• Tidak ada hasil yang ditemukan

XVIII. ASMARADANA

Dalam dokumen Manik Maya 1 (Halaman 60-75)

01. Melihat bentuk tubuh nan tampan dan wajah Sangkan Turunan Baginda tertarik hatinya. Baginda pun berkata dengan lembut menyampaikan permintaan

bantuan guna menaklukkan musuh kerajaan.

02. Sangkan Turunan menerima perintah Baginda dengan ikhlas gembira serta penuh kesanggupan.

03. Ia menyatakan segala jiwa raganya akan dipersembahkan untuk keselamatan negara. Baginda berkenan mendengar kesanggupan Sangkan Turunan. 04. Sangkan Turunan berangkat menuju medan laga. Pada saat akan memulai

perlawanan kemaluannya diusap usap. Dakar (kemaluannya) mengeluarkan akar sepanjang tujuh hasta, besarnya tiga jari. Bentuknya lurus halus bagaikan diraut.

05. Orang kuno menamakan benda itu akar dawa. Sekarang orang menamakan rotan wuruk. Rotan wuruk memiliki khasiat dapat mempengaruhi kuda jafi penurut.

06. Kedua orang pemuda telah siaga berternpur. Rotan wuruk telah siap

ditangannya. Terhadap benda itu orang kagum melihatnya. Bila tegak berdiri nampak sebagai teja. Bila teretak melengkung kelihatan seperti pelangi. 07. Kalau bergerak cepat gemerlapan seperti kilat. Apabila diayunkan kesana

kemari nampak sebagai kilat sambung menyambung. Kalamurti melihat dua orang pemuda berdiri tegap, segera menyerang dengan ganas dan garang. Sedikit pun tidak ada rasa takut.

08. Kalasrenggi ikut juga menyerang. Dalam serangan itu Kalamurti kena terpukul dengan rotan wuruk kepalanya. Kalasrenggi menyusul menyerang, juga kena pukul kepalanya. Keduanya jatuh tak bemafas lagi.

09. Belang Wayungyang dan Condromowo cekatan mengangkut Kalamurti dan Kalasrenggi, diikat erat erat dengan tambang enau atau nibung, pada

pergelangan tangannya.

10. Puthut Jantaka, seorang biku yang tajam penglihatannya, mengerti bahwa semua anaknya telah punah oleh pasukan Mendhangkamulan hatinya amat sedih. Ia mengaduh kepada Dewa, tak sanggup hidup lagi didunia tanpa anak seorang pun.

11. Dia merasa sia sia hidupnya, Puthut Jantaka berjalan tiada menentu arah tujuannya. Hatinya merana. Sepanjang perjalanan ia mengumpat akan nasib hidupnya. Perjalanan Ki Puthut Jantaka tiba disebuah batu raksasa terletak ditengah hutan.

12. Besar batu itu sepuluh pemeluk orang. Oleh biku sakti itu batu diangkat tinggi tinggi lalu diempaskan mengenai kepalanya. Batu telah hancur lebur

menimbulkan suara gemuruh mengerikan.

13. Karena kemarahannya seolah olah tubuh Puthut Jantaka lipat kali tambah besar. Mukanya kelihatan kasar seperti batu karang. Matanya bersinar tajam bagaikan matahari kembar. Taring memanjang. Lubang hidung nampak seperti pintu gua berdampingan. Jambang kiri kanan bertemu menimbulkan pandangan yang sadis.

14. Bulu dada tumbuh subur memenuhi dada, perut, sampai kepaha. Bulu jari jari kakinya panjang panjang. Puthut Jantaka kelihatan dahsyat, seperti dahsyatnya raksasa penjaga pintu masuk surga, Cingkara Bala Upeta.

15. Lama lama sampailah Puthut Jantaka didekat Raja Mendhangkamulan. Hamba sahaya Raja Mangukuhan semuanya takut, lari cerai berai. Melihat itu Jaka Puring pergi menyambut dengan membawa tombak.

16. Begitu juga Raja Mangukuhan diikuti para kepala pasukan. Belang

Wayungyang dan Condromowo mengawalnya. Jaka Puring telah siaga, sarung tombaknya berbentuk naga, mengeluarkan banyak ular.

