• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Fiqh Terhadap Pertimbangan Hakim tentang Penetapan Nafkah Hadanah dalam Putusan VerstekHadanah dalam Putusan Verstek

TINJAUAN FIQH TERHADAP PENETAPAN NAFKAH HADANAH

B. Tinjauan Fiqh Terhadap Pertimbangan Hakim tentang Penetapan Nafkah Hadanah dalam Putusan VerstekHadanah dalam Putusan Verstek

Anak yang dilahirkan dari suatu peristiwa hukum yang terjadi karena hubungan suami istri dan membawa konsekuensi hukum berupa kewajiban orang tua dan seorang anak. Orang tua yang memenuhi hak seorang anak yang dilahirkan yaitu salah satunya yang terpenting adalah hak untuk mendapat penghidupan yang layak baik sandang, pangan atau tempat tinggal bahkan pendidikan (nafakah). Hal ini berlaku dalam masa perkawinan ataupun setelah perkawinan tersebut putus.

Dalam sub bab ini, penulis akan menganalisa 2 kasus ditinjau dari fiqh dalam

masalah penetapan nafkah hadanah dalam putusan verstek yang ditetapkan oleh

Pengadilan Agama Jakarta Barat dan Pengadilan Jakarta Pusat, kedua kasus ini diperiksa oleh Pengadilan Agama Jakarta Barat dan Pengadilan Agama Jakarta Pusat

8Wawancara dengan Ujang Sholeh, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat Pada Hari Senin tanggal 17 Mei 2009 di Ruang Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

yang mengambil sumber hukum UUP Nomor 1 Tahun 1974, PP Nomor 9 Tahun 1975 dan KHI. Dimana ketiga perundang-undangan inilah yang dipakai Pengadilan Agama diseluruh Indonesia.

Dari kedua putusan yang penulis dapatkan ialah putusan verstek dan menurut

hukum acara yang ditinjau dari fiqh ialah Seorang Qadhi dibolehkan memberi keputusan atas ketidakhadiran salah satu pihak yang berperkara dengan syarat tidak melebihi apa yang menjadi haknya dan mengingat prinsip umum yang diistimbatkan dari putusan Rasulullah SAW kepada hindun untuk diperkenankan mengambil harta suaminya, Abu Sufyan tanpa sepengetahuannya. Dalam hadits nabi SAW yang berbunyi sebagai berikut :

ﺖ ﺎ ﺻ ﷲا لﻮﺳر ﻰ نﺎ ﺳ ا ةأﺮ ا ﺔ ﺘ ﺖﻨ ﺪﻨه ﺖ ﺧد ﺖ ﺎ ﺔ ﺋﺎ ﻦ

ا ﻦ ﻰﻨ ﻄ ﺎ ﺢ ﺤ ﺟر نﺎ ﺳ ﺎ ا ﱠنإ ﷲا لﻮﺳرﺎ

ﺎ ﻻا ﱠ ﻨ ﻰ ﻜ و ﻰﻨ ﻜ ﺎ ﺔ ﱠﻨ

ﻪ ﺎ ﻦ ىﺬﺧ لﺎ ؟حﺎﻨﺟ ﻦ ﻚ ذ ﻰ ﱠ ﻬ ﻪ ﺮ ﻐ ﻪ ﺎ ﻦ تﺬﺧا

ﻚ ﻨ ﻜ و ﻚ ﻜ ﺎ فوﺮ ﺎ

)

ﻪ ﺘ

(

9

Artinya : “ Dari Aisyah R.A Bahwa Hindun binti ‘Atbah melapor kepada Nabi SAW, ujarnya : Ya Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan (suami hindun) adalah laki-laki yang sangat kikir, ia tidak memberikan sesuatu yang mencukupi kebutuhanku dn anakku. Apakah aku boleh mengambil hartanya tanpa sepengetahuannya? Berkata Rasulullah : Ambillah (harta itu) menurut kecukupanmu dan anakmu dengan cara yang baik”. (H.R Bukhari-Muslim)

