• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEKUATAN PUTUSAN DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM DALAM KAITANNYA DENGAN PEMILIHAN GUBERNUR LAMPUNG 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KEKUATAN PUTUSAN DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM DALAM KAITANNYA DENGAN PEMILIHAN GUBERNUR LAMPUNG 2014"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

2014 was still a lot of controversy with the process so complicated that ultimately

resulted elected leaders, after the long process, sprang DKPP decision relating to

election of the Governor of Lampung in 2014. The verdict of DKPP generate

convicted and fired Lampung Provincial Election Supervisory Board The purpose

of this research was to determine and analyze the strength of the hook with the

decision DKPP Lampung gubernatorial election in 2014. In this study the authors

discussed the use of theory and concepts; theory of legislation, the concept of the

State institutions, the concept of an independent State institution using normative

juridical research method, i.e. obtaining secondary data obtained from the study of

literature, books and legislation.

Results of research and discussion shows that many violations in the

elections in 2014 that resulted in the governor of Lampung in 2014 resulted in the

termination of the Election Supervisory Board members Lampung province

because it violates the code of ethics. Strength Honor Council Election decision

final and binding give lessons to the election organizer Lampung Province.

General Election should be neutral, credible and high dedicated in holding

Democratic Party mainly local elections. Strength of DKPP decision which is

final and binding is helpful as a reference to the election organizers do their job

better.Keywords: Verdict Strength, Honor Council Election, and Election

Violations.

(2)

Proses Pelaksanaan Pemilihan Gubernur Lampung Pada Tahun 2014

banyak mengalami kontroversi dengan proses yang begitu rumit akhirnya

menghasilkan pemimpin yang terpilih, proses yang begitu panjang terlahirlah

putusan DKPP yang berhubungan dengan pemilihan Gubernur Lampung tahun

2014. Putusan DKPP menghasilkan dinyatakan bersalah dan diberhentikanya

Badan Pengawas Pemilu Provinsi Lampung.

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui dan menganalisis kekuatan

putusan DKPP dalam kaitnya dengan pemilihan Gubernur Lampung tahun 2014.

Dalam membahas penelitian ini penulis menggunakan teori dan konsep ; teori

peraturan perundang-undangan, konsep lembaga Negara, konsep lembaga Negara

independen menggunakan metode penelitian yuridis normatif,yaitu memperoleh

data sekunder yang didapat dari studi kepustakaan,buku-buku dan peraturan

perundang-undangan. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa

banyak terjadi pelanggaran di dalam pelaksanaan pemilihan Gubernur Lampung

2014 yang mengakibatkan diberhentikanya anggota Badan Pengawas Pemilu

Provinsi Lampung karena terbukti melanggar kode etik. Kekuatan putusan Dewan

Kehormatan Penyelenggara Pemilu final dan mengikat memberi pelajaran kepada

penyelenggara pemilu Provinsi Lampung.

Penyelenggara Pemilu sebaiknya lebih netral,kredibel dan berdidekasi

tinggi dalam menyelenggarakan pesta demokrasi terutama pemilihan kepala

daerah. Kekuatan putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat sangat

membantu sebagai acuan untuk para penyelenggara pemilu melaksanakan

tugasnya lebih baik.

Kata Kunci : Kekuatan Putusan, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu,

(3)

PEMILU DALAM KAITANNYA DENGAN PEMILIHAN GUBERNUR LAMPUNG 2014

OLEH

ARYO FADLIAN

Tesis

Digunakan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Derajat MAGISTER HUKUM

Pada

Jurusan Sub Program Hukum Kenegaraan Program Pascasarjana Magister Hukum

Universitas Lampung

PROGRAM MAGISTER HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)

PEMILIHAN UMUM DALAM KAITANNYA DENGAN PEMILIHAN GUBERNUR LAMPUNG 2014

(Tesis)

Oleh Aryo Fadlian

PROGRAM MAGISTER HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)

DAFTAR ISI

3.Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 25

(6)

A Kedudukan DKPP Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia ... 28

1. Lembaga Negara Pembantu Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia ... 28

2. Kedudukan DKPP Dalam Sistem Penyelenggaraan Pemilu ... 34

3. Lembaga Negara Independen... 42

B. Pemilihan Umum ... 47

C. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum ... 55

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Proses pelaksanaan pemilihan Gubernur Lampung tahun 2014 jika ditinjau dari putusan DKPP ... 61

B. Kekuatan dan Pelaksanaan Putusan DKPP Terhadap Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu ... 65

1. Subjek dan Objek Perkara Yang Ditanggani DKPP ... 65

2. Sifat Putusan DKPP Final dan Mengikat ... 70

3. Pelaksanaan Putusan DKPP ... 75

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 78

B. Saran ... 79

(7)
(8)
(9)
(10)

Ingatlah bahwa setiap hari dalam sejarah hidupan kita ditulis dengan tinta yang

tak dapat terhapus lagi.

(Thomas Carlyle)

Sukses bukanlah akhir dari segalanya, kegagalan bukanlah sesuatu yang fatal :

namun keberanian untuk meneruskan kehidupanlah yang diperhatikan.

(Sir Winston Churchill)

“Wa man jaahada fa

-

innamaa yujaahidu linafsihi”

:

Barang siapa sungguh

sungguh, sesungguhnya kesungguhanya itu

adalah untuk dirinya sendiri.

(11)

Dengan segala kerendahan hati dan rasa syukur kepada Allah SWT, penulis

mempersembahkan tesis ini untuk :

1. Kedua orang tua penulis, ayahanda Drs. Hi Julianto PA SH Msi dan

ibunda Hj Dwi Indriastuti yang doanya selalu mengiringi penulis.

2. Adik-adik tercinta, Welisdita Pangesti kha dan Isma Kharos Fadlian yang

selalu memberikan semangat untuk segera mungkin menyelesaikan tesis

ini. Semoga pada suatu saat nanti tesis ini dapat memberikan inspirasi

kepada adik-adik ku agar menuntut ilmu setinggi-tingginya.

3. Rekan-rekan bisnis yang selalu memberikan semangat dan doa sehingga

penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

4. Keluarga, tetangga, sahabat yang berada di Lampung Timur, Metro dan

Bandar Lampung yang selalu memberikan dorongan, inspirasi dan doa

sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini.

5. Wabilkhusus Rekan-rekan Magister Hukun Universitas Lampung

angkatan 2013, yang banyak membantu penulis menyelesaikan Tesis ini.

(12)

Penulis bernama lengkap Aryo Fadlian, dilahirkan di

Bumiharjo tanggal 12 April 1992 sebagai anak pertama dari tiga

bersaudara dari pasangan bapak Drs. Hi Julianto PA SH Msi dan

ibu Hj Dwi Indriastuti Pada saat ini Penulis tiggal di Jl. Pramuka

No.51 Rt 17 Desa Sumberejo Kec. Kemiling Bandar Lampung.

Penulis menempuh jenjang di TK Pertiwi Balerejo, kemudian dilanjutkan

di Sekolah Dasar Negeri 2 Bumiharjo diselesaikan pada tahun 2003, kemudian

dilanjutkan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Metro diselesaikan pada

tahun 2006, kemudian dilanjutkan di Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Metro

diselesaikan pada tahun 2009. Penulis melanjutkan kuliah di Universitas Tulang

Bawang Fakultas Hukum pada tahun lulus pada tahun 2013.

Kemudian penulis melanjutkan di Program Pasca Sarjana Universitas

Lampung Magister Hukum dengan Konsentrasi Hukum Kenegaraan. Penulis

(13)

SAN WACANA

Puji syukur kehadirat Allah swt atas segala berkat dan karunianya, Tesis ini dapat

diselesaikan. Tesis dengan judul Kekuatan Putusan Dewan Kehormatan

Penyelenggara Pemilu dalam kaitanya dengan pemilihan Gubernur Lampung

2014 adalah syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum Fakultas Hukum

Universitas Lampung.

Dalam Penyusunan Tesis ini penulis menyadari masih banyak terdapat

kekurangan baik dari segi subtansi maupun penulisanya. Penyusunan Tesis ini

tidak terlepas dari bantuan pihak-pihak baik secara moril maupun materil, untuk

itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Yuswanto, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing utama

dan Bapak Dr. Budiyono, S.H., M.H., Dosen Pembimbing pendamping

penulis yang berkenan membimbing, mengarahkan, dan memberikan

pemahaman dalam penyelesaian Tesis ini.

2. Bapak Prof. Dr. Muhammad Akib, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembahas

II dan Bapak Dr. Tisnanta., S.H., M.H selaku Dosen Pembahas II yang

telah memberikan saran dan kritik dalam penulisan ini.

3. Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S., selaku Rektor Universitas

Lampung.

4. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum

(14)

Program Pascasarjana Program Magister Hukum Universitas Lampung.

6. Bapak, Ibu Dosen dan staf Program Pascasarjana Magister Hukum

Fakultas Hukum Universitas Lampung.

7. Rekan-rekan Magister Hukum Universitas Lampung 2013, banyak cerita

disana. Terima kasih.

Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat,meningkatkan wawasan intelektual

dan menambah pemahaman dibidang hukum kenegaraan. Terima Kasih.

Bandar Lampung, 15 Oktober 2015

Penulis

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berkembangnya demokrasi di Indonesia dengan mengacu pada negara-negara luar

yang semakin berkembang pesat demokrasinya di era reformasi ini para elit

politik pejabat-pejabat pemerintah dan didukung oleh rakyat memperbaiki sedikit

demi sedikit sistem pemilihan pejabat publik yang kredible, bersih dan

berkompeten sesuai dengan keinginan rakyat Indonesia pada umumnya.

Pembenahan ini tentunya tidak bisa dilakukan dengan mudah membutuhkan

perjuangan yang sangat sulit dan dukungan penuh dari semua penjuru masyakat

Indonesia dari berbagai lapisan. Sebagai bentuk Realisai kedaulatan rakyat dalam

bingkai demokrasi adalah terselenggaranya Pemilihan Umum secara reguler

dengan prinsip yang bebas, langsung, umum dan rahasia. Pemilu merupakan

mandat dari konstitusi yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah, dalam hal ini

memastikan dan melindungi pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam menyalurkan

hak-hak politiknya dalam Pemilu. Pemilu sebagai salah satu praktek

berlangsungnya kekuasaan dan pemerintah harus berdasarkan prinsip-prinsip

hukum yang berkeadilan dan nilai-nilai kemanfaatan. Salah satu prinsip dasar dari

negara hukum demokratis adalah adanya jaminan yang berkeadilan bagi rakyat

dalam mengekspresikan kedaulatanya.

Pelaksanaan Pemilu merupakan kehendak bangsa Indonesia untuk mengkokohkan

(16)

dalam situasi bangsa Indonesia sedang mempertahankan kemerdekaanya. Dalam

penilaian umum, Pemilu Tahun 1955 merupakan Pemilu yang ideal karena

berlangsung demokratis. Sebaliknya Pemilu yang digelar sepanjang era Orde Baru

hanya sekedar seremonial untuk mempertahankan kekuasaan, dengan merekayasa

peraturan hukum, sistem, tata cara, dan hasil Pemilu-nya sekaligus. Arus

reformasi berhasil mengoreksi praktek-praktek Pemilu yang tidak demokratis

tersebut. Pemilu pertama di era reformasi digelar pada Tahun 1999, tidak saja

bertujuan untuk membangun Indonesia yang demokratis, namun juga diharapkan

mampu meletakan dasar kepemimpinan yang berpihak pada usaha-usaha

pencapaian kemakmuran dan keadilan bagi rakyat.

Setiap penyelenggaraan Pemilu seringkali muncul persoalan atau pelanggaran

Pemilu. Persoalan-persoalan tersebut muncul karena ketidak puasan terhadap

penyelenggara Pemilu dalam hal ini Komisi Penyelernggara Pemilu (KPU),

seperti keputusan/kebijakan yang tidak tepat merugikan peserta Pemilu, kekurang

cermat dalam penghitungan suara, hingga indikasi keberpihakkan kepada salah

satu peserta Pemilu, seperti pemalsuan identitas, intimidasi dan money politik

kepada pemilih. Persoalan-persoalan tersebut apabila dibiarkan dan tidak

diberikan mekanisme penyelesaianya (mekanisme hukum) yang jelas dan tegas,

mengganggu kelancaran/kesuksesan Pemilu dan mengakibatkan rendahnya

kredibilitas serta legitimasi Pemilu. Pada giliranya dapat mengancam dan

mengabaikan hak-hak konstitusionalisme para peserta Pemilu dan masyarakat

pada umumnya.

Setelah Pemilu pada Tahun 1999 Pemilu kedua era reformasi berlangsung Tahun

(17)

pelanggaran peraturan maupun pelanggaran kode etik yang dilakukan KPU tidak

begitu responsif menindak lanjuti dan hanya mengandalkan hasil keputusan

pengadilan.Pemilu ketiga di era reformasi yaitu pada Tahun 2009 dimaksudkan

untuk semakin menyempurnakan dari Pemilu-pemilu sebelumnya,tapi pada

Pemilu Tahun 2009 tetap mengalami berbagai pelanggaran.

Setelah Tahun 2009 Pemilu kembali dilaksanakan pada Tahun 2014 khususnya

provinsi lampung serempak pelaksanaan Pemilu legislatif dengan dilaksanakan

Pemilihan Gubernur Lampung periode 2014-2019.

Pada awalnya Pilgub Lampung pernah mengalami kontroversi yaitu pada saat

Tahun 2002 Alzier Dianis Thabrani terpilih menjadi Gubernur Lampung namun

karena tersangkut tindak pidana tidak jadi dilantik oleh Mendagri. Setelah itu

Hasil rapat paripurna DPRD Prov Lampung Tahun 2004 memenangkan pasangan

Sjachroedin ZP - Syamsurya Ryacudu dengan mengalahkan pasangan Oemarsono

– Ibrahim BS, untuk menjabat Gubernur Lampung periode Tahun 2004-2009.1

Pemilihan Gubernur selanjutnya dilaksanakan langsung dipilih oleh rakyat pada

Tahun 2008. Sjachroedin ZP mengundurkan diri sebagai Gubernur dan

digantikan oleh syamsurya ryacudu yang sebelumnya sebagai Wakil Gubernur

Lampung menjadi Gubernur definitif karena Sjachroedin ZP ingin mencalonkan

diri kembali pada pertarungan Pemilihan Gubernur Lampung Tahun 2008.

1

(18)

Dengan berpasangan dengan MS Joko Umar Said, Sjachroedin ZP memenangkan

kembali sebagai Gubernur Lampung periode 2009-2014.2

Perdebatan dan adu arguementasi pada Pemilihan Gubernur Lampung 2014

sangat rumit,sangat berlarutnya polemik Pilgub menjadi preseden buruk yang

memalukan daerah,karena sudah berulang kali Lampung mencatatkan sejarah

buruk di momentum pesta demokrasi lima tahunan ini. Bermula dari terbitnya SK

KPUD Lampung No.75/Kpts?KPU-Prov-008/2012 tertanggal 11 September 2012

tentang hari pemungutan suara Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Tahun

2013,yang menegaskan putaran pertama akan dilakukan pada 2 Oktober Putaran

kedua disiapkan pada 4 Desember. Gubernur menolak dengan tidak memasukan

anggaran Pilkada dalam APBD-P 2013. Dengan begitu, Pilgub diundur hingga

Tahun 2015 dengan pertimbangan belum adanya dasar hukum yang kuat. Karena

RUU Pemilukada belum disahkan oleh DPR RI. Kementrian Dalam Negri dan

DPRD Provinsi pun memilih jalan tengah dan hanya mendapatkan kata sepakat.

Gubernur menawarkan akan disediakan pada APBD 2014 dengan dilaksanakan

bulan januari Mendagri menawarkan bulan april 2014 pelaksanaan bersamaan

dengan Pileg. Bahkan sempat muncul wacana solusi agar ara calon yang sedang

menjabat Kepala Daerah untuk sementara urunan Rp 50.000.000.000 dari dana

sisa bagi hasil APBD masing-masing. Dengan diperpanjangkanya masa jabatan 5

orang komisioner KPU Lampung hingga pelantikan Gubernur terpilih 2014-2019

melalui SK KPU-RI No.707/Kpts/KPU/Tahun 2013 tertanggal 12 September, dan

dengan landasan hukum UU No.32 Tahun 2004, PP No. 6 Tahun 2005 dan

Peraturan KPU No. 9 Tahun 2010, maka tahapan yang tertunda patutlah segera

2

(19)

dimulai kembali.semua pihak harus lebih tegas dan proaktif menuntaskan semua

persoalan.3

Dalam Pemilihan Gubernur Lampung 2014 yang akhirnya pelaksanaanya

membarengi pemilihan legislatif pada tanggal 9 April 2014 diikuti oleh 4 pasang

calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur yaitu Nomor urut 1. Berlian Tihang –

Mukhlis Basri, Nomor urut 2. Ridho Ficardo - Bachtiar, Nomor urut 3. Herman

HN – Zainudin Hasan, Nomor urut 4. Alzier Dianis Thabrani – Lukman Hakim.