17. Ular sebesar batang kelapa berkeliaran kesana sini sambil menyebar bisa. Lidahnya menjulur keluar menyerupai trisula. Kelihatan seperti Yang Antaboga, mengerikan hati.

18. Puthut Jantaka melampiaskan kemarahannya, tingkah lakunya leluasa menakutkan. Rambutnya yang tebal mengurai, bergerak meruak ruak ditiup angin. Pasukan Mendhang sangat ketakutan. Ki Tuwa hatinya berdebar debar menghadapi Puthut Jantaka.

19. Sama halnya dengan Ki Buyut, ia juga amat ketakutan. Badannya menggigjl mukanya puat lesi. Semua pasukan Mendhang yang didatangi Puthut, lari cerai berai krtakutan.

20. Mereka minta perlindungan Sang Raja. Baginda mengheningkan cipta, minta bantuan dari Dewa. Bethara Wisnu datang merasuk ketubuh Raja Mangukuhan. Puthut Jantaka yang datang melampiaskan amarahnya itu disambut dengan pandangan tajam oleh Baginda. Puthut Jantaka tak kuasa. menahan pandangan dari Raja Mangukuhan. Ia lari ketakutan.

21. Raja Mangukuhan datang mengejar, diikuti oleh segala pasukannya. Konon Puthut Jantaka bersembunyi, membenamkan diri didalam pasir. Kemudian tak dapat tertangkap.

22. Laskar Mendhang menyebar diluar hutan mencari Puthut Jantaka, namun tiada terdapat. Tunjung Randhi terkepung oleh pasukan Mendhangkamujan, akhirnya dapat tertangkap.

23. Karena Puthut Jantaka tak dapat dicari, maka Baginda bermaksud ingin

kembali keistana. Setelah keturunan Puthut Jantaka dapat dipunahkan, Ki Tuwa senang hatinya. Ia mencaci maki tindakan Puthut Jantaka dinyatakan

tindakannya seperti orang gila. .

24. Ki Tuwa berlaga sebagai orang pemberani, jalannya lenggang kangkung. Ia katakan bahwaPuthut Jantaka lari terbirit birit takut dikejar olehnya. Dikatakan Puthut telah lari masuk hutan, bersembunyi didalam goa.

25. Sombongnya bukan main, ia katakan bila sudah memuncak maralmya, jangankan hanya seorang semacam Puthut Jantaka, bahkan sampai dua orang seperti Puthut Jantaka, Ki Tuwa takkan mundur selangkah.

26. Buyut mencemooh kesombongan Ki Tuwa, berlagak sebagai pemberani. Ejekannya : sekali saja bettemu pasti dia akan menggigil dan menyerah. Sangkal Ki Tuwa : itu kan baru sekali, kalau sudah dua tiga kali takutnya akan hilang. Menghadapi raksasa saja ia tak takut, apalagi hanya menghadapi Puthut seorang diri mengapa menjadi takut. Andaikata ada seribu Puthut Jantaka sekalipun ia tak akan takut. Begitu congkak kata Ki Tuwa.

27. Jalan Ki Tuwa amat santai. Melihat orang orang yang dipasang disawah ia bersikap angkuh. Ki Tuwa tak tahu bahwa orang orangan itu ada isinya. Orang orangan ditarik tarik dan terus ditarik sepanjang pematang. Puthut Jantaka terlepas dari orang orangan. Ki Cakut mengetahui peristiwa itu, sangat ketakutan.

28. Ki Tuwa diminta mau berpaling melihat kebelakang. Dijawab oleh Ki Tuwa sambil agak masgul. Ia memperingatkan jangan main main mengganggu orang

yang sedang enak berjalan. Ki Buyut melanjutkan kata peningatan tahu rasalah nanti Ki Tuwa menoleh kebelakang.

29. Bukan main takut Ki Tuwa melihat Puthut Jantaka telah ada dibelakangnya. Wajahnya jadi pucat pasi, tak berdaya. Pasukan Mendhang ramai

mengkhabarkan bahwa Ki Tua si congkak itu telah mati disumbar Puthut Jantaka.

