• Tidak ada hasil yang ditemukan

Topografi areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur umumnya bergelombang, datar dan landai hingga agak curam dengan persentase kemiringan lapangan seperti pada Tabel 11. Areal tersebut memiliki ketinggian minimum 300 mdpl dan maksimum 700 mdpl.

Tabel 10.Luas Areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur Berdasarkan Kelas Lereng.

Klasifikasi Kelerengan (%) Luas (Ha) Persentase (%)

Datar 0-8 13.433 7,84

Landai 0-15 43.794 25,56

Agak Curam 15-25 108.766 63,48

Curam 25-45 2.861 1,67

Sangat Curam >45 2.486 1,45

Jumlah 171.340 100

C. Geologi dan Jenis Tanah

Berdasarkan Peta Geologi Propinsi Dati I Kalimantan Barat, diketahui bahwa batuan yang terdapat pada areal unit hutan produksi PT. Suka Jaya Makmur adalah (1) Efusif (2) Intrusif dan Plutonik asam serta Intrusif dan Plutonik basa menengah. Formasi-formasi tersebut mengandung sedikit kadar magnetik merupakan peleburan dari sisa-sisa letusan gunung api.

Sesuai dengan peta tanah Propinsi Dati I Kalimantan Barat, jenis tanah yang terdapat pada areal pengusahaan hutan PT. Suka Jaya Makmur hampir seluruhnya terdiri atas jenis tanah Podsolik Merah Kuning. Sebagian besar jenis tanah di areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur adalah Podsolik Merah Kuning (PMK), Latosol, Litosol dengan batuan induknya adalah batuan sedimen, batuan beku dan batuan metamorf. Untuk lebih jelas kondisi ini dapat dilihat pada Tabel 12. berikut:

Tabel 11. Deskripsi Satuan Peta Tanah yang Terdapat di Wilayah Studi dan Areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur.

SPT Macam

Tanah Bahan Induk Fisiografi Bentuk Wilayah Uraian

1

Podsolik Merah Kuning

Batuan endapan Dataran hingga

perbukitan Bergelombang

Bertekstur liat, solum dalam, drainase baik, masam, KTK rendah, KB rendah.

Bertekstur liar berpasir, solum dalam, drainase baik, KTK rendah, KB rendah.

Bertekstur liat, solum dalam, drainase sedang hingga cepat, KTK sangat rendah, KB rendah.

Sumber: Satuan Peta Tanah Tahun 1993 SEL IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur

D. Hidrologi

Areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur pada dasarnya masuk dalam Kesatuan DAS Pawan, Sub DAS Pesaguan (Sub-sub DAS Pending, Sub-sub DAS Burung), Sub DAS Kerabai, Sub DAS Tayap dan Sub DAS Pinoh.

Sungai utama adalah Sungai Pawan dengan lebar antara 150-300 m dengan kedalaman antara 5-15 m dan Sungai Pesaguan dengan lebar 60-150 m dengan kedalaman 4 -10 m dimana kedua sungai tersebut bermuara ke Laut Cina Selatan.

E. Iklim

Menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson 1951, kondisi iklim di areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur termasuk tipe iklim A, dengan nilai Q = 0,4. Curah hujan rata-rata tahunan berkisar antara 2.761 mm/tahun. Hasil pengamatan cuaca di Stasiun Pengamat Cuaca Camp Arboretum dan Camp 128 adalah sebagai berikut :

Tabel 12. Hasil Pengamatan Cuaca di Stasiun Pengamat Cuaca Arboretum dan Camp 128 pada Bulan Desember 2004.

No Parameter Stasiun PengamatCuaca Camp Arboretum Camp 128 1 Jumlah hari hujan 18 hari 28 hari

2

Curah hujan:

-Total 3720 ml 7250 ml

-Rata-rata 206.67 ml 309.09 ml -Maksimum 510 ml 600 ml

3

Suhu rata-rata:

-Pagi 24.61 C 24.57 C

-Siang 28.06 C 28.47 C

-Sore 25.48 C 27.10 C

4

Kelembaban rata-rata:

-Pagi 90.39% 84.83%

-Siang 78.26% 75.70%

-Sore 85.74% 79.30%

Sumber : Pengukuran Stasiun Pengamat Cuaca Camp Arboretum dan Camp 128 Desember 2004

Bulan-bulan basah (>100mm/bulan) yang merupakan musim penghujan terjadi hampir sepanjang tahun sedangkan bulan kering tidak sampai dibawah 60 mm/bulan. Suhu udara rata-rata tahunan berkisar antara 26o Celcius - 28o Celcius, kelembaban udara rata-rata 85% - 95%.