Dengan Daftar pemilih tetap kurang lebih 5,8 juta jiwa dilaksanakan di 16.497

TPS.

Berdasarkan hasil quick count SMRC (Saiful Muzani Research Center) pasangan

Ridho Ficardo – Bachtiar memperoleh 43,66 % suara dan diikuti oleh Herman

HN– Zainudin Hasan memperoleh 32,94 % suara sedangkan Berlian Tihang-

Muchlis Basri 15,7 % dan Alzier Dianis Thabrani – Lukman Hakim memperoleh

7,7 % suara. Berbanding terbalik dengan SMRC, real count versi Pussbik

Lampung pasangan Herman HN – Zainudin Hasan mengungguli pasangan Ridho

– Bachtiar.4

Hasil rapat pleno KPU Provinsi Lampung tanggal 17 april 2014 yang dibacakan

langsung oleh Ketua KPU Provinsi Lampung Nanang Trenggono memenangkan

pasangan Ridho – Bachtiar pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur

Lampung 2014-2019 dengan memperoleh 1.816.533 suara (44,96%).5

3

nyoman adi irawan, Mahasiswa Untuk Demokrasi, 2013, hlm 1

(20)

Lahirnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu

(selanjutnya disingkat UU No. 15 Tahun 2011), mengamanatkan untuk

membentuk suatu lembaga negara baru,yaitu Dewan Kehormatan Penyelenggara

Pemilu (selanjutnya disingkat DKPP). DKPP adalah lembaga yang bertugas

menangani pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu dan merupakan satu

kesatuan fungsi Penyelenggara Pemilu. DKPP memiliki tugas dan wewenang

untuk menegakan dan menjaga kemandirian, integritas, dan kredibelitas

Penyelenggara Pemilu. Secara lebih spesifik DKPP dibentuk untuk memeriksa,

mengadili dan memutuskan pengaduan/laporan dugaan pelanggaran kode etik

yang dilakukan anggota KPU, anggota Bawaslu, dan jajaran di bawahnya.

Pada hari Selasa 12 Juni 2012 Presiden melantik tujuh anggota DKPP periode

Tahun 2012-2017 di Istana Negara. Pengurus DKPP dituangkan dalam Keppres

Nomor 57 Tahun 2012. Ketujuh anggota DKPP tersebut adalah Ida Budhiarti

mewakili unsur KPU, Nelson Simanjuntak mewakili unsur Bawaslu dan lima dari

unsur masyarakat yaitu AbdulBari Azed, Valina Singka Subekti, Jimly

Asshiddiqie, Saut Hamonangan Sirait serta Nur Hidayat Sardini.

Sejak berdirinya DKPP, sangat produktif menangani perkara pengaduan

pelanggaran kode etik oleh Penyelenggara Pemilu. Sampai bulan November

Tahun 2012, DKPP telah memproses perkara pelanggarana kode etik

Penyelenggara Pemilu sejumlah 53 perkara. Namun mengingat dalam penanganan

perkara lazim didasarkan pada pihak yang diadukan (teradu).

Begitu besarnya pengaruh DKPP dalam suatu proses Penyelenggara Pemilu dan

(21)

struktur ketatanegaraan dan tatanan pemerintah, menjadi suatu hal yang sangat

penting dan menarik untuk dibahas lebih lanjut. Kehadiran lembaga DKPP yang

berwibawa sebagai pilar demokrasi sangat diperlukan. DKPP tidak hanya

diharapkan mampu meneggakan kode etik penyelenggara Pemilu, tetapi juga

dapat mengawal independensi dan imparsialitas jajaran KPU dan Bawaslu dari

pusat hingga daerah. Selain itu, keberadaan DKPP diharapkan dapat memberikan

kepastian dan jaminan bagi Pemilu yang jujur, adil, bebas, rahasia.

Kemenangan Ridho – Bachtiar ternodai oleh banyaknya pelanggaran-pelanggaran

pemilu seperti money politik, etika kampanye dan terindikasi mengubah hasil

suara di beberapa TPS. Kepustusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu

No.25/DKPP-PKE-III/2014 menyimpulkan bahwa Bawaslu Provinsi Lampung

melakukan pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu, dan memertintahkan

kepada Bawaslu pusat untuk menindaklanjuti sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.6

Dari beberapa uraian dan masalah di atas peneliti menarik kesimpulan dengan

judul KEKUATAN PUTUSAN DKPP DALAM KAITANNYA DENGAN

PEMILIHAN GUBERNUR LAMPUNG 2014.

6

(22)

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup

1. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas terdapat beberapa permasalahan yang menarik

untuk dibahas lebih lanjut dan agar lebih fokus kajian masalah dalam penelitian

ini dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana proses pelaksanaan pemilihan Gubernur Lampung 2014

ditinjau berdasarkan putusan DKPP?

2. Sejauh mana kekuatan dan pelaksanaan putusan DKPP terhadap

pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu?

2. Ruang Lingkup

Berdasarkan rumusan masalah, maka ruang lingkup penelitian ini adalah kajian

bidang hukum kenegaraan, yang secara khusus meneliti keputusan lembaga

Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu dalam keabsahan hasil Pemilihan

Gubernur Lampung Tahun 2014.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penulisan tesis ini adalah :

a. Mengetahui dan menganalisis proses pemilihan Gubernur Lampung tahun

(23)

b. Mengetahui dan menganalisis kekuatan dan pelaksanaan putusan DKPP

terhadap pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu.

2. Kegunaan Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna secara Teoritis maupun Praktis

yaitu :

1). Secara Teoritis

Kegunaan teoritis penelitian ini untuk memberikan masukan sumbangan

pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum

kenegaraan.

2). Secara Praktis

a. Sumbangan pemikiran kepada stechholder (pejabat dan petinggi

negara) dalam hal pembentukan lembaga penyelenggara pemilu yang

kredible, berkompeten dan tidak terintervensi oleh pihak manapun.

b. Untuk acuan bagi seluruh elemen lembaga Penyelenggara Pemilu agar

lebih independen,profesionalitas, tidak memihak dan lebih

mengutamakan demokrasi dalam bekerja sebagai Penyelenggara

Pemilu.

c. Dapat dijadikan bahan informasi kepada masyarakat bahwa dalam

(24)

Daerah yang sesuai dengan kemauan masyarakat, sah sesuai dengan

konstitusi dan asas Pemilu.

D. KerangkaPemikiran

1. Alur Pikir

UUD 1945

UU Nomor 32 Tahun 2004 tantang Pemilihan Kepala

Daerah

UU Nomor 15 Tahun 2004 tantang Penyelenggara

Pemilu

Asas-Asas Pemilu

SK KPU-RI No. 707/KPTS/KPU/Tahun 2013 tentang Pemilihan

GubernurLampung

PEMILIHAN

GUBERNUR LAMPUNG

2014

Putusan DKPP

No.25/DKPP-PKE-14/2014 Tentang pelanggaran anggota

(25)

2. Teori-teori dan Konsep-konsep

a. Teori Peraturan Perundang-Undangan

Peraturan perundang-undangan berasal dari kata Peraturan dan

Perundang-undangan. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia peraturan adalah

tatanan(petunjuk, kaidah, ketentuan) yang dibuat mengatur, sedangkan

perundangan diterjemahkan sebagai yang bertalian dengan

undang-undang. Kata undang-undang diartikan ketentuan-ketentuan dan peraturan

negara yang dibuat oleh pemerintah, disahkan oleh parlemen, ditanda tangani

oleh kepala negara, dan mempunyai kekuatan mengikat atau aturan yang dibuat

oleh orang atau badan yang berkuasa.7

Dalam bahasa Belanda istilah undangan dan peraturan

perundang-undangan dari istilah wettelijke regels atau wettelijke regeling. Istilah wet

(undang-undang) dalam buku Belanda mempunyai dua pengertian, yaitu wet in

fomele zin (undang-undang dalam arti formal). Adalah setiap keputusan

pemerintah yang merupakan undang-undang yang didasarkan kepada bentuk

dan cara terbentuknya. Dan wet in materele zin (undang-undang dalam arti

materil) yaitu keputusan pemerintah/penguasa yang dilihat berdasarkan kepada

isi atau subtansinya mengikat langsung terus penduduk atau suatu daerah

tertentu,misalnya:peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan

menteri,peraturan daerah dan sebagainya.8

7

Armen Yasir, Hukum Perundang-undangan,Lembaga Penelitian universitas Lampung, Lampung,2008 hlm.. 25

8

(26)

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan, menyebutkan dalam Pasal 1 angka 2 pengertian

“Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma

hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga

negara atau pejabat yang berwewenang melalui prosedur yang ditetapkan

dalam Peraturan Perundang-undangan”. Menurut Bukhardt Krem,9 Istilah

perundang-undangan (legislation, wetgeving atau gezetzgebung) mempunyai 2

(dua) pengertian yang berbeda, yaitu: (1) Perundang-undangan merupakan

proses pembentukan/proses membentuk peraturan-peraturan negara, baik di

tingkat pusat maupun di tingkat daerah; (2) Perundang-undangan adalah segala

peraturan negara, yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan,

baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.

