BAB II. LANDASAN TEORI
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentang Perbankan Syariah
Perbankan Syariah merupakan pengembangan sistem perbankan di Indonesia disamping sistem perbankan konvensional yang telah ada sebelumnya yaitu sistem perbankan yang menerapkan sistem bagi hasil dan jual beli, saling menguntungkan bagi masyarakat dan bank, menonjolkan aspek keadilan dalam bertransaksi, mengedepankan nilai kebersamaan dan persaudaraan, investasi beretika serta menghindari kegiatan spekulatif dalam bertransakasi. Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama Islam untuk bertransaksi yang didasarkan pada sistem bunga dan larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram.
Menurut Pasal 1 angka 1 dan angka 7 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang dimaksud dengan
Perbankan Syariah adalah “segala sesuatu yang menyangkut tentang
Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan
usaha serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya”,
sedangkan Bank Syariah adalah “Bank yang menjalankan kegiatan
usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas
Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Syariah“.
Bank syariah lahir dengan konsep dan filosofi yang berbeda jika
dibandingkan dengan bank konvensional. Bank konvensional
menerapkan bunga menjadi bagian integral dari seluruh kegiatan bisnisnya, sedangkan bank syariah melarang penerapan bunga dalam
commit to user
semua transaksi perbankan. Jumhur ulama menyatakan bahwa bunga bank hukumnya sama dengan riba, yakni haram. Adapun konsep yang
ditawarkan bank syariah adalah penggunaan sistem bagi hasil (profit-loss
sharing), yaitu pembagian keuntungan atau kerugian sesuai dengan
prosentase (nisbah bagi hasil) yang telah disepakati pada awal kontrak
bank dengan nasabah.2
Keberadaan lembaga keuangan dalam sistem ekonomi sangatlah penting, karena tanpa lembaga keuangan yang baik dan profesional akan mengganggu aktivitas bisnis dan ekonomi. Secara umum bank syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas keuangan yang
pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam.3
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah secara tegas mengakui eksistensi dari perbankan syariah, yaitu Bank Umum Syariah, Unit Usaha Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah. Prinsip syariah diartikan sebagai prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa dibidang syariah.
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menentukan bahwa setiap pihak yang akan melakukan kegiatan usaha bank syariah atau unit usaha syariah atau bank pembiayaan rakyat syariah wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah atau Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dari Bank Indonesia.
Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah serta Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dalam melakukan kegiatan-kegiatan
2 Bambang Rianto Rustam, Manajemen Risiko Perbankan Syariah di Indonesia,
SalembaEmpat, Jakarta, 2013, hlm.
3 Imamudin Yuliadi. Ekonomi Islam. Sebuah Pengantar. LPPI. Yogyakarta.2001, hlm.
commit to user
usahanya harus memperhatikan fatwa dari Dewan Syariah Nasional. Namun apabila ternyata kegiatan usaha yang akan dilakukan tersebut belum difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional, maka bank wajib meminta persetujuan Dewan Syariah Nasional. Bank umum yang telah diberikan izin oleh Bank Indonesia khusus untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, baik kantor pusat, kantor cabang atau kantor di bawah kantor cabang dari bank tersebut, dilarang melakukan kegiatan usaha perbankan secara konvensional.
Kegiatan usaha penghimpunan dana, penyaluran dana dan pelayanan jasa bank berdasarkan prinsip syariah, merupakan jasa perbankan yang wajib memenuhi prinsip syariah. Penjelasan atas PBI No.10/16/PBI/2008 tentang Perubahan Peraturan Bank Indonesia No.9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah, menyebutkan bahwa pemenuhan prinsip syariah dilaksanakan dengan memenuhi ketentuan pokok hukum Islam antara lain prinsip
keadilan, dan keseimbangan („adl wa tawazun), kemaslahatan (maslahan), dan universalisme (alamiyah) serta tidak mengandung
gharar, maysir, riba, zalim dan obyek haram.
Bank Syariah Mandiri dalam kegiatannya menganut 3 (tiga) prinsip
syariah yaitu:4
1) Prinsip Keadilan
Prinsip ini tercermin dari penerapan imbalan atas dasar bagi hasil dan pengambilan margin keuntungan yang disepakati bersama antara bank dan nasabah
2) Prinsip Kesederajatan
Bank syariah menempatkan nasabah penyimpan dana, nasabah pengguna dana, maupun bank pada kedudukan yang sama dan sederajat. Hal ini tercermin dalam hak, kewajiban, risiko dan
commit to user
keuntungan yang berimbang diantara nasabah penyimpan dana, nasabah pengguna dana maupun bank.
