• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II URAIAN TEORITIS

2.2 Uraian Teoritis

2.2.1 Komunikasi Antarbudaya

2.2.1.1Pengertian Komunikasi Antarbudaya

Manusia belajar berpikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, minum, tindakan sosial, ekonomi dan politik juga dilakukan berdasarkan pola kebudayaan yang kita dianut oleh masing-asing individu. Hal ini menunjukkan bahwa semua tindakan komunikasi kita sesuai dengan konsep budaya yang mendarah daging dalam tubuh kita. Dengan demikian budaya tidak bisa dipisahkan dari komunikasi, karena budaya itu sendiri tidak hanya mencakup siapa bicara dengan siapa, tentang apa dan bagaimana komunikasi tersebut berlangsung, akan tetapi budaya juga turut menentukan bagaimana seseorang menyandi pesan, menyampaikan pesan, serta bagaimana konteks dan situasi dalam proses pengiriman pesan, dan proses penafsiran akan pesan tersebut sampai pada akhirnya menemukan makna dibalik pesan. Jadi komunikasi antarbudaya adalah proses komunikasi yang terjadi diantara dua orang atau lebih, dengan latar belakang budaya yang berbeda. Inilah yang menjadi ciri khas dari komunikasi antarbudaya.

Komunikasi Antarbudaya selalu mempunyai tujuan tertentu yakni menciptakan komunikasi yang efektif melalui pemaknaan yang sama melalui pesan yang dipertukarkan. Dengan demikian, untuk mencapai komunikasi yang efektif itu, individu-individu yang saling berkomunikasi itu haruslah mempunyai makna yang sama terhadap pesan yang disampaikan dan diterima. Secara umum tujuan komunikasi antarbudaya antara lain menyatakan identitas sosial dan menjembatani perbedaan antarbudaya melalui perolehan informasi baru, mempelajari sesuatu yang baru yang tidak pernah ada dalam kebudayaan. Intensifitas kita dalam Komunikasi antarbudaya mampu mengubah persepsi dan sikap kita terhadap lawan bicara kita (Liliweri, 2004:254).

Komunikasi antarbudaya memiliki perbedaan dari bentuk komunikasi lainnya. Perbedaan tersebut terletak pada latar belakang pengalaman yang relatif

besar diantara para komunikatornya yang disebabkan oleh perbedaan kebudayaan. Konsekuensinya, jika ada dua orang yang berbeda budaya, maka akan berbeda pula perilaku komunikasi dan makna yang dimilikinya. Ada syarat-syarat pokok yang diperlukan individu untuk berkomunikasi secara efektif antar budaya. Syarat-syarat itu adalah : 1. Menghormati anggota budaya lain sebagai budaya, 2. Menghormati budaya lain apa adanya, bukan sebagaimana yang kita kehendaki, 3. Menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak (Mulyana, 2005:6-7).

Sebagaimana kita ketahui bahwa budaya mempengaruhi orang yang berkomunikasi. Budaya bertanggung jawab atas perbendaharaan perilaku komunikatif dan makna yang dimiliki setiap orang. Namun yang sering menjadi masalah adalah ketika makna yang disandi oleh seseorang dengan budayanya berbeda dengan penyandian balik oleh lawan bicaranya. Cara menilai budaya lain dengan nilai-nilai budaya sendiri dan menolak mempertimbangkan norma-norma budaya lain akan menentukan keefektifan komunikasi yang akan terjadi. Disatu pihak ada orang-orang yang sekaligus mengetahui dan menerima kepercayaan dan perilaku orang lain, dipihak lain ada juga orang-orang yang tidak mengetahui dan menerima, sehingga kemungkinannya tinggi sekali untuk mengalami kegagalan komunikasi.

2.2.1.2 Asumsi-Asumsi Komunikasi Antarbudaya

Komunikasi Antarbudaya merupakan salah satu kajian dalam ilmu komunikasi, karena memang komunikasi antarbudaya itu memindahkan fokus dari kebudayaan yang satu pada kebudayaan yang dibandingkan, menghubungkan kebudayaan dengan komunikasi, serta membawa kita untuk memperhatikan bahwa kebudayaan yang mendarah daging dalam diri setiap individu mampu mengubah perilaku individu tersebut. hal ini jelas didukung oleh adanya “asumsi-asumsi” teoritik. Asumsi tidak terlepas dari teori, dimana teori itu sendiri diartikan sebagai alat keilmuan yang bertujuan untuk menerangkan hubungan antara berbagai aktivitas manusia yang diamati.