Bagir Manan10 memberikan pengertian Peraturan perundang undangan sebagai

kaidah hukum tertulis yang dibuat pejabat berwewenang atau lingkungan

jabatan yang berwewenang yang berisikan aturan tingkah laku yang bersifat

abstrak dan bersifat umum. Berdasarkan beberapa pengertian diatas, Menurut

Armen Yasir, ciri atau sifat suatu perundang-undangan adalah:11

1. Peraturan Perundang-undangan berupa keputusan tertulis, jadi mempunyai

bentuk dan format tertentu;

2. Dibentuk, ditetapkan dan dikeluarkan oleh pejabat yang berwewenang,

berdasarkan ketentuan yang berlaku;

9

Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, Dasar-Dasar dan pembentukannya,

Kanisius, Jakarta, 1998, hlm. 3

10

Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, 2003,hlm. 216

11

(27)

3. Peraturan Perundang-undangan berisikan aturan pola perilaku, jadi bersifat

mengatur(regulerend);

4. Peraturan Perundang-undangan mengikat secara umum, tidak ditunjukan

kepada seseorang atau individu tertentu.

Mengenai jenis dan hirearki peraturan perundang-undangan, Hans Kelsen

mengemukakan Teori stufbau des Recht atau The Hirarchy of law12, teori

tersebut membahas mengenai jenjang norma hukum, dimana ia berpendapat

bahwa “norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam

suatu hirarki tata susunan”. Norma hukum mengatur pembentukanya sendiri

karena suatu norma hukum menentukan cara untuk membuat norma hukum

lainya,dan juga sampai derajat tertentu menentukan isi dari norma yang lainya

itu. Norma yang menentukan pembentukan norma lain adalah norma yang

lebih tinggi sedangkan norma yang dibentuk menurut peraturan ini adalah

norma yang lebih rendah.

b. Konsep Lembaga Negara

Negara sebagai suatu organisasi memiliki alat perlengkapan untuk

merealisasikan tujuan dan keinginan-keinginan negara (staatswill).13 Konsep

lembaga negara secara terminologis memiliki keberagaman istilah “political

institution”, sedangkan dalam kepustakaan Belanda dikenal dengan istilah

12

Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russell & Russell, New york, 1061, diterjemahkan oleh Raisul Mutaqien, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Cetakan I, Penenerbit Nusamedia dan Penenrbit Nuansa, Bandung, September 2006, hlm 179

13

(28)

staatorgamen”. Sementara itu, bahasa Indonesia menggunakan istilah

“lembaga negara, badan negara, atau organ negara”.14

Arti kata “lembaga” dalam Kamus besar Bahasa Indonesia yang relevan

digunakan dalam penelitian ini adalah badan atau organisasi yang bertujuan

melakukan suatu usaha. Kamus tersebut memberi contoh frase yang

menggunakan kata lembaga, yaitu “lembaga pemerintah” yang diartikan

sebagai badan-badan pemerintah dalam lingkungan eksekutif. Apabila kata

“pemerintah” diganti dengan kata “negara” maka frase “lembaga negara”

diartikan sebagai badan-badan negara di semua lingkungan pemerintah negara

(khususnya di lingkungan eksekutif, legislatif, dan yudikatif)15.

Dalam kamus Hukum Belanda-Indonesia kata staatsorgaan diterjemahkan

sebagai alat perlengkapan negara. Dalam Kamus Hukum Fockema Andreae,

kata ogan juga diartikan sebagai perlengkapan, Hal ini menyebabkan istilah

lembaga negara, organ negara, badan negara, dan alat perlengkapan negara

seringkali dipertikarkan satu sama lain. Menurut Natabanya, penyususun UUD

1945 sebelum perubahan, cenderung konsisten menggunakan istilah badan

negara, bukan lembaga negara atau organ negara, untuk maksud yang sama,

Konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat) tahun 1949 setelah perubahan

keempat, melanjutkan kebiasaan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia

(MPR RI) sebelum masa reformasi tindak konsisten menggunakan peristilahan

14

Firmansyah Arifin dkk. Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan antar Lembaga Negara, KHRN bekerjasama dengan MKRI didukung oleh The Asia Foundation dan USAID, Jakarta 2005, hlm. 29

15

(29)

lembaga negara, organ negara dan badan negara. 16 Satu-satunya istilah

lembaga negara terdapat dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang

menyebutkan “Mahkamah Konstitusi berwewenang mengadili, memutus

sengketa kewenangan lembaga negara”.

Dalam memahami pengertian organ atau lembaga, dapat dilihat dari pandangan

Hans Kelsen mengenai the Concept of the State Organdalam bukunya General

Theory of Law and State (Teori Umum tentang Hukum Dan Negara).17 Hans

Kelsen menguraikan bahwa “Whoever fulfills a function determined by the

legal order is an organ”. Siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang

ditentukan oleh suatu tata hukum (legal order) adalah suatu organ. Artinya,

organ negara itu tidak selalu berbentuk organik. Disamping organ yang

berbentuk organik, lebih luas lagi, setiap jabatan yang ditentukan oleh hukum

dapat pula disebut organ, asalkan fungsi-fungsinya itu bersifat menciptakan

norma dan atau bersifat menjalankan norma.

Menurut Hans Kelsen, parlemen yang menetapkan undang-undang dan

lembaga negara yang memilih para wakilnya melalui pemilihan umum,

sama-sama merupakan organ negara dalam arti luas. Pendek kata, dalam pengertian

yang luas ini, organ negara identik dengan individu yang menjalankan fungsi

atau jabatan tertentu dalam konteks kegiatan bernegara. Inilah yang disebut

16

Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsulidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 28

17

(30)

sebagai jabatan publik atau jabatan umum (public offices) dan pejabat publik

atau pejabat umum (public officials).18

Di sisi lain Sri Soemantri menyatakan bahwa, lembaga-lembaga negara

merupakan lembaga-lembaga yang ditentukan dalam konstitusi. Hal ini

mengacu pada pendapat KC. Wheare, bahwa konstitusi digunakan untuk

menggambarkan keseluruhan sistem ketatanegaraan suatu negara. Lord James

Bryce menegaskan bahwa konstitusi merupakan suatu kerangka masyarakat

politik yang diatur melalui dan atu dengan hukum. Hukum telah menetapkan

secara permanen lembaga-lembaga yang mempunyai fungsi-fungsi dan

hak-hak yang tertentu yang diakui, sedangkan menurut C.F Strong konstitusi adalah

kumpulan yang mengatur dan menetapkan kekuasaan pemerintah dan hak-hak

yang diperintah, dan hubungan-hubungan diantara keduanya atau antara

pemerintah yang diperintah. Hal ini berarti konstitusi sebagai kerangka negara

berisi lembaga-lembaga negara. Lembaga-lembaga tersebut menjalankan

fungsi yang terpisah dan memiliki sistem checks and balances, antara lain

fungsi legislatif,eksekutif,dan peradilan.19

Sri Soemantri mengatakan bahwa diluar konstitusi juga terdapat

lembaga-lembaga negara. Terkait hal tersebut beliau membagi dua sistem ketata

negaraan Indonesia. Pertama,sistem ketatanegaraan dalam arti sempit,yakni

18

Jimly Asshiddiqie, op.cit, hlm. 32

19Sri Soemantri, “

Lembaga Negara dan State Auxiliary Bodies dalam Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945”, Disampaikan dalam dialog hukum dan non hukum “penataan State Auxiliary Bodies dalam Sistem Ketatanegaraan”Departemen Hukum dan HAM RI, Badan

(31)

hanya berkenaan dengan lembaga-lembaga negara yang terdapat di dalam dan

diluar Undang-Undang Dasar.20

Menurut Jimly Asshiddiqie terdapat lebih dari 34 organ,jabatan atau

lembaga-lembaga yang secara eksplisit disebut dan diatur keberadaanya dalam UUD

1945.21 Organ tersebut dapat dibedakan dari dua kriteria, yaitu (i) kriteria

hirarki bentuk sumber normatif yang menentukan kewenangan, dan (ii) kualitas

fungsinya yang bersifat utama atau penunjang dalam sistem kekuasaan negara.

