• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekstrak Tumbuhan yang dapat Menurunkan KAU Darah Pada Hewan Percobaan Berdasarkan Efektivitas dan Waktu Panen Percobaan Berdasarkan Efektivitas dan Waktu Panen

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pencarian Artikel

4.4 Ekstrak Tumbuhan yang dapat Menurunkan KAU Darah Pada Hewan Percobaan Berdasarkan Efektivitas dan Waktu Panen Percobaan Berdasarkan Efektivitas dan Waktu Panen

Dalam menentukan ekstrak tumbuhan yang efektif dan efisien untuk dikembangkan sebagai fitofarmaka antihiperurisemia baru, maka diperlukan beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan, antara lain: efektivitas ekstrak tumbuhan dalam menurunkan KAU pada percobaan, bagian tumbuhan yang digunakan, kemudahan dalam membudidaya tumbuhan, serta lamanya waktu panen untuk mendapatkan bagian tumbuhan yang dibutuhkan tersebut. Efektivitas masing-masing tumbuhan berdasarkan perserntase penurunan KAU pada hewan percobaan dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Ekstrak tumbuhan yang dapat menurunkan KAU pada hewan percobaan berdasarkan efektivitas

Ekstrak Tumbuhan Dosis ekstrak (mg/kg BB)

Persentase Penurunan KAU (%) Ekstrak Etanol Daun Mahkota

Dewa 50 70,75

Ekstrak Etanol Daun Kelor 70 65,69

Ekstrak Etil Asetat Tumbuhan

Suruhan 100 63,56

Ekstrak Etanol Rimpang Temu

Putih 600 60,17

Ekstrak Etanol Buah Naga Putih 72,8 59,88

Ekstrak Etanol Daun Hijau

Tumbuhan Pucuk Merah 7,40 55,04

Ekstrak Etanol Herba

Anting-Anting 150 53,41

Ekstrak Etanol Rimpang Temu

Lawak 200 43,38

Ekstrak Etanol Daun Cocor

Bebek 100 42,46

Ekstrak Etanol Daun Pegagan 400 40,00

Ekstrak Etanol Daun Binahong 100 37,58

Ekstrak Etanol Biji Alpukat 50 34,36

Ekstrak Etanol Tumbuhan

Jelatang 250 24,15

Ekstrak Etanol Daun Bambu

Tali 195 21,83

Ekstrak Etanol Buah Andaliman 150 18,55

Ekstrak Etanol Daun Murbei 250 12,26

Keterangan : K.A.U = Kadar Asam Urat

Dari Tabel 4.3 diatas, maka dapat dibagi menjadi 3 kelompok tumbuhan berdasarkan persentase penurunan KAU, yaitu kelompok tumbuhan dengan persentase penurunan KAU tinggi (>60%), persentase penurunan KAU sedang (40%-60%), dan persentase penurunan KAU rendah (<40%).

Pada kelompok pertama, terdapat 4 ekstrak tumbuhan dengan persentase penurunan KAU >60%, yaitu: ekstrak etanol daun mahkota dewa, ekstrak etanol daun kelor, ekstrak etil asetat tumbuhan suruhan dan ekstrak etanol rimpang temu putih. Dimana 4 ekstrak tersebut menunjukkan penurunan KAU pada hewan percobaan yang tertinggi jika dibandingkan dengan ekstrak tumbuhan lainnya.

Dari keempat ekstrak tumbuhan tersebut juga memperlihatkan persentase penurunan KAU darah pada hewan percobaan yang tidak terlalu jauh walaupun masing-masing ekstrak diberikan dengan 4 dosis yang berbeda. Ekstrak etanol daun mahkota dewa dengan dosis 50 mg/kg BB sudah dapat menurunkan KAU dengan persentase 70,75%. Sedangkan ekstrak etanol rimpang temu lawak dengan dosis 600 mg/kg BB yang merupakan dosis paling tinggi diantara semua ekstrak tumbuhan namun menunjukkan persentase penurunan KAU yang lebih rendah.