3) Prinsip Ketentraman
Produk-produk bank syariah telah sesuai dengan prinsip dan kaidah
mu‟amalah Islam (halal), antara lain tidak ada unsur riba dan
menerapkan zakat harta. Dengan demikian nasabah merasakan ketentraman lahir maupun batin.
b. Prinsip Kegiatan Usaha atau Operasional Bank Syariah
Berdasarkan prinsip kegiatan usaha atau operasional bank terdapat perbedaan-perbedaan yang substantif antara bank syariah dan bank
konvensional sebagai berikut:5
Tabel 2. Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional
Bank Syariah Bank Konvesional
1) Berdasarkan pada prinsip
investasi bagi hasil
2) Menggunakan prinsip jual-beli
3) Hubungan dengan nasabah dalam
bentuk hubungan kemitraan
4) Melakukan investasi-investasi
yang halal saja
5) Setiap produk dan jasa yang
diberikan sesuai dengan fatwa Dewan Syariah
6) Dilarangnya gharar dan maysir
7) Menciptakan keserasian di antara
keduanya
8) Tidak memberikan dana secara
tunai, tetapi memberikan barang
yang dibutuhkan (finance the
goods and services)
1) Berdasarkan tujuan
membungakan uang
2) Menggunakan prinsip
pinjam-meminjam uang
3) Hubungan dengan nasabah dalam
bentuk hubungan kreditur-debitur
4) Investasi yang halal atau yang
haram
5) Tidak mengenal dewan sejenis
seperti Dewan Syariah
6) Terkadang terlibat dalam
speculative FOREX dealing.
Berkontribusi dalam terjadinya kesenjangan antara sektor riil dengan sektor moneter
7) Memberikan peluang yang sangat
besar untuk sight streaming
(penyalahgunaan dana pinjaman)
8) Rentan terhadap negative spread
5 Rustam. op. cit., hlm. 5
commit to user
9) Bagi hasil menyeimbangkan sisi
liabilitas (harta diam) dan aset (harta bergerak)
Secara garis besar terdapat perbedaan mendasar mengenai kegiatan usaha atau operasional antara bank syariah dan bank konvensional antara lain menyangkut aspek akad dan legal, lembaga penyelesaian sengketa, struktur organisasi, bisnis dan usaha yang dibiayai serta lingkungan kerja dengan penjelasan sebagai berikut :
1) Akad dan Aspek Legalitas
Akad atau perjanjian dalam bank syariah memiliki
konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena akad yang dilakukan
berdasarkan hukum Islam. Seringkali nasabah berani melanggar kesepakatan/perjanjian yang telah dilakukan bila hukum itu hanya berdasarkan hukum positif belaka, tapi tidak demikian bila akad atau
perjanjian tersebut memiliki pertanggungjawaban hingga yaumil
qiyamah nanti.6
Setiap akad dalam perbankan syariah baik dalam hal barang, pelaku transaksi, maupun ketentuan lainnya, harus memenuhi
ketentuan akad, seperti hal-hal berikut:7
a) Rukun, seperti: Penjual, Pembeli, Barang, Harga, Akad/Ijab-Qabul.
b) Syarat, seperti:Barang dan jasa harus halal sehingga transaksi atas
barang dan jasa yang haram menjadi batal demi hokum, Harga
barang dan jasa harus jelas, Tempat penyerahan (delivery) harus
jelas karena akan berdampak pada biaya transportasi, Barang yang ditransaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilikan. Tidak boleh menjual sesuatu yang belum dimiliki atau dikuasai seperti yang
terjadi pada transaksi short sale dalam pasar modal.
6 Afzalur Rahman. 1990. Economic Doctrines of Islam. Islamic Publication.1990,
Lahore. hlm. 65, dikutip dari, Muhammad Syafi‟i Antonio. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik.