Ketika sebuah teori komunikasi bisa diterapkan dalam sebuah kehidupan sehari-hari, hal inilah yang disebut dengan asumsi, dan dengan adanya asumsi ini orang-orang akan mampu memberikan batas-batas bagi penerapan sebuah teori. Jdi, asumsi teori komunikasi antarbudaya berarti seperangkat pernyataan yang menggambarkan sebuah lingkungan yang valid, tempat dimana sebuah teori komunikasi antarbudaya dapat diterapkan atau diaplikasikan. Berikut ada beberapa asumsi teori komunikasi antarbudaya, yaitu:

1. Komunikasi Antarbudaya dimulai dengan anggapan dasar bahwa ada

perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan

2. Dalam komunikasi antarbudya terkandung isi dan relasi antarpribadi

3. Gaya personal mempengaruhi komunikasi antarpribadi

4. Komunikasi antarbudaya bertujuan mengurangi tingkat ketidakpastian

5. Komunikasi berpusat pada kebudayaan

6. Efektifitas antarbudaya merupakan tujuan komunikasi antarbudaya

2.2.2 Persepsi

Manusia diberi kemampuan oleh Tuhan untuk mempersepsikan apa yang dia lihat dan dia rasakan dari pengalaman dilingkungan tempat dia hidup. Persepsi-persepsi tersebut berasal dari kebudayaan yang mengajarkan kepada individu untuk mencipta, merasa, dan mengkarsa. Jadi kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia yang turut menentukan persepsi manusia. Berbeda kebudayaan, maka berbeda pula persepsi yang dimiliki oleh masing-masing individu tersebut. Komunikasi antarbudaya dimulai dengan anggapan dasar bahwa ada perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan. Komunikasi antarbudaya akan lebih dapat dipahami sebagai perbedaan budaya dalam mempersepsi objek-objek sosial dan kejadian-kejadian.

Perbedaan kerangka berpikir dan pengalaman seseorang (Frame of reference dan Field of experience) menyebabkan perbedaan model komunikasi yang dihasilkan. Dan jika dilihat ke belakang, sebenarnya perbedaan tersebut merupakan hasil dari budaya setiap orang yang berbeda. Model komunikasi yang berbeda menyebabkan perbedaan dalam pemaknaan sesuatu. Dan salah satu

kendala dalam memahami komunikasi antarbudaya adalah masalah bahasa dan persepsi masing-masing pihak yang berkomunikasi. Tidak hanya itu, faktor pendukung seperti kebiasaan-kebiasaan, aturan-aturan, sikap pola perilaku, yang semua tercakup dalam perbedaan budaya juga menjadi kendala dalam berkomunikasi antar budaya.

Komunikasi antara dua orang atau lebih juga akan dipengaruhi oleh iklim komunikasi, antara komunikator dengan komunikan adalah berbeda. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam perbedaan latar belakang kebudayaan dan juga iklim komuniaksi diantara individu, umumnya mengimplikasikan bahwa hambatan komunikasi antarbudaya acapkali tampil dalam bentuk perbedaan persepsi terhadap nilai-nilai budaya, norma budaya, pola berpikir dan sistem budaya (Liliweri, 2004:15). Bahkan masalah-masalah yang kecil dalam komunikasi pun sering sekali diperumit oleh perbedaan-perbedaan persepsi ini, jadi mau atau tidak, kita harus paham apa kerangka persepsi dari lawan bicara kita. Belajar bagaimana mempersepsi dunia. Karena dalam komunikasi antarbudaya yang efektif dan ideal itu, yang diharapkan adalah adanya persamaan dalam pengalaman dan persepsi. Namun yang menjadi masalah adalah ketika kita dihadapkan dengan budaya, maka jarang kita menemukan yang namanya persamaan dalam pengalaman dan persepsi.