Sedangkan 2 ekstrak lainnya, ekstrak etanol daun kelor dan ekstrak etil asetat tumbuhan suruhan juga menunjukkan dosis yang rendah namun sudah memperlihatkan persentase penurunan KAU yang lebih tinggi. Hal ini juga dapat memperkuat kedua ekstrak tersebut untuk dipertimbangkan sebagai tumbuhan yang efektif dan efisien untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai fitofarmaka antihiperurisemia.

Kelompok ekstrak tumbuhan dengan persentase penurunan KAU pada rentang 40%-60%, terdapat 6 ekstrak tumbuhan, yaitu: ekstrak etanol buah naga putih, ekstrak etanol daun pucuk merah, ekstrak etanol herba anting-anting, ekstrak etanol rimpang temulawak, ekstrak etanol daun cocor bebek dan ekstrak etanol daun pegagan. Keenam tumbuhan tersebut memperlihatkan dosis yang bervariasi namun masih memiliki persentase penurunan KAU yang lebih rendah dibandingkan kelompok pertama.

Sedangkan ekstrak tumbuhan dengan persentase penurunan KAU <40%

terdapat 6 ekstrak tumbuhan yaitu: ekstrak etanol daun binahong, ekstrak etanol biji alpukat, ekstrak etanol herba jelatang, ekstrak etanol daun bambu tali. Ekstrak etanol buah andaliman, dan ekstrak etanol daun murbei. Keenam tumbuhan tersebut menunjukkan persentase penurunan KAU yang paling rendah, jika dibandingkan dengan 2 kelompok lainnya.

Selain dari aspek persentase penurunan KAU, dalam memilih tumbuhan yang akan dikembangkan sebagai antihiperurisemia, penting untuk mempertimbangkan dari aspek bagian tumbuhan yang akan digunakan serta waktu panen tumbuhan untuk dinilai efisiennya. Umumnya bagian tumbuhan berupa daun memiliki nilai ekonomis lebih tinggi dibandingkan bagian tumbuhan lainnya.

Karena daun pada tumbuhan umumnya dapat dipanen dalam jangka waktu 1-3 bulan sekali. Beberapa tumbuhan bahkan dapat dipanen daunnya dalam jangka waktu 3-4 minggu sekali bergantung pada kondisi pertumbuhan daun. Sedangkan bagian tumbuhan berupa buah dan biji memiliki waktu panen buah yang lebih lama.

Tabel 4.4 Ekstrak tumbuhan yang dapat menurunkan KAU pada hewan percobaan berdasarkan waktu panen

Ekstrak Tumbuhan

Bagian Tumbuhan yang

Digunakan

Waktu Panen Ekstrak Etanol Daun Mahkota

Dewa Daun 1-2 bulan

Ekstrak Etanol Daun Kelor Daun 2-3 bulan

Ekstrak Etanol Daun Murbei Daun 2-3 bulan

Ekstrak Etanol Tumbuhan

Jelatang Herba 3 bulan

Ekstrak Etanol Daun Cocor

Bebek Daun 3-4 bulan

Ekstrak Etil Asetat Tumbuhan

Suruhan Herba 3-4 bulan

Ekstrak Tumbuhan

Bagian Tumbuhan yang

Digunakan

Waktu Panen Ekstrak Etanol Daun Hijau

Tumbuhan Pucuk Merah Daun 3-4 bulan

Ekstrak Etanol Herba

Anting-Anting Herba 3-4 bulan

Ekstrak Etanol Daun Pegagan Daun 3-4 bulan

Ekstrak Etanol Buah Naga Putih Buah 6 bulan

Ekstrak Etanol Daun Binahong Daun 8-11 bulan

Ekstrak Etanol Rimpang Temu

Putih Rimpang 8-11 bulan

Ekstrak Etanol Rimpang Temu

Lawak Rimpang 9-10 bulan

Ekstrak Etanol Buah Andaliman Buah 1-2 tahun

Ekstrak Etanol Daun Bambu

Tali Daun 1-3 tahun

Ekstrak Etanol Biji Alpukat Biji 5-8 tahun

Keterangan : KAU = Kadar Asam Urat

Pada Tabel 4.4 diatas adalah informasi tambahan yang dibutuhkan untuk mengetahui tumbuhan yang memiliki efektifitas dan efisiensi untuk dipertimbangkan sebagai fitofarmaka antihiperurisemia. Parameter efisiensi yang digunakan adalah waktu panen tanaman. Hal ini diperlukan karena untuk mengembangkan fitofarmaka perlu memastikan ketersediaan bahan baku yang digunakan. Informasi waktu panen tersebut diambil dengan meninjau dari referensi seperti buku Tanaman Obat Populer, Budidaya Tanaman Obat Unggulan, dan Buku Tumbuhan Obat dan Khasiatnya.