F. Kondisi Vegetasi Hutan

Areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur Kalimantan Barat sebagian besar merupakan Hutan Produksi Terbatas (HPT) yang memiliki tipe Hutan Hujan Tropika Basah (Low Land Tropical Rain Forest) didominasi oleh famili Dipterocarpaceae dengan komposisi jenis secara keseluruhan adalah sebagai berikut :

ƒ 60 % Dipterocarpaceae yang terdiri dari 44,58 % jenis Meranti (Shorea spp.), 2,45 % Keruing (Dipterocarpus spp.), 1,40 % Kapur (Dryobalanops spp.) dan 11,57% Bangkirai/Bengkirai (Shorea laevolia).

ƒ 30,14 % non Dipterocarpaceae yang terdiri dari Nyatoh (Palaqium spp.), Jelutung (Dyera costulata) dan Medang (Litsea firma Hook.f.).

ƒ 6% jenis pisang-pisangan (Mizzetia spp.), Perupuk (Lophopetalum malaccencis) dan Benuang (Octomeles sumatrana).

Di areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur Kalimantan Barat inipun terdapat kelompok flora dan fauna yang dilindungi. Untuk kelompok flora antara lain adalah Tengkawang (Shorea stenoptera), Ulin (Eusideroxylon zwageri), dan Jelutung (Dyera costulata) serta jenis buah-buahan. Sedangkan kelompok fauna yang dilindungi antara lain adalah Beruang Madu (Helarctus malayanus), Owa/Klempiau (Hillpbates spp.), Rusa (Cervus spp.) dan Burung Rangkong/Rangkok (Bucherostidae spp.).

Tipe hutan di areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur Kalimantan Barat termasuk dalam tipe hutan hujan tropika (Low Land Tropical Rain Forest).

Dari tipe hutan tersebut sebaran jenisnya untuk jenis komersial didominasi oleh kelompok kayu meranti (Dipterocarpaceae) yang terdiri dari : Meranti (Shorea spp.), Kapur (Dryobalanops spp.), Mersawa (Anisoptera spp.), Nyatoh (Palaqium spp.), Durian burung (Durio spp.), Geronggang (Cratoxilon celebious), Jelutung (Dyera spp.), Resak (Vatica spp.), Melapi (Shorea spp.), Bengkirai (Shorea laevifolia), dan Keruing (Dipterocarpus spp.). Kelompok kayu rimba campuran yang terdiri dari : Benuang (Octomeles malaccensis), Bintangor (Callopylum spp.), Medang (Litsea firma Hook.f.), Kempas (Koompassia malaccensis), Ubar (Dillenia pulchella), Kulim (Scorodocarpus spp.), Kumpang, Sawang, Pulai (Alstonia spp.). dan kelompok kayu indah yang terdiri dari : Ulin (Eusideroxylon zwageri), Rengas (Gluta renghas), dan Sindur (Sindora spp.).

G. Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat

Penduduk desa yang berada disekitar IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur hampir seluruhnya merupakan Etnis Dayak dan sisanya merupakan Suku Melayu, Cina dan Jawa. Etnis Dayak yang berdomisili di wilayah IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur adalah Dayak Kapus, Dayak Laman Tawa, Dayak Laman Tuha dan Dayak Keluas. Mayoritas agama yang dipeluk oleh penduduk desa adalah agama Katolik. Kedua terbesar adalah agama Kristen Protestan dan sisanya pemeluk agama Islam dan agama lainnya.

Pada umumnya mata pencaharian penduduk desa disekitar IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur mayoritas adalah petani tradisional yang lebih dikenal

sebagai peladang berpindah. Selain berladang sebagian penduduk desa juga mempunyai aktifitas di kebun karet, sawah dan mengumpulkan biji Tengkawang pada musim buah.

H. Aksesibilitas

Areal unit hutan produksi PT. Suka Jaya Makmur memiliki tingkat aksesibilitas yang tinggi. Untuk menuju areal tersebut dapat melalui dua macam rute, yaitu :

1. Jalan darat yang melalui ruas jalan Ketapang - Sinduk (60 km). Sinduk – Desa Sei Kelly (61 km), dan Desa Sei Kelly-Base Camp (38 km).

Sebagian besar keadaan jalan darat tersebut dapat dilalui kendaraan pada musim kemarau.

2. Jalan air melalui Sungai Pawan antara Ketapang – Log Pond di Desa Sei Kelly (± 3 jam) dengan speed boat dan jalan darat antara Log Pond – Base Camp (38 km).

