• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Teori

1. Jaminan Pemerliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM)

Secara operasional JPKM adalah pelayanan kesehatan paripurna dan berjenjang dengan pelayanan dengan pelayanan tingkat pertama yang bermutu sebagai ujung tombak dan ditopang dengan pembiayaan dimuka oleh para konsumennya melalui suatu badan pengelola dana yang kemudian menerapkan pembayaran pra upaya kepada para pemberi pelayanan kesehatan

Pengertian JPKM menurut UU Nomor 23 tahun 1992 adalah sebagai berikut “ Suatu cara penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan yang paripurna berdasarkan azas bersama dan kekeluargaan yang berkesinambungan dan dengan mutu yang terjamin serta dilakukan secara pra upaya”.

Dalam JPKM pelayanan kesehatan diberikan secara berjenjang (dilaksanakan sistim rujukan) melalui jaringan pemberi pelayanan kesehatan. Hal ini bertujuan agar peserta mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai kebutuhannya dan dinialai lebih ”cost efektive”. Paket kesehatan paripurna dalam dalam JPKM seperti dinyatakan dalam serangkaian permenkes dan kepmenkes mencakup pelayanan berjenjang dari tingkat primer (rawat jalan oleh dokter umum /dokter keluarga, dokter gigi bidan praktek, klinik dan puskesmas) tingkat sekunder (rawat jalan

spesialistik), tingkat tertier (rawat inap Spesialistiuk di rumah sakit ), dan meliputi upaya promotif (penyuluhan kesehatan, perbaikan gizi), preventif (imunisasi kesehatan lingkungan, kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana), kurtif (pengobatan dan penyembuhan penyakit), semua gawat darurat dan pelayanan penunjang diagnostik seperti laboratorium radiologi dan lain sebagainya.

Dalam JPKM dikenal 4 pelaku JPKM yang terdiri dari ; 1. Badan Pembina (Bapim) JPKM

2. Badan Penyelengara ( Bapel ) JPKM 3. Pemberi pelayanan kesehatan ( PPK) 4. Peserta JPKM.

Badan pembina JPKM adalah Lembaga pemerintah yang mempunyai tugas dan fungsi melakukan pembinaan, pengembangan dan pendorong JPKM.

Badan Penyenggara JPKM adalah Badan hukum sebagai penyelenggara JPKM yang memliki izin oprasional JPKM.

Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) adalah sarana pelayanan kesehatan baik individual maupun instiutusional yang memberikan pelayanan kesehatan kepada peserta JPKM.

Peserta adalah setiap orang dalam kesatuan keluarga atau kelompok orang, yang terdaftar pada badan penyelenggara JPKM.

* ) TUJUH JURUS DALAM JPKM

JPKM sedikitnya punya tujuh jurus yang dapat menjamin pemeliharaan kesehatan paripurna dangan mutu yang terjamin dan biaya yang terkendali, sekaligus dapat menjamin kebuthan pemeliharaan kesehatan .ke-7 jurus tersebut adalah:

1. Pembayaran dilaksanakan pra bayar dari peserta kepada bapel JPKM dan pembayaran pra upaya (prospective payment ) dari bapel kepada PPK

2. Adanya mekanisme bagi hasil (risk profit sharing ) bapel JPKM dan PPK

3. Adanya ikatan kerja sama dalam perjanjian tertulis / kontrak 4. Adanya penanganan keluhan

5. Adanya pengendalian mutu .

6. Adanya pemantauan pemanfaatan pelayanan kesehatan .

7. Adanya mekanisme pemeliuharaan kesehatan paripurna (Promtifo, preventif, kuratif dan rehabilitatif) yang berbentuk suatu paket pemeliharaan kesehatan dasar.dan bersifat wajib.(Dep Kes RI,2001) Dari ketujuhn jurus tersebut, terlihat adanya jaminan kendali biaya (1,2), kendali mutu (3,4,5,6), dan pemerataan serta kendali pemeliharaan kesehatan (7). Ketujuh jurus JPKM dan hubungan antar pelaku JPKM dapat dilihat Gambar 2.1.

.

Iuran Premi Ikatan kontrak Praupaya/kapitasi siklus jaga mutu, pemantauan utilisasi

Penaganan keluhan Yan kes paripurna

Gambar 2.1 Hubungan 4 Pelaku dalam penyelenggaraan JPKM

Kepesertaan JPKM di bagi menjadi tiga strata yaitu:

Strata I : Adalah peserta keluarga miskin, preminya dibayar oleh Pemerintah Daerah.

