• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan teori

Dalam dokumen HUBUNGAN KERJA PATRON KLIEN JURU PARKIR (Halaman 42-53)

BAB I PENDAHULUAN

G. Tinjauan teori

Sosiologi merupakan suatu ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia sehingga sikap atau perilaku kegiatan yang dipelajari dalam kedudukannya di dalam masyarakat termasuk di dalamnya perubahan-perubahan sosial yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat tersebut (Soekamto, 1990: 17).

Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma perilaku sosial, dimana obyek studi berupa barang yang konkret dan realistis. Sesuai dengan pendapat B.F Skiner, barang yang kongkret dan realitas adalah perilaku manusia yang nampak serta kemungkinan perulangannya (Behavior of man and contingencies of reinforcenment). Tindakan perilaku sosial adalah tindakan yang berkenaan dengan suatu kemauan yang mengakibatkan adanya suatu ganjaran dan hukuman dari orang lain. Dengan pengertian semacam inilah maka tindakan yang mengakibatkan adanya ganjaran dan hukuman yang disebabkan oleh lingkungan bukan manusi tidak dianggap sebahai suatu perilaku sosial (Poloma,1994: 60).

Akhirnya permasalahan pokok menurut Homans adalah perilaku yang bersifat aktual, yakni interaksi antara manusia dan bukan norma-norma atau hukum-hukum yang diterapkan dalam kondisi mereka. Ia menyatakan bahwa perlakuan terhadap norma-norma yang ada bukanlah berarti bahwa ia mengabaikan keberadaan norma-norma dan hukum-hukum tersebut tidak dapat membuat eksplanasi. Olehkarenanya individu-individu

yang berinteraksi secara langsung dengan yang lain dan disebut dengan perilaku yang mendasar (Poloma, 1994: 60).

Paradigma perilaku sosial memusatkan perhatiannya kepada antar hubungan individu dan lingkungannya. Dimana lingkungan itu terdiri atas:

1. Bermacam-macam obyek sosial. 2. Bermacam-macam obyek non sosial.

Secara singkat pokok persoalan sosiologi menurut paradigma ini adalah tingkah laku individu yang berlangsung dalam hubungan dengan faktor lingkungan, yang menimbulkan perubahan terhadap tingkah laku. Jadi terdapat hubungan fungsional antara tingkah laku dengan perubahan yang terjadi dalam lingkungan aktor. Persoalan ini yang dicoba dijawab oleh teori-teori dalam perilaku sosial (Ritzer, 2002: 71).

Dalam penelitian ini berpijak pada teori pertukaran perilaku atau Theory Exchange dari George C. Homans. Seperti dikutip oleh Poloma dalam Penelitian Homans, dimana teori pertukaran perilaku ini dilandaskan pada prinsip ekonomi. Orang menyediakan barang atau jasa dan sebagainya. Sebagai imbalannya orang akan berharap memperoleh barang atau jasa yang diinginkan. Perilaku sosial yang dimaksud Hommans adalah perbuatan yang berkenaan dengan suatu kemauan yang mengakibatkan adanya reward dan punishment dari orang lain. Menurut Hommans syarat suatu perilaku sosial adalah jikalau orang yang beraksi memiliki arti terhadap orang lain dan penghargaan atau sanksi yang datangnya dari orang lain. Proposisi yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:

1. Makin tinggi ganjara (reward) yang diperoleh atau yang akan diperoleh, makin besar kemungkinan sesuatu tingkah laku akan diulang.

2. Demikian juga sebaliknya, makin tinggi biaya atau ancaman hukuman (punishment) yang akan diperoleh, makin kecil kemungkinan sesuatu tingkah laku yang serupa akan diulang. 3. Adanya hubungan berantai antara berbagai stimulus dan antara

berbagai tanggapan (Ritzer, 2008: 78-79).