Gema Insani Press. Jakarta, 2001, hlm. 29 7 ibid., hlm. 30
commit to user
2) Lembaga Penyelesaian Sengketa
Berbeda dengan perbankan konvensional, jika pada perbankan syariah terdapat perbedaan atau perselisihan antara bank dan nasabahnya, kedua belah pihak dapat memilih menyelesaikannya di Peradilan Agama, Peradilan Umum atau menyelesaikan sengketa sesuai tata cara dan hukum Islam melalui musyawarah atau melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya,
Lembaga yang mengatur penyelesaian sengketa sesuai hukum atau materi berdasarkan prinsip syariah diluar Peradilan, pada saat dibentuk dikenal dengan nama Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI) yang didirikan secara bersama oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia dan saat ini telah berubah nama menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS).
3) Struktur Organisasi
Bank syariah memiliki struktur organisasi yang sama dengan bank konvensional dalam hal keberadaan organ Komisaris dan Direksi, tetapi unsur yang amat membedakan antara bank syariah dan bank konvensional adalah keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan prinsip syariah.
Dewan Pengawas Syariah (DPS) adalah suatu badan yang bertugas mengawasi pelaksanaaan keputusan Dewan Syariah Nasional (DSN) pada lembaga keuangan syariah, dengan posisi setingkat Dewan Komisaris. Pada bank syariah penetapan Dewan Pengawas Syariah dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham, setelah mendapat rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional.
commit to user
Dewan Pengawas Syariah memiliki fungsi antara lain :
(1) Melakukan pengawasan secara periodik pada Lembaga
Keuangan Syariah yang berada dibawah pengawasannya;
(2) Berkewajiban mengajukan usul-usul pengembangan Lembaga
Keuangan Syariah kepada pimpinan lembaga yang bersangkutan dan kepada Dewan Syariah Nasional;
(3) Melaporkan perkembangan produk dan operasional Lembaga
Keuangan Syariah yang diawasinya kepada Dewan Syariah Nasional sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun anggaran dan membuat pernyataan berkala bahwa bank yang diawasinya telah berjalan sesuai dengan ketentuan syariah;
(4) Merumuskan permasalahan-permasalahan yang memerlukan
pembahasan Dewan Syariah Nasional;
(5) Meneliti dan membuat rekomendasi produk baru dari bank yang
diawasinya.8
Dewan Syariah Nasional merupakan lembaga otonom Majelis Ulama Indonesia yang berhak mengeluarkan fatwa-fatwa terkait dengan ekonomi syariah, dipimpin oleh Ketua Majelis Ulama
Indonesia dan Sekretaris (ex-officio). Kegiatan sehari-hari Dewan
Syariah Nasional dijalankan oleh Badan Pelaksana Harian dengan seorang Ketua dan Sekretaris serta beberapa Anggota.
Fungsi utama Dewan Syariah Nasional adalah
menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian dan keuangan, mengeluarkan fatwa atas jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah serta mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan.
8 Dewi Nurul Musjtari, Penyelesaian Sengketa dalam Praktik Perbankan Syariah,
commit to user
4) Lingkungan Kerja dan Corporate Culture
Sebuah bank syariah selayaknya memiliki lingkungan kerja yang
sejalan dengan syariah. Dalam hal etika, misalnya sifat amanah dan
shiddiq mencerminkan integritas eksekutif muslim yang baik.
Karyawan bank syariah harus skillful dan profesional (fathanah) dan
mampu melakukan tugas secara team work sehingga informasi merata
di seluruh fungsional organisasi (tabligh). Demikian pula dalam hal
reward dan punishment, diperlukan prinsip keadilan yang sesuai
dengan syariah.9
Cara berpakaian dan tingkah laku dari para karyawan bank syariah merupakan cerminan bahwa mereka bekerja dalam sebuah lembaga keuangan yang membawa nama besar Islam, sehingga setiap jajaran sumber daya insani perbankan syariah harus senantiasa terjaga. Keberadaan sistem perbankan syariah telah membuktikan dapat
menghilangkan negative spread dalam dunia perbankan konvensional yang
menyebabkan banyak bank-bank konvensional mengalami masalah. Namun demikian, hingga saat ini masih terdapat beberapa hambatan yang muncul dalam praktik perbankan syariah yang sering disebutkan sebagai kelemahan dari sistem perbankan syariah.
Hal-hal yang dapat dianggap sebagai kelemahan perbankan syariah tersebut antara lain :
a). Kurangnya pengetahuan dan pemahaman mengenai produk dan jasa perbankan syariah.
b). Institusi pendukung bank syariah yang belum lengkap dan efektif. c). Efisiensi operasional perbankan syariah yang masih belum optimal. d). Porsi skim pembiayaan bagi hasil dalam transaksi bank syariah perlu
ditingkatkan.
