaitu badan-badan hukum tidak dapat melakukan perbuatan pidana.

Dengan demikian, dalam ketentuan KUHP yang ada sekarang, korporasi tidak dapat dikatakan sebagai pelaku (dader) tindak pidana, sehingga kesalahan yang ada pada korporasi menjadikan kesalahan dari para pengurus korporasi tersebut. Hal ini terjadi karena KUHP masih berpedoman kepada bahwa pelaku (dader) tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia atau j'jaieke daderschapbegrip, dimana yang dianggap sebagai pelaku adalah yang melakukan perbuatan secara nyata saja. Korporasi dalam ha1 ini tidak dapat melakuan perbuatan pidana secara nyata. Korporasi dalam melakukan perbuatan pidana dilakukan oleh orang-orang yang terlibat dalam kepengurusan korporasi tersebut. Mereka tersebut antara lain adalah Direksi dan Komisaris, sehingga rnereka inilah yang akan mempertanggungjawabkan segala perbuatan pidana yang dilakukan oleh korporasi tersebut.16

b. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi menurut Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Korporasi disebut sebagai legal personality. Ini artinya korporasi dapat memiliki kekayaan sebagaimana manusia dan dapat menuntut dan dituntut dalam kasus perdata. Pertanyaan yang muncul adalah, apakah korporasi juga dapat dipertangungjawabkan dalam hukum pidana?

Bila mencermati lex generalis penal yang telah dikodifikasi sejatiya tidak mengenal subjek hukum korporasi (recht person), mengingat korporasi tidak memiliki mens rea dalam melakukan kesalahan (schuld). Sanksi pidana penjara juga tidak mungkin dijatuhkan untuk korporasi. Hal tersebut nampaknya tidak menjadi hambatan untuk penjatuhan pertanggungjawaban terhadap korporasi, karenakan dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan korporasi yang semakin masif dilakukan, maka

commit to user

dari itu timbulah suatu gagasan tentang pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi.

Kejahatan korporasi biasanya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai status ekonomi yang tinggi dan terhormat. Biasanya kejahatan tersebut dilakukan dalam kaitan dengan pekerjaan. Sisi lain yang menjadi pusat perhatian dalam perkembangan dan perubahan dalam bidang kegiatan sosial-ekonomi adalah penyimpangan perilaku korporasi yang bersifat merugikan dan membahayakan masyarakat dalam berbagai bentuk yang berskala luas.

Kejahatan korporasi dilakukan tanpa kekerasan tetapi selalu disertai kecurangan, penyesatan, manipulasi, akal-akalan atau pengelakan terhadap peraturan. Di samping itu, kejahatan korporasi itu biasanya dilakukan oleh orang-orang yang cukup pandai, oleh karena itu pengungkapan terhadap kejahatan yang terkait dengan korporaso tidaklah mudah, apalagi jika dikaitkan dengan karakteristik sebagaimana diuraikan sebagai berikut:17 1. Kejahatan tersebut sulit dilihat, karena biasanya tertutup oleh kegiatan

pekerjaan yang normal dan rutin, melibatkan keahlian profesional dan organisasi yang kompleks;

2. Kejahatan tersebut sangat kompleks, karena selalu berkaitan dengan kebohongan, penipuan, dan pencurian serta sering kali berkaitan dengan sesuatu yang ilmiah, teknologis, finansial atau keuangan, legal, terorganisasikan dan melibatkan orang banyak serta berjalan bertahun-tahun;

3. Terjadinya penyebaran tanggung jawab yang semakin luas akibat kompleksitas organisasi;

4. Penyebaran korban sangat luas seperti kolusi dan penipuan;

5. Hambatan dalam pendeteksian dan penuntut sebagai akibat profesionalisme yang tidak seimbang antara penegak hukum dengan pelaku kejahatan;

17 Muladi & Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2012. hlm. 46 – 48.

commit to user

6. Peraturan yang tidak jelas sehingga sering menimbulkan kerugian dalam penegakkan hukum;

7. Sikap mendua status Pelaku Tindak Pidana.

Dalam bidang hukum pidana, keberadaan suatu badan hukum atau badan usaha yang manyandang istilah korporasi diterima dan diakui sebagai subjek hukum yang dapat melakukan tindak pidana serta dapat pula dipertanggungjawabkan. Menurut Mardjono Reksodiputro terdapat tiga bentuk sistem pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu sebagai berikut:18

1. Pengurus korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan pengurus korporasilah yang bertanggung jawab secara pidana;

2. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana, namun pengurus korporasilah yang bertanggung jawab secara pidana;

3. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan korporasi yang bertanggung jawab secara pidana.