Ahli teori pertukaran memiliki asumsi sederhana bahwa interaksi sosial itu mirip dengan transaksi ekonomi. Hubungan kerja tersebut didasarkan pada keinginan untuk meningkatkan taraf hidupnya melalui pengembangan usaha yaitu, memperoleh keuntungan berupa uang atau pendapatan lain. Homans menganggap bahwa orang yang bertindak atau terlibat di dalamnya untuk memperoleh ganjaran (memperbesar keuntungan) atau menghindari hukuman (memperkecil biaya). Prinsip tersebut merupakan prinsip dasar dalam transaksi ekonomi sederhana. Akan tetapi dalam pertukaran sosial tidak selalu dapat diukur dengan nilai uang, sebab dalam berbagai transaksi sosial diiperlukan hal yang nyata dan tidak nyata (Poloma, 1987: 52).

Dalam teori pertukaran, pola hubungan kerja tersebut tercermin dalam pola hubungan patron-klien. Seperti yang dikutip oleh Haddy Shri Ahimsa Putra dalam hubungan patron-klien yang diteliti oleh Scott (1972) adalah:

“Suatu kasus khusus hubungan antara dua orang yang sebagian besar melibatkan persahabatan instrumental, dimana seseorang yang lebih tinggi sosial ekonominya (patron) menggunakan pengaruh sumberdaya yang dimilikinya untuk memberiken perklindungan atau keuntungan atau kedua-duanya kepada orang yang lebih rendah kedudukannya (klien) yang gilirannya membalas pemberian tersebut dengan memberikan dukungan yang umum dan bantuan termasuk jasa pribadi kepada patron” (Putra, 1988: 2).

Teori ini berfungsi sebagai sebuah rumus untuk menyatukan individu-individu yang bukan dari satu kerabat/keluarga dan sebagai balok pembangun dari integrasi vertikal. Sifatnya yang didasarkan pada ketidaksamaan dan sifat fleksibilitas yang tersebar sebagai sebuah sistem pertukaran pribadi ( Scott, 1993: 8).

Hubungan ini tidak dapat diabaikan sebagai hanya sisa struktur yang lama tak terpakai tetapi harus dianalisis sebagai sebuah jenis ikatan sosial yang mungkin dominan dalam kondisi-kondisi tertentu dan bersifat marginal dalam kondisi lainnya. Sebagai pola pertukaran yang terbesar, jasa dan barang yang dipertukarkan oleh patron dan klien mencerminkan kebutuhan yang timbul dari sumberdaya masing-masing. Beberapa unsur pertukaran dapat dikualifikasikan sedangkan yang lain tidak, analisis terhadap neraca pertukaran harus mempertimbangkan keduanya.

Dijelaskan dalam penelitian Pelras (1940), yang dikutip oleh Ngadisah. Pengertian hubungan patron klien sebagai hubungan tidak setara yang terjalin secara perorangan antara seorang pemuka masyarakat dengan sejumlah para pengikutnya. Hubungan itu berdasarkan pertukaran jasa, dimana ketergantungan klien pada patron diimbali dengan perlindungan

patron terhadap kliennya. Pola hubungan semacam itu terdapat pada banyak masyarakat, baik pada zaman dahulu maupun zaman sekarang (Pelras dalam Ngadisah, 1987: 9-10).

Sebagai mekanisme sosial, ikatan patron-klien bukan bersifat modern ataupun tradisional secara keseluruhan, akan tetapi lebih bersifat partikularistik, dan modern yang universal; hubungan patrikularistik bersifat tersebar dan informal, sedangkan ikatan modern bersifat spesifik dan kontraktual, walaupun tidak ada perhitungan jasa yang dapat menyatakan dengan jelas perbedaan ini. (Scott, 1993: 8)

Sebagai pola pertukaran yang terbesar, jasa dan barang yang dipertukarkan oleh paton dan klien mencerminkan kebutuhan yang timbul dari sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing pihak.

Adapun arus patron ke klien yang dideteksi oleh Scott adalah:

Arus Patron ke Klien

1. Penghidupan Subsistensi Dasar

Pada banyak daerah, jasa utama seorang paron terhadap klienya dapat berupa pemberian pekerjaan tetap, atau bisa juga mencakup pemberian lahan pekerjaan, peralatan, jasa pemasaran, nasihat teknis, dan seterusnya.