Persepsi adalah proses internal yang kita lakukan untuk memilih, mengevaluasi dan mengorganisasikan rangsangan dari luar atau lingkungan eksternal kita (Lubis, 2012). Dengan kata lain persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Secara umum bisa kita lihat bahwa bagaimana orang berperilaku itu adalah hasil dari bagaimana persepsinya terhadap dunia. Inilah yang disebut dengan pengalaman budaya mereka. Kita cenderung memperhatikan, memikirkan dan memberikan respon kepada unsur-unsur lingkungan kita yang penting bagi kita. Misalnya, ketika anak-anak dari penduduk Amerika serikat digabung dengan anak-anak dari penduduk Meksiko, dan dihadapan mereka ada

dua jenis pertandingan yang berlangsung, baseball dan adu banteng, secara

berhubungan dengan budaya mereka; Anak-anak Meksiko cenderung menyukai adu banteng dan anak-anak Amerika Serikat cenderung melihat pertandingan baseball. Apa yang terjadi adalah bahwa anak-anak membuat pilihan berdasarkan latar belakang budaya mereka; mereka cenderung untuk melihat, menyenangi dan melaporkan apa yang biasa bagi mereka (Samovar,2010: 222).

Persepsi juga membicarakan bagaimana kita memberikan makna pada stimuli yang dikecap oleh alat indera kita. Kebudayaan juga sangat mempengaruhi persepsi, sebab apa yang dianggap sama oleh seorang individu, belum tentu dianggap sama oleh individu yang lain. Misalnya, pada masyarakat yang menitikberatkan kekayaan, akan membagi masyarakat dalam dua kelompok : orang kaya dan orang miskin. Sementara pada masyarakat yang mengutamakan pendidikan akan membagi masyarakat dalam dua golongan yaitu : kelompok terdidik dan tidak terdidik. Pengelompokan budaya erat kaitannya dengan label ; dan yang kita beri label yang sama cenderung untuk kita persepsi sama. Agama, Ideologi, intelektualitas,tingkat ekonomi, pekerjaan dan citra rasa sebagai faktor-faktor internal akan mempengaruhi persepsi seseorang terhadap realitas yang ada (Rakhmat, 2007:61).

Dengan demikian, persepsi itu terikat oleh budaya dan bersifat subjektif. Semakin besar perbedaan kebudayaan seseorang dengan orang lain, maka akan semakin besar perbedaan persepsi diantara mereka terhadap suatu realitas (Liliweri,2001: 15). Oleh sebab itu, sangat jarang kita temui dua orang yang mempunyai persepsi yang persis sama, karena memang persepsi itu terikat pada budaya yang mendarah daging dalam diri masing-masing. Ada unsur-unsur yang mempunyai pengaruh besar dan langsung atas makna-makna yang dibangun dalam persepsi seseorang yang dibentuk terhadap orang lain ketika berkomunikasi. Unsur-unsur tersebut terdiri atas system kepercayaan (belief), nilai (value), sikap (attitude), pandangan dunia (world view), dan organisasi sosial (social organization). Unsur-unsur tersebut mempengaruhi persepsi manusia dan makna yang dibangun dalam persepsi tersebut. (Liliweri, 2001:160).

2.2.2.1Sistem Lambang

Hampir semua pernyataan manusia baik yang ditujukan pada diri sendiri atau pun yang ditujukan pada orang lain dinyatakan dengan lambang atau simbol. Hubungan antara pihak yang ikut serta didalam suatu proses komunikasi banyak ditentukan oleh lambang-lambang yang digunakan dalam berkomunikasi. Lambang atau simbol adalah hasil kreasi manusia dan sekaligus menunjukkan tingginya kualitas budaya manusia dalam berkomunikasi dengan sesamanya. Diantara semua bentuk simbol, bahasa merupakan simbol yang paling rumit, halus dan berkembang. Lambang ini bukan hanya tergambar dalam bentuk verbal saja, yang menggunakan kata-kata (bahasa lisan atau tertulis), tetapi juga sangatlah penting untuk meyakinkan lambang verbal dengan lambang non verbal, seperti gerakan anggota tubuh, bunyi-bunyian, bau-bauan. Lambang membawa pernyataan dan diberi makna oleh penerima, karena itu memberi makna terhadap lambang yang dipakai dalam berkomunikasi bukanlah sesuatu hal yang mudah, melainkan suatu persoalan yang cukup rumit (Cangara, 2005:50). Proses pemberian makna terhadap suatu lambang yang diterima ini sangat dipengaruhi oleh faktor budaya dan juga psikologis, karena sebuah pesan yang disampaikan dengan lambang yang sama, bisa saja berbeda arti bilamana individu yang menerima pesan itu berbeda dalam kerangka berpikir dan kerangka pengalaman.

“Meskipun kita hidup dalam satu bahasa yang sama (Inggris), tetapi kita banyak berbeda dalam kerangka budaya (McNamara, 1966).”