Untuk mencapai ke setiap bagian hutan dapat melalui jalan darat berupa jalan pengerasan yang keadaannya sangat baik. Sedangkan di dalam bagian hutannya bayak terdapat jalan-jalan pengerasan dan jalan tanah yang dalam rencana akan dikembangkan menjadi jalan cabang maupun jalan batas petak.

Untuk menuju Ketapang lewat udara dapat melalui Lapangan Udara Rahardi Oesman. Lapangan udara tersebut dapat didarati pesawat jenis Twin Otter dari Pontianak, Jakarta dan Semarang. Hubungan antara Ketapang dengan Pontianak dilaksanakan oleh perusahaan penerbangan Deraya dan Dirgantara Air Sevice (DAS) dengan frekuensi penerbangan dua kali sehari dalam seminggu. Sedangkan dari Jakarta dan Semarang, hubungan udara tersebut hanya dilayani oleh Merpati Nusantara Airways (MNA) dengan frekuensi tiga kali seminggu.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Sistem Silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Indonesia Intensif (TPTII) merupakan pembaharuan dari sistem silvikultur sebelumnya, yaitu sistem silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Indonesia (TPTI) dan juga Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ). Sistem Silvikultur TPTII yang dilaksanakan di PT. Suka Jaya Makmur dilakukan pada areal bekas tebangan tahun 1981/1982 (LOA 1981/1982).

Kegiatan penebangan pohon produksi yang dilaksanakan pada sistem silvikultur TPTII adalah pohon komersial ditebang dengan diameter >45 cm.

Setelah dilakukan kegiatan penebangan produksi pada areal yang ditetapkan sebagai lokasi untuk kegiatan TPTII maka dilanjutkan dengan kegiatan penebangan jalur selebar tiga meter untuk keperluan jalur tanam. Jarak antar tepi jalur tanam ini selebar 17 m dan berfungsi sebagai jalur konservasi. Kegiatan pemanenan kayu dan pembuatan jalur tanam tersebut memberikan dampak pada lingkungan seperti tegakan tinggal, tanah, serta iklim mikro disekitarnya.

A. Komposisi Jenis

Keanekaragaman jenis di hutan tropika basah sangat besar dan kompleks, serta keberadaannya saling berpengaruh dan berinteraksi terhadap sifat genetik dan ekosistemnya. Jumlah jenis semai, pancang, tiang dan pohon yang ditemukan pada LOA 1981/1982 dan Et+0 dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Jumlah Jenis yang Ditemukan di LOA 1981/1982 dan Et+0 pada Berbagai Kelerengan.

Kondisi Hutan Kelerengan (%) Jumlah Jenis

Semai Pancang Tiang Pohon LOA 1981/1982

0 – 15 39 47 49 60 15 - 25 45 45 48 50 25 – 45 51 54 71 63 Et+0

0 – 15 29 37 49 57 15 – 25 35 38 48 44 25 - 45 42 48 71 60

Pada Tabel 13 dapat dilihat bahwa komposisi jenis disetiap kelerengan pada semua tingkatan vegetasi mengalami penurunan kecuali pada vegetasi

tingkat tiang. Pada vegetasi tingkat tiang jumlah jenis yang ditemukan pada LOA 1981/1982 dan pada Et+0 memiliki jumlah jenis yang sama.

Komposisi jenis untuk vegetasi tingkat semai pada Et+0 disetiap kelerengan mengalami penurunan jika dibandingkan dengan LOA 1981/1982.

Pada kelerengan 0-15% jumlah jenis yang ditemukan pada LOA 1981/1982 sebanyak 39 jenis dan berkurang menjadi 29 jenis setelah dilakukan kegiatan pemanenan kayu. Pada kelerengan 15-25% ditemukan 45 jenis pada LOA 1981/1982 dan 35 jenis pada Et+0. Sedangkan pada kelerengan 25-45%

jumlah jenis yang ditemukan pada LOA 1981/1982 sebanyak 51 jenis dan berkurang menjadi 42 jenis pada Et+0.

Untuk vegetasi tingkat pancang pada kelerengan 0-15% jumlah jenis yang ditemukan pada LOA 1981/1982 sebanyak 47 jenis, dan berkurang menjadi 37 jenis pada Et+0. Pada kelerengan 15-25% jumlah jenis yang ditemukan 45 jenis menjadi 38 jenis. Sedangkan pada kelerangan 15-25%

jumlah jenis yang ditemukan pada LOA 1981/1982 sebanyak 54 jenis dan berkurang menjadi 48 jenis Et+0.