30. Berita itu telah sampai dimengerti oleh Baginda Mendhangkamulan. Raja Mangukuhan pergi kembali menuji ketempat Puthut Jantaka berada. Serta Baginda datang kembali, Puthut Jantaka berada serta Baginda datang kembali, Puthut Jantaka jadi cemas hatinya. Berdiri tegak pun ia tak mampu, apalagi berlari. Ia duduk saja ditempat. Baginda telah tiba, Ki Tua dapat direbutnya. 31. Tubuh Ki Tua diangkut bersama. Puthut Jantaka duduk mengujur ditanah.

Baginda datang menghampiri Puthut Jantaka. Ia dicaci maki, dia telah berbuat angkuh, mempertunjukkan keberanian didepan umum.

32. Itu brakibat Ki Tua tak sadarkan diri karena ketakutan yang tak terhingga. Puthut Jantaka bersikap honnat lagi takut kepada Baginda, sampai tak berani menatap muka Baginda. Ia menyatakan sama sekali tak ada maksud berontak melawan Raja. Dia tetap patuh, bersedia mennjalani segala perintahnya, bersikap sebagai sahaya.

33. Suatu bukti kenyataan, dia tidak mau lari. Sebaliknya ia menyambut hormat kepada Raja. Karena itu berjanji selanjutnya akan patuh setia kepada Baginda. Baginda menghargai sikap baik dan Puthut Jantaka.

34. Puthut Jantaka tetap diakui sebagai seorang hamba sahaya yang baik budi, bersikap setia terhadap Baginda. Dia diberi tempat di Lamongan, dipercayai menjaga semua lumbung padi agar tiada menderita kerusakan ataupun berkurang.

35. Bila terdapat para anak cucu Puthut Jantaka yang berani mengganggu, merusak keselamatan lumbung, ia dibeni wewenang mengetrapkan pidana terhadap mereka. Dimana pun anak cucu berbuat curang, baik ditempat penumbukkan, diluar dapur, dihalaman, ditempat tempat tersembunyi, dijalan raya maupun ditempat sampah. Puthut Jantaka diserahi wewenang untuk membereskan. Ia menyanggupi.

36. Baginda mengingatkan kepada hamba sahaya diharap tertib hati hati dalam hal merawat beras. Bagi wanita yang sedang menanak nasi, jangan membiarkan nasi berceceran diatastungku. Bila sedang menumbuk padi jangan dibiarkan beras berceceran dilesung.

37. Bila kebetulan mencuci beras, jangan sampai beras bertebaran, dimana mana. Jika sedang angi, jangan sampai diiyan, terdapat nasi berceceran. Kecermatan itu mendatangkan keuntungan. Maka ditekankan: berhati hati dan tertiblah soal perawatan beras maupun padi.

38. Kurang tertib dan hati hatinya perawatan beras dan padi akan berakibat mengganasnya hama padi. Ular sawah akan mengganas, menjelajah merusak tanaman padi. Ia hidup aman ditengah tengah tanaman padi.

39. Setelah mengelilingi sawah sampai merata, ular sawah tidur melingkar

dipematang, akhirnya mati. Kejadian itu diketahui oleh Baginda. Beliau sangat heran mengapa didalam lumbung terdapat walungsungan ular (kulit ular yang mengelupas dari tubuhnya)

40. Saat sesudah matinya ular sawah, ditempat dekat bangkai kelihatan terdapat seorang wanita berparas cantik, secantik wajah bidadari, berseri bagaikan bulan. Seolah olah terpisah dari kawan kawannya.

XIX. DHANDHANGGULO

01. Wanita itu masih dalam usia remaja. Tubuhnya memiliki ketinggian yang memadai. Berpakaian serba lengkap. Berjamang (tambahan hiasan pada kalung) berbentuk bunga jagung. Mengenakan mahkota nan indah,

mengenakan penghias telinga berbentuk kuswaraga. Ia mengenakan kain secara belum sempuma sebagaimana orang dewa memakai kain (pinjungan). Kain yang dikenakan berasal dari kain sutera dengan hiasan aneka warna, bersubang emas. Senyum yang tersembul dari bibir sungguh manis.