Dari segi hirarkinya lembaga atau organ negara dapat dibedakan menjadi tiga

lapis :

a. Organ lapis pertama dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara, yakni :

presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, MPR, MA dan BPK. Seluruh

lembaga negara tersebut mendapat kewenangan dari UUD 1945.

b. Organ lapis kedua disebut sebagai lembaga negara saja, yakni : menteri

negara, TNI, POLRI, KY, KPU, dan BI. Lembaga-lembaga tersebut ada

yang mendapatkan kewenanganya dari UUD, dan ada pula yang

mendapatkan kewenanganya dari undang-undang.

c. Organ lapis ketiga adalah lembaga negara yang sumber kewenanganya

berasal dari regulator atau pembentuk peraturan di bawah undang-undang

Misalnya Komisi Hukum Nasional dan Komisi Ombudsman Nasional.

20

Sri Soemantri, Ibid.,

21

(32)

Dari segi fungsinya, lembaga atau organ negara dapat dibagi menjadi dua,

yaitu ada yang bersifat utama atau primer,dan ada pula yang bersifat skunder

atau penunjang (auxiliary).22

Ketentuan dalam Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 menentukan, “Badan-badan lain

yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam

undang-undang”. Artinya23

, selain selain Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi,

serta Komisi Yudisial dan kepolisian negara yang sudah diatur dalam UUD

1945. Masih ada badan-badan lainya yang jumlahnya lebih dari satu yang

mempunyai fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, yaitu yang

menjalankan fungsi,penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan. Badan atau

lembaga lain yang dimaksud itu antara lain adalah Kejaksaan Agung, Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)

dan sebagainya. Lembaga-lembaga ini, meskipun tidak secara eksplisit disebut

dalam UUD 1945, tetapi sama-sama memiliki constitutional

importance24dalam sistem konstitusional berdasarkan UUD 1945.

Lebih lanjut Jimly25 menjelaskan persoalan konstitusionalitas lembaga negara

itu tidak selalu berkaitan dengan darajat hirarkis antara lembaga yang lebih

tinggi atau yang lebih rendah kedudukanya secara konstitusional. Persoalan

yang relevan adalah “apa dan bagaimana Undang-Undang Dasar (UUD)

mengatur dan menentukan hal-hal yang berkaitan dengan lembaga negara

dimaksud”. Meskipun kedudukanya lebih rendah dari lembaga konstitusional

22

Jimly Asshidiqie. Ibid., hlm. 90

23

Jimly Asshiddiqie. Ibid., hlm. 88

24

Derajat kepentingan suatu lembaga berdasarkan undang-undang dasar dalam sistem negara demokrasi konstitusi. Jimly Ashiddiqie. Ibid., hlm. 89

25

(33)

yang biasa,tetapi selama ketentuan mengenai lembaga yang bersangkutan di

atur dalam Undang-Undang Dasar (UUD), berarti lembaga tersebut

bersangkutan dengan persoalan konstitusionalitas.

c. Konsep Lembaga Negara Independen

Lembaga negara telah pada saat ini mengalami perekembangan pesat,hal ini

disebabkan beberapa hal,antara lain:

a. Negara mengalami perkembangan dimana kehidupan ekonomi dan sosial

menjadi sangat kompleks yang mengakibatkan badan eksekutif mengatur

hampir seluruh kehidupan masyarakat.

b. Hampir semua negara modern mempunyai tujuan untuk mencapai

kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya yang berkonsep negara

kesejahteraan(Welfare State). Untuk mencapai tujuan tersebut negara

dituntut menjalankan fungsi secara tepat, cepat dan komprehensip dari

semua lembaga negara.

c. Adanya keadaan dan kebutuhan yang nyata,baik karena faktor-faktor sosial,

ekonomi, politik dan budaya di tengah dinamika gelombang pengaruh

globalisme versus lokalisme yang semakin komplek mengakibatkan variasi

struktur dan fungsi organisasi dan institusi kenegaraan semakin

berkembang.

d. Terjadinya transisi demokrasi, yang mengakibatkan berbagai kesulitan

ekonomi, dikarenakan terjadinya aneka perubahan sosial dan ekonomi.

(34)

negara melakukan eksperimentasi kelembagaan (institutional

experimentation).

Dalam perkembanganya sebagian besar lembaga yang dibentuk tersebut adalah

lembaga-lembaga yang mempunyai fungsi pembantu bukan yang berfungsi

utama. Lembaga tersebut disebut Auxiliary States institution, atau Auxiliary

States Organ yang apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti

institusi atau organ negara penunjang. Para ahli hukum tata negara Indonesia

tidak memiliki padanan kata yang sama untuk menyebut lembaga ini ada yang

menyebut lembaga negara pembantu, lembaga negara penunjang, lembaga

negara melayani, lembaga negara independen,dan lembaga negara mandiri.

Lembaga Administrasi Negara (LAN) memberikan pengertian “lembaga

independen adalah pemerintah dan non pemerintah yang bebas dari

pengendalian pemerintah dan pembuat kebijakan (legislatif), bebas dari

pengendalian oleh pemanfaatan kelompok, dan bebas dari kepentingan tertentu

serta bersifat netral.

Di negara-negara demokrasi yang telah mapan, pada tiga dasawarsa terakhir

abad ke-20, banyak tumbuh lembaga-lembaga negara baru. Lembaga-lembaga

baru tersebut umumnyadisebut sebagaistate auxiliary organs , atau auxiliary

institutions sebagai lembaga penunjang. Di antara lemnbaga-lembaga itu

kadang-kadang ada juga yang disebut sebagai self regulatory agencies,

independen supervisory bodies, atau lembaga-lembaga yang menjalankan

fungsi campuran antara fungsi-fungsi regulatif, administratif, dan fungsi

penghukuman yang biasanya dipisahkan tetapi justru dilakukan bersamaan oleh

(35)

serikat disebut juga the headless fourth branch of the goverment, sedangkan di

Inggris lembaga-lembaga seperti ini biasa disebut quasi autonomus non

govermental organizations atau disingkat quangos.26

Menurut Muchlis Hamdi, hampir semua negara memiliki lembaga yang dapat

disebut “auxiliary states bodies”.27 Menurutnya, lembaga ini umumnya

berfungsi untuk mendukung lembaga negara utama. Auxiliary states organ

dapat dibentuk dari fungsi lembaga negara utama yang secara teori

menjalankan tiga fungsi, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Pembentukan organisasi pendukung ini dalam rangka efektivitas pelaksanaan

kekuasaan yang menjadi tanggung jawabnya. Selain itu terdapat juga lembaga

independen yang kewenanganya bersumber dari konstitusi negara atau

kebutuhan penyelenggara pemerintah dan umumnya dibentuk berdasarkan

undang-undang.28

Alasan utama yang melatarbelakangi munculnya lembaga independen, adalah29

: Pertama, alasan sosiologis yang menyatakan bahwa munculnya lembaga

independen disebabkan adanya kegiatan negara (modern) yang semakin

kompleks senhingga membutuhkan banyak lembaga atau alata perlengkapan

yang dibutuhkan untuk menjalankan tugas atau fungsi negara. Alat

perlengkapan atau lembaga negara yang dihasilkan melalui konstitusi sudah

26

Jimly Asshiddiqie. Op cit., hlm 7-9

27Muchlis Hamdi, “State Auxiliary Bodies di Beberapa Negara”, Disampaikan dalam dialog

hukum dan non hukum “Penataan State Auxiliary Bodies dalam Sistem Ketatanegaraan “

Departemen Hukum dan HAM RI Badan Pembinaan Hukum Nasional bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya 26-29 Juni 2009

28

Muchlis Hamdi, Ibid.,

29Hendra Nurtjahjo, “Lembaga Independen di Indonesia : Kajian Perspektif Yuridis”, Makalah

(36)

tidak mampu lagi menampung tugas-tugas spesifik yang umumnya

membutuhkan independensi dan profesionalitas dalam pelaksanaannya.

Konsekuensi yang dituntut adalah membentuk lembaga baru yang merupakan

conditio sine qua non (konsekuensi logis) bagi pertumbuhan dan

perkembangan negara dalam mengakomodasi aspirasi dan dinamika

masyarakat modern.