Komposisi jenis untuk vegetasi tingkat tiang, jumlah jenis yang ditemukan disetiap kelerengan pada LOA 1981/1982 tidak mengalami penurunan. Sehingga jenis yang ditemukan pada LOA 1981/1982 dan Et+0 memiliki jumlah jenis yang sama.

Dan untuk vegetasi tingkat pohon pada setiap kelerengan mengalami penurunan. Pada kelerengan 0-15% jumlah jenis yang ditemukan pada LOA 1981/1982 sebanyak 60 jenis dan berkurang menjadi 57 jenis pada Et+0. Pada kelerengan 15-25% ditemukan 50 jenis pada LOA 1981/1982 dan 44 jenis pada Et+0. Sedangkan pada kelerengan 25-45% jumlah jenis yang ditemukan pada LOA 1981/1982 sebanyak 63 jenis dan berkurang menjadi 42 jenis pada Et+0.

Sedangkan untuk perubahan jumlah jenis yang terjadi akibat dari kegiatan pembuatan jalur tanam dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14. Jumlah Jenis yang Ditemukan pada Kondisi Hutan Sebelum Penjaluran dan Setelah Penjaluran pada Berbagai Kelerengan.

Kondisi Hutan Kelerengan (%) Jumlah Jenis

Semai Pancang Tiang Pohon Sebelum

Penjaluran

0 – 15 52 60 51 54 15 - 25 50 58 42 65 25 – 45 43 39 32 58 Setelah

Penjaluran

0 – 15 48 53 51 52

15 – 25 45 56 42 63

25 - 45 42 35 32 56

Pada Tabel 14 dapat dilihat bahwa komposisi jenis pada kondisi hutan sebelum penjaluran disetiap kelerengan pada semua tingkatan vegetasi mengalami penurunan kecuali pada vegetasi tingkat tiang. Pada vegetasi tingkat tiang jumlah jenis yang ditemukan pada kondisi hutan sebelum dan setelah penjaluran memiliki jumlah jenis yang sama.

Komposisi jenis untuk vegetasi tingkat semai pada kondisi hutan setelah penjaluran disetiap kelerengan mengalami penurunan jika dibandingkan dengan kondisi hutan sebelum penjaluran. Pada kelerengan 0-15% jumlah jenis yang ditemukan pada kondisi hutan sebelum penjaluran sebanyak 52 jenis dan berkurang menjadi 48 jenis setelah dilakukan kegiatan penebangan jalur. Pada kelerengan 15-25% jumlah jenis juga berkurang dari 50 jenis menjadi 45 jenis. Sedangkan pada kelerengan 25-45% jumlah jenis yang ditemukan pada hutan sebelum penjaluran sebanyak 43 jenis dan berkurang menjadi 42 jenis pada kondisi hutan setelah penjaluran.

Komposisi jenis untuk vegetasi tingkat pancang pada kelerengan 0-15% mengalami penurunan jumlah jenis dari 60 jenis menjadi 53 jenis. Pada kelerengan 15-25% jumlah jenis yang ditemukan menurun dari 58 jenis menjadi 56 jenis. Sedangkan pada kelerengan 25-45% jumlah jenis yang ditemukan pada kondisi hutan sebelum penjaluran sebanyak 39 jenis dan berkurang menjadi 35 jenis pada kondisi hutan setelah penjaluran.

Sedangkan untuk vegetasi tingkat tiang, jumlah jenis yang ditemukan disetiap kelerengan pada kondisi hutan sebelum penjaluran tidak mengalami penurunan. Sehingga jenis yang ditemukan pada kondisi hutan sebelum dan setelah penjaluran memiliki jumlah jenis yang sama.

Dan komposisi jenis untuk vegetasi tingkat pohon pada setiap kelerengan juga mengalami penurunan. Pada kelerengan 0-15% jumlah jenis yang ditemukan 54 jenis pada kondisi hutan sebelum penjaluran dan berkurang menjadi 52 jenis setelah penjaluran. Pada kelerengan 15-25%

ditemukan 65 jenis pada saat sebelum penjaluran dan 63 setelah penjaluran.

Sedangkan pada kelerengan 25-45% jumlah jenis yang ditemukan pada kondisi hutan sebelum penjaluran sebanyak 58 jenis dan berkurang menjadi 56 jenis setelah kegiatan pembuatan jalur bersih atau jalur tanam.