02. Gelang yang dikenakan dibuat daripada emas, berukit ukir. Subangnya berbentuk bapang, dihiasi dengan intan berselang seling mirah, menambah sinar keayuan. Baginda Mangukuhan tertegun, terpesona melihatnya. Betul betul indah paras sang Remaja.

03. Oleh Baginda remaja itu dihampiri seraya menyampaikan tegur sapa penuh sopan, dengan kata kata yang manis. Baginda menghimbau agar mau diajak bersama masuk keistana. Sang Kusuma Ayu menjawab sambil menyembah dengan hormatnya.

04. Ajakan Baginda disambut baik, puteri remaja itu tiada keberatan. Ia

menandaskan: bila Baginda sungguh sungguh memengingini atas dirinya dia memajukan persaratan, agar Raja bersedia sore dan pagi bercengkerama kesawah.

05. Habis menuturkan kata kata itu, putri. remaja musna dari pemandangan. Baginda amat menyesal atas peristiwa itu. Karena kecewanya Baginda mengajak hamba sahayanya kembali keistana. Setibanya diistana para hamba sahaya diperkenankan kembali kerumah niasing masing. Sesudah itu kerajaan Mendhangkamulan menjadi aman sentausa. Sangkan Turunan diizinkan kembali ke Medhang Agung.

06. Tak ketinggalan, Belang Wayungyang, Condromowo serta semua anak buah yang terjadi dari bulu, pada saat bertempur dimedan perang, ikut serta semuanya. Alkisah, Bethara Wisnu serta isteri Dewi Sri lalu kembali ke Kahyangan.

07. Akhirnya kerajaan Mendhang lenyap. Penghuni seisi kerajaan menjadi roh halus. Kerajaan Mendhangkamulan mengalami kejayaan sampai seribu limaratus tahun.

08. Sekali peristiwa HyangGuru Nata bertakhta diatas singgasana, dihadap oleh para putranya. Dari yang tertua Bethara Sambu lalu Bromo, Maha Dewa terakhir Yang Wisnu. Bethara Bromo berputra Bremani. Bremani berputra Tri Trustha. Tri Trustha berputrakan Parikena.

09. Parikena berputra Manumanasa. Bethara Bromo duduk dibelakang Hyang Pramesthi Guru. Duduk dihadapan Hyang Jagad Nata adalah Yang Narada. Berturut turut kebelakang : Yang Endra, Yang Bayu, Yang Candra, Hyang Penyarikan, kemudian Yang Temburu.

10. Hyang Giri Nata, mernpersoalkan mengenai Dipoyono yang selalu mengganggu para Dewa. Mengganggu tata tertib. Membandel, tak suka

rnengindahkan perintah dan petunjuk para Dewa. Ia suka mandi mandi dikawah Candradimuka, yang ditakuti dan disegani. Diperintahkan Yang Narada mau memberi peningatan. Yang Narada tak sanggup memberi peringatan, karena itu atas kehendak Sang Hyang Wenang.

11. Begitu pula si Dupara, bersikap angkuh, sombong, merasa ialah yang terpandai. Tabiatnya suka dusta, tidak mengindahkan ketertiban. Bethara Narada

menyarankan agar Dipoyono dan Dupara diturunkan saja kebumi.

12. Sebaiknya dipisahkan dari Kahyangan dan dilepas kedudukannya sebagai Dewa, jadikanlah sebagai manusia biasa. Tentang ini Yang Narada

menghimbau agar Bethara Kamajaya merayu supaya rela turun kemarcapada, mengasuh Manumanasa.

13. Dialah nantinya yang mengadakan keturunan sebagai raja dipulau Jawa. Telah tiba saatnya dia turun kemacapada. Mengenai Dupara, Yang Narada

menyarankan agar Yang Wisnu yang mengerjakan. Tempat yang layak untuk Dupara sebaiknya diturunkan ke Atas Angin dinegeri seberang. Disana ia ditugaskan mengajarkan tentang beberapa ilmu.

14. Hyang Pramesthi sangat menyetujui pendapat Yang Narada. Pendapat Yang Narada didukung sepenuhnya oleh Hyang Giri Nata. Pertemuan dipandang telah paripurna, lalu diperintahkan bubaran. Yang Wisnu telah ditemui dan diberi tugas oleh Hyang Pramesthi.