Korporasi dapat dipidana melalui dua cara, yaitu:

1. Korporasi dapat dikenakan pidana berdasarkan asas strict liability atas kejahatan yang dilakukan oleh pegawainya;

2. Korporasi dapat dikenakan pidana berdasarkan asas identifikasi. Sementara itu, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga mengatur tentang pertanggungjawaban korporasi. Pengaturan pertanggungjawaban korporasi dalam UU PPLH, yaitu berupa sanksi administratif, sanksi perdata maupun sanksi pidana. Sanksi administratif berupa teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan atau pencabutan izin lingkungan. Sedangkan sanksi perdata berupa gugatan ganti rugi dan pemulihan lingkungan serta tanggung jawab mutlak (strict liability), gugatan Pemerintah dan Pemerintah Daerah, gugatan perwakilan yang diajukan oleh masyarakat, gugatan organisasi lingkungan hidup dan gugatan administrasi.

18 Mardjono Reksodiputro, Tindak Pidana Korporasi dan Pertanggungjawabannya Perubahan Wajah Pelaku Kejahatan di Indonesia,” dalam Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, Kumpulan Karangan Buku Kesatu, Pusat Layanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta, 2007, hlm. 72.

commit to user

Selanjutnya dalam kaitan dengan sanksi pidana, Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) membagi tindak pidana lingkungan menjadi 2 (dua) yaitu Tindak Pidana Materiil dan Formil. Tindak Pidana dalam arti Materiil adalah Tindak Pidana yang menitikberatkan pada akibat dari perbuatan itu, yang mana unsur kausalitas harus dibuktikan yang mana bersifat mandiri dan terkait izin. Mengingat pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh rumah sakit yang merupakan suatu bentuk korporasi maka wajar apabila badan hukum tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.

c. Teori Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Pembebanan pertanggungjawaban pidana terhadap kejahatan yang dilakukan oleh korporasi, terdapat beberapa teori atau ajaran yang dapat dijadikan dasar dalam pembebanan pertanggungjawaban pidana tersebut. Teori pendekatan yang dapat digunakan untuk menentukan pembebanan pertanggungjawaban korporasi, diantaranya:19

1. Teori Identifikasi (Identification theory)

Teori identifikasi merupakan salah satu teori yang digunakan dalam pembebanan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi yang melakukan kejahatan. Secara garis besar, teori ini mengemukakan bahwa agar suatu korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana, orang yang melakukan tindak pidana harus dapat didentifikasi terlebih dahulu. Pertanggungjawaban pidana baru dapat benar-benar dibebankan kepada korporasi apabila perbuatan pidana tersebut dilakukan oleh orang yang merupakan pembuat kebijakan korporasi untuk menjalankan kegiatan dari korporasi tersebut.20

19

Bismar Nasution, Kejahatan Korporasi dan Pertanggungjawabannya, disampaikan dalam ceramah di Jajaran Kepolisian Daerah Sumatera Utara, tanggal 27 April 2006.

20Muladi, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana, Sekolah Tinggi Hukum, Bandung hlm. 21.

commit to user

Sedangkan menurut Ferguson sebagaimana dikutip Muladi, menyatakan:21

”The identification doctrine, as median rule, states that the action and mental state of the corporations will be found in the actions and states of mind of employees or officers of the corporation who may be considered the directing mind and will of the corporation in a given sphere of the corporation’s activities”.