Bahasa menjadi media yang utama dalam budaya untuk menyampaikan maksud dan tujuan melalui interaksi di antara individu dalam melihat realitas sosial. Bagimana otak menanggapi stimuli yang diterima, kemudian masuk dalam tahap proses berpikir untuk memberikan sebuah makna atas stimuli, hingga pada akhirnya mengekspresikan makna lewat pendapat, yang disebut dengan persepsi. Bahasa yang berbeda sebenarnya mempengaruhi pemakainya untuk berpikir, melihat lingkungan, dan alam semesta di sekitarnya dengan cara yang berbeda, dan karenanya berperilaku secara berbeda pula. Benjamin Lee Whorf (1956) menyatakan pandangannya bahwa (1) Tanpa bahasa kita tidak dapat berpikir; (2) Bahasa mempengaruhi persepsi; (3) Bahasa mempengaruhi pola berpikir

(Mulyana, 2007: 276). Sebenarnya bukan kata yang mempunyai makna, namun kitalah yang memberikan makna terhadap kata-kata itu, dan makna yang kita berikan pada satu kata bisa lebih dari satu atau dua makna, tergantung pada konteks ruang dan waktu. Kata-kata yang membangkitkan makna dalam pikiran orang. Jadi makna ada di kepala bukan pada lambang atau simbol. Contoh, orang Sunda menggunakan kata bujur yag berarti “pantat”, ternyata bagi orang Batak Karo itu artinya “Terimakasih”, dan “benar” bagi orang di Kalimantan Selatan. Bagaimana jika dua, tiga orang ini berkomunikasi, apa yang akan terjadi? Kemungkinan akan tergambar seperti ilustrasi di bawah ini:

Seorang cowok Batak dan cewek Sunda berada di sebuah angkutan kota. Si cowok berlagak sok akrab dengan cewek terseebut dan ia langsung membayar ongkos si cewek. “Biarin saya yang bayar, Neng.” Si cewek tidak bisa berbuat apa-apa. “Terima kasih, Mas” katanya. Si cowok pun menjawab, “Bujur kembali”. Tentu saja si cewek marah dan menamparkan uang ke wajah si cowok, sambil berucap, “Enak saja, nih uangmu!”

Menurut Gudykunst dan Kim (1984) untuk mencapai komunikasi yang

efektif, maka komunikator harus mengetahui apa yang ingin dibicarakan, sehingga pesan yang ingin disampaikan jelas dan membuat komunikan bisa menerima dengan cermat. Pola berpikir seorang individu yang berasal dari budaya lain dituntut untuk bisa memahami sebagaimana budaya lawan bicaranya (Lubis, 2012). Dengan mengerti pola-pola dasar pengetahuan verbal dan non verbal dari suatu kebudayaan, kita dapat mengetahui sikap-sikap dasar dari kebudayaan tersebut. Misalnya dengan memperhatikan cara pemberian salam dari pihak keluarga laki-laki dalam acara pernikahan adat Batak Toba, terhadap keluarga perempuan, kita dapat melihat dan mempelajari sedikit tentang sikap orang batak yang sangat menghormati pihak pemberi isteri. Dengan demikian, kita juga bisa melihat bagaimana sistem nilai suatu budaya.

2.2.2.2Pandangan Dunia (World View)

Pandangan dunia berkaitan dengan orientasi suatu budaya terhadap hal-hal seperti Tuhan, kemanusiaan, alam semesta, juga masalah filosofis lainnya. Pandangan dunia ini membantu kita untuk mengetahui posisi dan tingkatan kita dalam alam semesta. Oleh karena pandangan dunia begitu kompleks, kita sulit

melihatnya dalam interaksi antarbudaya. Misalnya, jelas berbeda bagaimana pandangan seorang kristiani dengan muslim, dengan khatolik, juga dengan seorang atheis. Pandangan dunia sangat mempengaruhi budaya. Efeknya sering sekali dalam hal-hal yang tampak nyata dan remeh seperti pakaian, isyarat dan perbendaharaan kata. Pandangan dunia mempengaruhi kepercayaan, nilai, sikap, penggunaan waktu dan banyak aspek budaya lainnya, sehingga pandangan dunia ini pun akhirnya mempengaruhi komunikasi antarbudaya, oleh karena sebagai anggota suatu budaya setiap pelaku komunikasi mempunyai pandangan dunia yang tertanam dalam pada jiwa yang sepenuhnya dianggap benar dan ia otomatis menganggap bahwa pihak lain juga memandang dunia sama seperti pandangannnya.