Kedua, alasan administratif yang menyatakan bahwa kemunculan lembaga

independen lebih disebabkan adanya tuntutan penyelenggaraan pemerintah

yang efektif, effisien dan berkeadilan. Pelaksanaan satu fungsi atau satu tugas

tidak selalu harus ditempatkan pada hanya satu organ kelembagaan saja,

apalagi bila fungsi yang menjadi tugas suatu lembaga tidak berjalan dengan

efektif dan efisien.

Lembaga negara independen secara umum memiliki fungsi utama, yaitu30 :

1. Lembaga independen berfungsi mengakomodasi tuntutan dinamika

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam proses

penyelenggaraan negara yang didasarkan pada paradigma good

govermance, mensyaratkan adanya interaksi yang proporsional antara

ketiga aktor pemerintah, yaitu: pemerintah (goverment), sektor swasta

(private sector), dan masyarakat (society).

2. Lembaga independen berfungsi menjadikan penyelenggaraan

pemerintah lebih efektif dan effisien.

30

(37)

Secara umum lembaga independen mempunyai peran yang cukup strategis

dalam proses penyelenggaraan negara dan pemerintah, yaitu:31

1. Sebagai pengambil dan atau pelaksanaan kebijakan yang efektif, efisien,

adil dan akuntabel sesuai tugas yang menjadi tanggung jawabnya;

2. Sebagai penjamin kepastian hukum dan kepastian regulasi (pengaturan)

terhadap subyek dan obyek yang menjadi tanggung jawabnya;

3. Sebagai pengantisipasi dominasi dari aktor-aktor yang terkait dengan

urusan yang menjadi tanggung jawabnya;

4. Sebagai pencipta harmonisasi dan singkronisasi iklim dari seluruh

stakeholders terkait dengan tugas yang menjadi tanggung jawabnya;

5. Sebagai “investigator” terhadap seluruh aktivitas yang menghambat dari

pihak-pihak yang terlibat dalam urusan menjadi tanggung jawabnya;

6. Berhak memberikan sanksi (administratif atau hukum)sesuai dengan

kewenangan yang dimiliki terkait dengan urusan yang menjadi

tanggungjawabnya.

Namun gejala umum yang dihadapi oleh negara-negara yang membentuk

lembaga-lembaga independent tersebut adalah personalan mekanisme

akuntabilitas, kedudukan dalam struktur ketatanegaraan, dan pola hubungan

kerja dengan kekuasaan pemerintah,kekuasaan membuat undang-undang, dan

kekuasaan kehakiman32. Ketidakjelasan pembentukan tentunya membawa

dampak negatif berupa ketidakjelasan kedudukan dan pertanggungjawaban

yang pada akhirnya dapat merusak sistem.

31

Istiyadi Insani, Ibid.,

32A.Ahsin Thohari, “Kedudukan Komisi

-Komisi Negara Dalam Struktur Ketatanegaraan

(38)

E. Metode Penelitian

Dalam mengemukakan masalah yang diteliti, digunakan metode-metode tertentu

sesuai dengan kebutuhan penelitian. Metode tersebut diperlukan dalam upaya

memperoleh data yang benar-benar objektif dan dapat dipertanggungjawabkan

kenbenaranya.

1. Pendekatan Masalah

Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan metode pendekatan

yuridis normatif, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan mempelajari dan

menganalisis teori-teori, konsep-konsep, literatur dan peraturan

perundang-undangan yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.

2. Sumber Data

Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu

data yang diperoleh dari bahan-bahan yang berupa dokumen resmi, buku-buku,

laporan hasil penelitian dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan

dengan permasalahan yang akan dibahas. Sebagai penelitian hukum, data

sekunder dipergunakan terdiri dari:

a. Bahan hukum primer, yaitu ketentuan hukum dan perundang-undangan

yang mengikat serta berkaitan dengan penelitian ini.

1. Undang-Undang Dasar 1945

2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan

(39)

4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemilihan Kepala

Daerah

5. Surat Keputusan KPU-RI No.707/Kpts/KPU/Tahun 2013 tentang

Pelaksanaan Pemilihan Gubernur Lampung 2014

6. Keputusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu

No.25/DKPP-PKE-III/2014

b. Bahan hukum sekunder yaitu, bahan hukum yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer yang bersumber dari buku, literatur dan

hasil karya ilmiah dalam bidang ilmu pengetahuan hukum yang berkaitan

dengan permasalahan penelitian.

c. Bahan hukum tersier yaitu, bahan hukum yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum sekunder seperti kamus,

ensikopedia,surat kabar dan situs internet.

3. Pengumpulan dan Pengolahan Data

a. Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian

studi kepustakaan yang dilakukan dengan mengadakan penelusuran dan

identifikasi data yang diperlukan lalu membaca dan memahami kemudian

dilakukan pengutipan dan pembuatan catatan-catatan, yang bersumber dari

peraturan perundang-undangan, buku-buku literatur, dan kamus hukum atau

(40)

b. Pengolahan Data

Data sekunder berupa bahan hukum yang sudah diperoleh, kemudian diolah

sebagai berikut:

1. Pemeriksaan data (editing) guna mengecek jika masih ada kekurangan

untuk dilengkapi atau jika ada berlebihan yang tidak perlu untuk

dibuang,atau jika ada kesalahan untuk diperbaiki.

2. Penyusunan data secara sistematis berdasarkan pada urutan masalah terdiri

dari pokok bahasan dan subpokok bahasan.

c. Analisis Data

Setelah semua data selesai diolah, selanjutnya diadakan analisis data secara

kualitatif, yaitu disusun dalam bentuk kalimat yang teratur, logis, sistematis,

sehingga mudah dipahami dan diberi makna yang jelas. Secara kualitatif artinya

mendeskripsikan secara rinci, lengkap, jelas dan komprehensif data dan informasi

hasil penelitian dan pembahasan dalam bentuk kalimat yang tersusun secara

(41)

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan Tesis ini disajikan dalam beberapa bab yang saling

berhubungan antara satu dengan yang lainya yaitu sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN, Bab ini berisi pendahuluan penyusunan Tesis yang terdiri dari Latar Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan

Kegunaan Penelitian, Kerangka Pemikiran, Metode Penelitian, serta Sistematika

Penulisan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, Bab ini berisi tinjauan pustaka yang meliputi konsep lembaga negara independen, pengertian tentang Dewan Kehormatan

Penyelenggara Pemilihan Umum, pengertian tentang Pemilihan Umum,

kedudukan DKPP di dalam system ketatanegaraan Indonesia.

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN, Bab ini berisi penyajian dan pembahasan data yang telah didapat dari hasil penelitian Kekuatan

Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum dalam kaitanya

dengan Pemilihan Gubernur Lampung 2014.

BAB IV PENUTUP, Bab ini berisi kesimpulan yang didasarkan pada hasil penelitian dan pembahasan serta saran direkomendasikan kepada berbagai pihak

(42)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kedudukan DKPP Dalam System Ketatanegaraan Indonesia

1. Lembaga Negara Pembantu Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Sistem ketatanegaraan atau sistem pemerintahan dalam arti luas adalah

pembagian dan pemisahan kekuasaan serta hubungan lembaga-lembaga negara

dalam menjalankan tugas dan kewenangannya demi kesejahteraan rakyat. Terdapat

tiga sistem pemerintahan yang lazim digunakan banyak negara yaitu : sistem

pemerintahan presidensial, sistem parlementer, dan sistem pemerintahan

campuran.

Sebelum amandemen UUD 1945, sistem pemerintahan Indonesia menganut

sistem pemerintahan campuran yang cenderung lebih menguatkan pada sistem

presidensil dengan ciri : (a) presiden adalah kepala negara dan kepala

pemerintahan (b) kepastian masa jabatan presiden lima tahun; (c) presiden tidak

bertanggung jawab kepada DPR; dan (d) presiden tidak dapat membubarkan

DPR. Sementara itu ciri parlementer terlihat pada : (a) presiden tidak dipilih

langsung oleh rakyat melalui Pemilu tetapi dipilih oleh DPR; dan (b) presiden

bertanggung jawab kepada lembaga perwakilan rakyat yang dalam hal ini MPR.

Perubahan terhadap UUD 1945 dari sudut pandang hukum tata negara merupakan

condition sine qua non bagi penataan ulang sistem pemerintahan dan sistem

(43)

atau kedaulatan rakyat yang berorientasi pada tegakannya rule of law,

pengendalian kekuasaan, otonomi daerah, civil society dan check and balances.1

Pokok-pokok sistem pemerintahan Indonesia pasca perubahan UUD 1945 adalah

sebagai berikut :

1. Bentuk negara kesatuan dengan prinsip otonomi daerah yang luas.

Wilayah negara terbagi dalam beberapa provinsi.

