• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upaya Indonesia Dalam Menerapkan Prinsip Non Refoulement

BAB IV HAMBATAN YANG DIALAMI INDONESIA DALAM

B. Upaya Indonesia Dalam Menerapkan Prinsip Non Refoulement

Prinsip non refoulement telah diakui sebagai bagian dari hukum kebiasaan internasional (international customary law). Dalam arti, negara yang belum menjadi pihak (state parties), dengan kata lain belum meratifikasi Konvensi 1951 pun harus menghormati prinsip non refoulement ini.

Indonesia adalah salah satu negara yang belum menandatangani Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967 tentang pengungsi, Indonesia secara langsung tidak berkewajiban atas penanganan pengungsi yang ada di wilayah Indonesia. Dalam hal ini UNHCR lah sebagai Komisi Tinggi PBB untuk urusan pengungsi yang memiliki kewenangan untuk mengurusi pengungsi di Indonesia. Walaupun secara yuridis Indonesia tidak berkewajiban untuk terikat dalam aturan Konvensi 1951 karena Indonesia bukan salah satu negara yang ikut meratifikasi konvensi, namun demi alasan kemanusiaan, Indonesia memiliki tradisi yang baik dalam membantu para manusia perahu yang lari dari negaranya (selain Rohingya termasuk juga pengungsi Vietnam dan Timor Leste), dan ini sudah diketahui oleh banyak negara.

Berdasarkan letak geografisnya, Indonesia terletak diantara Benua Asia dan Benua Australia, serta di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Dengan demikian, wilayah Indonesia berada di posisi silang yang mempunyai arti penting dalam kaitannya dengan iklim

musim dan perekonomian. Posisi Indonesia yang terletak antara dua samudera dan dua benua menjadikan Indonesia sebagai tempat yang strategis untuk pergerakan dan juga tempat transit pengungsi asal Benua Asia yang sebagian besar menuju Benua Australia. Sejak tahun 1999, Indonesia dijadikan tempat transit terutama untuk pergerakan orang-orang Timur Tengah yang sebagian besar menuju ke Pulau Christmas Australia. Pada akhirnya pemerintah Indonesia mengalami kesulitan dalam hal penanganan pengungsi tersebut, meskipun secara undang-undang dan Konvensi Indonesia tidak ada kepentingan apapun berkaitan dengan pengungsi. Dengan belum menjadi pihak pada Konvensi Tahun 1951 dan Protokol 1967, maka Pemerintah Indonesia juga tidak mempunyai kewenangan untuk memberikan penentuan status pengungsi atau yang biasa disebut dengan “Refugee Status Determination” (RSD), sehingga pengaturan permasalahan pengungsi ditetapkan oleh UNHCR sesuai dengan mandat yang diterimanya berdasarkan Statuta UNHCR Tahun 1950.120

Prinsip non refoulement merupakan aspek dasar dari hukum pengungsi dan telah dikembangkan menjadi kebiasaan hukum internasional. Ini berarti bahwa prinsip tersebut mengikat bagi setiap negara meskipun belum menjadi peserta penandatangan Konvensi tahun

Meskipun penanganan pengungsi sepenuhnya dimandatkan kepada UNHCR dan Pemerintah Indonesia tidak mempunyai kewenangan dalam mengatasi masalah pengungsi, setidaknya Indonesia mempunyai suatu mekanisme tetap dalam menangani pengungsi yang transit di wilayah Indonesia. Mekanisme penanganan tersebut bisa diwujudkan dalam aturan perundang-undangan atau perangkat hukum lainnya, sehingga stabilitas keamanan wilayah Indonesia bisa berjalan dengan baik tanpa adanya permasalahan mengenai pengungsi.

120

Atik Krustiyati, Kebijakan Penanganan Pengungsi di Indonesia, Kajian Dari Konvensi Pengungsi tahun 1951. UBAYA, 2012. Hlm 174.

1951. Prinsip tersebut dibangun atas dasar ketidakberpihakan serta tanpa diskriminasi. Bantuan kemanusiaan terhadap pengungsi tidak boleh dialihkan dengan alasan-alasan politis atau kemiliteran dan yang pertama memiliki kewenangan terkait dengan prinsip non refoulement adalah negara penerima.121 Mengenai penerapan hukum kebiasaan internasional disebutkan juga dalam pasal 38 Konvensi Wina tahun 1969 dimana pada intinya menetapkan bahwa hukum kebiasaan internasional mengikat bagi semua negara.122

Untuk perwujudan prinsip non refoulement bagi para pengungsi yang sedang transit di Indonesia sudah terlaksana, dapat dilihat bahwa Pemerintah Indonesia masih memberi kesempatan bagi para pengungsi untuk tetap berada pada wilayah Indonesia terutama dalam

Setiap negara mempunyai tugas umum untuk memberikan perlindungan internasional sebagai kewajiban yang dilandasi hukum internasional, termasuk prinsip non refoulement sebagai norma yang harus dihormati dan wajib ditaati oleh setiap negara. Akan tetapi dalam praktiknya, banyak negara-negara yang kemudian enggan menerima para pencari suaka dan pengungsi tersebut sebut saja negara Thailand yang telah melanggar prinsip non refoulement yang ia lakukan kepada para pencari suaka Rohingya asal Myanmar dan Bangladesh yang datang ke negaranya.