2. Jaminan Krisis Subsistensi

Pada umumnya paron diharapkan memberikan jaminan “dasar” substensi bagi klennya dengan menyerap kerugian-kerugian dalam

pendapatan yang akan merusak kehidupan klien jika tidak dilakukan oleh patron.

3. Perlindungan

Perlindungan bisa berarti melindungi kliennya dari bahaya pribadi (bandit,musuh pribadi) maupun dari bahaya umum (tentara, pejabat luar, pengadilan, pemungut pajak).

4. Makelar dan Pengaruh

Jika patron melindungi kliennya perusakan yang berasal dari luar, ia juga menggunakan kekuatan dan pengaruhnya untuk menarik hadiah dari luar bagi kepentingan kliennya. Perlindungan merupakan peran defensifnya dalam menghadapi dunia luar, sedangkan kemakelaran adalah peran agresifnya.

5. Jasa Patron Kolektif

Secara internal, patron sebagai kelompok dapat melakukan fungsi ekonomi secara kolektif. Dalam berurusan dengan pihak luar, para patron dapat melakukan sesuatu yang dilakukan oleh seorang patron tertentu untuk seorang kliennya. Artinya, mereka bisa saja melindungi masyarakat dari kekuatan luar, dan mereka bisa memajukan kepentingan masyarakat dengan melakukan pekerjaan dan jasa publik.

Arus Klien ke Patron

Arus barang dan jasa dari klien ke patron amat sukar untuk digolongkan karena, sebagai “orang” patronnya, seorang klien umumnya

menyediakan jasa dan keahliannya untuk kepentingan patron, apa pun bentuknya, diantaranya:

1. Jasa Pekerjaan Dasar 2. Jasa Tambahan 3. Jasa Domestik

4. Anggota setia dari fraksi lokal patron.

Unsur kapital mencakup jasa pekerjaan dasar , jasa tambahan bagi rumah tangga patro, jasa domestik pribadi, pemberian makanan secara periodik, dan biasanya berfungsi sebagai anggota setia dari fraksi lokal sang patron (Scott, 1993: 9-10).

Sedangkan tujuan dasar dari terjadinya sebuah hubungan patron klien dalam suatu kondisi yang stabil, hubungan kekuatan antara patron dan klien menjadi suatu norma yang mempunyai kekuatan moral tersendiri dimana didalamnya berisi hak-hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak. Dalam konteks hubungan antar kelompok atau suku bangsa, hubungan patron klien ini lambat laun menjadi hubungan yang sifatnya struktural dan dominatif. Dan diterima sebagai suatu kebenaran yang diwariskan secara turun-temurun. Namun hubungan patron klien ini juga mempunyai akhir atau bisa diakhiri. Ada ambang batas yang menyebabkan seorang klien berpikir bahwa hubungan patron klien ini telah berubah menjadi hubungan yang tidak adil dan eksploitatif yaitu ambang batas yang berdimensi kultural dan dimensi obyektif.

Menurut Scott (1993), agar bentuk hunbungan kerja patron klien dapat berjalan mulus diperlukan adanya unsur-unsur sebagai berikut: 1. Apa yang diberikan satu pihak adalah sesuatu yang berharga dipihak

lain.

2. Terjadi hubungan timbal balik.

3. Didukung oleh norma-norma dalam masyarakat yang memungkinkan pihak yang lebih rendah kedudukannya (klien) melalukan penawaran.

Hubungan patron klien memiliki ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan hubungan sosial lain. Seperti yang dikutip Heddy Shri Ahimsa Putra, dalam penelitian yang dilakukan oleh Scott (1972) mengemukakan ciri-ciri tersebut sebagai berikut:

1. Terdapat ketimpang pertukaran, karena patron berada pada posisi yang lebih kuat, lebih tinggi atau lebih kaya dari kliennya.