15. Dupara telah ditemui oleh Yang Wisnu. Dia diberi penjelasan, bahwa atas perintah dan Yang Pramesthi, akan diturunkan kemarcapada ditanah Atas Angin. Disana ia diberi tugas menyempurnakan ilmu para brahmana yang kurang sempurna ilmunya.

16. Dupara tak dapat berbuat lain kecuali sedia menjalani kehendak Hyang

Pramesthi itu. Yang Wisnu segera menurunnkan Dupara ke Atas Angin. Selesai menyelesaikan tugas Yang Wisnu kembali ke Balai Marakata. Adapun Yang Narada menuju ke Kahyangan Cakra Kembang menemui Yang Kamajaya. 17. Disana Bethara Narada menyampaikan penintah dari Hyaig Pramesthi, yaitu

Yang Kamajaya ditugaskan dapat merayu Dipoyono untuk bersedia diturunkan dimarcapada mengasuh Manumanasa. Dialah nantinya yang berketurunan menjadi raja. Bila ia memajukan permintaan apapun supaya dikabulkan. 18. Hyang Narada mengatakan, bila selesai menjalankan tugas itu, nantinya

dijanjikan Dewi Ratih akan dianugerahkan kepada Yang Kamajaya sebagai istri, untuk balas jasanya. Setelah selesai menyampaikan perintah Yang Narada kembali ke Kahyangan Suduk Pengudal udal. Yang Kamajaya pergi menemui Dipoyono.

19. Dikatakannya bahwa Hyang Pramesthi telah menugaskan padanya bertemu muka, memusyawarahkan mengenai persetujuan dari Dipoyono untuk sedia diturunkan dimarcapada mengasuh Manumanasa seketurunannya.

20. Dinyatakan : dialah yang nantinya akan berketurunan sebagai raja raja. Dipoyono tak keberatan menerima kuwajiban itu, tetapi ia memajukan persaratan. Persaratan yang diminta ialah : Hyang Pramesthi harus sanggup mengabulkan dan mengadakan apa yang diinginkan dan diminta oleh mereka yang diasuhnya.

21. Bila keinginan tidak diizinkan, pemiintaan tidak diadakan maka ia akan naik ke Suralaya. Suralaya akan diporak perandakan. Hal itu disanggupi oleh Hyang Kamajaya. Tetapi Kamajaya memberi saran supaya Dipoyono rela memiliki wajah dan tubuh tidak baik, dan menjadi manusia biasa, tidak sebagai Dewa. 22. Dipoyono menyatakan tidak berkeberatan Dipoyono minta diciptakan sesosok

tubuh yang jelek, selanjutnya ia akan merasuk ketubuh itu. Kamajaya lalu mengambil dhalung (periuk yang dibuat dan tembaga), dimanterai untuk dijadikan bentuk sosok tubuh manusia. Sosok tubuh manusia telah tercipta, segera Dipoyono merasuk tubuh ciptaan tersebut, yang jelek ujudnya.

23. Dipoyono lalu mengambil nama Semar, karena baik bentuk tubuh dan sifat keadaannya samar samar. Lagak ucapan dan suaranya pun berubah. Melihat segala perubahan yang tenjadi pada diri Dipoyono ke Semar itu, Yang Kamajaya tertawa geli. Ia menyetujui perubahan tersebut.

24. Semar minta dua orang teman, kepada Kamajaya, mereka membapa padanya. Keduanya dapat dijadikan kawan mengasuh. Kamajaya lalu mengambil

kreweng (pecahan periuk) dan solet (alat pengaduk nasi tani) selanjutnya diberi mantera Kreweng berubah ujud menjadi orang, diberi nama Nala Gareng. Sedang solet berubah menjadi manusia diberi nama Dawala.

25. Dawala disebut juga Petruk, Kanthong Bolong. Yang Kamajaya dapat memenuhi permintaan Ki Semar. Dua orang itu diserahkan dan diterima oleh Semar. Setelah itu Yang Kamajaya kembali ke Kahyangan.