Strata II : Adalah peserta keluarga hampir miskin dengan membayar premi Rp. 50.000,- (50 %). Sisanya dibayar oleh pemerintah daerah (50 %).

Strata III : Adalah peserta keluarga mampu dengan membayar premi Rp.

100.000,-Paket pelayanan kesehatan JPKM di Kabupaten Purbalingga meliputi paket dasar yaitu :

1). Pelayanan Puskesmas

 Rawat Jalan Puskesmas dan Puskesmas Pembantu : PESERTA JPKM

BAPIM

P P K BAPEL JPKM

- Peserta JPKM yang mendapat pelayanan kesehatan (berobat) harus membawa kartu peserta JPKM dan menunjukkan kartu tersebut di loket pendaftaran.

- Untuk kasus penyakit yang tidak dapat ditangani di Puskesmas dapat dirujuk ke RSUD Purbalingga dengan menyertakan surat rujukan puskesmas.

- Pelayanan Polindes hanya untuk pemeriksaan kehamilan dan persalinan normal ditangani oleh bidan, untuk kasus yang patologis dirujuk ke RSUD Purbalingga dengan menyertakan surat rujukan.

 Rawat Inap di Puskesmas :

- Peserta yang dirawat inap di Puskesmas hanya untuk kasus yang tidak terlalu berat dengan lama perawatan maksimal 3 hari dan jaminan yang diberikan peserta JPKM Rp. 150.000.

- Peserta rawat inap menyerahkan kopi JPKM sebanyak 2 lembar.

 Fasilitas Peserta JPKM di Puskesmas :

- Pemeriksaan kesehatan oleh tenaga kesehatan - Pemeriksaan penunjang diagnostik sementara - Pemberian obat

- Tindakan medis kecil dan ringan tidak termasuk khitan - Pemeriksaan kesehatan gigi

- Pemberian rujukan ke RSUD Purbalingga

- Pelayanan KB, alat kontrasepsi ditanggung peserta

 Fasilitas Peserta JPKM di Polindes - Pemeriksaan kehamilan

- Persalinan normal tanpa penyulit

- Pemberian rujukan kasus kebidanan ke RSUD Purbalingga

2) Pelayanan RSUD Purbalingga.

 Pelayanan rawat jalan dokter spesialis

 Pemeriksaan diagnostic medis (Lab klinik, radiolodi / usg, Ekg)  Pelayanan Rawat inap

 Pelayanan Gawat darurat.

2. Pelayanan Antenatal

Pelayanan antenatal adalah usaha untuk melakukan pemeriksaan kehamilan guna untuk mengetahui keadaan ibu janin secara berkala yang diikuti upaya koreksi terhadap penyimpangan yang ditemukan. Ibu hamil mendapat pelayanan lengkap (K1,K2,K3,K4) adalah pelayanan atau pemeliharaan kesehatan ibu hamil paling sedikt empat kali oleh tenaga kesehatan (dokter spesialis kandungan, dokter umum, bidan, perawat yang telah dilatih pelayanan antenatal) selama kehamilannya.sesuai standar yang ditentukan. Standar pelayanan antenatal adalah (Depkes RI, 10 -30) :

a. Anamnesis meliputi : 1) Keluhan utama 2) Identifikasi ibu

3) Hal hal yang berkaitan dengan fungsi reproduksi (umur, paritas, hari pertama haid terahir, siklus haid, jenis kontrasepsi yang digunakan.

4) Hal-hal yang berkaitan dengan kehamilan sekarang (gerakan janin, keluhan yang berkaitan dengan kehamilan.

b. Pemeriksaan meliputi :

1) Pemeriksaan fisik (berat badan, ukuran lingkar lengan atas, tinggi badan, tekanan darah, tes haemoglobin (Hb), frekwensi pernafasan, suhu badan dan cacat tubuh).

2) Pemeriksaan obstetrik (pemeriksaan luar, pemeriksaan, panggul dalam, dan pemeriksaan diagnostik).

3) Penentuan diagnostik.

4) Pemeriksaan kehamilan ulangan (satu kali dalam sebulan sampai umur kehamilan tujuh bulan, dua kali dalam sebulan sampai umur kerhamilan delapan bulan, dan seminggu sekali sampai umur kehamilan cukup bulan).

c. Intervesi, meliputi :

1) Intervensi dasar meliputi pemberian imunisasi TT, pemberian tablet penambah darah, pemberian tablet multivitamin yang

mengandung mineral, penyuluhan, komunikasi, dan pemberian motivasi pada ibu hamil.

2) Intervensi khusus meliputi ; pemeriksaan kehamilan yang lebih sering, penjelasan khusus pada ibu hamil mengenai faktor resiko yang dimiliki, dan rujukan ketingkat pelayanan yang lengkap. Perawatan kehamilan yang baik harus diikuti dengan pertolongan persalinan yang baik pula. Oleh karena itu penyedian tenaga penolong persalinan yang berkualitas sangat dibutuhkan. Penempatan bidan di desa merupakan salah satu pilihan dalam penyedian tenaga penolong persalinan dan perawatan kehamilan serta sebagai upaya mendekatkan tempat pelayanan persalinan (Djaswadi dkk, 2000)

Cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan (profesional) secara nasional pada tahun 1996, adalah 58,02% dengan kisaran antara 24,55 % di provinsi Irian Jaya dan 89,50% di provinsi Bali. Menurut statistik kesejahtraan rakyat 1996, persalinan oleh tenaga kesehatan di daerah pedesaan 35,91 %, daerah perkotaan 78,82 % sedang untuk pedesaan dan perkotaan adalah 50,01 % (DepKes RI, 1997).

Data dari Ikatan Bidan Indonesia pada tahun 1994 menunjukan bahwa 60 % lebih persalinan di pedesaan ditolong oleh dukun bayi. Data tersebut menurun pada tahun1997 menjadi 44 %, sedangkan yang ditolong oleh tenaga kesehatan menunjukan peningkatan dari 43,2 % tahun 1997 menjadi 59,06 % pada tahun 1998 (Depkes RI, 1998). Keadaan tersebut

menunjukan bahwa banyak persalinan khususnya di pedesaan masih di tangani tenaga tidak terdidik, seperti dukun bayi (Djaswadi dkk, 2000).

Agar ibu hamil mendapatkan perawatan antenatal, maka peran serta keluarga dan seluruh masyarakat sangat diperlukan. Anggota keluarga dan masyarakat harus di beri informasi tentang berbagai prosedur dalam perawatan kelahiran, sehingga tiap wanita dapat memilih jenis perawatan yang dikehendakinya. Ibu hamil dan keluarganya perlu dianjurkan agar melakukan perawatan sendiri dalam masa perinatal dan memahami kapan dan pertolongan apa yang dibutuhkan untuk memperbaiki keadaan kehamilan, kelahiran dan sesudahnya sehingga hal-hal yang membahayakan kesehatan bayi dan ibu dapat dicegah (DepKes RI, 1999).

Upaya penurunan angka kematian ibu dan bayi telah dilakukan dengan berbagai program misalnya penempatan bidan desa upaya perbaikan pelayanan rujukan, peningkatan peran swasta untuk pertolongan ibu hamil / melahirkan, dan kebijakan pemerintah berikut (DepKes RI, 1993).

a. Menemukan kehamilan risiko tinggi sedini mungkin.

b. Melakukan upaya pencegahan tetanus pada neonatorun (tetanus neonatorun) berupa pembinaan imunisasi TT sebanyak dua kali.

c. Melakukan pemeriksaan kehamilan empat kali, pada ibu hamil dengan resiko tinggi dilakukan pemeriksaan sesering mungkin.

d. Pemberian tablet tembah darah pada setiap ibu hamil selama kehamilan sebanyak 90 tablet feroos sulfat.

e. Pemeriksaan laboratorium apabila ada indikasi.

f. Setiap ibu hamil diberi Buku Kesehatan Ibu dan Anak untuk memantau hasil pemeriksaan kehamilan sampai imunisasi bayi.

g. Menyediakan sarana pelayanan antenatal yang sesuai dengan standar. h. Memberikan penyuluhan kepada ibu hamil mengenai :

1. Cara hidup sehat

2. Pentingnya pemeriksaan kehamilan

3. Pengenalan tanda-tanda kehamilan dan resiko tinggi 4. Gizi ibu selama hamil

5. Perawatan payudara dan cara menyusui bayi 6. Perawatan bayi termasuk tali pusat

Salah satu bentuk peran serta masyarakat dan pihak swasta adalah melalui program Gerakan Sayang Ibu (GSI) yang dimaksudkan untuk mengurangi resiko yang membahayakan pada ibu hamil.

3. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pelayanan antenatal

Agar yang menyebabkan angka kematian ibu hamil dapat di deteksi secara dini maka perlu diketahui factor-factor penyebab sebagai berikut (DepKes 1994, 3-5).

a. Faktor Medik .

1). Usia ibu pada waktu hamil terlalu muda (kurang dari 20 tahun) atau lebih tua (lebih dari 35 tahun).

2). Jumlah anak terlalu banyak (lebih dari 4 orang ) 3). Jarak antar kehamilan kurang dari 2 tahun.

4). Komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas. Seperti infeksi keracunan, perdarahan pervaginam, trauma persalinan, komplikasi akibat partus lama.

5). Rendahnya drajat kesehatan ibu selama hamil,seperti kekurangan gizi, anemia bekerja (fisik) terlalu berat.

b. Faktor non Medik.

!). Kurangnya kesadaran ibu untuk mendapatkan pelayanan antenatal. 2). Terbatasnya pengetahuan ibu tentang bahaya kehamilan resiko tinggi.

3) Ketidak berdayaan sebagian besar ibu hamil di pedesaan dalam mengambil keputusan untuk dirujuk.

Ketidak mampuan sebagian ibu hamil untuk membayar biaya transport dan perawatan rumah sakit.

c. Faktor Pelayanan Kesehatan

1). Belum mantapnya jangkauan pelayanan KIA dan penanganan kelompok beresiko.

2). Masih rendahnya (± 30%) cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan.

3). Masih seringnya (70-80%) pertolongan persalinan yang dilakukan di rumah sakit oleh dukun bayi yang tidak mengetahui tanda-tanda bahaya.

4). Aspek manajeman yang belum menunjang, seperti: belum mantapnya mekanisme rujukan dari puskesmas ke RS kabupaten

atau sebaliknya, belum semua kabupaten memberikan prioritas yang memadai untuk program KIA, dan kurangnya komunikasi dan koordinasi antara DinKes Kabupaten, Rumah Sakit Kabupaten, Puskesmas dalam upaya kesehatan ibu dan perinatal.

Pengalaman bidan di desa yang baru di tempatkan, terbatasnya ketrampilan dokter puskesmas dalam menangani kegawat daruratan kebidanan dan perinatal.

Mengingat banyaknya faktor yang berhubungan dengan kematian bayi dan perinatal, maka dalam penelitian ini diambil beberapa faktor dominan yang berhubungan dengan ANC sebagai berikut.

a. Pendidikan ibu hamil

Pendidikan merupakan salah satu faktor struktur sosial dalam komponen predisposing factor (faktor mendasar), untuk ibu-ibu hamil berkunjung pada pelayanan antenatal.

Perbedaan tingkat pendidikan menyebabkan perbedaan pengetahuan kesehatan. Semakin tinggi pendidikan, semakin mudah mereka menerima serta mengembangkan pengetahuan dan teknologi, sehingga akan meningkatkan produktivitas yang akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan keluarga (Sudarti, 1988). Rendahnya pendidikan akan mempersulit upaya peningkatan ketrampilan serta pengetahuan untuk menghayati kelahiran yang sehat. Jadi dengan

pendidikan yang tinggi kesadaran untuk melakukan kunjungan ke pelayanan antenatal juga tinggi.

Hal tersebut senada dengan survey yang dilakukan Nepal Demographic and Health Surrvey (NDHS) pada tahun 2001 bahwa di India ANC berkorelasi positif dengan tingkat pendidikan sebanyk 95 % melakukan kunjungan ANC, sedangkan pada perempuan yang tidak sekolah hanya 39% yang melakukan ANC (Departement of Health Services Nepal,2002).

Tingkat pendidikan ibu juga berpengaruh pada pemilihan penolong persalinan dan perawatan selama kehamilan. Pada penelitian yang diadakan di Lima - Peru pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh status ekonomi, sebanyak 82% wanita berpendidikan memilih pelayanan tenaga kesehatan (NAKES) dan wanita tidak berpendidikan yang memilih tenaga NAKES hanya 62%,World Bank 1993: 42).

b. Pendapatan

Berdasarkan laporan UNICEF akhir Juli 1999 (Setiawan, 2000) hampir 24% dari seluruh penduduk Indonesia atau hampir 50 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan, 60% dari ibu hamil dan anak sekolah kekurangan zat besi / anemia, hal ini menunjukan pendapatan penduduk masih sangat rendah. Kondisi ini berpengaruh pada ibu hamil untuk pergi ke tempat pelayanan antenatal sesuai yang diharapkan karena keterbatasan dana.

Hal tersebut menunjukan bahwa keterjangkauan biaya merupakan faktor yang diperhitungkan dalam mengambil keputusan memilih pemeriksaan kehamilan dan persalinan di pelayanan kesehatan (RS, Puskesmas, Poliklinik, Polindes) dengan tenaga penolong persalinan oleh NAKES (dokter/bidan). Selain itu hamil dari keluarga kurang mampu biasanya desertai keterbatasan untuk perlakuan dan perawatan kehamilan yang dibutuhkan (DepKes RI, 1999).

c. Biaya pelayanan antenatal

Pembiayaan kesehatan di Indonesia berasal dari sumber keuangan yang berbeda, yang secara garis besar dapat dikelompokan menjadi 2 sumber yaitu Pemerintah dan masyarakat termasuk swasta.