9 Afzalur Rahman, Islamic Doctrine on Banking and Insurance Muslim Trust Company.
Muslim Trust Company. London, 1980, hlm. 145 dikutip dari Muhammad Syafi‟i Antonio. op.
commit to user
Pada dasarnya prinsip kegiatan usaha atau operasional bank syariah mencakup lima aspek yaitu:
a). Prinsip titipan atau simpanan dalam tradisi fiqh Islam dikenal dengan
prinsip Al Wadi‟ah.Al Wadi‟ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari
satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus
dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki.10
b).Prinsip bagi hasil dalam perbankan syariah dapat dilakukan dalam 4
(empat) akad utama, yaitu: al musyarakah, al mudharabah, al muzara‟ah
dan al musaqah.11
c).Prinsip jual beli, bentuk-bentuk akad jual beli yang sering dipergunakan dalam pembiayaan modal kerja dan investasi dalam perbankan syariah
adalah bai‟ al murabahah, bai‟ as salam dan bai‟ al istishna.
d).Prinsip sewa (al ijarah) adalah akad pemindahan hak guna atas barang
atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri. Bank Syariah yang
menawarkan produk al ijarah ini dapat melakukan leasing, baik dalam
bentuk operating lease maupun financial lease.
e).Prinsip Jasa. Termasuk dalam kelompok jasa ini terdapat beberapa
produk bank syariah, yaitu: al wakalah, al kafalah, al hawalah, ar-rahn
dan al qardh.
c. Produk Bank Syariah
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan
taraf hidup rakyat.12 Pengertian Bank menurut Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah adalah lembaga keuangan
yang berfungsi sebagai intermediasi keuangan (financial intermediary
10 Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya Dala m Tata Hukum
Perbankan Indonesia. PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2005, hlm. 56 11 Muhammad Syafi‟i Antonio, op.cit., hlm. 90-95
commit to user
institution), sehingga dalam sebuah bank terdapat minimal dua macam kegiatan yaitu menghimpun dana dari masyarakat yang kelebihan, untuk kemudian menyalurkannya kepada masyarakat yang membutuhkan dana.
Proses penghimpunan dana dari masyarakat yang dilakukan oleh
perbankan syariah pada prinsipnya hampir sama dengan perbankan konvensional, artinya dalam sistem perbankan syariah dikenal
produk-produk berupa giro (demand deposit), tabungan (saving deposit),
deposito (time deposit) sebagai sarana untuk menghimpun dana dari
masyarakat. Perbedaannya adalah bahwa dalam sistem perbankan syariah tidak dikenal adanya bunga sebagai kontraprestasi terhadap nasabah deposan, melainkan melalui mekanisme bagi hasil dan bonus yang
bergantung pada jenis produk apa yang dipilih oleh nasabah.13
Produk penghimpunan dana (funding) yang ada dalam sistem
perbankan syariah terdiri dari (1) Giro: Giro Wadiah dan Giro
Mudharabah; (2) Tabungan: Tabungan Wadiah dan Tabungan
Mudharabah; (3) Deposito: Deposito Mudharabah. Proses penyaluran dana kepada masyarakat dilakukan oleh perbankan syariah melalui
produk Murabahah, Mudharabah, Musyarakah, Bai‟Bitsaman Ajil,
Bai‟As-Salam, BaiÁl-Istisna, Ijarah, Hawalah, Rahn, Qardhul Hasan.
Berkenaan dengan pengertian prinsip syariah dalam kegiatan usaha dan produk bank syariah, maka bisnis dan usaha yang dilaksanakan tidak terlepas dari prinsip syariah. Karena itu, bank syariah melakukan kegiatan
usaha yang tidak mengandung unsur-unsur :14
a). Riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam transakasi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas,
kuantitas, dan waktu penyerahannya (fardhl), atau dalam transaksi
pinjam meminjam yang mempersyaratkan nasabah penerima fasilitas
13 Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia . Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta. 2007, hlm. 79
14 Rachmadi Usman, Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia , Sinar Grafika,
commit to user
mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena
berjalannya waktu (na‟siah).
b). Maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan.
c). Gharar, yaitu transaksi yang obyeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah;
d). Haram, yaitu transaksi yang obyeknya dilarang dalam syariah; atau e). Zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak
lainnya
2. Tinjauan tentang Pembiayaan