a. Sistem Kepercayaan

Pada dasarnya, manusia yang memiliki naluri untuk menghambakan diri kepada yang Maha Kuasa, yaitu dimensi lain di luar dirinya dan lingkungannya, yang dianggap mampu mengendalikan hidup manusia. Dorongan ini sebagai akibat atau refleksi ketidakmampuan manusia dalam menghadapi tantangan-tantangan hidup, dan hanya Yang Maha Kuasa saja yang mampu memberikan kekuatan dalam mencari jalan keluar dari permasalahan hidup dan kehidupan. Dalam komunikasi antarbudaya, tidak ada hal yang benar dan hal yang salah sejauh itu berkaitan dengan kepercayaan. Sistem kepercayaan ini merupakan produk manusia sebagai homo religius. Manusia yang memiliki kecerdasan pikiran dan perasaan luhur tanggap bahwa diatas kekuatan dirinya terdapat kekuatan lain yang maha besar. Karena itu manusia takut sehingga menyembahnya dan lahirlah kepercayaan yang sekarang menjadi agama. Fungsi sosial agama adalah memperkuat struktur sosial dan prinsip-prinsip moral, secara keseluruhan berfungsi untuk memperbaiki akhlak manusia. Agama menjelaskan apa yang seharusnya dan memadukannya dengan alam dan sekitar. Pada dasarnya peranan agama dalam etnis manapun merupakan unsur utama karena agama mengandung nilai-nilai universal yang berisikan pendidikan dan pembinaan dan pembentukan moral dalam keluarga. Misalnya seseorang percaya bahwa hembusan angin dapat mengarahkan perilakunya ke arah yang benar, maka kita

tidak boleh menyatakan itu sesuatu hal yang salah. Kita harus dapat mengenal dan menghadapi kepercayaan tersebut bila kita ingin menjalin komunikasi yang baik dengan orang tersebut.

b. Nilai

Menjelaskan apa itu suatu nilai bukanlah hal yang mudah. Setidak-tidaknya bisa kita katakan bahwa nilai itu bagi kita adalah sesuatu yang kita cari, sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu hal yang kita inginkan dan pastinya semua itu adalah sesuatu yang baik. Nilai selalu mempunyai konotasi positif. Sesuatu dikatakan memiliki nilai apabila berguna dan berharga (nilai kebenaran), indah (nilai estetika), baik (nilai moral) dan juga nilai religius. Tidak pernah ada komunitas masyarakat yang terbentuk dan berdiri tanpa adanya sistem nilai. Nilai dalam masyarakat tercakup dalam adat kebiasaan dan tradisi, yang secara tidak sadar diterima dan dilaksanakan oleh anggota masyarakat. Dalam suatu komunitas masyarakat yang secara cepat mengalami perubahan, nilai menjadi bahan pertentangan. Nilai mempunyai tiga ciri, sebagai berikut: 1). Nilai berkaitan dengan subjek. Kalau tidak ada subjek yang menilai, maka tidak akan ada nilai. 2). Nilai tampil dalam suatu konteks praktis, dimana subjek ingin membuat sesuatu. 3). Nilai-nilai menyangkut sifat-sifat yang ditambah oleh subjek pada sifat-sifat yang dimiliki objek (Bertens, 2004: 139).

Tidak bisa dipungkiri bahwa nilai sering dikacaukan dengan keyakinan dan juga kepercayaan. Keyakinan itu berisi kepercayaan pada suatu argumentasi yang sungguh-sungguh dianggap benar. Keyakinan tidak butuh bukti empiris. Nilai-nilai adalah perasaan-perasaan tentang apa yang diinginkan ataupun yang tidak diinginkan, atau tentang apa yang boleh dan yang tidak boleh. Dalam suatu komunitas mayarakat, setiap individu akan mengikuti nilai-nilai yang sudah ditanamkan oleh leluhurnya. Mereka akan menjunjung tinggi nilai itu sehingga menjadi salah satu faktor penentu untuk berperilaku. Dalam hal ini, seorang anggota dalam suatu komunitas masyarakat tertentu dan yang terdahulu, akan memberitahukan nilai apa yang berlaku dalam komunitas itu, memberitahukan apa yang boleh dilakukan dan hal yang tabu atau tidak boleh dilakukan.