2. Bentuk pemerintahan adalah republik, sedangkan sistem

pemerintahan presidensial.

3. Presiden adalah kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan.

Presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat dalam

satu paket.

4. Kabinet atau menteri diangkat oleh presiden dan bertanggung jawab

kepada presiden.

5. Parlemen terdiri atas dua bagian (bikameral), Dewan Perwakilan

Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Para

anggota dewan merupakan anggota MPR. DPR memiliki kekuasaan

legislatif dan kekuasaan mengawasi jalannya pemerintahan.

6. Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Makamah Agung dan badan

peradilan dibawahnya serta Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan hasil perubahan UUD 1945 kekuasaan negara dibagi kepada tujuh

Lembaga Negara dengan kedudukan yang sama dan sejajar yang sering disebut

1

(44)

lembaga tinggi negara, yaitu Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan

Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi

(MK). Selain itu terdapat juga lembaga-lembaga negara lain yang ditentukan

dalam UUD 1945.

Setelah beberapa kali perubahan UUD 1945, sistem ketatanegaraan

Indonesia mengalami perubahan dari yang sebelumnya menerapkan pembagian

kekuasaan (distribution of power) menjadi pemisahan kekuasaan (separation of

power) dengan prinsip check and balances. Kekuasaan negara dipisah-pisahkan

menurut fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif pada lembaga yang

berbeda-beda. Perubahan ini ditandai dengan MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi

negara tetapi sederajat dengan lembaga negara lain.

Checks and balances pertama kali dimunculkan oleh Montesquieu dari gagasan

tentang pemisahan kekuasaan (separation of power). Berdasarkan ide ini, suatu

negara dikatakan memiliki sistem checks and balances yang efektif jika tidak ada

satupun cabang pemerintahan yang memiliki kekuasaan dominan, serta dapat

dipengaruhi oleh cabang lainnya (A government is said to have an effective

system of checks and balances if no one branch of government holds total power,

and canbe overridden by another).2

Secara konseptual, prinsip check and balances dimaksudkan agar tidak terjadi

overlapping atau tumpang tindih antara kewenangan lembaga negara sehingga

hlm.173

2

(45)

kekuasaan dalam negara haruslah diatur dengan seksama. Kamus hukum

mendefinisikan prinsip check and balances sebagai sebuah sistem aturan yang

menegaskan adanya mekanisme saling kontrol di antara cabang kekuasaan

baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif yang didesain untuk mencegah

terkonsentrasinya kekuasaan dalam satu cabang sehingga mendominasi cabang

kekuasaan yang lain.3

Amandemen UUD 1945, telah merubah sistem ketatanegaraan Indonesia

secara mendasar. Jimly Asshiddiqie4 mengkategorikan perubahan atas UUD

1945 menjadi enam bagian, yaitu: (1) Pembaharuan struktur UUD; (2)

Pembaharuan mengenai sendi-sendi bernegara; (3) Pembaharuan bentuk susunan

negara; (4) Pembaharuan kelembagaan atau alat kelengkapan negara; (5)

Pembaharuan yang terkait masalah penduduk dan kewarganegaraan; dan (6)

Pembaharuan yang bersangkutan dengan identitas negara. Kategori yang

memiliki relevansi paling kuat dengan penelitian ini adalah pembaharuan

mengenai kelembagaan atau kelengkapan negara.

Perubahan UUD 1945 telah menjadikan seluruh lembaga negara setara/sederajat

dan saling terkait serta memiliki mekanisme kontrol antara satu dan yang lain,

yang dikenal dengan istilah check and balence. Kehadiran lembaga negara

pembantu yang disebut states auxiliary agencies sesungguhnya untuk memperkuat

prinsip check and balance tersebut dalam penyelenggaraan pemerintah. Lembaga

(46)

negara pembantu memiliki peran strategis yang salah satunya adalah mencipta

harmonisasi dan sinkronisasi seluruh lembaga negara yang terkait dengan

tugas yang menjadi tanggung jawabnya.

Lahirnya lembaga negara pembantu merupakan perkembangan baru dalam sistem

pemerintahan. Lembaga negara tersebut mempunyai dasar hukum dan latar

belakang yang berbeda-beda serta tugas dan wewenangnya. Salah satu sifat

lembaga negara pembantu atau organ penujang (auxiliary states organ) ini adalah

independen, yang sering disebut dengan istilah lembaga negara indpenden atau

komisi negara independen. lembaga negara indpenden adalah organ negara (state

organs) yang diidealkan independen dan karenanya berada diluar kekuasaan

eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Pengertian dasar dari independen adalah adanya kebebasan, kemerdekaan,

kemandirian, otonom (otonomi), tidak dalam dominasi personal maupun

institusional, sehingga pelaksanaan kehendak yang bebas (free will) dapat terwujud

tanpa ada pengaruh yang secara signifikan merubah pendiriannya untuk membuat

keputusan atau kebijakan. Oleh karen itu, lembaga negara independen berbeda

dengan lembaga negara biasa.

Lembaga negara pembantu merupakan instusi yang membantu lembaga negara

pokok/utama yang telah ada dan selama ini dikenal baik dalam teori maupun

praktik ketatanegaraan. Sesuai dengan teori trias politika-nya Montesquieu yang

membagi kekuasaan pemerintahan kedalam tiga cabang yaitu legislatif, eksekutif,

(47)

utama jelas terkait dan tak terpisahkan dengan negara sebagai sebuah organisasi

dan manajemen kenegaraan.

Terhadap keberadaan lembaga negara pembantu (auxiliary states organ) sebagai

lembaga negara, dapat dilihat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

005/PUU-I/2003 tentang perkara permohonan Pengujian Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran terhadap

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; yang

menyatakan bahwa5“Dalam sebuah negara demokrasi modern memang akan lahir

banyak sekali institusi-institusi demokratis dan lembaga-lembaga negara yang

kemudian memunculkan beragam penamaan, seperti Komisi Hak Asasi Manusia

dan Komisi-Komisi lainnya. Komisi Independen yang lahir ini memang

merupakan sebuah konsekwensi logis dari sebuah negara demokrasi modern yang

ingin secara lebih sempurna menjalankan prinsip check and balances untuk

kepentingan publik yang lebih besar”.

Pada bagian lain dari keputusan ini, “Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa

dalam sistem ketatanegaraan Indonesia istilah lembaga negara tidak selalu

dimaksudkan sebagai lembaga negara yang disebutkan dalam UUD yang

keberadaannya atas dasar perintah konstitusi, tetapi juga ada lembaga negara yang

dibentuk atas perintah UU dan bahkan ada lembaga negara yang dibentuk atas

dasar Keppres. KPI yang oleh UU Penyiaran disebut lembaga negara tidak

menyalahi dan tidak bertentangan dengan UUD 19456.

5

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id “Putusan MK Nomor 005/PUU-I/2003, hlm.21-22” diunduh tanggal 18 Juni 2015

6

(48)

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut diatas, kehadiran lembaga

negara pembantu dalam sistem ketatanegaraan pada negara demokrasi modern

seperti di Indonesia merupakan suatu keniscayaan. Lembaga negara pembantu

tersebut dibentuk dalam rangka menciptakan sistem pemerintahan yang lebih

baik dengan prinsip check and balences. Lembaga-lembaga negara pembantu

dengan fungsi dan kewenanggan yang dimilikinya telah menjadi bagian yang

takterpisahkan dari struktur ketatanegaraan Indonesia.

2. Kedudukan DKPP Dalam Sistem Penyelenggaraan Pemilu

Dalam rangka mewujudkan visi pembangunan bangsa melalui peningkatan kualitas

demokrasi maka diperlukan institusi-institusi negara untuk mengawal proses

penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Umum Kepala Daerah

(Pemilu Kada) di seluruh Indonesia. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan

Umum Republik Indonesia atau disingkat DKPP RI merupakan lembaga yang

dibentuk dalam praktek demokrasi modern di Indonesia. DKPP merupakan produk

wacana perbaikan kualitas demokrasi khususnya penyelenggaraan Pemilu.

Apabila seluruh penyelenggara Pemilu di semua tingkatan pada proses Pemilu

berpegang dengan asas penyelenggaraan Pemilu, maka DKPP tidak perlu hadir.

Kehadiran DKPP bukan sebuah kebanggaan, tetapi sebuah keprihatinan atas

praktik dan perilaku penyelenggara Pemilu yang tidak bermartabat. Pemilu

seakan-akan menjadi beban sejarah politik tersendiri bagi perubahan, bahkan begitu

(49)

penegakan kode etik guna menghasilkan Pemilu yang tidak saja luber jurdil tapi

mewujudkan proses dan hasil pemimpin yang betul-betul bermartabat.