Teori identifikasi atau biasa yang disebut doctrine identification merupakan salah satu doktrin yang digunakan untuk membebankan pertangggungjawaban pidana kepada korporasi. Korporasi dipandang dapat melakukan tindak pidana melalui individu-individu yang dipandang mempunyai hubungan yang erat dengan korporasi atau dapat dipandang sebagai korporasi itu sendiri.22

Richard Card menyatakan bahwa teori identifikasi adalah salah satu teori yang menjustifikasi pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana. Teori ini menyebutkan bahwa tindakan atau kehendak direktur adalah juga merupakan tindakan atau kehendak korporasi (the

act and state of mind of the person are the acts and state of mind of the corporation).23

Ada beberapa permasalahan terkait dengan pelaksanaan prinsip identifikasi, antara lain:24

a) Semakin besar dan semakin banyak bidang usaha sebuah perusahaan, maka semakin besar kemungkinan perusahaan tersebut akan menghindar dari tanggung jawab;

b) Pada korporasi terdapat direktur dan manajer yang mengontrol kegiatan korporasi dan para pegawai atau agen yang melaksanakan kebijakan dari direktur atau manajer. Namun demikian, sikap batin

21 Nyoman Serikat Putra Jaya, op.cit, hlm. 27.

22 Mahrus Ali, Kejahatan Korporasi Kajian Relevansi Sanksi Tindakan Bagi Penanggulangan Kejahatan Korporasi, Arti Bumintaran, Yogyakarta, 2008, hlm. 19.

23 Hanafi, Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana, Jurnal Hukum Vol 6, 1999.

24 Dwidja Priyatno. Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Sekolah Tinggi Hukum, Bandung, 1991, hlm. 93-94.

commit to user

dan keinginan dari para pegawai tersebut tidak dapat dianggap sebagai keinginan dan sikap batin dari korporasi. Berbeda dengan sikap batin dan keinginan dari direktur atau manajer yang dapat dianggap sebagai sikap batin dan keinginan dari korporasi, karena direktur atau manajer merupakan pembuat kebijakan dari korporasi. Hal tersebut sebagaimana menurut pendapat Hanafi yang menyebutkan bahwa sikap batin orang tertentu yang memiliki hubungan erat dengan pengelolaan urusan korporasi dipandang sebagai sikap batin korporasi. Orang-orang tersebut, disebut sebagai “senior officers” (pejabat senior) dari perusahaan.25

2) Teori Pertanggungjawaban Pengganti (Vicarious Liability)

Pertanggungjawaban pengganti adalah suatu pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada seseorang atas perbuatan pidana yang dilakukan oleh orang lain. (a vicariuos liability is one person, though

without personal fault, is more liable for the conduct of another).26

Menurut doktrin vicarious liability, seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan dan kesalahan orang lain. Pertanggungjawaban demikian hampir semuanya ditujukan pada delik undang-undang (statutory offences). Dengan kata lain, tidak semua delik dapat digantikan pertanggungjawabannya. Pengadilan telah mengembangkan sejumlah prinsip-prinsip mengenai hal ini, salah satunya adalah employment principle. Dalam employment principle, majikan adalah pihak yang utama yang bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukan oleh buruh di mana perbuatan tersebut dilakukan dalam lingkup pekerjaannya.27

Berdasarkan prinsip employment principle, korporasi bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh pegawai-pegawainya, agen/perantara atau pihak-pihak lain yang menjadi tanggung jawab korporasi. Dengan kesalahan yang dilakukan oleh salah

25 Hanafi, op. cit.

26 ibid

commit to user

satu individu tersebut, kesalahan itu secara otomatis diatribusikan kepada korporasi.

Menurut Marcus Flatcher, terdapat dua syarat penting dalam hukum pidana yang harus dipenuhi untuk dapat menerapkan perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pengganti. Syarat-syarat tersebut adalah:28

a) Harus terdapat suatu hubungan pekerjaan, seperti hubungan antara majikan dan pegawai/pekerja (there must be relationship, such as the

employment relationship, between X and Y which is sufficient to justify the imposition of vicarious liability);

b) Perbuatan pidana yang dilakukan oleh pegawai atau pekerja tersebut harus berkaitan atau masih dalam ruang lingkup pekerjaannya (the

criminal conduct committed by Y must be referable in some particular way to relationship between X and Y).

