• Tidak ada hasil yang ditemukan

Arus Lintas Indonesia (Indonesian Seas Throughflow)

Broecker (1997) dan Gordon (1987) menyebutkan bahwa tiga samudera di permukaan bumi memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya. Keterkaitan ini membentuk suatu sistem sirkulasi yang unik (Gambar 2). Sistem ini yang mengedarkan massa air dunia yang dikenal dengan edaran massa air dunia (the great conveyor belt). Sirkulasi dimulai dari Samudera Atlantik Utara bagian utara. Adanya proses pendinginan (cooling) dan penguapan (evaporation) menyebabkan densitas massa air ini tinggi sehingga tenggelam ke lapisan yang dalam membentuk North Atlantic Deep Water (NADW) atau Air Dalam Atlantik Utara (ADAU) yang mengalir ke Samudera Atlantik Selatan pada kedalaman 3000 – 4000 m. Sampai di ujung selatan Samudera Atlantik Selatan, aliran massa air berbelok ke arah timur bergabung dengan Arus Antartika.

Massa air ini terus bergerak memasuki ujung selatan Samudera India kemudian ke timur memasuki ujung selatan Samudera Pasifik selatan. Di ujung bagian selatan Samudera India sebagian aliran berbelok ke utara sampai sekitar katulistiwa dan naik ke permukaan. Demikian pula dengan aliran yang sampai ke ujung selatan Samudera Pasifik Selatan juga berbelok ke utara masuk ke Samudera Pasifik, melewati katulistiwa dan naik ke permukaan (Broecker 1997; Gordon 1987).

Sirkulasi massa air ini disebut sirkulasi massa air dalam, sedangkan sistem peredaran massa air permukaan dimulai ketika kekosongan yang disebabkan oleh tenggelamnya massa air di Samudera Atlantik bagian utara diisi oleh massa air yang berasal dari Samudera India bagian selatan. Selanjutnya kekosongan massa air di lapisan atas Samudera India akan menyebabkan massa air Samudera Pasifik mengalir ke Samudera India melalui perairan Indonesia bagian timur yang dikenal dengan Arus Lintas Indonesia (Indonesian Seas Throughflow).

Arlindo dianggap sebagai “bocoran” dari massa air di bagian barat Pasifik tropis menuju ke bagian tenggara Samudera India Tropis melalui perairan Indonesia.

Gambar 2 Edaran raya massa air (the great conveyor belt). Sumber : W. Broecker 1997

Arlindo merupakan suatu lintasan penting dalam mentransfer signal iklim dan anomalinya di seluruh samudera dunia. Sementara bahang dan massa air dengan salinitas rendah yang dibawa oleh Arlindo diketahui mempengaruhi perimbangan kedua parameter pada basin di kedua samudera (Sprintall et al. 2004).

Analisis Cane and Molnar (2001) tentang perubahan sirkulasi permukaan laut yang mana mereka percaya bahwa suatu gerbang samudera berada di perairan Indonesia yang sempit telah terjadi lebih dari 5 juta tahun yang lalu. Gerbang inilah yang bekerja sebagai “katup” terhadap aliran massa air dari Samudera Pasifik menuju Samudera India. Meskipun Plate tektonik di wilayah perairan Indonesia begitu rumit tapi Cane and Molnar menunjukkan bahwa lintasan ini mengatur massa air yang mengalir dari Pasifik ke India 5 juta tahun yang lalu adalah lebih lebar dan lebih dalam serta berada lebih ke selatan dibandingkan dengan keberadaannya sekarang.

Pengetahuan tentang sirkulasi lautan di perairan Indonesia telah m engalami peningkatan selama beberapa dekade terakhir. Pengetahuan tentang Arus Lintas Indonesia tidak hanya krusial dalam keseimbangan bahang dan nilai salinitas di

10

Samudera India tetapi juga memainkan satu peranan penting dalam sirkulasi global dari massa air di lapisan termoklin. Hal ini menarik perhatian para peneliti untuk melakukan penelitian yang berkesinambungan (Godfrey and Golding 1981; Piola and Gordon 1985; Gordon 1986; Broecker 1991).