26. Di Kahyangan Yang Kamajaya bertemu dengan Manumanasa. Yang Kamajaya menyatakan telah diperintah Hyang Pramesthi, menyampaikan berita perintah Hyang Pramesthi, turun ke marcapada. Dia disuruh nantinya meneruskan keturunan Yang Wenang menjadi raja raja di Jawa. Bagi dia diberikan pengasuh turun ternurun, bernama Semar.

27. Manumanasa dapat menerima tunjukkan Yang Prarnesthi, lalu diturunkan ke marcapada, dipuncak gunung Cipto Renggo atau Sapto Arga, didataran yang luas. Ditumbuhi banyak batang kelapa, banyak terdapat mata air. Disana terdapat banyak pemandangan yang mengasyikkan. Yang Kamajaya sesudah berbincang bincang lalu kembali ke Suralaya.

28. Sepergi Hyang Kamajaya kembali, Manumasa lalu bersemadi. Dalam semadinya ia mendapat ilham: mengatakan bahwa ia dapat menurunkan raja raja bila memilki istri. Maka berkatalah Manumasa kepada Sernar mengenai ilham itu. Ia meminta agar Semar rnau mencarikan putri sebagai istrinya. Semar menyanggupi.

29. Ia pergi kehutan, berusaha rnenghubungi Dewa, minta dikaruniai seorang wanita yang cantik, yang nantinya akan dijadikan istri Manumanasa. Dewa lalu menurunkan seorang bidadari yang cantik molek. Tetapi bidadari itu merasuk tubuh seekor singa, tiba didepan Semar.

30. Semar terperanjat, lari tunggang langgang menuju tempat Manumanasa. Dikatakan dikaki gunung Sapta Arga ada seekor harimau, mengejar ngejar dia. Diharapkan Manumanasa suka mengangkat panah untuk dibidikkan kepada harimau tersebut. Tepat mengenai tubuh harimau, hilang musnah badan singa, datanglah seorang bidadari cantik rupawan.

31. Bidadari itu pergi menghampiri Manumanasa. Ia segera disambut dibawa ketempat tinggalnya. Disana keduanya mengikuti gejolak ulah asmara.

Akhirnya dianugerahi seorang anak laki laki yang anggun tampan, diberi nama Bambang Sekutrem. Kemudian bidadari itu kembali ke Keinderaan.

32. Tinggallah Sekutrem bersama ayahnya yaitu Manumanasa, dan diasuh oleh Semar dengan anak anaknya, Setelah dewasa Sekutrem minta izin ayahnya akan mengembara menjelajah hutan hutan. Maharsi Manumanasa mengizinkan. Semar dengan anak anaknya diperintah mengawal. Untuk tiga orang itu yang bertindak sebagai pengawal dan penghibur adalah Semar, Nala Gareng, dan Petruk patuh mengikuti Sakutrem mencari wahyu raja

33. Dalam pengenbaraan mencari wahyu itu datanglah Yang Kamajaya menemui Bambang Sakutrem, menyampaikan wahyu. Oleh Hyang Pramesthi diserahkan wahyu raja yang menguasai seluruh Jawa dan Blambangan sampai Banten, Bali, Madura dan Palembang dengan pusat kerajaan di Pulau Jawa.

34. Setelah itu Hyang Kamajaya lalu kembali menghadap Hyang Pramesthi, melaporkan bahwa perintahnya telah selesai dikerjakan. Hyang Pramesthi segera memberi perintah kepada Yang Narada serta diikuti para Dewa, turun ke marcapada menciptakan para manusia.

XX. PANGKUR

01. Para Dewa lalu turun ke marcapada. Masing masing menciptakan empat puluh pasangan pria dan wanita. Ada yang cantik, tampan, buruk.

02. Ada yang ditempatkan digunung gunung sebagai Maharsi serta penganut yang bertingkat tingkat kecakapan dan ilmunya. Ada puthut, cantrik, manguyu, serta endang (wanita kerabat pandita). Ada lagi yang ditempat tinggalkan didesa desa sebagai petani. Mereka mengambil benih benih dari Mendhangkamulan.

03. Jangka masa pada waktu itu disebut Jaman Tirta. Pada jaman itu manusia hidup sealam dengan para roh halus. Antara manusia dan roh halus saling dapat berhubungan perasaan. Mereka yang telah meninggal, rohnya masih dapat bebubungan rasa dan karsa dengan yang masih hidup.

