• Tidak ada hasil yang ditemukan

Urgensi Perlindungan Saksi Pelapor Dalam Tindak Pidana Korupsi 1 Asas filosofis perlindungan saksi pelapor dalam tindak pidana korups

137

Pasal 41 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

138

Pasal 42 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

1. Tidak ada perbedaan asasi di antara sesama manusia.

2. Sama-sama mempunyai tugas sebagai manusia untuk mengembangkan dan mempertahankan kodrat, harkat dan martabat sebagai manusia ciptaan Tuhan. 3. Sebagai manusia mempunyai hak kemanusiaan yang harus dilindungi tanpa

kecuali.

4. Fungsi atau tugas apapun yang diemban oleh setiap manusia, hanya semata- mata dalam ruang lingkup menunaikan amanat Tuhan Yang Maha Esa.138

Berdasarkan jiwa yang terkandung dalam sila Ketuhanan, cita penegakan hukum tiada lain daripada fungsi pengabdian melaksanakan amanat Tuhan, dengan cara menempatkan setiap manusia yang dalam sebagai saksi pelopor yang merupakan salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan Saksi dan/atau Korban yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana sebagai makhluk Tuhan yang memiliki hak dan martabat kemanusiaan yang harus dilindungi dan mempunyai hak dan kedudukan untuk mempertahankan kehormatan dan martabatnya.

Fungsi penegakan hukum yang dipercayakan aparat penegak hukum berada dalam ruang lingkup amanat Tuhan, mereka harus memilliki keberanian dan kemampuan menyimak isyarat nilai keadilan yang konsisten dalam setiap

138

www. Dominggus Silaban, SH.MH Dapatkah saksi pelapor tindak pidana korupsi ditangkap/ditahan/diproses pidana dalam kaitan dengan kasus yang dilaporkannya? Hakim Pengadilan Negeri Sukabumi.

penegakan hukum. Keadilan yang ditegakkan aparat penegak hukum bukanlah keadilan semaunya sendiri, tetapi merupakan wujud keadilan yang selaras dengan keinginan dan keridhoan Tuhan Yang Maha Esa, yang mempunyai dimensi pertanggungjawaban terhadap hukum, terhadap diri dan hati nurani dan terhadap masyarakat nusa dan bangsa berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian, diharapkan setiap aparat penegak hukum harus memberikan perlindungan hukum bagi Saksi dan/atau Korban yang sangat penting keberadaannya dalam proses peradilan pidana.

Meskipun pada prinsipnya keadilan itu tidak dapat diwujudkan secara murni dan mutlak. Manusia hanya mampu menemukan dan mewujudkan keadilan yang nisbi atau relatif. Kita menyadari bahwa untuk menegakkan keadilan menurut hukum (legal justice) adalah sangat sulit apalagi menegakkan keadilan moral (moral justice).139

Bila dilihat satu persatu mengenai asas filosofis perlindungan saksi pelapor yang terdapat di dalam Pasal 3 UU Perlindungan Saksi dan Korban maka dapat diketahui:

Namun, untuk mencapai keadilan itu diperlukan adanya tolok ukur keadilan yang dicita-citakan oleh masyarakat bangsa sebagaimana halnya yang dicantumkan dalam Pasal 3 UU Perlindungan Saksi dan Korban, yaitu perlindungan saksi dan korban berasaskan pada: penghargaan atas harkat dan martabat manusia, rasa aman, keadilan, tidak diskriminatif; dan kepastian hukum.

139 Ibid.

1. Penghargaan atas harkat dan martabat manusia

Harkat dan Martabat Manuasia membedakan manusia dari makhluk-makhluk lainnya di seluruh alam semesta, dimana Harkat dan Martabat Manusia (HMM) yang mengandung butir-butir bahwa manusia adalah: a) makhluk yang terindah dalam bentuk dan pencitraannya; b) makhluk yang tertinggi derajatnya; c) makhluk yang beriman dan bertaqwa kepada Tuahn Yang Maha Kuasa; d) khalifah dimuka bumi; dan e) pemilik Hak-hak Asasi Manusia (HAM)

Pada diri maanusia dapat dilihat adanya lima dimensi kemanusiaan, yaitu : 1) Demensi kefitrahan; 2) Dimensi keindividualan; 3) Dimensi kesosialan; 4) Dimensi kesusilaan; dan 5) Dimensi keberagamaan.140