Selain dua syarat sebagaimana disebutkan di atas, terdapat dua prinsip yang harus dipenuhi dalam menerapkan vicarious liability, yaitu prinsip pendelegasian (the delegation principle) dan prinsip perbuatan buruh merupakan perbuatan majikan (the servant’s act is the master’s act

in law).

3) Teori pertanggungjawaban mutlak menurut undang-undang (strict

liability)

Pertanggungjawaban mutlak adalah pertanggungjawaban tanpa kesalahan. Artinya, pembuat sudah dapat dipidana apabila telah melakukan perbuatan pidana sebagaimana telah dirumuskan dalam undang-undang tanpa melihat bagaimana sikap batinnya. Asas ini diistilahkan dengan liability without fault. Jadi unsur pokok dalam strict

liability adalah actus reus (seseorang telah melakukan suatu perbuatan)

bukan mens rea (si pelaku mempunyai kesalahan atau tidak).

commit to user

Penerapan strict liability sangat erat kaitannya dengan ketentuan tertentu dan terbatas. Berikut merupakan landasan penerapan strict

liability:

a) Tidak berlaku umum terhadap semua jenis perbuatan pidana, tetapi sangat terbatas dan tertetu terutama mengenai kejahatan anti sosial atau yang membahayakan sosial;

b) Perbuatan itu benar-benar bersifat melawan hukum yang bertentangan dengan prinsip kehati-hatian yang diwajibkan hukum dalam kepatutan;

c) Perbuatan tersebut dilarang dengan keras oleh undang-undang karena dikategorikan sebagai aktifitas atau kegiatan yang sangat potensial mengandung bahaya kesehatan, keselamatan dan moral publik (a

particular activity potential danger of public health, safety, or moral);

d) Secara keseluruhan perbuatan tersebut tidak melakukan pencegahan yang wajar (unreasonable precausions).29

Menurut Romli Atmasasmita menyatakan bahwa hukum pidana Inggris selain menganut asas actus non facit reum nisi mens sit rea, juga menganut prinsip pertanggungjawab mutlak tanpa harus membuktikan ada atau tidak adanya unsur kesalahan pada si pelaku tindak pidana. Pertanggungjawaban tersebut dikenal dengan strict liability crimes.30 Sementara itu, Barda Nawawi Arief memandang bahwa strict liability merupakan pengecualian berlakunya asas tiada pidana tanpa kesalahan. Dengan demikian, strict liability akan efektif apabila diterapkan pada delik korporasi.

Pertanggungjawaban pidana ketat ini juga dapat hanya berdasarkan undang-undang, yaitu dalam hal korporasi melanggar atau

29

Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan tentang Permasaahan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung. 1997.

30 Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana,Mandar Maju, Cetakan II, Bandung, 2000, hlm. 76.

commit to user

tidak memenuhi kewajiban/kondisi/situasi tertentu yang ditentukan oleh undang-undang. Dalam hal ini undang-undang menetapkan delik bagi: 31 a) Korporasi yang menjalankan usahanya tanpa ijin;

b) Korporasi pemegang ijin yang melanggar syarat-syarat (kondisi/situasi) yang ditentukan dalam ijin itu;

c) Korporasi yang mengoperasikan kendaraan yang tidak diasuransikan.

d. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi menurut RUU KUHP

Adanya korporasi yang melakukan kejahatan sekarang ini bukanlah hal yang baru. Media massa seringkali memberitakan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh Korporasi baik di luar maupun di dalam negeri. Kejahatan yang dilakukan oleh Korporasi ini ternyata tidak hanya terjadi pada masa-masa sekarang saja, tetapi sudah berlangsung sejak lama. Hal ini dapat dilihat dari munculnya berbagai teori pertanggungjawaban pidana Korporasi yang dilahirkan dalam rangka menghentikan atau menghukum Korporasi yang melakukan tindak pidana. Di Indonesia juga terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur korporasi, salah satunya adalah Undang-Undang Lingkungan Hidup. Bahkan saat ini, pertanggungjawaban korporasi dimasukkan dalam RUU KUHP.