9Abdillah ‘Ali Ibn Al-jarudi Abu Muhammad An-Naisaburi, Muntaqi min as-Sunan Al-Musnad Juz 1 (Beirut : Muasisah Al-Kitab Al-Tsaqafiyah, 1408/1988), h.256

51

Dari hadits tersebut menjadi dasar seorang hakim dalam memutus perkara

secara verstek, sekaligus berkaitan dengan nafkah anak dan istri, karena dalam hukum

Islam tidak diatur tentang hukum acara secara jelas bagaimana seorang hakim dalam memutus perkara yang berkaitan dengan nafkah seorang anak yang kedua orangtuanya telah diputus cerai oleh Pengadilan. Namun yang menjadi tujuan dari hukum Islam untuk memberikan hak bagi seorang anak dan menjadi kewajiban seorang ayah dapat terpenuhi, nafkah seorang suami tidak hanya sewaktu dia menjadi istri sahnya dan terhadap anak-anak dari istri itu, tetapi suami wajib memberi nafkah bahkan setelah perceraian. Apalagi terhadap perawatan anak dan kesejahteraan ibu merupakan tanggung jawab seorang ayah, meskipun terjadi perceraian jangan sampai mengurangi nafkah yang wajar bagi ibu dan anaknya sesuai dengan keadaannya.

Mengenai pertimbangan hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat dan Pengadilan Agama Jakarta Barat dalam menetapkan nafkah anak yang mendasarkan pertimbangannya pada rasa kemanusiaan dan melindungi hak anak setelah orang tuanya berpisah, disamping itu juga didasarkan atas kewajiban seorang ayah untuk memberi nafkah pada anaknya, seperti yang dijelaskan dalam Qur’an surat Al-Baqarah ayat 223 :

Artinya “...dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian paa ibu dan anak dengan cara yang makruf..”

Penetapan nafkah hadanah yang diputus verstek oleh Pengadilan Agama Jakarta Barat dan Pengadilan Agama Jakarta Pusat yang penulis dipaparkan sebelumnya hakim membebankan nafkah hadanah kepada suami yang tidak hadir sesuai kemampuannya. Hakim mendasarkan pada Pasal 41 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 105 c serta pasal 149 d Kompilasi Hukum Islam, maka bekas suami wajib membiayai hadanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya.

Jika pertimbangan hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat dan Pengadilan Agama Jakarta Pusat dalam pengambilan hukum mengenai penetapan nafkah hadanah demikian, tidak demikian halnya dengan para ulama fiqh. Mereka mempunyai pendapat masing-masing dalam masalah ini.

Ulama Syafi’iyah dan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kadar nafkah itu didasarkan kepada kemampuan dan keadaan suami. Apabila suami miskin ia memberi nafkah sesuai dengan kemiskinannya, apabila suami kaya ia memberi nafkah sesuai dengan kemampuannya sebagai seorang kaya. Sekalipun demikian imam Syafi’I menetapkan juga batas minimum dari nafkah yang diwajibkan suami membayar kepada istrinya maupun anaknya. Dasar yang beliau gunakan ialah dengan mengqiyaskan nafkah kepada kafarat. Kafarat yang terbanyak dua mud sehari

sedangkan kafarat terendah ialah satu mud10.

10

Kamal mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1993), h. 135

53

Apabila dikaitkan dengan keadaan zaman sekarang segala keperluan hidup dan pendidikan semakin meningkat dan mahal. Dalam Undang-undang perkawinan maupun KHI tidak ada yang membatasi kadar nafkah hadanah melainkan hanya tingkat kemampuan suami. Sehingga apa yang menjadi keputusan hakim tidak bisa mencukupi hak seorang anak dan istri harus menerima keputusan yang dijatuhkan oleh hakim meskipun putusan itu tidak mencukupi untuk biaya pemeliharaan anak.