Secara umum pada tahun 1999 alokasi anggaran untuk negara-negara anggota SEAMIC (South East Asian Medical Information Center), yang terdiri dari Brunei, Indonesia, Jepang, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam masih rendah, kecuali Jepang. Ini dapat ditunjukan dari rendahnya presentase anggaran kesehatan yang dialokasikan terhadap anggaran nasional masing-masing negara, maupun anggaran perkapita masing-masing-masing-masing negara di mana Indonesia menduduki peringkat keenam untuk alokasi anggaran terhadap total anggaran nasional yaitu sebesar 2,5% sedangkan Jepang (19,9%) (DepKes RI 2001).

Hal tersebut akan berdampak pada rendahnya subsidi kesehatan untuk masyarakat, sehingga menimbulkan beban yang harus ditanggung masyarakat untuk pembiayaan semakin tinggi. Kondisi ini akan berdampak pada rendahnya akses pelayanan kesehatan oleh masyarakat. Semakin besar biaya yang harus dikeluarkan semakin segan masyarakat untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan tersebut. Hal tersebut juga berlaku untuk perawatan kesehatan ibu dan anak, khususnya pelayanan antenatal.

Menurut teori mikroekonomi tentang demand (permintaan) pelayanan kesehatan menyebutkan bahwa jika pelayanan kesehatan merupakan normal good, meningkatnya pendapatan keluarga akan menurunkan demand terhadap jenis pelayanan kesehatan tersebut (Follan, dkk , 2001 2:25; Feldstein, 1979, 5: 81).

d. Usia ibu hamil

Menurut Jaswadi dkk (2000) usia ibu hamil terlalu muda (kurang dari 20 tahun) dan diatas 35 tahun merupakan faktor penyulit dalam kehamilan, sebab ibu hamil terlalu muda keadaan tubuhnya belum siap menghadapi kehamilan, sedangkan usia diatas 35 tahun apabila mengalami komplikasi maka resiko kesulitan lebih besar.

Pernikahan pada usia remaja serta kehamilan pada usia muda sangat merugikan wanita secara fisik dan mental. Sehingga kunjungan antenatal juga harus lebih sering. Untuk perlakuan dan perawatan kehamilan yang dibutuhkannya.

e. Paritas

Ibu hamil anak pertama biasanya mereka rajin memeriksakan kehamilannya dan merawatnya dengan baik sesuai anjuran petugas kesehatan. Menurut Djaswadi dkk (2000) selain faktor usia, ibu hamil pertama kali dan ibu yang telah hamil lebih dari tiga kali mempunyai resiko kematian yang lebih tinggi bila mengalami komplikasi obstetri, dan bersalin. Dengan demikian sangat mempengaruhi kunjungan ke pelayanan antenatal.

f. Tenaga pemberi pelayanan antenatal

Upaya kesehatan dapat berdaya guna dan berhasil guna bila pemenuhan sumber daya tenaga, pembiayaan dan sarana kesehatan dapat memadai dan seimbang dengan kebutuhan. Sember daya tenaga kesehatan dapat diukur dengan beberapa indikator kecukupan antara lain rasio dokter 100.000 penduduk, rasio perawat per 100.000 penduduk dan rasio bidan per 100 penduduk.

Tenaga kesehatan yang tercatat dengan baik sampai saat ini sebanyak 177.341 orang (171.738 pegawai daerah dan 5.603 pegawai pusat). Dari data tersebut maka kisaran rasio dokter (umum dan spesialis) antara 3,65 – 39,51. sedangkan rasio perawat (DIII dan SPK) antara 18,31 – 181,57 dan rasio bidan antara 1,61 dan 27,57 / 1000 penduduk. Untuk Jawa rasio dokter menduduki urutan ke 21 (7,59) rasio perawat menduduki urutan ke 22 (31,80) dan rasio bidan

terhadap 1000 penduduk menduduki urutan ke 20 (5,24) (DepKes RI, 2001: 100-101).

Rasio tenaga kesehatan tersebut akan mempengaruhi minat masyarakat terhadap akses pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan, dimana pada daerah dengan tenaga kesehatan minim, khususnya bidan dan dokter akan menimbulkan keengganan ibu hamil untuk memeriksakan kehamilannya.

Dokumen terkait