04. Orang dibumi dapat berhubungan rasa dengan penghuni di Surgaloka. Begitu pula sebaliknya. Hubungan rasa karsa itu dapat diadakan dengan jalan

bersemadi, penghening panca indera, melepaskan segala perasaan dari jasmani. 05. Pada Jaman Tirta manusia makan sekali sebulan. Manusia tahan hidup dalam

jangka seribu tahun. Dari Jaman Tirta disambung Jaman Dupara. Pada jaman itu manusia tahan tiidup sampai lima ratus tahun. Manusia makan setengah bulan sekali. Sampai saat itu pandangan perasaan manusia peka dan tajam. 06. Sekali peristiwa Sakutrem dianugeralii penganut yaitu Puthut, Jejanggan,

Cantrik, manguyu dan endang. Sakutrem gembira hatinya. Ia lalu kembali menghadap ayahnya.

07. Sampai ditempat ayabnya bertapa Sakutrem melapor kepada ayahnya, bahwa ia telah dianugerahioleh Hyang Kaniajaya, bersifat : Puthut, Jejanggan, Cantrik, Manguyu dan endang.

08. Sang Maharsi Manumanasa gembira hatinya, mendengar laporan dan putranya itu. Sekutrem bertanya kepada ayahnya kepada siapa ia minta jodoh wanita yang layak menjadi istrinya.

09. Dijawab oleh ayahnya mintalah petunjuk kepada Semar. Ikutilah segala nasihatnya. Sekutrem diajaknya masuk hutan, disertai dua orang anak Ki Semar.

10. Ditengah hutan itu Semar bersçmadi mengheningkan panca indera, memintakan kepadaDewa, wanita yang pantas menjadi pendamping dan manusia

kesayangan dan asuhannya, yalta Sekutrem. Yang Kamajaya mengabulkan permintaan tersebut. Diturunkan bidadari dalam perujudan ular besar. Tiba didepan Semar, ular itu menyerang Semar dengan garang. Semar amat terkejut. Ia lari mendekati Bambang Sekutrem.

11. Dia mengadu bahwa ada ular besar datang menyerang pada saat ia bersemadil. Semar minta agar ular itu dilepasi panah. Ular itu tepat terkena anak panah Bambang Sekutrem, matilah ia. Dalam sekejap mata bangkai ular itu hilang musnah, datanglah seorang bidadari yang molek rupawan.

12. Bidadari itu datang menghampiri Bambang Sekutrem. Bidadari itu menyerahkan diri, bersedia memenuhi segala kehendak pria pujaannya.

Bambang Sekutrem pulang kembali dengan membawa bidadari karunia Dewa. Kepergiannya diikuti oleh Ki Semar dengan anak anaknya.

13. Oleh Manumanasa, anaknya: Sakutrem dengan bidadari menantunya ditempatkan dibangunan yang terletak disisi padepokannya. Kemauan Sakutrem mendapat seorang anak laki laki, yang tampan wajahnya. Oleh kakeknya diberi nama Bambang Sakri. Setelah Sakri menjelang dewasa, Bidadari meninggalkan Sekutrem, kembali ke Inderaloka.

14. Bambang Sakri bertempat tinggal bersama ayahnya, dalam asuhan Semar dengan anak anaknya. Setelah dewasa Bambang Sakri menghimbau kepada ayahnya untuk dicarikan seorang wanita, untuk dijadikan istri. Ayahnya lalu menyuruh agar mencari diantara anak putri remaja dari para Resi, Pandita, Pertapa, siapakah diantara mereka yang menjadi pilihannya.

15. Bambang Sakri tak dapat menerima anjuran ayahnya itu. Sakutrem tetap pada pendiriannya, Sakri disuruh mencari sendiri. Akhirnya Sakri meminta diri kepada ayahnya, pergi masuk hutan disertai Ki Semar, Nala Gareng dan Petruk. 16. Perjalanan Sakri naik gunung, tunun gunung, masuk jurang naik jurang,

Dalam dokumen Manik Maya 1 (Halaman 60-75)

Dokumen terkait