Gambar 3 Lintasan Arus Lintas Indonesia (Arlindo)

Sumber : Gordon 2001 dipublikasikan oleh Program INSTANT

Tanda panah tebal pada Gambar 3 memperlihatkan massa air yang berasal dari termoklin Pasifik Utara dan tanda panah putus-putus adalah massa air yang berasal dari termoklin Pasifik Selatan. Besarnya transpor dinyatakan dalam Sv (106m3s-1) diberikan dalam warna merah. Transpor sebesar 10,5 Sv yang dicetak miring adalah jumlah aliran yang melalui Kepulauan Sunda Kecil. ME adalah

Mindanao Eddy sedangkan HE adalah Halmahera Eddy. Superskrip pada Gambar menunjukkan : 1. Transpor di Selat Makassar tahun 1997 (Gordon et al. 1999); 2. Selat Lombok (Murray and Arief 1988; Murray et al. 1989) dari Januari 1985 – Januari 1986; 3. Laut Timor (antara Timor dan Australia) diukur pada Maret 1992 – April 1993 (Molcard et al. 1996); 4. Laut Timor Oktober 1987 dan Maret 1988 (Cresswell et al. 1993); 5. Selat Ombai (bagian utara Timor dan Pulau Alor

Desember 1995 – Desember 1996 (Molcard et al. 2001); 6. Antara Pulau Jawa dan Australia dari tahun 1983 – 1989 data XBT (Meyers et al. 1995; Meyers 1996); 7. Lapisan 470 m dari Arus Katulistiwa Selatan di timur Samudera India Oktober 1997 (Quadfasel et al. 1996); 8. Rata-rata Arlindo Arus Katulistiwa Selatan yang ditentukan oleh WOCE WHP (Gordon et al. 1997). Tanda panah tipis menunjukkan aliran massa air yang melintasi Selat Lifamatola menuju Laut Banda yang diperkirakan sebesar 1 Sv (van Aken et al. 1988).

Perairan Indonesia merupakan satu lintasan yang mentransfer massa air yang hangat dan bersalinitas rendah dari Samudera Pasifik menuju Samudera India. Oleh karena itu perairan Indonesia memegang peranan penting secara integral dalam sirkulasi termohalin global dan fenomena iklim (Sprintall et al. 2001 dan Gordon 2001). Bahang dan massa air yang bersalinitas rendah yang dibawa oleh Arlindo berdampak terhadap perimbangan kedua parameter di kedua samudera (Bryden dan Imawaki 2001; Wijffels 2001; Wajsowicz dan Schneider 2001). Dalam perairan internal Indonesia, hasil observasi dan pemodelan mengindikasikan bvahwa sumber utama Arlindo adalah massa air termoklin Pasifik Utara yang mengalir melalui Selat Makassar (kedalaman sill 650 m). Selanjutnya kontribusi Arlindio dari massa air termoklin yang lebih dangkal dan massa air perairan dalam yang berasal dari Pasifik Selatan masuk ke perairan Indonesia melalui rute bagian timur yaitu Laut Maluku dan Laut Halmahera dengan massa air yang lebih tinggi densitasnya melintasi Selat Lifamatola (kedalaman sill 1940 m), Arlindo bergerak ke luar me nuju bagiahn timur Samudera India melalui selat sepanjang rangkaian pulau-pulau Sunda Kecil seperti Selat Ombai (kedalaman sill 350 m), Selat Lombok (300 m), Laut Timor (1890 m).

Kompleksitas geografi wilayah dengan selat-selat yang sempit, basin yang dalam menyebabkan lintasan Arlindo yang kompleks pula. Hal ini mengakibatkan massa air mengalami modifikasi oleh karena percampuran, upwelling dan fluks udara-laut sebelum bergerak ke luar menuju Samudera India. Arus Katulistiwa Utara, AKU (North Equatorial Current) membawa massa air asala Pasifik Utara sedangkan Arus Katulistiwa Selatan, AKS (South Equatorial Current) membawa

12

massa air asal Pasifik Selatan ke bagian barat Samudera Pasifik Tropika kemudian masuk ke perairan timur Indonesia (Gambar 3).