2. Sifat tatap muka dalam relasi patron klien menunjukkan bahwa sifat pribadi terdapat di dalamnya.

3. Hubungan patron klien bersifat luwes dan meluas (Putra,1988: 3). Berdasarkan teori tersebut dapat dijelaskan bahwa pola hubungan patron-klien yang terjadi antara kotraktor pemenang tender parkir, dengan juru parkir menempatkan posisi kontraktor pemenang tender parkir sebagai patron, dan juru parkir sebagai klien. Dalam hubungan tersebut terjadi hubungan timbal balik antar keduanya dan apa yang diberikan oleh salah satu pihak akan terlihat berharga bagi pihak yang lain. Dalam hal ini, akan terjadi pertukaran yang saling menguntungkan antara keduanya. Dimana

kontraktor pemegang tender sebagai pemberi lapangan kerja perindungan kepada para juru parkir , sedangkan juru parkir bertugas mengerjakan kegiatan penyedia jasa parkir yang ada di lapangan di bawah koordinasi kontraktor. Sehingga dari adanya hubungan pertukaran antara patron-kliean akan mengarah pada aktivitas hubungan kerja dan hubungan sosial yang saling menguntungkan.

Sistem Upah

Sistem upah menurut Moh. As’ad (1991: 71), mengutip pendapat Mier, “sistem upah dibagi menjadi empat, yaitu sistem upah menurut produks, sistem upah menurut lamanya bekerja, sistem upah menurut senioritas, sistem upah menurut kebutuhan”. Dari pendapat itu kemudian dijabarkan seperti di bawah ini:

1. Sistem Upah menurut Produksi

Sistem upah ini membedakan karyawan berdasarkan atas kemampuan masing-masing sehingga bisa mendorong karyawan untuk bekerja dan memperbaiki diri untuk berproduksi lebih banyak. Sistem upah ini akan menguntungkan bagi karyawan yang cerdas, berbakat dan energies tetapi kurang menguntungkan bagi karyawan yang lanjut usia dan kurang mampu daya pikirnya.

2. Sistem Upah menurut Lamanya Bekerja

Sistem ini tidak membedakan kemampuan individual manusia, umur dan pengalaman, contohnya upah jam-jaman, upah mingguan, upah bulanan. Dalam sistem ini semua orang dapat menghasilkan waktu yang

sama sehingga yang mempuanyai kemampuan merasa enggan untuk berproduksi melebihi keadaan rata-rata, karena itu sistem ini menguntungkan bagi karyawan yang lanjut usia, kurang berpengalaman dan kurang mampu.

3. Sistem Upah menurut Senioritas

Sistem upah ini sangat bagi karyawan yang lanjut usia dan bagi karyawan yang lebih muda didorong untuk tetap bekerja pada perusahaan dengan harapan jika lebih tua akan lebih mendapatkan perhatian. Sistem ini mendorong orang untuk lebih setia dan loyalitas terhadapa perusahaan, namun kurang bisa memotivasi karyawan dan perusahaan akan diisi oleh orang-orang yang cukup usia.

4. Sistem Upah menurut Kebutuhan

Sistem ini memberikan upah lebih kepada mereka yang sudah berkeluarga, sehingga mereka merasa aman dikarenakan nasib seseorang menjadi tanggung jawab perusahaan. Perasaan aman disebabkan karena adanya sumbangan pengobatan, ongkos ganti perawatan, sandang, pangan, dan perumahan. Kelemahan sistem ini adalah tidak mendorong inisiatif kerja sehingga sama halnya dengan sistem upah menurut lumayan bekerja dan senioritas.

Keempat sistem upah ini tidak mungkin dapat dipergunakan secara tersendiri. Agar lebih tepat, maka harus ada koordinasi yang sempurna antar keempat sistem tersebut. Pada umumnya akan lebih baik apabila sistem tersebut dipergunakan secara bersama-sama atau lebih dari satu sistem.

Dalam penetapan besarnya tingkat upah dan penerapan sistem pengupahan yang tepat, diharapkan dapat meningkatkan semengat dan gairah kerja para klien. Begitu pula yang terjadi dalam hubungan kerja patron klien. Pada dasarnya sisitem upah dalam hubungan kerja patron dapat berupa uang, barang, atau perlindunga yang dapat menunjang sistem kerja. Hal ini dapat dimengerti karena manusia akan melakukan kerja sekeras apapun agar dapat memenuhi kebutuhannya.

Dalam dokumen HUBUNGAN KERJA PATRON KLIEN JURU PARKIR (Halaman 42-53)

Dokumen terkait