Pada putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat dengan Nomor 207/Pdt.G/2009/PA.JB yang menetapkan nafkah hadanah sebesar Rp. 500.000,-.

Yang menurut hakim dianggap adil dan patut. Namun menurut penulis Rp. 500.000,-

itu tidak relevan dengan keadaan sekarang yang biaya hidup di daerah Jakarta Barat itu Minimal Rp. 1.000.000,-. Karena biaya yang diputuskan oleh hakim kurang tepat untuk keadaan sekarang pada daerah tersebut.

Hemat penulis putusan hakim dalam menetapkan nafkah hadanah pada

mantan suami dalam perkara putusan verstek adalah tidak tepat, walaupun tidak

bertentangan dengan Undang-Undang dan apa yang dilakukan oleh hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat dan Pengadilan Agama Jakarta Barat dengan menggunakan pertimbangannya pada tingkat kemampuan seorang ayah. Namun penulis masih menemukan banyak kekurangan dalam UU maupun KHI khususnya mengenai kadar kemampuan seorang ayah dalam hal memberikan nafkah hadanah. Maka dari itu, penulis merasa sudah sepatutnya masalah ini mempunyai kepastian hukum yang menjelaskan secara eksplisit baik dari UUP maupun KHI.

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Dari uraian dan analis dalam pembahasan yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat menyimpulkan beberapa hal yang terkait dengan permasalahan yang diangkat oleh penulis, yaitu Penetapan Nafkah Hadanah dalam Perkara Putusan Verstek (Analisis Putusan Pengadilan Agama Di Provinsi DKI Jakarta). Penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut :

1. Pertimbangan hakim dalam memutus perkara perceraian No. 207/Pdt.G/2009/PA.JB dan 696/Pdt.G/2009/PA.JP dengan membebankan nafkah hadanah dalam putusan verstek adalah tetap berdasarkan kemampuan suami dalam menentukan kadar nafkah meski tanpa kehadiran suami, dengan mempertimbangkan pekerjaan dan kemampuan seorang ayah dalam memberi nafkah kepada anak. Sedangkan untuk pertimbangan yang kedua tentang hakim secara ex officio tidak bertentangan dengan hukum acara karena yang menjadi pertimbangan adalah demi melindungi hak anak dan kewajiban seorang ayah dalam memenuhi nafkah, selama masih memegang teguh nilai keadilan dan kebenaran.

2. Tinjauan Fiqh terhadap pertimbangan hakim pada perkara No. 207/Pdt.G/2009/PA.JB dan 696/Pdt.G/2009/PA.JP kurang tepat karena hakim disini tidak melihat keadaan suatu daerah yang bisa menjadi landasan dalam pengambilan putusan untuk mengetahui kadar nafkah hadanah. Hakim disini

55

mengedepankan pada tingkat kemampuan seorang ayah untuk memberikan nafkah hadanah.

B. Saran

1. Secara teoritis pemberlakuan asas hukum formalitas pengadilan dapat disimpangi dengan kepentingan-kepentingan hukum yang bersifat substansial, maka kepada para ahli hukum dan penegak hukum untuk melakukan kajian lebih dalam untuk menyusun doktrin-doktrin yang sesuai dengan permasalahan tersebut.

2. Untuk para praktisi hukum dan hakim bertugas di daerah terpencil ataupun daerah kota besar yang masyarakatnya masih awam hendaknya bertindak pro aktif untuk mengambil keputusan yang lebih melindungi kepada kepentingan pihak yang lemah dalam hal ini adalah perempuan dan anak pada perkara nafkah, meski mereka tidak menuntut. Dan mensosialisasikan kepada masyarakat luas agar mereka faham akan yang menjadi hak-hak istri yang diceraikan dan hak anak.

3. Untuk pemerintah dalam arti yang berwenang dalam melakukan perubahan atas undang-undang agar menambahkan batasan minimum kadar nafkah hadanah dalam Undang-undang Perkawinan maupun KHI secara eksplisit supaya hak anak terpenuhi.

Daftar Pustaka