Pada Musson Barat Laut (musim barat) AKU yang berada kira-kira 9ºLU bergerak ke barat menuju Filipina, AKU bercabang dua menjadi Arus Mindanao (Mindanao Current), yakni arus yang bergerak sepanjang pantai timur Mindanao dan arus yang berbelok ke arah utara menjadi pemasok awal Arus Kuroshio.

Field and Gordon (1992); Gordon et al. (1994); Gordon and Fine (1995); Ilahude and Gordon (1996) menyebutkan bahwa terdapat dua kemungkinan jalur lintasan masuk Arlindo menuju perairan Indonesia, yakni mela lui jalur barat (utama) dan jalur timur (sekunder). Jalur utama Arlindo mulai dari sebelah selatan Mindanao bergerak ke Laut Sulawesi, kemudian ke Selat Makassar, masuk ke Laut Flores dan Laut Banda. Pintu masuk Arlindo lainnya adalah dari Laut Maluku dan Laut Halmahera. Arlindo pada kedua perairan ini kemudian memasuki Laut Seram dan masuk ke Laut Banda (Gambar 3).

Variabilitas Arus Lintas Indonesia (Indonesian Throughflow)

Pengetahuan tentang variabilitas antar musiman di wilayah sekitar perairan Indonesia adalah kompleks oleh karena beberapa alasan. Pertama, wilayah ini merupakan wilayah dimana Madden-Julian Oscilation (MJOs) memiliki signal angin permukaan yang terkuat. Kedua, Perairan Indonesia berada di wilayah ekuator dan gelombang panjang yang mengakibatkan sirkulasi lautan dimana angin sebagai penyebab gaya permukaan. Ketiga, kompleksitas geometri garis pantai di wilayah ini, ketika berinteraksi dengan aliran yang berubah secara musiman (Qiu et al. 1999)

Variabilitas Arlindo dapat dibedakan atas skala ruang maupun waktu yang pada akhirnya mempengaruhi estimasi terhadap laju transpor maupun fluks bahang dan massa air besalinitas rendah. Puncak transpor maksimum Arlindo di gerbang masuk dan keluar diperkirakan terjadi pada waktu yang berbeda sehingga diduga terjadi penyimpanan masa air di perairan Indonesia (Ffield and Gordon 1992). Di samping itu jalur lintasan Arlindo mempunyai konfigurasi geografi yang kompleks dengan kombinasi dasar perairan yang dangkal dan dalam serta

kuatnya arus pasang surut pada berbagai kanal sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan karakter massa air akibat percampuran.

Perairan Indonesia tak dapat dipisahkan dari pengaruh dinamika regional di Samudera Pasifik dan Samudera India. Akibat dari pengaruh ini aliran Arlindo mengalami variasi mulai dari periode musiman, antar musiman sampai antar tahunan. Fenomena Iklim seperti ENSO (El-Nino Southern Oscillation) yang terjadi di barat Pasifik juga memegang peranan penting dalam variabilitas Arlindo. Sementara itu di Samudera India berasosiasi dengan sistem muson dan fenomena Dipole Mode (Saji et al. 1999).

Variabilitas musiman maupun tahunan diakibatkan oleh arah angin yang berubah mengikuti sistem muson Australia-Asia (Australasia). Transpor maksimum pada berbagai lokasi seperti Selat Makassar, Selat Lombok, Selat Ombai, Laut Sawu dan dari Laut Banda ke Samudera India terjadi pada saat bertiupnya angin muson tenggara antara Juli – September dan minimum saat muson barat laut antara November – Februari ( Meyers et al. 1995; Gordon et al. 1999; Molcard et al. 2000; Hautala et al. 2001).

Selanjutnya Susanto et al. 2000 juga menyebutkan bahwa dari data paras laut dan mooring memperlihatkan variabilitas intraseasonal (30 – 60 hari) yang kemungkinan merupakan respon gelombang Kelvin dari Samudera India yang masuk perairan Selat Makassar melalaui Selat Lombok dan Gelombang Rossby dari Samudera Pasifik. Mereka juga mengungkapkan bahwa karakteristik intra- seasonal ditandai dengan periode 48 – 62 hari yang berhubungan dengan Gelombang Rossby dari Samudera Pasifik yang merambat melalui Laut Sulawesi. Berikut periode 67 – 100 hari yang merupakan karakter Gelombang Kelvin terlihat di Bali (Selat Lombok). Meskipun demikian karakter tersebut tidak terlihat di Tarakan, hal ini menandakan bahwa gelombang- gelombang tersebut mengalami pelemahan setelah melewati Selat Makassar.