Ketentuan umum tentang pertanggungjawaban pidana korporasi dalam RUU KUHP diatur dalam Buku I, dalam pasal-pasal sebagai berikut: 1. Pasal 47 yang menyebutkan bahwa “Korporasi sebagai subjek tindak

pidana ”.

2. Pasal 48 yang menyebutkan bahwa “Tindak pidana dilakukan oleh korporasi apabila dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasar hubungan lain, dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama”.

31 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana,Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 237-238.

commit to user

3. Pasal 49 yang menyebutkan bahwa “Jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi, pertanggungjawaban pidananya dapat dikenakan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya”.

4. Pasal 50 yang menyebutkan bahwa “Korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi, jika perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan”.

5. Pasal 51 yang menyebutkan bahwa “Pertanggungjawaban pidana pengurus korporasi dibatasi sepanjang, pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi”.

6. Pasal 52 :

(1) Dalam mempertimbangkan suatu tuntutan pidana, harus dipertimbangkan apakah bagian hukum lain telah memberikan perlindungan yang lebih berguna daripada menjatuhkan pidana terhadap korporasi.

(2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dinyatakan dalam putusan hakim.

7. Pasal 53 yang menyebutkan bahwa “Alasan pemaaf atau alasan pembenar yang dapat diajukan oleh pembuat yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi, dapat diajukan oleh korporasi sepanjang alasan tersebut langsung berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan pada korporasi.

e. Korporasi Sebagai Subjek Hukum

Subekti dan R. Tjitrosudibio menyatakan bahwa yang dimaksud dengan corporatie atau korporasi adalah suatu perseoran yang merupakan badan hukum. Dengan demikian, maka dikenal adanya subjek hukum manusia dan subjek hukum bukan manusia yaitu badan hukum seperti Perseroan Terbatas (PT), Negara, Badan-badan internasional dan lain-lain

commit to user

serta bukan badan hukum, seperti maatschap atau persekutuan perdata, Persekutuan Komanditer (CV) dan Persekutuan Firma (Fa). Sebagai subjek hukum, perbuatan korporasi selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia (direksi; manajemen), sehingga pelimpahan pertanggung jawaban manajemen (manusia; natural person), menjadi perbuatan korporasi (badan hukum, legal person).

Tanggung jawab korporasi juga diatur dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup diatur mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi atau kejahatan korporasi (corporate liability). Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi diatur dalam Pasal 45 dan Pasal 46 UUPLH.

Sementara itu, dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi diatur dalam Pasal 116. Berdasarkan Pasal 116 UUPPLH dapat dikatakan bahwa tindak pidana korporasi di bidang lingkungan hidup adalah tindak pidana yang dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain. Adapun sanksi pidana dijatuhkan selain kepada korporasi itu, juga kepada mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana, atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau kedua-duanya. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 117 UUPPLH menyebutkan bahwa jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana,maka ancaman pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga. Tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana dijatuhkan kepada mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin tanpa perlu mengingat apakah orang-orang itu melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama.

Pada awalnya, pembuat undang-undang berpandangan bahwa hanya manusia (orang per orang/individu) yang dapat menjadi subjek tindak pidana. Jadi korporasi tidak dapat menjadi subjek tindak pidana. Hal ini

commit to user

dapat kita lihat dari sejarah perumusan ketentuan Pasal 51 Sr. (Pasal 59 KUHP) terutama dari cara bagaimana delik dirumuskan (yang selalu dimulai dengan frasa hij die, ‘barangsiapa’). Sebagaimana juga patut dicermati adalah hukum pidana substantive dan hukum pidana prosesuil. Untuk yang terakhir disebut, fakta menunjukkan bahwa kita tidak akan menemukan pengaturan peluang menuntut korporasi kehadapan pengadilan

Dokumen terkait