Dapat dibayangkan, jika banyak negara melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh Thailand terhadap pengungsi yang datang ke wilayahnya. Ini berbanding terbalik dengan apa yang dilakukan oleh Indonesia yang telah banyak membantu para pengungsi yang datang ke wilayahnya, bahkan menangani pengungsi tersebut berdasarkan penanganan sesuai yang diatur dalam Konvensi 1951 walaupun hingga saat ini Indonesia belum meratifikasi Konvensi 1951.

121

Wagiman. 2012. Hukum Pengungsi Internasional, Jakarta : Sinar Grafika. Hlm. 120

proses penentuan status yang dilakukan oleh UNHCR. Dalam proses pemberian status dan pencarian negara ketiga bagi para pengungsi memang membutuhkan waktu yang cukup lama, tetapi pemerintah Indonesia juga tidak melakukan pemulangan kepada para pengungsi tersebut. Dari tindakan yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia tersebut, bahwa pemerintah Indonesia sudah bisa melaksanakan ketentuan non refoulement dari Konvensi 1951. Hal yang paling utama bahwa dari Pemerintah Indonesia sendiri sudah bisa mewujudkan prinsip-prinsip yang terpenting dari Konvensi Pengungsi 1951 yaitu tidak memulangkan (non refoulement). Tidak mengusir (non expulsion), tidak membedakan (non discrimination), dan juga tidak melakukan tindak pidana bagi para pengungsi yang masuk ke wilayah Indonesia saat ini, meskipun banyak hak-hak lain yang belum terpenuhi dan masih berat untuk dilaksanakan.

Beberapa penanganan yang dilakukan Indonesia, yaitu non diskriminasi terhadap pengungsi yang berasal dari negara manapun (Article 3 Konvensi 1951), penyatuan (Article 20 Konvensi 1951), tempat tinggal (Article 21 Konvensi 1951), pendidikan (Article 22 Konvensi 1951), pertolongan publik (Article 23 Konvensi 1951), serta larangan pengusiran atau pengembalian ke negara asal (non refoulement Article 33 Konvensi 1951). Penanganan- penanganan seperti ini sudah dilakukan oleh Indonesia mulai dari tahun 1975 hingga saat ini, didukung pula dengan salah satu pasal dalam konstitusi Indonesia pada Pasal 28G ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa :

“Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain”.

Ketika terjadinya perang saudara antara Vietnam Selatan dan Vietnam Utara (Vietkong), tercatat sekitar 250 ribu pengungsi berlabuh/terdampar di Pulau Galang, Kepulauan Riau,

Indonesia, atas dasar kemanusiaan pemerintah Indonesia memutuskan bekerjasama dengan UNHCR untuk membuat penampungan bagi para pengungsi Vietnam yang didanai oleh UNHCR. Selama 18 tahun para pengungsi tersebut bertempat tinggal di Indonesia hingga pada tahun 1996.

Sebagai negara yang bukan penandatangan Konvensi Pengungsi tahun 1951, Indonesia tidak memberikan para pengungsi dan pencari suaka di Indonesia hak untuk bekerja dan memperoleh bantuan sosial. Sebagian kecil dari mereka memperoleh bantuan dari lembaga mitra pelaksana UNHCR dan beberapa donasi lainnya. International Office of Migration (IOM) juga turut memberikan bantuan meskipun tidak ada data yang lebih jelas terkait bentuk dan jumlahnya. Dengan dana dan bantuan yang sangat terbatas, pengungsi dan pencari suaka di Indonesia terpaksa hidup dengan bergantung pada rumah-rumah detensi.

Meskipun para pengungsi dan pencari suaka diperbolehkan menetap di Indonesia selama mereka sedang menjalani proses yang ditetapkan UNHCR, Pemerintah Indonesia tidak mengizinkan adanya integrasi lokal dan hanya memperbolehkan pemulangan sukarela (voluntary repatriation) dan penempatan di negara ketiga (resettlement) sebagai solusi jangka panjang. Dalam periode setengah tahun pertama 2014, sebanyak 438 pengungsi diberangkatkan untuk penempatan dan 1.130 pengungsi sedang menunggu keputusan dari negara penerima.123