Pada Tabel 4.4 juga didapatkan bahwa ada 8 jenis tumbuhan yang menggunakan daun sebagai objek utama untuk dikembangkan, yaitu: tumbuhan mahkota dewa, tumbuhan daun kelor, tumbuhan pucuk merah, cocor bebek, pegagan, binahong, bambu tali dan juga tumbuhan murbei.

Selain bagian tumbuhan, kemudahan dalam membudidaya tumbuhan juga menjadi aspek selanjutnya yang perlu dipertimbangkan. Kemudahan tumbuhan untuk tumbuh dalam berbagai kondisi tanah, iklim, dan perawatannya yang mudah menjadi pilihan yang utama untuk dikembangkan karena dapat menguntungkan secara ekonomis dibandingkan tumbuhan yang memerlukan perawatan secara intensif.

Pada Tabel 4.3 dan Tabel 4.4 juga dapat dilihat bahwa terdapat 2 tumbuhan yang menggunakan daun sebagai bahan dasar ekstrak dan memiliki persentase yang paling tinggi dan memiliki waktu panen yang lebih cepat diantara semua ekstrak lainnya, yaitu tumbuhan mahkota dewa dan tumbuhan daun kelor. Kedua tumbuhan ini merupakan tumbuhan yang juga sangat mudah untuk dibudidaya karena tidak terlalu memerlukan perawatan yang intensif.

Pada tumbuhan mahkota dewa dapat diperbanyak dengan biji (generatif) dan pencangkokan. Tumbuhan ini dapat tumbuh di ketinggian antara 10-1.200 meter dpl. Pemeliharaan tumbuhan ini tergolong mudah karena dalam perawatannya membutuhkan penyiraman dengan air yang cukup, dipupuk dengan pupuk dasar, terutama pupuk organik dan dijaga kelembapan tanahnya. Tumbuhan mahkota dewa dapat ditanam ditempat yang cukup matahari dan sedikit terlindungi.

Daun mahkota dewa dapat dipanen dalam waktu 1-2 bulan sekali tergantung kondisi daun (Rukmana, 2016).

Sedangkan tumbuhan kelor merupakan tumbuhan liar yang berasal dari daerah Asia tropik. Di Indonesia, tumbuhan kelor banyak ditemukan tumbuh pada berbagai jenis tanah di dataran rendah sampai dataran tinggi, di lahan pekarangan, kebun, ladang, tepi jalan, dan pematang sawah, baik di tempat kering maupun basah, juga di tempat teduh dan terbuka. Namun, tumbuhan ini respons terhadap

pemeliharaan secara intensif walaupun pemeliharaan tumbuhan ini tidak menuntut perhatian yang serius. Tumbuhan kelor dapat dipanen pertama pada umur 3-4 bulan setelah tanam. Panen berikutnya dilakukan secara periodik tiap dua bulan sekali.

Pada tumbuhan kelor yang tumbuhnya subur dapat dihasilkan sebanyak 15-25 ton/ha atau setara dengan 1,5-2,5 ton/ha kelor kering (Saparinto, 2016).

Tumbuhan pucuk merah, cocor bebek, pegagan, binahong, bambu tali dan murbei sebenarnya juga merupakan tumbuhan yang tergolong mudah untuk dibudidaya. Namun, masih rendahnya persentase penurunan KAU oleh ekstrak yang ditunjukkan pada masing-masing percobaan (<60%) dibandingkan dengan tumbuhan mahkota dewa dan kelor (>60%) menjadikan tumbuhan tersebut sebagai kandidat tumbuhan yang efektif dan efisien.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN