2014 was still a lot of controversy with the process so complicated that ultimately
resulted elected leaders, after the long process, sprang DKPP decision relating to
election of the Governor of Lampung in 2014. The verdict of DKPP generate
convicted and fired Lampung Provincial Election Supervisory Board The purpose
of this research was to determine and analyze the strength of the hook with the
decision DKPP Lampung gubernatorial election in 2014. In this study the authors
discussed the use of theory and concepts; theory of legislation, the concept of the
State institutions, the concept of an independent State institution using normative
juridical research method, i.e. obtaining secondary data obtained from the study of
literature, books and legislation.
Results of research and discussion shows that many violations in the
elections in 2014 that resulted in the governor of Lampung in 2014 resulted in the
termination of the Election Supervisory Board members Lampung province
because it violates the code of ethics. Strength Honor Council Election decision
final and binding give lessons to the election organizer Lampung Province.
General Election should be neutral, credible and high dedicated in holding
Democratic Party mainly local elections. Strength of DKPP decision which is
final and binding is helpful as a reference to the election organizers do their job
better.Keywords: Verdict Strength, Honor Council Election, and Election
Violations.
Proses Pelaksanaan Pemilihan Gubernur Lampung Pada Tahun 2014
banyak mengalami kontroversi dengan proses yang begitu rumit akhirnya
menghasilkan pemimpin yang terpilih, proses yang begitu panjang terlahirlah
putusan DKPP yang berhubungan dengan pemilihan Gubernur Lampung tahun
2014. Putusan DKPP menghasilkan dinyatakan bersalah dan diberhentikanya
Badan Pengawas Pemilu Provinsi Lampung.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui dan menganalisis kekuatan
putusan DKPP dalam kaitnya dengan pemilihan Gubernur Lampung tahun 2014.
Dalam membahas penelitian ini penulis menggunakan teori dan konsep ; teori
peraturan perundang-undangan, konsep lembaga Negara, konsep lembaga Negara
independen menggunakan metode penelitian yuridis normatif,yaitu memperoleh
data sekunder yang didapat dari studi kepustakaan,buku-buku dan peraturan
perundang-undangan. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa
banyak terjadi pelanggaran di dalam pelaksanaan pemilihan Gubernur Lampung
2014 yang mengakibatkan diberhentikanya anggota Badan Pengawas Pemilu
Provinsi Lampung karena terbukti melanggar kode etik. Kekuatan putusan Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu final dan mengikat memberi pelajaran kepada
penyelenggara pemilu Provinsi Lampung.
Penyelenggara Pemilu sebaiknya lebih netral,kredibel dan berdidekasi
tinggi dalam menyelenggarakan pesta demokrasi terutama pemilihan kepala
daerah. Kekuatan putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat sangat
membantu sebagai acuan untuk para penyelenggara pemilu melaksanakan
tugasnya lebih baik.
Kata Kunci : Kekuatan Putusan, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu,
PEMILU DALAM KAITANNYA DENGAN PEMILIHAN GUBERNUR LAMPUNG 2014
OLEH
ARYO FADLIAN
Tesis
Digunakan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Derajat MAGISTER HUKUM
Pada
Jurusan Sub Program Hukum Kenegaraan Program Pascasarjana Magister Hukum
Universitas Lampung
PROGRAM MAGISTER HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
PEMILIHAN UMUM DALAM KAITANNYA DENGAN PEMILIHAN GUBERNUR LAMPUNG 2014
(Tesis)
Oleh Aryo Fadlian
PROGRAM MAGISTER HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
DAFTAR ISI
3.Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 25
A Kedudukan DKPP Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia ... 28
1. Lembaga Negara Pembantu Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia ... 28
2. Kedudukan DKPP Dalam Sistem Penyelenggaraan Pemilu ... 34
3. Lembaga Negara Independen... 42
B. Pemilihan Umum ... 47
C. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum ... 55
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Proses pelaksanaan pemilihan Gubernur Lampung tahun 2014 jika ditinjau dari putusan DKPP ... 61
B. Kekuatan dan Pelaksanaan Putusan DKPP Terhadap Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu ... 65
1. Subjek dan Objek Perkara Yang Ditanggani DKPP ... 65
2. Sifat Putusan DKPP Final dan Mengikat ... 70
3. Pelaksanaan Putusan DKPP ... 75
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 78
B. Saran ... 79
Ingatlah bahwa setiap hari dalam sejarah hidupan kita ditulis dengan tinta yang
tak dapat terhapus lagi.
(Thomas Carlyle)
Sukses bukanlah akhir dari segalanya, kegagalan bukanlah sesuatu yang fatal :
namun keberanian untuk meneruskan kehidupanlah yang diperhatikan.
(Sir Winston Churchill)
“Wa man jaahada fa
-
innamaa yujaahidu linafsihi”
:
Barang siapa sungguh
–
sungguh, sesungguhnya kesungguhanya itu
adalah untuk dirinya sendiri.
Dengan segala kerendahan hati dan rasa syukur kepada Allah SWT, penulis
mempersembahkan tesis ini untuk :
1. Kedua orang tua penulis, ayahanda Drs. Hi Julianto PA SH Msi dan
ibunda Hj Dwi Indriastuti yang doanya selalu mengiringi penulis.