Penelitian terakhir yang dilakukan oleh Purba dan Atmadipoera (2005) menemukan bahwa geostropik permukaan yang diperkirakan dari anomaly tinggi permukaan laut sangat berfluktuasi dan tidak menggambarkan aliran Arlindo yang mana menurut pengamatan umumnya ke selatan dan terfokus pada lapisan termoklin. Akan tetapi seperti halnya karakter Arlindo, arus permukaan ini

14

menguat ke selatan pada bulan Juni - Agustus dan aliran cenderung ke utara pada bulan Desember - Maret.

Transpor Arlindo

Transpor massa air dari Samudera Pasifik menuju Samudera India melalui perairan Indonesia memiliki ketergantungan yang kuat terhadap fase ENSO. Selama fase El-Nino transport Arlindo mengalami pelemahan, bahang dan massa air dengan salinitas yang rendah jauh lebih sedikit ditransfer ke Samudera India (Gordon 2001)

Beberapa studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa aliran transpor Arlindo bervariasi mulai dari 1,7 – 18,6 Sv (Gordon 1986 dan Godfrey 1996). (Aung 1998; Cresswell 1998) melakukan pengukuran secara langsung di Selat Makassar pada lapisan di bawah permukaan di bagian utara pada tahun 1993 dan di bagian selatan 1997 (Gordon et al. 1999) telah menghasilkan transpor ke arah selatan sebesar 11 Sv dan 9,3 Sv. Estimasi ini menghasilkan variasi yang cukup signifikan. Hal ini disebabkan karena distribusi data yang tidak memadai serta kurangnya pengukuran langsung serta besarnya variasi musiman sampai antar tahunan yang kemungkinan menimbulkan bias yang besar jika waktu survey tidak cukup lama.

Estimasi transpor terbaru agak berbeda dengan estimasi sebelumnya. Transpor tahun 1997 diestimasi oleh Susanto dan Gordon (2003) dengan menggunakan model dengan profil sederhana untuk memperkirakan transpor lapisan permukaan adalah 9,3 Sv. Mode normal berdasarkan pengujian Wajsowicz

et al. (2003) untuk tahun 1997 adalah 6,4 Sv dengan batas permukaan dan yang paling rendah 16,0 dan 4,7 Sv. Hal ini disebabkan karena pendekatan yang digunakan oleh keduanya berbeda. Susanto dan Gordon (2003) melakukanya dengan menggunakan tiga pendekatan profil (Profil A, B dan C) secara vertikal yang berbeda-beda untuk setiap musim.

Lebih lanjut Burnet et al. (2003) melalui analisis momentum dan keseimbangan energi menunjukkan bahwa transpor total Arus Lintas Indonesia tidak tergantung secara eksklusif terhadap perbedaan tekanan inter-ocean yaitu beda tekanan muka laut antara Pasifik dan India tetapi lebih oleh faktor-faktor lain termasuk angin lokal (muson), gesekan dasar dan resultante dari gaya-gaya

tekanan yang bekerja pada sisi internal seperti geometri perairan yang menimbulkan aksi pasang surut yang membawa pengaruh yang signifikan terhadap variabilitas dan karakteristik arah arus .

Gambar 4 Arah transpor Arlindo di Selat Makassar tiap lapisan kedalaman (1997 – 1998) (tanda + menunjukkan arah aliran ke utara sedangakan tanda – menunjukkan arah aliran ke selatan

(Sumber : Gordon and Susanto 2003)

Sebagaimana dikemukakan oleh Susanto dan Gordon (2003) bahwa terdapat aliran Arlindo ke utara di bawah lapisan 250 meter pada September 1997 – pertengahan Februari 1998 selama puncak El-Nino, sedangkan aliran ke utara pada lapisan 200 m diduga karena sinyal tibanya Gelombang Kelvin dari Samudera India. (Gambar 4).