Kondisi para pengungsi dan pencari suaka di rumah-rumah detensi juga menjadi perhatian tersendiri, terutama terkait pada jumlah penghuni rumah detensi yang melebihi kapasitas, pengungsi dan pencari suaka yang rentan atau dengan kebutuhan khusus, serta akses untuk memperoleh bantuan legal. Terdapat 11 rumah detensi imigrasi utama di seluruh Indonesia

123

Suaka.or.id/2014/07/23/perkembangan-isu-pengungsi-dan-pencari-suaka-di-indonesia/ (diakses pada hari Rabu 2 Agustus 2015 pukul 10.00 WIB)

dimana semuanya beroperasi tanpa memiliki standar peraturan atau prosedur. IOM dan Direktorat Jenderal Imigrasi Indonesia merupakan pihak yang bertanggung jawab pada keberadaan rumah-rumah detensi di Indonesia, meskipun UNHCR turut memiliki akses ke tempat-tempat tersebut.124

1. Model keamanan (Security Model)

Hambatan yang Dialami Oleh Pemerintah Indonesia Dalam Menangani Pengungsi

Sebagaimana sudah di uraikan pada penjelasan sebelumnya, bahwa sampai saat ini Pemerintah Indonesia belum meratifikasi Konvensi 1951 maupun Protokol 1967 tentang Status Pengungsi. Hal ini tentu harus dipertimbangkan mengingat posisi Indonesia yang strategis yang menghubungkan dua benua dan dua samudera. Walaupun Indonesia bukan tujuan akhir para pengungsi, tetapi wilayah Indonesia yang cukup luas ini dapat dijadikan tempat persinggahan bagi para pengungsi, misalnya Pulau Galang yang dijadikan tempat pemukiman sementara untuk para pengungsi dari Indo Cina, dan Aceh yang dijadikan tempat pemukiman sementara untuk para pengungsi Rohingya.

Saat ini kesulitan dalam penanganan pengungsi dapat digambarkan melalui dua buah model penanganan sebagai berikut :

Model ini lebih menekankan pada hak-hak penguasa (negara), karena pengungsi seringkali dipandang sebagai ancaman yang menggangu negara, sehingga harus selalu dikontrol. Model keamanan ini terdiri dari dua bagian, yaitu menguasai (internal), dan

124 Ibid.,

melindungi (eksternal). Pendekatan internal merupakan mekanisme kontrol langsung kepada masyarakat, misalnya dalam bentuk peraturan yang mengatur tentang pengungsi, masalah keimigrasian dan lain-lain. Sedangkan pendekatan eksternal difokuskan kepada kebijakan luar negeri, peran PBB dan lain-lain.

2. Model hak-hak individu (The Individual Rights Model)

Model ini lebih menekankan pada hak-hak individu, karena pengungsi dipandang sebagai individu yang harus dilindungi menurut Konvensi 1951 dan Protokol 1967. Selain itu mereka juga harus mendapat perlindungan menurut doktrin-doktrin HAM. Pengungsi harus mendapat keadilan dan perlindungan dari penganiayaan atau penyiksaan sesuai dengan martabat kemanusiannya.

Hal yang paling penting untuk dilakukan dalam menangani pengungsi adalah kebijakan politik bilateral antara negara asal pengungsi (country of origin), dengan negara penerima pengungsi (host country).125

1. Mengakses instrumen hukum/hak asasi manusia internasional tentang pengungsi antara lain Konvensi 1951 berikut Protokol 1967

Pengembangan aturan hukum untuk perlindungan pengungsi ini dapat dilaksanakan dalam beberapa hal, yaitu :

2. Menyusun instrumen hukum/hak asasi manusia regional. Hal ini dapat dilihat dari apa yang dilakukan dalam Organisasi persatuan Afrika (Organization of African Union) melalui Konvensi tahun 1969, kemudian negara-negara Eropa melalui Konvensi Schengen 1985 dan Dublin 1990, serta negara-negara Amerika Latin melalui Cartagena Declaration 1984

125

Heru Susetyo. Kebijakan Penanganan Internally Displaced Persons (IDPs) di Indonesia dan Dunia Internasional. Jurnal Hukum Internasional. Vol. 2 No.1 Oktober 2004

3. Menyusun legislasi nasional tentang pengungsi, legislasi ini harus dilakukan dengan mengembangkan hukum nasional yang komprehensif dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip universal tentang perlindungan pengungsi.

Penanganan persoalan pengungsi dapat dilakukan dengan cara memberikan bantuan (assistance) dan pertolongan (relief). Pemberian bantuan berupa penampungan dan fasilitas makanan serta kesehatan. Pemberian pertolongan dapat berupa pemberian status yang jelas tentang identitas pengungsi, misalnya dengan membantu persoalan kewarganegaraan. Kewarganegaraan adalah faktor yang penting bagi individu, karena dengan mempunyai kewarganegaraan seseorang akan mempunyai identitas sebagai dasar untuk memperoleh perlindungan dan melaksanakan hak sipil dan politik.

Dokumen terkait