Untuk memungkinkan perkembangan individu ke arah yang dimaksud itu, manusia dikaruniai lima jenis bibit yang dalam hal ini disebut Pancadaya,

Kata kunci untuk dimensi kefitrahan adalah kebenaaran dan keluhuran, dimensi keindividualan adalah potensi dan perbedaan, dimensi kesosialan adalah komunikasi dan kebersamaan, dimensi kesusilaan adalah nilai dan moral, dan dimensi keberagamaan adalah iman dan taqwa. Kelima dimensi kemanusiaan tersebut merupakan satu kesatuan, saling terkait dan berpengaruh. Pada dasarnya menyatu, berdinamika dan bersinergi sejak awal kejadian individu, sampai akhir kehidupannya. Kelima menuju kepada perkembangan individu menjadi “manusia seutuhnya”

140

yaitu: (1) Daya cipta, (2) Daya karsa, (3) Daya rasa, (4) Daya karya, dan (5) Daya taqwa. Pancadaya menjadi sisi hakiki dari keseluruhan dimensi kemanusiaan. Dalam kajian, pancadaya dimanifestasikan sebagai intelegensi rasional, intelegensi social, intelegensi emosional, intelegensi instrumental, dan intelegensi spiritual.

2. Rasa aman

Rasa aman adalah situasi dan kondisi suasana hati seseorang atau sekelompok orang yang merasa aman nyaman, damai dan tentram. Suatu rasa yang lebih pada situasi psikologis akan lebih menjadikan keyakinan akan keamanan dan adanya sistem pengamanan yang terpadu dan modren.

Sistem keamanan untuk mewujudkan dan memilihara keamanan dan rasa aman warga masyarakat memang tidak sebatas dengan penjagaan atau cara- cara konvensional. tetap perlu pengamanan baik di lingkungan warga sendiri, pengamanan sistem pengamananterhadap isue-isue yang bisa menjadi provokatif, mengamankan berbagai bentuk penyimpangan sosial. Pola pengamanan sekarang ini dikenal dengan model management securty. keamanan dan rasa aman ini juga bisa menjadi lahan bisnis juga bisa menjadi bagian dari premanisme dalam bidang bisnis keamanan. selama pendekatannya bukan pada upaya-upaya peningkatan kualitas hidup dan terwujudnya suasana hati yang mendorong pada meningkatnya produktifitas masyarakat dapat dikatakan keamanan dan rasa aman akan menjadi semu dan

menjadi lahan subur yang mempunyai kekuasaan dan massa untuk menguasai suasana dan wilayah sesuai dengan kehendaknya.

3. Keadilan

Plato (427-347 SM) menggambarkan keadilan seperti pada jiwa manusia, dimana jiwa manusia terdiri dari 3 bagian, yaitu pikiran (logistikon), perasaan dan nafsu baik psikis maupun jasmani (ephitumatikon), serta rasa baik dan jahat (thumoeindes).141

Hans Kelsen menegaskan konsep keadilan secara jernih yang bebas dari nilai. Dengan pandangannya itu, Hans Kelsen mengambil jarak dari penafsiran keadilan yang menggunakan aneka macam legitimasi, baik politik maupun etika, yang tidak dapat melepaskan diri dari muatan teologis. Menurut Hans Kelsen, idealisme dalam ajaran hukum alam juga menyiratkan adanya dualisme dalam norma keadilan, di mana yang satu adalah norma keadilan yang sumbernya bersifat transendental, dan yang lain lagi adalah norma keadilan yang bersumber pada akal budi manusia. Dalam hal ini Hans Kelsen hanya mengakui satu macam keadilan yang lahir dari hukum positif yang ditetapkan oleh manusia berdasarkan norma dasar berlakunya hukum positif.

Jiwa itu teratur secara baik bila dihasilkan suatu kesatuan yang harmonis antara ketiga bagian itu. Hal itu terjadi bila perasaan dan nafsu dikendalikan dan ditundukkan pada akal budi melalui rasa baik dan jahat. Keadilan adalah terletak dalam batas yang seimbang antara ketiga bagian jiwa sesuai dengan wujudnya masing-masing.