Dinamika Lapisan Te rmoklin di Selat Makassar

Pengukuran Arlindo di Selat Makassar menunjukkan profil transpor yang kompleks yang merupakan implikasi dari fluks termohalin interocean dan budget massa air hangat di barat Pasifik tropis yang sangat kuat dan persisten terjadi di lapisan termoklin bukan di lapisan permukaan yang hangat (Gordon and Susanto, 1999; Gordon et al. 1999a)

Ffield et al. 2000 mengungkapkan bahwa melalui data XBT selama 15 tahun adanya korelasi yang besar antara ENSO dan lapisa termoklin terutama pada lapisan 100 m sebesar 0,77. Korelasi ini agak rendah untuk lapisan 150 m dan 400 m yaitu sebesar 0,59.

16

Pada saat El-Nino muka laut turun dan termoklin menaik di wilayah Flores – Makassar hingga bagian barat Laut Banda. Selama El-Nino 1987 isoterm 20° di Selat Makassar lebih dangkal 20 meter dibandingkan dengan rata-rata kedalaman lapisan termoklin pada kondisi normal. Meyers (1997) juga menemukan isotherm 20°C berada lebih dangkal selama El-Nino di wilayahkeluar Arlindo antara barat laut Australia dan Jawa.

Lebih lanjut transpor Arlindo di Selat Makassar berhubungan dengan lapisan termoklin dimana jika transpor melemah lapisan termoklin dangkal selama fase El- Nino (Bray et al. 1996; Meyers, 1996; Ffield et al. 2000). Ffield et al. (2000) juga menyebutkan bahwa korelasi antara lapisan termoklin dan laju transpor ke arah selatan di Selat Makassar dengan r = 0,67.

Respon Arlindo Terhadap ENSO

Studi Model dan Observasi menunjukkan bahwa transport Arlindo dipengaruhi oleh ENSO. Transpor lebih besar selama kondisi La-Nina dan melemah pada saat terjadi El-Nino (Kindle et al. 1989; Bray et al. 1996; Fieux et al. 1996; Gordon and Fine, 1996; Meyers, 1996; Potemra et al. 1997).

Selanjutnya Gordon and McClean (1999) menemukan rata-rata tahunan 12 Sv selama La-Nina dan rata-rata sebesar 4 Sv selama El-Nino. Observasi dengan menggunakan mooring di Selat Makassar menemukan korelasi yang kuat antara kuatnya laju transport dan ENSO 1997/1998 dengan nilai korelasi sebesar 0,73. Selama bulan-bulan El-Nino Desember 1997 – Februari 1998 rata-rata transport sebesar 5,1 Sv sementara selama bulan-bulan La-Nina Desember 1996 – Februari 1997 nilai rata-ratanya adalah 12,5 Sv.

Banyak perbedaan laju transpor Arlindo karena efek ENSO dimana pada fase ENSO laju transport mengalami pelemahan sebaliknya pada fase La-Nina transpor mengalami penguatan. Pada kondisi normal transpor mengalami penguatan pada musim timur yaitu pada bulan Juni – Agustus, sebaliknya transpor mengalami pelemahan pada musim barat yaitu pada bulan Desember – Februari. (Gordon et al. 1999a) selain itu juga transpor Arlindo dipengaruhi oleh event intraseasonal seperti Gelombang Kelvin dari Samudera India dan Gelombang Rossby dari Samudera Pasifik (Sprintall et al. 2000; Susanto et al. 2000).

Ffield et al. (2000) mengungkapkan transpor energi internal selama bulan- bulan La-Nina yaitu pada Desember 1996 sampai Februari 1997 terhitung sebesar 0,63 PW (1 PW = 1 x 1015 W) dan 0,39 PW selama bulan-bulan El-Nino Desember 1997 – Februari 1998.

Dari berbagai hasil penelitian di atas menunjukkan betapa besarnya pengaruh ENSO dan La-Nina baik terhadap transpor massa air maupun energi yang diangkut oleh Arlindo dari Pasifik menuju Samudera India melalui Perairan Indonesia.

Dokumen terkait