Penurunan jumlah jenis dari kedua kondisi hutan diatas terjadi pada semua tingkatan vegetasi pada setiap kelerengan kecuali pada vegetasi tingkat tiang. Hal ini terjadi karena adanya kegiatan pemanenan kayu dan kegiatan penebangan jalur (untuk membuat jalur bersih atau jalur tanam). Dan apabila dibandingkan dari tingkat penurunan jumlah jenisnya maka dapat dilihat bahwa penurunan jumlah jenis akibat kegiatan pemanenan kayu lebih tinggi daripada penurunan jenis akibat kegiatan penebangan jalur. Tinggi rendahnya jumlah jenis pada berbagai tingkatan permudaan vegetasi yang ada menunjukan tingkat survival dari setiap tingkat permudaan untuk mempertahankan dan mencapai tingkat pertumbuhan selanjutnya.

Tabel 15 memperlihatkan komposisi permudaan jenis komersial ditebang dilihat dari kerapatan (N/Ha) dan frekuensinya yang terdapat pada plot pengamatan disetiap kelerengan. Dari tabel tersebut dapat dilihat adanya penurunan jumlah kerapatan sebagai akibat dari kegiatan pemanenan kayu.

Tabel 15. Komposisi Permudaan Jenis Komersial Ditebang pada LOA 1981/1982 dan Et+0 Dilihat dari Kerapatan (N/Ha) Serta Frekuensi.

Kondisi Hutan

Kelerengan (%)

Semai Pancang Tiang Pohon K F K F K F K F LOA

1981/1982

0-15 12133.33 0.79 784.00 0.79 82.00 0.89 47.67 0.85 15-25 31733.33 0.96 1845.33 0.95 109.33 1.00 67.33 0.91 25-45 25800.00 0.95 1920.00 0.87 84.33 0.91 66.67 0.91

Et+0

0-15 7233.33 0.61 394.67 0.56 72.33 0.88 34.33 0.71 15-25 13200.00 0.68 784.00 0.60 97.33 1.00 51.33 0.81 25-45 13766.67 0.72 960.00 0.71 75.67 0.87 47.00 0.84

Dari Tabel 15 diatas dapat dilihat bahwa kerapatan (N/Ha) di LOA 1981/1982 mengalami penurunan akibat kegiatan pemanenan kayu. Nilai frekuensi juga mengalami penurunan kecuali untuk vegetasi tingkat tiang pada

kelerengan 15-25%, dimana nilai frekuensinya tidak mengalami perubahan.

Untuk lebih memudahkan membandingkan perubahan yang terjadi, dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3 .

0-15 15-25 25-45 0-15 15-25 25-45 LOA 1981/1982 Et+0

Gambar 2. Kerapatan Jenis Komersial Ditebang pada Plot Pengamatan Pemanenan Kayu.

0-15 15-25 25-45 0-15 15-25 25-45

LOA 1981/1982 Et+0

Gambar 3. Frekuensi Jenis Komersial Ditebang pada Plot Pengamatan Pemanenan Kayu

Menurut pedoman TPTI maka harus tersedia minimal 400 batang/hektar untuk tingkat semai, 200 batang/hektar untuk tingkat pancang dan 75 batang/hektar untuk tingkat tiang dan 25 pohon /hektar jenis komersial dan sehat (Departemen Kehutanan, 1993). Sedangkan menurut Wyatt-Smith (1963) permudaan dianggap cukup jika terdapat paling sedikit 40% stocking permudaan tingkat semai (1000 petak ukur milliacre per hektar), 60% tingkat pancang (240 petak ukur milliacre per hektar) dan 75% tingkat tiang (75 petak ukur milliacre per hektar) dari jenis komersial.

Berdasarkan kriteria tersebut maka hampir semua tingkatan vegetasi memenuhi persyaratan pedoman TPTI kecuali pada vegetasi tingkat tiang. Hal

ini menunjukan permudaan yang terdapat pada plot pengamatan tersebar cukup dan merata. Akan tetapi kondisi diatas tidak memenuhi kriteria Wyatt-Smith karena permudaan jenis-jenis pohon komersil ditebang tersebut tidak tersebar secara merata (Nilai F <1).

Sedangkan untuk perubahan yang terjadi akibat dari kegiatan penjaluran dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16. Komposisi Permudaan Jenis Komersial Ditebang pada Hutan Sebelum Penjaluran dan Hutan Setelah Penjaluran Dilihat dari Kerapatan (N/Ha) Serta Frekuensi.