141

Dalam substansi yang secara garis besar linier dengan pemikiran Plato dan Hans Kelsen tersebut, dalam filsafat Islam ditegaskan bahwa Islam memerintahkan kepada setiap manusia untuk berbuat adil atau menegakkan keadilan pada setiap tindakan dan perbuatan yang dilakukan.

4. Tidak diskriminatif

Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normative dan dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka prinsip persamaan ini, segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan ‘affirmative actions’ guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat kebanyakan yang sudah jauh lebih maju. Kelompok masyarakat tertentu yang dapat diberikan perlakuan khusus melalui ‘affirmative actions’ yang tidak termasuk pengertian diskriminasi itu misalnya adalah kelompok masyarakat suku terasing atau kelompok masyarakat hukum adapt tertentu yang kondisinya terbelakang. Sedangkan kelompok warga masyarakat tertentu yang dapat diberi perlakuan khusus yang bukan bersifat diskriminatif, misalnya, adalah kaum wanita ataupun anak-anak terlantar.

5. Kepastian hukum

Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologis. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi- tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma.142

Pemikiran mainstream beranggapan bahwa kepastian hukum merupakan keadaan dimana perilaku manusia, baik individu, kelompok, maupun organisasi, terikat dan berada dalam koridor yang sudah digariskan oleh aturan hukum. Secara etis, padangan seperti ini lahir dari kekhawatiran yang dahulu kala pernah dilontarkan oleh Thomas Hobbes bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lainnya (homo hominilupus). Manusia adalah makhluk yang beringas yang merupakan suatu ancaman. Untuk itu, hukum lahir sebagai suatu pedoman untuk menghindari jatuhnya korban. Konsekuensi dari pandangan ini adalah bahwa perilaku manusia secara sosiologis merupakan refleksi dari perilaku yang dibayangkan dalam pikiran pembuat aturan. Barangkali juga pernah dilakukan untuk mengelola keberingasan para koboy Amerika ratusan tahun lalu.

142

Perkembangan pemikiran manusia modern yang disangga oleh rasionalisme yang dikumandangkan Rene Descarte (cogito ergo sum), fundamentalisme mekanika yang dikabarkan oleh Isaac Newton serta empirisme kuantitatif yang digemakan oleh Francis Bacon menjadikan sekomponen manusia di Eropa menjadi orbit dari peradaban baru. Pengaruh pemikiran mereka terhadap hukum pada abad XIX nampak dalam pendekatan law and order (hukum dan ketertiban). Salah satu pandangan dalam hukum ini mengibaratkan bahwa antara hukum yang normatif (peraturan) dapat dimauti ketertiban yang bermakna sosiologis. Sejak saat itu, manusia menjadi komponen dari hukum berbentuk mesin yang rasional dan terukur secara kuantitatif dari hukuman-hukum yang terjadi karena pelanggarannya.143

Pandangan mekanika dalam hukum tidak hanya menghilangkan kemanusiaan dihadapan hukum dengan menggantikan manusia sebagai sekrup, mor atau gerigi, tetapi juga menjauhkan antara apa yang ada dalam idealitas aturan hukum dengan realitas yang ada dalam masyarakat. Idealitas aturan hukum tidak selalu menjadi fiksi yang berguna dan benar, demikian pula dengan realitas perilaku sosial masyarakat tidak selalu mengganggu tanpa ada aturan hukum sebelumnya. Ternyata law and order menyisakan kesenjangan antara tertib hukum dengan ketertiban sosial. Law and order kemudian hanya cukup

143

untuk the order of law, bukan the order by the law (ctt: law dalam pengertian peraturan/legal).144

Jadi kepastian hukum adalah kepastian aturan hukum, bukan kepastian tindakan terhadap atau tindakan yang sesuai dengan aturan hukum. Karena frasa kepastian hukum tidak mampu menggambarkan kepastian perilaku terhadap hukum secara benar-benar. Demikian juga dengan mekanika Newton. Bahkan Mekanika Newton pun sudah dua kali dihantukkan dalam perkembangan ilmu alam itu sendiri, yaitu Teori Relativitas dari Einstein dan Fisika Kuantum.145 144 Ibid. 145 Ibid

Keberhasilan atas penyelesaian suatu perkara hukum sangat tergantung pada keterangan saksi yang berhasil diungkap atau dimunculkan. Dalam proses penyelesaian perkara terutama yang berkenaan dengan saksi, tidak sedikit perkara yang kandas ditengah jalan disebabkan ketiadaan saksi yang dapat mendukung tugas penegak hukum. Oleh karena itu, keberadaan saksi merupakan suatu unsur yang sangat menentukan dalam suatu proses peradilan pidana. Peran saksi dalam proses penyelesaian perkara selama ini sangat jauh dari perhatian masyarakat dan penegak hukum. Adanya perkara-perkara yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan disebabkan oleh karena keengganan saksi, terutama saksi korban untuk memberikan keterangan saksi kepada penegak hukum karena mendapat ancaman dari pihak-tertentu.

Sejalan dengan pengalaman di Indonesia berkenaan dengan perlindungan saksi, kurang memadainya instrumen yuridis tentang perlindungan saksi serta rekomendasi Ketetapan MPR No. VIII Tahun 2001 menjadikan pengaturan tentang perlindungan saksi dalam sebuah undang-undang sangat penting. Tujuannya bukan hanya semata-mata untuk mendukung proses peradilan dan penyelesaian perkara secara lebih adil dan kompeten tetapi juga menunjukkan adanya tanggung jawab negara terhadap warga negara yang telah mengalami berbagai tindak pelanggaran hukum.

Dengan bersandarkan pada asas kesamaan dalam hukum “equality before the law” yang menjadi salah satu prasyarat dalam suatu negara hukum, saksi dalam proses peradilan pidana harus pula diberi perangkat hukum untuk menjamin perlindungan oleh negara terhadap dirinya. Tanpa adanya perlindungan hukum bagi saksi, sejumlah kasus-kasus besar dapat diprediksi akan sangat sulit diungkap

Sebuah Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban yang berlaku efektif, yang dibentuk atas dasar upaya tulus untuk mengatasi permasalahan seperti pelanggaran HAM, adalah satu bagian integral dalam rangka menjaga berfungsinya sistem peradilan pidana terpadu. Setelah melewati proses negosisasi bertahun-tahun, akhirnya Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban disahkan juga pada tanggal 11 Agustus 2006.146

146

Ibid

Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban akan menolong negara Indonesia keluar dari skandal korupsi yang berkepanjangan dan menyediakan penggantian yang diperlukan bagi para korban dapat kita lihat kenyataannya di masa mendatang. Undang-undang itu sendiri, bagaimanapun, menunjukkan beberapa permasalahahan serius lebih dari sekedar niat baik di balik undang- undang tersebut.

Di pengadilan-pengadilan negara-negara Asia, pemberian keterangan saksi lebih dititikberatkan, dan perlindungan saksi dan korban adalah hal krusial ketika berhadapan dengan korupsi dan penyiksaan oleh polisi dan pelanggaran HAM lainnya. Orang-orang yang ditawarkan perlindungan oleh kepolisian biasanya khawatir karena mereka tidak akan tahu apakah polisi yang baik atau yang buruk yang akan melindungi mereka. Dalam beberapa contoh, aparat kepolisian dipandang buruk dan aktifitas kepolisian dapat saja menghadirkan ancaman daripada perlindungan.

Di negara lain, ketidakhadiran sebuah Undang-undang Perlindungan Saksi yang efektif telah menyebabkan hilangnya kualitas penyidikan dan jalannya persidangan. Di Sri Lanka, beberapa kasus diketahui bahwa para saksi dibunuh untuk menghentikan mereka bersaksi di persidangan.147

147

Pembunuhan terhadap seorang saksi di Sri Lanka – kasus Gerald Perer

Di Filipina, kondisi serupa juga terjadi. Berharap agar para saksi hadir di persidangan untuk

memberikan keterangan di bawah kondisi semacam itu jelas merupakan hal yang langka.148

2. Perlindungan saksi pelapor tindak pidana korupsi

Perlindungan saksi pelapor merupakan elemen penting dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, umumnya tindak pidana korupsi dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kesempatan, kewenangan ataupun sarana yang dimungkinkan oleh jabatan yang diperolehnya. Dengan demikian pada sebagian Sebagaimana dapat dilihat dalam kisah tentang seorang yang bernama Endin melaporkan perbuatan pidana yang diduga dilakukan oleh beberapa orang hakim. Kemudian, hakim tersebut melakukan ”serangan balik” dengan mengadukan Endin telah melakukan tindak pidana pencemaran nama baik. Sang hakim bebas dari hukuman, sementara sang pelapor dihukum pengadilan karena terbukti melakukan tindak pidana yang dituduhkan. Demikianlah kisah tragis sang pelapor yang memberikan pesan negatif bagi penegakan hukum di Indonesia. Tidak banyak orang yang bersedia mengambil risiko untuk melaporkan suatu tindak pidana jika dirinya, keluarganya dan harta bendanya tidak mendapat perlindungan dari ancaman yang mungkin timbul karena laporan yang dilakukannya. Begitu juga dengan saksi, jika tidak mendapat perlindungan yang memadai, akan enggan memberikan keterangan sesuai dengan fakta yang dialami, dilihat dan dirasakannya sendiri.

148

besar kasus korupsi dilakukan oleh pembuat keputusan bukan pada tingkat bawah. Dalam posisi semacam ini, apabila seorang yang katakanlah pegawai bawahan mengetahui bahwa atasannya melakukan tindak pidana korupsi, kemungkinan besar ia enggan melaporkan kasus tersebut karena khawatir akan mengancam pekerjaannya yang sudah jelas berada dibawah si pelaku tindak pidana korupsi. Tanpa adanya perlindungan hukum terhadap orang-orang seperti ini, kemungkinan besar kasus-kasus korupsi yang besar tidak akan pernah terungkap. Dalam hal keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat tergantung pada alat bukti yang berhasil dimunculkan di pengadilan, utamanya berkenaan dengan saksi.

Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai, SH, LL.M. antara lain mengatakan "bahwa program perlindungan saksi dan pelapor dalam perkara TIPIKOR pada dasarnya dimaksudkan antara lain untuk :

1. Melindungi saksi dan pelapor dari kerawanan-kerawanan dan intimidasi sehingga kedepan perlu dibentuk adanya pengamanan pengadilan (court security);

2. Saksi dan pelapor mengalami kesukaran dalam mengakses informasi mengenai proses pengadilan sehingga perlu diperhatikan mengenai sistem informasi pengadilan;

3. Saran dan transportasi khusus bagi saksi dan pelapor selama proses pengadilan;

A. 4. Belum diperhatikan mengenai kebutuhan saksi dan pelapor selama proses pengadilan.

Perlindungan merupakan segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Sebagai jaminan terhadap perlindungan saksi dan pelapor tarhadap kasus korupsi yaitu dari tahap peristiwa baru terjadi sampai dengan pasca persidangan, diperlakukan gambaran mengenai bentuk perlindungan. Dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban telah mengatur mengenai hal-hal tersebut, yaitu :

1) Pasal 5 ayat (1) dan (2) 2) Pasal 6

Korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat, selain berhak atas hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak untuk mendapatkan: (a) bantuan medis

(b) bantuan rehabilitasi psiko-sosial 3) Pasal 7 ayat (1), (2),dan (3)

(a) Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa:

(1) hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat;

(2) hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindakpidana.

(b) Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan. (c) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi

diatur dengan Peraturan Pemerintah. 4) Pasal 8

Perlindungan dan hak Saksi dan Korban diberikan sejak tahap penyelidikan dimulai dan berakhir sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

5) Pasal 9 ayat (1), (2), dan (3)

(a) Saksi dan/atau Korban yang merasa dirinya berada dalam ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut scdang diperiksa. (b) Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

memberikan kesaksiannya secara tertulis yang disampaikan di hadapan pejabat yang berwenang dan membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang kesaksian tersebut.

(c) Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh pejabat yang berwenang.

6) Pasal 10 ayat (1), (2), dan (3)

(a) Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.

(b) Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.

(c) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap Saksi, Korban, dan pelapor yang memberikan keterangan tidak dengan itikad baik.149

5) Mendapat penerjemah;

Dalam Pasal 5 UU Perlindungan Saksi dan Korban seorang saksi dan korban berhak:

1) Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya;

2) Serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya;

3) Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;

4) Memberikan keterangan tanpa tekanan;

149

6) Bebas dari pertanyaan yang menjerat;

7) Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; 8) Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; 9) Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;

10) Mendapat identitas baru;

11) Mendapatkan tempat kediaman baru;

12) Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; 13) Mendapat nasihat hukum; dan/atau

14) Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.150

150

Dokumen terkait