Salah satu faktor penting bagi keberhasilan penyelenggaraan Pemilu terletak pada

kesiapan dan profesionalitas penyelenggara Pemilu itu sendiri, yaitu Komisi

Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan

Penyelenggara Pemilu sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu.

Ketiga institusi ini telah diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 15 Tahun

2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum untuk menyelenggarakan Pemilu

menurut fungsi, tugas dan kewenangannya masing-masing. Pasal 1 angka 22 UU

No.15 Tahun 2011 menjelaskan bahwa “Dewan Kehormatan Penyelenggara

Pemilu, selanjutnya disingkat DKPP, adalah lembaga yang bertugas

menangani pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu dan merupakan satu

kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu”. Pasal tersebut jelas menerangkan

bahwa DKPP sebagai lembaga kode etik yang tugas dan wewenangnya

merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu. Dengan tugas dan

kewenangan yang dimilikinya, DKPP berfungsi menjaga kemandirian, integritas,

dan kredibilitas penyelenggara Pemilu. DKPP bukanlah sebagai penyelenggara

pemilu, karena penyelenggara pemilu adalah KPU sebagai pelaksana Pemilu dan

Bawaslu sebagai pengawas Pemilu.

Pada Pasal 109 ayat (1) UU No.15 Tahun 2011 menyatakan bahwa “DKPP

bersifat tetap dan berkedudukan di ibu kota negara”. DKPP bisa disebut sebagai

lembaga/organ negara karena DKPP menjalankan fungsinya yang menciptakan

hukum (law•creating function) atau fungsi yang menerapkan hukum

(50)

kode etik penyelenggara Pemilu dan satu kesatuan fungsi dalam penyelenggaraan

Pemilu. Selain itu anggota DKPP dipilih, diangkat dan menjalankan tugas sebagai

pejabat negara berdasarkan undang-undang. Ini sesuai dengan konsep organ

negara (theConcept of the State Organ) yang diungkapkan oleh Hans Kelsen7.

Sebagai lembaga negara baru yang dibentuk dalam rangka penyelenggaraan

Pemilu, kedudukan DKPP dalam sistem ketatanegaraan indonesia dapat dilihat

dari 4 (empat) hal yaitu : (1) sumber hukum pembentukannya, (2) pemilihan

dan pengangkatan anggotanya, (3) pertanggungjawaban dalam pelaksanaan

tugas dan kewenangannya; (4) sumber anggaran yang digunakan.

Sumber hukum pembentukan DKPP adalah Undang-Undang Nomor 15

Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Secara khusus DKPP diatur dalam

bab V Pasal 109 sampai dengan Pasal 115. DKPP dalam menjalankan tugas dan

kewenangannya dalam sistem ketatanegaraan mempunyai kedudukan yang kuat,

karena selain dibentuk berdasarkan undang-undang, DKPP mempunyai

constitutional importance secara langsung dengan UUD 1945 Pasal 22E ayat (5).

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-VIII/2010 dan Nomor 81/PUU-

IX/2011 menjelaskan bahwa KPU, Bawaslu, dan DKPP adalah bagian dari

komisi pemilihan umum yang dimaksud oleh Pasal 22E ayat (5) UUD

1945 yang memiliki sifat mandiri.

Pemilihan dan pengangkatan anggota DKPP diatur dalam Pasal 109 UU

No.15 Tahun 2011. Sebelum DKPP terbentuk, terhadap undang-undang

7

Hans Kelsen, General Theory Of Law and State, Russell & Russell, New York, 1961, diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara,

(51)

penyelenggara pemilu telah mengalami judicial review berdasarkan putusan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 81/PUU-IX/2011. Salah satu putusan

Mahkamah Konstitusi tersebut menghapus ketentuan komposisi keanggotaan

DKPP dari unsur partai politik dan pemerintah yang diatur dalam Pasal 109 ayat

(4) huruf c dan d serta sebagian dari ayat (5). Pasal 109 ayat (6) menyebutkan

bahwa anggota DKPP yang berasal dari unsur masyarakat, Presiden berhak

mengusulkan 2 (dua) orang dan DPR mengusulkan 3 (tiga) orang. Seluruh usulan

calon anggota DKPP dari semua unsur disampaikan kepada Presiden untuk dilantik

dan ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Secara umum pertanggungjawaban lembaga/komisi negara pembantu/penujang

dalam pelaksanaan Pertanggungjawaban tugas dan kewenangannya ada yang

kepada publik, presiden, dan DPR. DKPP dalam pelaksanaan tugas dan

kewenangannya tidak diatur secara jelas dan tegas dalam UU No.15 Tahun

2011. Namun jika dilihat dari pengangkatan anggota dan sumber anggaran

DKPP, maka pertanggungjawabannya dilakukan kepada presiden dan DPR.

Mengenai sumber anggaran yang digunakan oleh DKPP telah diatur dalam

Pasal 116 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2011, yang menyebutkan“Anggaran

belanja KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, Bawaslu, Bawaslu Provinsi,

DKPP, Sekretariat Jenderal KPU, sekretariat KPU Provinsi, sekretariat KPU

Kabupaten/Kota, Sekretariat Jenderal Bawaslu, dan sekretariat Bawaslu Provinsi

bersumber dari APBN”. Selanjutnya disebutkan dalam Pasal 118 menegenai

kedudukan keuangan DKPP diatur lebih lanjut dengan peraturan presiden.

Namun sayang dalam melaksanakan tugasnya, DKPP tidak dibantu oleh

(52)

Jenderal Bawaslu.

Selanjutnya mengenai keberadaan DKPP ini juga dijelaskan dalam Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 81/PUU-IX/20118 tentang perkara Pengujian

Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum

terhadap Undang-Undang Dasar; yang menyatakan bahwa“Mahkamah berpendapat

bahwa dewan kehormatan yang menangani perilaku penyelenggara pemilu

merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu. “Dewan Kehormatan

Penyelenggara Pemilu, selanjutnya disingkat DKPP, adalah lembaga yang bertugas

menangani pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu dan merupakan satu

kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu.” Sebagai satu kesatuan fungsi

penyelenggaraan pemilihan umum, maka menurut Mahkamah sifat mandiri yang

dinyatakan dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 harus juga mendasari

pembentukan dewan kehormatan”.

DKPP sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu dalam pelaksanaan

tugas dan wewenangnya bersifat mandiri atau independen. Walaupun tidak

dinyatakan secara tegas dalam undang-undang, sifat independen dari DKPP

dapat dilihat dari komposisi anggotanya dan dalam pelaksanaan tugas dan

wewenangnya sebagai lembaga yang menangani pelanggaran kode etik oleh

penyelenggara Pemilu.

Anggota DKPP terdiri dari masing-masing 1 (satu) orang unsur KPU dan

Bawaslu serta 5 (lima) orang dari unsur masyarakat/ahli. Sebagai lembaga kode

Referensi

Dokumen terkait

Teradu I s.d Teradu VII memerintahkan kepada Teradu VIII s.d Teradu XI untuk membatalkan Keputusan KPU Provinsi Kalimantan Barat Nomor 48/PL.01.9-Kpt/61/Prov/IX/2019

Dalam hal tentang syarat kewarganegaraan bakal pasangan calon sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huruf a dan bukti pemenuhan syarat bakal calon Pasal 40 huruf o,

4) Bahwa surat Tim koalisi Hebat Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Tengah, telah ditindaklanjuti oleh Para Teradu dengan.. Pada pokoknya surat

Dalam praktek penyelenggaraan pemilu sulit sekali dihindari terjadinya pelanggaran pemilu, karena dalam penyelenggaraannya sering kali terjadi conflict of interest. Namun tidak

Pokok aduan para Pengadu yang mendalilkan Teradu I s.d Teradu VII telah menghilangkan dokumen dukungan perbaikan sebanyak 100 (seratus) Formulir Model B.1.1 KWK

[4.1] Menimbang bahwa pada pokoknya Pengadu mendalilkan bahwa Teradu selaku Ketua KPU Kabupaten Kubu Raya telah melakukan Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu karena

4. Keterangan musnah, permanen atau dinilai kembali. Seluruh jenis arsip atau dokumen yang dihasilkan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu tercantum dalam Jadwal Retensi

Bahwa terkait dengan uraian di atas, dalam pokok pengaduan ini yaitu tentang tindakan salah disaat Komisioner KPU Kabupaten Rokan Hilir diduga Teradu terlibat dalam