Kondisi Hutan Kelerengan (%)

Semai Pancang Tiang Pohon

K F K F K F K F

Sebelum Penjaluran

0-15 12350.00 0.68 552.00 0.66 74.00 0.46 71.50 0.98 15-25 23150.00 0.82 520.00 0.70 100.00 0.70 65.50 0.88 25-45 9750.00 0.68 504.00 0.66 72.00 0.60 66.50 0.90 Setelah

Penjaluran

0-15 10050.00 0.62 392.00 0.54 74.00 0.44 59.00 0.96 15-25 20100.00 0.74 480.00 0.66 100.00 0.70 47.50 0.88 25-45 8900.00 0.62 384.00 0.50 72.00 0.60 53.50 0.82

Dari Tabel 16 diatas dapat dilihat nilai kerapatan (N/Ha) mengalami penurunan akibat kegiatan penebangan jalur. Sedangkan untuk nilai frekuensinya secara umum mengalami penurunan kecuali pada vegetasi tingkat tiang pada kelerengan 15-25%, dimana nilai frekuensinya tidak mengalami perubahan. Perubahan nilai kerapatan (N/Ha) dan frekuensi akibat kegiatan penjaluran lebih kecil dibanding perubahan nilai yang terjadi akibat kegiatan pemanenan kayu. Untuk lebih memudahkan membandingkan perubahan yang terjadi, dapat dilihat pada Gambar 4 dan Gambar 5.

0-15 15-25 25-45 0-15 15-25 25-45 Sebelum Penjaluran Setelah Penjaluran

Gambar 4. Kerapatan Jenis Komersial Ditebang pada Plot Pengamatan Penjaluran.

Fre k ue ns i Je nis Kom e r s ial Dite bang

0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20

0-15 15-25 25-45 0-15 15-25 25-45 Sebelum Penjaluran Setelah Penjaluran

Kondis i Hutan

Frekuensi Semai

Pancang Tiang Pohon

Gambar 5 Frekuensi Jenis Komersial Ditebang pada Plot Pengamatan Penjaluran.

Berdasarkan kriteria TPTI maka hampir semua tingkatan vegetasi memenuhi persyaratan pedoman TPTI kecuali pada vegetasi tingkat tiang. Hal ini menunjukan permudaan jenis-jenis komersial ditebang yang terdapat pada plot pengamatan tersebar cukup dan merata. Akan tetapi kondisi diatas tidak memenuhi kriteria Wyatt-Smith karena permudaan jenis-jenis pohon komersil ditebang tersebut tidak tersebar secara merata (Nilai F <1).

B. Dominansi Jenis

Dominansi suatu jenis terhadap jenis-jenis lain di dalam tegakan dapat dinyatakan berdasarkan besaran-besaran berikut : (Soerianegara dan Indrawan, 1988)

a. Banyaknya individu dan kerapatan (Density) b. Persen penutupan dan luas bidang dasar c. Volume

d. Biomassa

e. Indeks Nilai Penting (Importance Value Index)

Untuk mendapatkan nilai yang lebih representative dan akurat digunakan Indeks Nilai Penting (INP) yang merupakan hasil penjumlahan dari kerapatan relatif, luas bidang dasar relatif dan frekuensi relatif. Penetapan dominansi jenis untuk tingkat pancang dan semai hanya berdasarkan nilai kerapatan relatif dan frekuensi relatif.

Peranan suatu jenis dalam komunitas dapat dilihat dari besarnya Indeks Nilai Penting (INP), dimana jenis yang mempunyai nilai INP tertinggi

merupakan jenis yang dominan. Hal ini menunjukkan bahwa jenis tersebut mempunyai tingkat kesesuaian terhadap lingkungan yang lebih tinggi dari jenis yang lainnya.

Selebihnya Sutisna (1981), juga menyatakan bahwa suatu jenis dapat dikatakan berperan jika nilai INP pada tingkat semai dan pancang lebih dari 10 %, sedangkan untuk tingkat tiang dan pohon lebih dari 15 %.

Pada Tabel 17 dan Tabel 18 dapat dilihat perubahan yang terjadi pada lima jenis pohon yang memiliki Indeks Nilai Penting yang paling tinggi untuk setiap tingkatan vegetasi disetiap plot pengamatan sebagai akibat dari kegiatan pemanenan kayu dan kegiatan penebangan jalur. Dari tabel terlihat sebagian besar jenis yang mendominasi pada setiap lokasi paling banyak berasal dari famili Dipterocarpaceae baik itu dari marga Shorea, Dipterocarpus, ataupun Hopea. Sedangkan jenis famili Non Dipterocarpaceae yang mendominasi hal ini dibuktikan dengan nilai INP yang tinggi adalah jenis Kumpang (Diospyros sp), Medang (Litsea firma), Nyatoh (Palaquium rostatum), Sawangdan Ubar (Dillenia pulchella).

Tabel 17. Daftar Jenis dengan INP Terbesar pada LOA 1981/1982 dan Et+0.

