• Tidak ada hasil yang ditemukan

Validasi bertujuan menelaah logika berpikir dalam membuat perekayasaan sistem sehingga menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan dengan memeriksa kembali teori, asumsi dan pendekatan yang mendukung atau dipergunakan. Suatu model dinyatakan valid untuk satu set kondisi tertentu dengan mencapai ketelitian sebagaimana dikehendaki oleh tujuan dari model. Validitas model konseptual adalah menetapkan bahwa teori dan asumsi yang melandasi model konseptual tersebut tepat dan model telah merepresentasikan dari entitas permasalahan yang diarahkan untuk mencapai tujuan (Sargent, 2000).

Validasi, adakalanya tidak dilakukan untuk keseluruhan model sistem mengingat permasalahan yang kompleks. Pengumpulan data yang relevan untuk membangun rekayasa sistem diperlukan sebagaimana dinyatakan Campbell di dalam Bungin (2005). Beberapa teknik validasi diajukan oleh Martis (2006) antara lain membandingkan dengan model lainnya, memprediksi perilaku sistem, data eksperimental dibandingkan dengan data historis, mengajukan pertanyaan kepada pihak yang memiliki pengetahuan untuk menilai apakah perilaku model sistem dapat dipertanggungjawabkan dan pendekatan scoring.

Langkah validasi pada penelitian ini dilakukan menggunakan kelompok pakar yang memiliki pengalaman dalam dunia usaha tanaman obat. Hal ini sesuai dengan apa yang diajukan oleh Martis yakni menggunakan individu yang berpengetahuan. Langkah-langkah yang dilakukan adalah :

1. merancang sejumlah elemen yang merefleksikan kriteria yang akan divalidasikan.

2. mendeskripsikan metode validasi melalui rujukan teori dan penggunaan kelompok pakar.

3. memilih kelompok pakar terdiri dari praktisi, peneliti, pembina petani, dan ketua koperasi yang berhubungan dengan petnai tanaman obat.

4. mengajukan pertanyaan dengan satuan skala 5 dari sangat tidak mungkin (skala 1) atau sangat rendah hingga sangat mungkin atau sangat tinggi (skala 5).

Kuisioner berisi sejumlah faktor faktor yang berpengaruh terhadap sistem rantai pasokan berbasis jaringan, diajukan kepada responden pakar. Faktor akan berhubungan dengan penilaian :

1. tujuan jaringan mensejahterakan anggota 2. keterlibatan petani di dalam jaringan 3. perilaku petani

Selain menggunakan kelompok pakar, validasi atas tujuan jaringan didekati dengan penggunaan analisis benefit, cost, opportunity, risk. Berdasarkan hasil perhitungan, sistem rantai pasokan berbasis jaringan dinyatakan valid dapat mencapai tujuan kesejahteraan petani pada kondisi optimistik. Validasi terhadap elemen tujuan berdasarkan agregasi pendapat pakar menggunakan skala sangat rendah sampai sangat tinggi, diperoleh nilai tinggi. Fungsi jaringan yang melibatkan aktivitas petani untuk mengintegrasikan proses dinyatakan valid sebagaimana dirujuk pada Vokurka et al., (2002).

Integrasi proses telah ditelaah menggunakan metode QFD dengan hasil terbukti terjadi korelasi antara mutu dan proses. Agregasi pendapat responden terhadap kepatuhan pada tata cara budidaya dan pascapanen dihasilkan nilai tinggi. Namun, hasil agregasi terhadap perilaku petani untuk tidak mengalihkan pasokan pada pihak lain dinyatakan sedang.

Menurut responden Sinambela, dalam hal penggunaan tenaga fasilitator dinyatakan valid, mengingat petani tidak berkemampuan melakukan pemberdayaan diri mereka dan kurang mampu melakukan penetrasi pasar. Fasilitator harus seseorang yang dikenal dan memiliki daya tahan untuk melakukan pendekatan dan pensosialisasian. Figur fasilitator yang dinilai tepat oleh responden adalah aparat di desa. Esensi dari mengapa aparat desa dipergunakan, karena lebih mengenal masyarakat di desanya. Dengan demikian alasan mengenal masyarakat, merupakan kriteria atas siapa yang paling tepat sebagai fasilitator yang sudah diuraikan pada bab sebelumnya.

Responden Widyastuti, membenarkan hubungan antara petani dan industri tepat dilakukan karena kebenaran bahan baku yang menjadi permasalahan industri harus dimengerti oleh petani dan kondisi tersebut harus tercermin pada pemrosesan bahan baku awal. Dalam hal permasalahan mutu dinyatakan valid sebagaimana terdapat di lapangan dan jaringan mempunyai peran untuk mewujudkan ke dalam proses yang bermutu. Mengingat petani sering mengubah cara pengelolaan usaha tani, maka sistem pengawasan dan penyuluhan menjadi tepat diterapkan.

Sub-elemen konflik telah divalidasi dengan mencari logika pendukung atas elemen pemicu konflik berdasarkan pendapat responden pakar Harsono ketua Koperasi BPTO, dimana sub-elemen konflik dan solusi telah tepat. Dengan demikian, ketika sistem diimplementasikan di lapangan akan mengurangi gap konflik karena telah disiapkan langkah-langkah pencegahan. Hasil agregasi pendapat responden atas sub-elemen validasi memberikan hasil sebagai berikut :

Tabel 23 Hasil agregasi pendapat pakar atas sub-elemen validasi

No Elemen Kriteria Agregasi pendapat

pakar Kemampuan jaringan mensejahterakan petani T 1 Tujuan jaringan Kemampuan jaringan mencerdesakan petani T

Petani memenuhi tata cara budidaya

ST

Petani mematuhi tata cara pascapanen ST 2 Keterlibatan petani pada jaringan Petani memenuhi jadwal T Komitmen T Integritas S Sinkronisasi keputusan dan integrasi proses

T 3 Perubahan perilaku

petani

Kompetisi Tidak Sehat S ST = sangat tinggi T = tinggi S = sedang

Validitas penggunaan AHP sebagai alat pengambil keputusan telah dikonfirmasikan dengan responden dan diperoleh konsistensi sebagaimana dijelaskan pada hasil analisis konflik. Konsistensi sangat penting dalam pengambilan keputusan dimana apabila konsistensi sangat rendah seperti pertimbangan menjadi acak, tetapi sebaliknya tidak ada konsistensi sempurna juga sulit dicapai.

8.2. Verifikasi

Verifikasi dilakukan dengan menghitung penerimaan petani anggota bilamana menyalurkan bahan baku melalui lembaga jaringan. Asumsi yang digunakan sebagaimana tabel 24 dan 25. Data yang dipergunakan diperoleh dari daerah sumber pasokan Karanganyar dan Wonogiri. Selanjutnya, dilakukan verifikasi dengan menghitung kemampuan jaringan memasarkan produk menggunakan ketetapan meraih pangsa pasar tanaman obat untuk agroindustri farmasi penghasil obat tradisional rata-rata 8 % dan mampu menjual ke industri tanpa mengalami masa tunggu, yakni bahan baku setelah diproses langsung diserahkan kepada pihak pembeli.

1. Komponen Biaya Usaha Tani

Dalam penelusuran di lapangan, lahan tidak pernah dinilai sebagai biaya, mengingat perhitungan petani sangat sederhana. Biaya-biaya yang diperhitungkan adalah :

a. Biaya budidaya tani

Biaya penggunaan bibit, buruh saat penanaman, pemeliharaan, pupuk kandang dan buatan, serta obat-obatan.

b. Biaya pemanenan dan pengolahan pascapanen

Terdiri dari biaya tenaga buruh yang digunakan dalam masa panen dan pembersihan hasil panen, biaya kemasan karung plastik baru, walaupun petani biasa menggunakan karung bekas dan biaya buruh kuli mengangkat dan menurunkan kemasan seberat rata-rata 50 kg per karung yang ditanggung petani bilamana bahan baku dikirimkan ke gudang pembeli di tempat tujuan atau saat melakukan pemuatan ke truk.

c. Biaya pemasaran

Merupakan sejumlah nilai yang dikeluarkan untuk bertransaksi dengan pembeli, dapat berwujud biaya transportasi untuk bertemu dengan pembeli di desa atau kota kecamatan, atau biaya perjalanan untuk mencari pembeli.

d. Biaya pengelolaan

Merupakan sejumlah nilai sebagai biaya ganti waktu, perhatian dalam pengelolaan seluruh kegiatan usaha tani. Biaya pengelolaan biasanya tidak diperhitungkan oleh petani.

Tabel 24 Asumsi penggunaan bibit, pupuk, buruh dan biaya per hektar Uraian Satuan Jahe Temulawak Lempuyang

wangi Lempuyang pahit Kunyit Kencur Bibit kg 2.500 1.875 2.000 2 000 1.700 2.000 Harga bibit Rp/kg 1.000 250 400 400 400 400 Pengolahan tanah orang 25 25 25 25 25 25 Penanaman orang 40 30 30 30 30 30 Pemeliharaan orang 40 30 30 30 30 30 Pupuk kandang kwintal 25 10 15 15 15 15 Panen orang 40 30 30 30 30 30 Biaya pembersihan Rp/kg 15 15 15 15 15 15 Obat-obatan Kg 20 20 20 20 20 20

Tabel 25 Asumsi analisis usaha tani

Uraian Satuan Nilai

Tingkat kerusakan dan penolakan

Rata-rata kerusakan panen % 5

Penolakan oleh pembeli % 5

Produksi rata-rata

Jahe kg/ha/thn 15.000

Temulawak kg/ha/thn 15.000

Lempuyang wangi kg/ha/thn 10.000

Lempuyang pahit kg/ha/thn 10.000

Kunyit kg/ha/thn 10.000

Kencur kg/ha/thn 10.000

Rasio panen terhadap bibit

Jahe 6 Temulawak 8 Lempuyang wangi 8 Lempuyang pahit 8 Kunyit 6 Kencur Per kg panen 6 Pembiayaan

Sewa lahan Rp/ha/th 2.500.000,-

Kapasitas karung Kg/unit 50

Biaya karung kemasan Rp/ unit 1.000,-

Biaya buruh ( naik dan turun ) Rp/kg 50-

Biaya pengelolaan Rp/kg 20,-

Biaya truk angkutan Rp/kg 75,-

Biaya pemasaran/transaksi Rp/kg 20,-

Suku bunga % 14

Biaya investasi dalam 5 tahun Rp 5.000.000,-

2. Perhitungan Biaya Usaha Tani

Hasil perhitungan usaha tani per hektar dengan alat bantu program TO Net untuk masing-masing tanaman obat jahe, kunyit, temulawak, dan campuran beberapa tanaman obat dapat dilihat pada Gambar 28. Untuk mendistribusikan nilai perolehan tanaman obat maka terlebih dahulu dibuat proporsi penggunaan lahan menggunakan perbandingan berpasangan dengan kriteria kesesuaian lahan, kemudahan bertanam, kebutuhan komoditas, dan dampak finansial sehingga diperoleh proporsi lahan untuk penanaman : jahe 45 % dari seluruh lahan, temulawak sebesar 10,5 %, kunyit 14,3 % dan tanaman lainnya sebesar 30,2 %.

Berdasarkan hasil perhitungan, biaya usaha tani tanaman temulawak paling rendah dibandingkan tanaman obat lainnya. Menurut pendapat responden petani di lapangan, penanganan tanaman temulawak relatif tidak terlalu rumit dan membutuhkan penanganan seksama dibandingkan dengan jahe. Petani lebih menyebutkan sebagai tanaman yang mudah dikelola dan tidak memerlukan upaya pemeliharaan tanaman yang rumit. Bahkan petani cenderung membiarkan tanaman temulawak dengan alasan temulawak tidak memiliki harga jual tinggi, walaupun kenyataannya digunakan di banyak industri obat tradisional.

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

Jahe Kunyit Temulawak Campuran

Bi a y a u s a h a t a n i ( R p . ju ta /h e k ta r) 11.38 17.2 9.17 11.85

Gambar 29 Biaya usaha tani tanaman obat.

Untuk menghitung biaya usaha tani, diperoleh dari penambahan biaya budidaya dengan biaya kemasan, pemasaran, pengelolaan, tenaga buruh angkut dan biaya transportasi. Walaupun pada kenyataan di lapangan petani sering menggunakan karung bekas sebagai kemasan, tetapi pada perhitungan ini kemasan diasumsikan baru. Biaya transportasi berupa kendaraan angkutan untuk mengangkut hasil panen tanaman obat ke gudang yang dimiliki jaringan dengan jarak dari desa sampai ke kota kabupaten.

Perhitungan pendapatan petani, mempergunakan harga tanaman obat sebagaimana tertera pada Gambar 30. Berdasarkan penelusuran di lapangan, harga tanaman obat temulawak dibandingkan dengan tanaman satu keluarga lainnya terendah, sedangkan harga jual jahe segar petani berada pada tingkat paling tinggi dibandingkan dengan komoditas lain. - 1.000 2.000 3.000 4.000 5.000 6.000 7.000 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Pergerakan Harga setiap bulan

H a rga T O ( R p / k g)

Jahe Temulawak Kunyit

Gambar 30 Harga tanaman obat dijual ke Jaringan.

Hasil perhitungan keuntungan usaha tani petani jahe monokultur, lebih baik dibandingkan tanaman obat kunyit dan temulawak. Hasil perhitungan keuntungan menanam tanaman campuran tampak mendekati pencapaian keuntungan tanaman jahe. Selain itu, penananam polikultur akan mengurangi resiko kerugian ketika salah satu tanaman kurang memperoleh respons pasar atau terjadi kegagalan panen, petani masih memperoleh pendapatan dari tanaman lainnya.

Hasil perhitungan keuntungan jahe untuk lahan seluas 1 hektar sebesar 62 % dibandingkan usaha tani secara polikultur sebesar 56,35 % dan keuntungan menanam kunyit sebesar keuntungan 10 %. Namun, bilamana lahan hanya ditanami temulawak akan mengalami kerugian sebesar (32,50 %). Pada kenyataannya, tidak ada lahan yang hanya ditanami tanaman temulawak. Hasil perhitungan keuntungan petani

tanaman obat pada prosentase tersebut, dikarenakan rendahnya biaya budidaya dan biaya operasional.

Temulawak baru memperoleh keuntungan sebesar 6 % bilamana biaya-biaya seperti sewa lahan, investasi pembelian alat, biaya transaksi dan pengelolaan tidak diperhitungkan. Kondisi demikian menunjukkan bahwa petani sesungguhnya tidak menikmati jerih payah bertanam temulawak, terkecuali secara polikultur sehingga terjadi subsidi silang antar tanaman obat. Walaupun menurut petani sudah memperoleh keuntungan, sesungguhnya dengan tidak memasukkan biaya-biaya yang seharusnya diperhitungkan. Kebutuhan temulawak sebagai tanaman obat penting banyak digunakan oleh agroindustri farmasi besar maupun menengah dan termasuk lima besar kebutuhan tanaman obat yang diperlukan oleh industri, ternyata masih belum dapat memberikan nilai manfaat bagi petani.

Dibandingkan dengan menjual kepada pengumpul, petani jaringan memperoleh hasil lebih baik sampai dengan 23,5 %. Kondisi ini terjadi karena aliran bahan baku melalui rantai lebih pendek dengan kualitas penanganan pascapanen lebih baik hasil sosialisasi dan pembelajaran.

Hasil verifikasi menunjukkan petani belum dapat menopang kebutuhan rumahtangga bilamana mengandalkan hasil penjualan tanaman obat. Perhitungan nilai sekarang (net present value) untuk tanaman obat campuran sebesar Rp 12.418.046,- untuk satu kali panen yang menyita waktu selama 9 bulan dengan luas hamparan satu hektar. Lahan yang dimiliki petani rata-rata sangat sempit.

Data statistik kabupaten Wonogiri menunjukkan rata-rata lahan yang ditanami tanaman jahe berkisar 0,195 hektar atau sekitar 2000 m2 per petani. Sedangkan hasil penelusuran luas lahan yang dimiliki petani responden bergerak antara : 500 m2 - 3000 m2. Walaupun terdapat kepemilikan di atas satu hektar namun jumlah petani yang memiliki tidak terlalu banyak. Bilamana digunakan asumsi rata-rata lahan yang dimiliki petani seluas 2000 m2, maka nilai sekarang atas penjualan

kemudian sebesar Rp 2.483.609- atau setara Rp 207.000,- per bulan. Kalau petani tidak menyertakan tanaman lainnya dan hanya mengandalkan tanaman obat maka penghasilan keluarga masih di bawah nilai upah minimum propinsi Jawa Tengah 2005 sebesar Rp 390.000,-. Pendapatan petani per bulan untuk 1 hektar baru terlihat signifikan sebesar Rp 1.035.000,-

Dari pandangan petani, hasil penjualan tanaman obat hanya sebagai tambahan penghasilan keluarga dan belum sebagai mata pencaharian utama. Petani tetap masih memfokuskan pada tanaman pangan padi. Pandangan yang dianut adalah padi merupakan lumbung keluarga dan sisa panen kemudian baru dijual. Penggunaan tenaga kerja yang berasal dari keluarga lazim terlibat dalam kegiatan usaha tani desa. Penggunaan tenaga tersebut tidak diperhitungkan sebagai biaya karena dianggap sudah seharusnya membantu usaha keluarga.

Menurut Gittinger (1986), sesungguhnya terjadi kehilangan biaya peluang atau (opportunity loss). Seharusnya petani berpeluang memperoleh tambahan pendapatan bilamana waktu yang dihabiskan untuk melaksanakan kegiatan tanaman obat dialihkan pada kegiatan lain. Dengan kata lain, terdapat kondisi waktu kerja yang harus dikorbankan. Pernyataan petani responden bahwa masih menikmati keuntungan sebesar 10 – 15 % menjadi benar bilamana beberapa komponen biaya tidak dimasukkan. Sehingga, bilamana penghasilan dari tanaman obat akan dikonversikan kepada nilai keekonomian maka perlu menghitung peralihan biaya oportunitas.

3. Analisis Keuangan Jaringan

Skenario perhitungan menggunakan penyaluran bahan baku dalam bentuk kombinasi bahan baku segar (simplisia segar) dan irisan kering (simplisia kering). Jaringan dirancang mampu memenuhi kebutuhan industri dalam berbagai bentuk tanaman obat. Agroindustri farmasi penghasil obat tradisional umumnya telah menetapkan standar penerimaan bahan baku yang ketat sehingga berpeluang menghasilkan

penolakan. Dengan kemampuan pengelolaan bahan baku, jaringan diasumsikan mampu mengendalikan tingkat penolakan akibat mutu tidak sesuai standar sebesar 3 %. Penolakan atas mutu pasokan diasumsikan dengan kondisi rimpang patah atau tampilan kurang memenuhi syarat. Asumsi-asumsi yang digunakan dalam perhitungan adalah :

Tabel 26 Skenario asumsi analisis usaha Jaringan

No Keterangan Satuan Angka

1 Penolakan bahan baku oleh pembeli % 3

2 Tingkat kerusakan pengolahan ditetapkan % 1

3 Pasokan ke pasar industri, mengambil pangsa pasar (rata-rata)

% 7

4 Biaya transaksi perkilogram Rp 15,-

5 Biaya pengelolaan perkilogram Rp 20,-

6 Biaya pembersihan dan pengemasan perkilogram Rp 100,-

7 Biaya perajangan perkilogram Rp 125,-

8 Biaya transportasi perkilogram Rp 150,-

9 Biaya kunjungan ke petani perbulan Rp 400.000,- 10 Biaya kuli angkut perkilogram Rp 25,- 11 Biaya kunjungan pemasaran ke prospek/ industri Rp 300.000,-

12 Biaya tetap perbulan Rp 6.700.000,-

13 Modal sendiri % 50

14 Bunga % 14

Perhitungan diawali dengan menetapkan prioritas penjualan tanaman obat jaringan menggunakan teknik MPE. Adapun kriteria yang dipergunakan untuk mengatur penjualan komoditas adalah : (1) kemudahan pembudidayaan, (2) perkiraan keuntungan yang diperoleh dan (3) jumlah permintaan. Dari hasil perhitungan dihasilkan sebagai berikut : jahe (2.109), campuran (1.498), temulawak (993) dan kunyit (649). Dengan demikian komposisi penjualan tanaman obat jaringan diatur sebagaimana hasil olahan MPE.

Hasil analisis dengan skenario pada Tabel 27, menggunakan kombinasi penjualan bahan baku segar dan irisan kering. Investasi awal jaringan untuk mengelola usaha membutuhkan Rp 100.000.000- dengan penjelasan rinci terdapat pada Lampiran 8. Adapun biaya kantor

ditetapkan sebesar Rp 6.700.000,- yang dipergunakan untuk membiayai gaji manajer, tenaga pelaksana, tenaga lepas dan biaya umum dengan perincian sebagaimana dilihat pada lampiran. Penetapan gaji tenaga pelaksana dimaksud menggunakan standar upah minimum regional daerah setempat.

Modal investasi tersebut, diharapkan dapat diperoleh dari kredit mikro yang diberikan kepada petani dengan bunga maksimum 14 %. Jaringan dapat menjadi penanggung dan pemrakarsa industri membantu meyakinkan lembaga pemberi pinjaman dengan jaminan surat pemesanan.

Tabel 27 Hasil analisis kelayakan usaha jaringan dan analisis sensitivitas

Kriteria Keuangan

Nilai pada kondisi Normal

Nilai pada biaya operasi naik 10%, harga tetap

Nilai pada biaya operasi tetap, harga jual turun 10% Nilai pada biaya operasi naik 10%, harga jual turun 10% NPV (Rp) 2.229.719.300 2.077.995.786 1.698.091.832 1.506.023.615 IRR (%) 22,75 21.04 17,85 15,83 Payback period (bl) 7,.52 8,67 11,53 13,41 B/C Ratio 20,39 19.07 15,77 14,10

Analisis kelayakan pada skenario jaringan menjual tanaman obat campuran menghasilkan IRR sebagaimana terlihat pada Tabel 27. Apabila dilanjutkan dengan analisis sensitivitas, maka ketika harga diturunkan 10 % berakibat lebih buruk dibandingkan dengan biaya operasi naik 10 %, terlihat dari IRR menurun dan pay back period lebih lama. Dengan demikian, harga jual menjadi faktor sangat berpengaruh terhadap kinerja jaringan dibandingkan dengan kenaikan biaya-biaya pascapanen.

Hasil analisis keuntungan bilamana jaringan memperdagangkan tanaman obat dengan kombinasi segar dan irisan kering dibandingkan menjual tanaman obat segar adalah 15,88 % dan 13,21 %. Rata-rata

biaya bahan baku sebesar 70,2 % dari penjualan dan biaya pegawai – umum dan variabel sebesar 10, 2 % dari penjualan.

Kondisi ini terjadi karena harga jual tanaman obat kering rata-rata tujuh kali dibanding harga tanaman segar terkecuali temulawak yang berkisar tiga kali. Dengan kata lain harga temulawak sebesar Rp 550,- per kilogram segar akan menjadi sekitar Rp 1.650,- perkilogram bahan baku temulawak kering. Analisis jaringan menunjukkan lebih menguntungkan menjual bahan baku irisan kering. Selain memperoleh keuntungan lebih baik, juga lebih tahan disimpan dan memudahkan dalam transportasi.

Jaringan baru dapat beroperasi pada titik impas jaringan sebesar 332 ton dengan komposisi tanaman obat dan harga sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dengan hasil perhitungan arus kas sebagaimana dapat dilihat pada Lampiran 13 dan 14. Perhitungan BEP dimaksud dilakukan tidak dengan metode konvensional tetapi berdasarkan pencapaian NPV nol dengan memasukkan faktor diskonto melalui beberapa kali putaran perhitungan dengan program Generalized Reduced Gradient. Biaya tetap pada posisi BEP sebesar Rp 705.836.908,- dan biaya variabel sebesar Rp 4.409.219.558,-.

Menggunakan skenario perencanaan usaha jaringan selama 5 tahun masih memungkinkan untuk mendistribusikan pembagian keuntungan jaringan kepada anggota. Besarnya prosentase keuntungan yang akan didistribusikan ditetapkan berdasarkan keputusan bersama. Besarnya keuntungan jaringan menggunakan semua skenario yang telah ditetapkan dapat dilihat pada Gambar 31 berikut.

5 14 16 17 18 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5

K e u n tu n g a n j a ri n g a n ( % )

Gambar 31 Keuntungan jaringan selama 5 tahun

Analisis nilai tambah dilakukan untuk meninjau berapa pertambahan nilai setiap perubahan proses. Menurut Gittinger (1986), nilai tambah diukur dengan perbedaan antara nilai output dan nilai seluruh input karena pengolahan lebih lanjut. Secara detil, perhitungan nilai tambah memerlukan data :

a. Output atau total produksi b. Input bahan baku

c. Faktor konversi output terhadap input d. Harga output

e. Harga input bahan baku f. Sumbangan input lainnya

Nilai tambah adalah : nilai output (faktor konversi x harga output) dikurangi harga input dan nilai sumbangan input lainnya. Sebagai contoh perhitungan nilai tambah digunakan komoditas tanaman obat jahe. Walaupun jaringan memperdagangkan bentuk irisan kering dan segar dalam proporsi yang sama setiap tahun yakni 6 bulan memasok irisan kering dan sisanya bentuk segar, namun di dalam perhitungan nilai tambah difokuskan pada irisan kering dengan nilai output dihitung berdasarkan harga output irisan kering. Adapun total produksi output tetap menggunakan total produksi jaringan. Dengan cara yang sama

perhitungan nilai tambah dapat digunakan terhadap tanaman obat lainnya.

Nilai sumbangan input yang berasal dari tenaga kerja pusat manajemen jaringan, dialokasikan untuk seluruh tanaman obat, sehingga untuk perhitungan jahe ditetapkan secara proporsional. Hasil perbandingan nilai tambah dua komoditas dalam komposisi segar dan campuran irisan kering dapat di lihat pada Tabel 28.

Tabel 28 Hasil perhitungan nilai tambah tanaman obat jenis kering dan segar

Data nilai output jahe kering berasal dari pengolahan jahe kering. Nilai tambah yang diperoleh per kilogram bahan baku sebesar Rp 3.952,- artinya untuk pengolahan rata-rata satu kilogram jahe segar menjadi kering secara campuran menghasilkan nilai tambah sebesar Rp 3.952,- . Nilai tambah tersebut berasal dari data tahun pertama jaringan beroperasi. Sedangkan nilai tambah bilamana jahe seluruhnya dijual masih dalam jenis segar terkemas sebesar Rp 115,- Namun, ketika kunyit dijual dalam jenis segar terkemas tidak memperoleh nilai tambah sama sekali. Kondisi ini menunjukkan bahwa lebih baik tanaman obat

diproses menjadi bentuk irisan kering. Jaringan harus sanggup memberikan pembinaan kepada anggota sehingga integrasi proses dapat mengarahkan pada pencapaian mutu bahan baku kering lebih baik.

Mengingat temulawak dibutuhkan oleh agroindustri farmasi, namun harga temulawak tidak terlalu menarik bagi petani, berikut dilakukan perhitungan harga termulawak yang memungkinkan petani masih memperoleh keuntungan lebih baik. Pendekatan yang dilakukan adalah penelusuran produk agroindustri farmasi menggunakan bahan baku tanaman obat yang diteliti. Produk yang dipergunakan sebagai basis perhitungan ditetapkan secara sengaja yakni produk jamu keluaran PT Air Mancur. Asumsi yang digunakan adalah :

a. Harga eceran produk jamu pegel linu persachet @ 7 gram dari toko pengecer dengan harga jual tingkat konsumen Rp 900,- / sachet.

b. Komposisi biaya bahan baku pabrik ditetapkan dengan skenario 65 %, biaya pemrosesan 20 % dan biaya umum 15 %.

c. Menghitung harga bahan baku plafon pabrik dengan harga untuk tanaman obat penelitian digunakan harga yang berlaku di pasar. d. Skenario skala produksi 6 juta sachet dengan komposisi

temulawak, kunyit, lempuyang, laos, temu kunci, lada dan tambahan 2 jenis tanaman obat lainnya.

e. Tanaman obat yang tidak menjadi bahan penelitian ditetapkan harga sebagaimana dengan harga beli pabrik.

Terlebih dahulu menentukan nilai harga produk pabrik yang diperoleh dengan menghapuskan keuntungan pengecer sebesar 20 %. Rata-rata harga 1 sachet produk sebagaimana butir a di atas sehingga harga beli pengecer sebesar Rp 720,-. Setelah menghilangkan keuntungan industri sebesar 20 %, maka diperoleh harga pabrik. Dari harga pabrik sebesar Rp 580, per sachet kemudian diperoleh plafon

Dokumen terkait