Dengan demikian bisa kita simpulkan bahwa sistem nilai yang berlaku itu tidak tersebar secara sembarangan, tetapi menunjukkan serangkaian hubungan yang bersifat timbal balik, yang menjelaskan adanya tata tertib dalam suatu komunitas masyarakat. Jadi, nilai-nilai itu tidak bersifat universal karena kecenderungannya berbeda antara satu budaya dengan budaya lainnya. Misalnya, dalam komunitas masyarakat suku Batak Karo, ada satu nilai yang dipegang kuat, yaitu menantu perempuan tidak boleh mengajak berbicara mertuanya laki-laki. Ternyata nilai seperti ini tidak berlaku bagi masyarakat suku Batak Toba. Tidak ada batasan dalam masyarakat suku Batak Toba untuk bicara kepada mertua atau menantunya, namun yang pasti berbicaralah dengan sopan.

Wujud nilai lainnya yang berlaku bagi kedua suku ini adalah sistem kekerabatan yang sangat kuat, dalam bahasa Batak Toba dikatakan Dalihan Na Tolu, sementara dalam suku Batak Karo disebut Sangkep Sitelu, Artinya, ada tiga golongan kedudukan yang sama dan sederajat di dalam sub suku Batak, ketiga golongan inilah yang melahirkan istilah-istilah kekerabatan dalam masyarakat batak yang harus diutamakan dan dihormati. Golongan pertama yaitu Menghormati dan sujud pada pihak pemberi isteri dalam suatu perkawinan, “Somba marhula-hula” (Batak Toba), “Kalimbubu” (Batak Karo), golongan kedua adalah tetap berhati-hati dan menjaga persaudaraan yang baik dengan Saudara/i kandung kita, “manat mardongan tubu”(Batak Toba), “Senina” (Batak Karo), golongan ketiga adalah menghormati serta bisa mengambil hati dari kelompok anak perempuan dan suaminya juga anak-anaknya, serta orangtua dari suaminya (bagi anak perempuan yang telah menikah), disebut “Elek marboru” (Batak Toba), Beru (Batak Karo). Dalam sub suku Batak Toba, ketiga golongan ditambah lagi dengan satu pelengkap, yaitu Sopan dan baik dalam persahabatan satu kampung. Istilah kekerabatan yang kita temukan di dalam sub suku Batak Karo juga jauh berbeda dengan sub suku Batak Toba, Simalungun, Angkola-Mandailing dan Pakpak Dairi. Demikianlah sedikit perbedaan yang bisa dijelaskan penulis, dari sekian banyak perbedaan yang ada diantara kedua sub suku Batak tersebut. Sehingga terbersit dalam pikiran penulis, bagaimana menjalin hubungan lebih dari sekedar teman diantara kedua sub suku Batak

tersebut, Batak Toba dan Batak Karo, bagaimana dengan pemaknaan terhadap simbol, nilai budaya dan juga adat istiadat diantara keduanya.

Menurut Williams (1960), dalam sistem nilai tersebut, kadang-kadang terdapat berbagai konsepsi yang hidup di dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang dianggap bernilai dalam hidup. Nilai-nilai budaya adalah aspek penilaian daripada sistem kepercayaan, nilai dan sikap. Nilai-nilai tersebut pada dasarnya bersifat normatif, yang dapat menjadi rujukan kepada anggota budaya tentang perkara yang baik, buruk, benar, salah, positif, negatif dan sebagainya. Nilai-nilai budaya ini juga menekankan perilaku-perilaku yang penting dan yang harus dikesampingkan. Nilai budaya menjadi suatu pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia dalam suatu komunitas masyarakat. Nilai-nilai budaya adalah sesuatu aturan yang tersusun untuk membuat pilihan-pilihan dan mengurangkan konflik dalam masyarakat. Sistem nilai budaya itu demikian kuatnya meresap dan berakar dalam jiwa masyarakat, sehingga sulit diganti atau diubah dalam waktu yang singkat (Soelaeman, 2005).

c. Perilaku

Dengan adanya sistem nilai dan juga kepercayaan yang dipegang oleh setiap individu, maka berbeda juga perilaku yang dilahirkan. Sikap adalah suatu keadaan internal atau keadaan yang masih ada dalam diri manusia. Keadaan internal ini berupa keyakinan yang diperoleh dari sebuah proses belajar dari kebudayaan, proses akomodasi dan asimilasi pengetahuan yang mereka dapatkan, sebagaimana telah dikemukakan oleh Peaget’s tentang perkembangan kognitif manusia

Dokumen terkait