Kondisi Hutan Kelerengan (%) Jenis-Jenis Dominan

Semai INP (%) Pancang INP (%) Tiang INP(%) Pohon INP (%)

LOA 1981/1982

0-15

Shorea parvifolia 45.4 Litsea firma 34.3 Litsea firma 69.5 Litsea firma 49.5

Litsea firma 32.6 Mizzettia parviflora 29.0 Castanopsis sp 30.0 Dillenia pulchella 25.8

Dillenia pulchella 15.3 Dillenia pulchella 19.4 Dillenia pulchella 26.2 Shorea parvifolia 16.8

Mizzettia parviflora 15.2 Diospyros sp 11.4 Diospyros sp 15.8 Nephelium sp 16.4

Berabakan 7.8 Berabakan 9.4 Sawang 13.1 Castanopsis sp 14.6

15-25

Shorea parvifolia 47.4 Litsea firma 29.4 Litsea firma 73.0 Litsea firma 52.5

Litsea firma 29.4 Dillenia pulchella 17.6 Dillenia pulchella 33.0 Elaterospermum tapos 48.5

Dipterocarpus crinitus 13.7 Mizzettia parviflora 17.0 Diospyros sp 22.9 Shorea parvifolia 27.7

Elaterospermum tapos 11.3 Diospyros sp 10.4 Mizzettia parviflora 19.4 Dillenia pulchella 26.3

Dillenia pulchella 10.3 Castanopsis sp 10.2 Castanopsis sp 15.9 Ochanostachys amentaceae 20.3

25-45

Shorea parvifolia 31.4 Litsea firma 29.4 Litsea firma 54.2 Litsea firma 48.0

Litsea firma 28.4 Mizzettia parviflora 19.5 Mizzettia parviflora 27.0 Dillenia pulchella 20.1

Dipterocarpus crinitus 20.2 Dillenia pulchella 11.5 Dillenia pulchella 20.4 Shorea parvifolia 18.4

Shorea laevifolia 12.0 Shorea parvifolia 9.2 Diospyros sp 17.5 Ochanostachys amentaceae 13.2

Palaquium rostratum 11.9 Castanopsis sp 8.8 Berabakan 17.3 Elaterospermum tapos 13.0

Et+0

0-15

Shorea parvifolia 51.6 Litsea firma 29.5 Litsea firma 70.5 Litsea firma 38.9

Litsea firma 38.1 Mizzettia parviflora 29.5 Castanopsis sp 30.3 Dillenia pulchella 29.9

Dillenia pulchella 16.3 Dillenia pulchella 18.7 Dillenia pulchella 26.4 Nephelium sp 19.5

Mizzettia parviflora 12.3 Berabakan 11.4 Diospyros sp 16.2 Castanopsis sp 17.1

Berabakan 9.4 Diospyros sp 10.7 Kekalik 11.6 Mizzettia parviflora 15.9

15-25

Shorea parvifolia 35.4 Dillenia pulchella 23.7 Litsea firma 75.6 Elaterospermum tapos 57.2

Litsea firma 26.9 Mizzettia parviflora 19.5 Dillenia pulchella 31.2 Litsea firma 53.7

Dipterocarpus crinitus 16.3 Litsea firma 18.6 Diospyros sp 22.4 Dillenia pulchella 32.4

Elaterospermum tapos 13.1 Shorea parvifolia 12.4 Mizzettia parviflora 20.2 Ochanostachys amentaceae 24.9

Palaquium rostratum 12.4 Castanopsis sp 10.6 Castanopsis sp 15.3 Shorea parvifolia 19.0

25-45

Litsea firma 30.8 Litsea firma 28.3 Litsea firma 53.6 Eusideroxylon zwageri 14.6

Shorea parvifolia 27.5 Mizzettia parviflora 22.2 Mizzettia parviflora 25.7 Dillenia pulchella 23.4

Dipterocarpus crinitus 18.9 Dillenia pulchella 12.3 Dillenia pulchella 19.4 Surian 1.3

Shorea laevifolia 14.2 Shorea parvifolia 9.0 Berabakan 18.4 Sindora bruggemanii 1.2

10.4 8.9 16.8 0.8

Tabel 18. Daftar Jenis INP Terbesar pada Hutan Sebelum Penjaluran dan Hutan Setelah Penjaluran.

Kondisi Hutan Kelerengan (%)

Jenis-Jenis Dominan

Shorea parvifolia 18.7 Diospyros sp 15.4 Mizzettia parviflora 29.6 Litsea firma 33.1

Hopea sangal 16.2 Santiria tomentosa 14.1 Santiria tomentosa 20.4 Dillenia pulchella 25.0

Shorea leprosula 12.4 Mizzettia parviflora 9.1 Gluta rengas 18.3 Sawang 24.6

Gluta rengas 9.5 Gluta rengas 9.1 Dillenia pulchella 15.7 Diospyros sp 22.9

Artocarpus anisophyllus 9.0 Dipterocarpus crinitus 8.9 Palaquium rostratum 15.4 Dipterocarpus crinitus 20.2

15-25

Shorea leprosula 34.9 Diospyros sp 18.8 Palaquium rostratum 52.0 Litsea firma 28.1

Shorea parvifolia 34.5 Palaquium rostratum 18.2 Mizzettia parviflora 32.3 Sawang 24.4

Palaquium rostratum 12.4 Mizzettia parviflora 14.0 Blumeodendron sp 14.8 Diospyros sp 21.9

Gluta rengas 10.1 Kengkayas 12.3 Diospyros sp 14.8 Dipterocarpus crinitus 21.1

Diospyros sp 9.0 Berabakan 9.5 Kengkayas 14.1 Shorea leprosula 20.9

25-45

Shorea parvifolia 21.9 Palaquium rostratum 27.0 Palaquium rostratum 56.5 Sawang 37.4

Palaquium rostratum 16.1 Diospyros sp 23.9 Diospyros sp 40.2 Litsea firma 26.3

Macaranga hullettii 13.8 Mizzettia parviflora 20.6 Mizzettia parviflora 36.9 Diospyros sp 26.2

Mizzettia parviflora 12.2 Gluta rengas 11.4 Blumeodendron sp 19.0 Dipterocarpus crinitus 19.0

Lengkuham 10.8 Pentaspadon motleyi 10.3 Dracontomelon mangiferum 15.3 Dillenia pulchella 18.9

Setelah Penjaluran

0-15

Shorea parvifolia 21.0 Diospyros sp 15.8 Mizzettia parviflora 30.2 Litsea firma 32.5

Hopea sangal 16.4 Santiria tomentosa 15.7 Santiria tomentosa 20.5 Dillenia pulchella 22.7

Shorea leprosula 14.5 Dipterocarpus crinitus 10.5 Gluta rengas 17.1 Sawang 22.1

Artocarpus anisophyllus 11.3 Mizzettia parviflora 10.5 Dillenia pulchella 16.2 Dipterocarpus crinitus 20.9

Gluta rengas 11.2 Gluta rengas 8.7 Palaquium rostratum 15.9 Diospyros sp 19.8

15-25

Shorea leprosula 35.6 Diospyros sp 20.3 Palaquium rostratum 51.0 Litsea firma 28.9

Shorea parvifolia 32.3 Palaquium rostratum 17.7 Mizzettia parviflora 31.4 Sawang 25.8

Palaquium rostratum 13.5 Mizzettia parviflora 15.1 Diospyros sp 15.4 Shorea leprosula 24.1

Gluta rengas 10.0 Kengkayas 11.0 Blumeodendron sp 14.6 Dipterocarpus crinitus 22.1

Mizzettia parviflora 8.6 Gluta rengas 9.2 Kengkayas 13.9 Shorea parvifolia 18.5

25-45

Shorea parvifolia 21.2 Palaquium rostratum 29.0 Palaquium rostratum 58.6 Sawang 35.7

Palaquium rostratum 16.1 Diospyros sp 23.9 Diospyros sp 40.5 Litsea firma 25.2

Macaranga hullettii 14.0 Mizzettia parviflora 17.3 Mizzettia parviflora 35.1 Diospyros sp 24.7

Mizzettia parviflora 11.0 Pentaspadon motleyi 11.9 Blumeodendron sp 19.2 Dipterocarpus crinitus 18.0

Indeks Nilai Penting (INP) merupakan indikator yang sesuai untuk melihat pengaruh perubahan jumlah jenis dalam petak sebelum pemanenan, setelah pemanenan serta setelah pembuatan jalur tanam. Berkurangnya individu dalam satu jenis atau hilangnya jumlah jenis dalam kegiatan tersebut diatas menyebabkan bergesernya nilai INP jenis tersebut. Perubahan nilai INP ini juga mengakibatkan perubahan INP pada masing-masing jenis. Ada kalanya terdapat jenis yang menduduki peringkat bawah jenis yang lain, tetapi peringkat kedua jenis tersebut bisa berubah setelah kegiatan pemanenan.

Berdasarkan data dari Tabel 17 dapat dilihat bahwa pada LOA 1981/1982 dengan kelerengan 0-15% untuk vegetasi tingkat semai didominasi

Berdasarkan data dari Tabel 17 dapat dilihat bahwa pada LOA 1981/1982 dengan kelerengan 0-15% untuk vegetasi tingkat semai didominasi

Dokumen terkait