2. Adik-adik tercinta, Welisdita Pangesti kha dan Isma Kharos Fadlian yang
selalu memberikan semangat untuk segera mungkin menyelesaikan tesis
ini. Semoga pada suatu saat nanti tesis ini dapat memberikan inspirasi
kepada adik-adik ku agar menuntut ilmu setinggi-tingginya.
3. Rekan-rekan bisnis yang selalu memberikan semangat dan doa sehingga
penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
4. Keluarga, tetangga, sahabat yang berada di Lampung Timur, Metro dan
Bandar Lampung yang selalu memberikan dorongan, inspirasi dan doa
sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini.
5. Wabilkhusus Rekan-rekan Magister Hukun Universitas Lampung
angkatan 2013, yang banyak membantu penulis menyelesaikan Tesis ini.
Penulis bernama lengkap Aryo Fadlian, dilahirkan di
Bumiharjo tanggal 12 April 1992 sebagai anak pertama dari tiga
bersaudara dari pasangan bapak Drs. Hi Julianto PA SH Msi dan
ibu Hj Dwi Indriastuti Pada saat ini Penulis tiggal di Jl. Pramuka
No.51 Rt 17 Desa Sumberejo Kec. Kemiling Bandar Lampung.
Penulis menempuh jenjang di TK Pertiwi Balerejo, kemudian dilanjutkan
di Sekolah Dasar Negeri 2 Bumiharjo diselesaikan pada tahun 2003, kemudian
dilanjutkan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Metro diselesaikan pada
tahun 2006, kemudian dilanjutkan di Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Metro
diselesaikan pada tahun 2009. Penulis melanjutkan kuliah di Universitas Tulang
Bawang Fakultas Hukum pada tahun lulus pada tahun 2013.
Kemudian penulis melanjutkan di Program Pasca Sarjana Universitas
Lampung Magister Hukum dengan Konsentrasi Hukum Kenegaraan. Penulis
SAN WACANA
Puji syukur kehadirat Allah swt atas segala berkat dan karunianya, Tesis ini dapat
diselesaikan. Tesis dengan judul Kekuatan Putusan Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu dalam kaitanya dengan pemilihan Gubernur Lampung
2014 adalah syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
Dalam Penyusunan Tesis ini penulis menyadari masih banyak terdapat
kekurangan baik dari segi subtansi maupun penulisanya. Penyusunan Tesis ini
tidak terlepas dari bantuan pihak-pihak baik secara moril maupun materil, untuk
itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Yuswanto, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing utama
dan Bapak Dr. Budiyono, S.H., M.H., Dosen Pembimbing pendamping
penulis yang berkenan membimbing, mengarahkan, dan memberikan
pemahaman dalam penyelesaian Tesis ini.
2. Bapak Prof. Dr. Muhammad Akib, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembahas
II dan Bapak Dr. Tisnanta., S.H., M.H selaku Dosen Pembahas II yang
telah memberikan saran dan kritik dalam penulisan ini.
3. Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S., selaku Rektor Universitas
Lampung.
4. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum
Program Pascasarjana Program Magister Hukum Universitas Lampung.
6. Bapak, Ibu Dosen dan staf Program Pascasarjana Magister Hukum
Fakultas Hukum Universitas Lampung.
7. Rekan-rekan Magister Hukum Universitas Lampung 2013, banyak cerita
disana. Terima kasih.
Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat,meningkatkan wawasan intelektual
dan menambah pemahaman dibidang hukum kenegaraan. Terima Kasih.
Bandar Lampung, 15 Oktober 2015
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berkembangnya demokrasi di Indonesia dengan mengacu pada negara-negara luar
yang semakin berkembang pesat demokrasinya di era reformasi ini para elit
politik pejabat-pejabat pemerintah dan didukung oleh rakyat memperbaiki sedikit
demi sedikit sistem pemilihan pejabat publik yang kredible, bersih dan
berkompeten sesuai dengan keinginan rakyat Indonesia pada umumnya.
Pembenahan ini tentunya tidak bisa dilakukan dengan mudah membutuhkan
perjuangan yang sangat sulit dan dukungan penuh dari semua penjuru masyakat
Indonesia dari berbagai lapisan. Sebagai bentuk Realisai kedaulatan rakyat dalam
bingkai demokrasi adalah terselenggaranya Pemilihan Umum secara reguler
dengan prinsip yang bebas, langsung, umum dan rahasia. Pemilu merupakan
mandat dari konstitusi yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah, dalam hal ini
memastikan dan melindungi pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam menyalurkan
hak-hak politiknya dalam Pemilu. Pemilu sebagai salah satu praktek
berlangsungnya kekuasaan dan pemerintah harus berdasarkan prinsip-prinsip
hukum yang berkeadilan dan nilai-nilai kemanfaatan. Salah satu prinsip dasar dari
negara hukum demokratis adalah adanya jaminan yang berkeadilan bagi rakyat
dalam mengekspresikan kedaulatanya.
Pelaksanaan Pemilu merupakan kehendak bangsa Indonesia untuk mengkokohkan
dalam situasi bangsa Indonesia sedang mempertahankan kemerdekaanya. Dalam
penilaian umum, Pemilu Tahun 1955 merupakan Pemilu yang ideal karena
berlangsung demokratis. Sebaliknya Pemilu yang digelar sepanjang era Orde Baru
hanya sekedar seremonial untuk mempertahankan kekuasaan, dengan merekayasa
peraturan hukum, sistem, tata cara, dan hasil Pemilu-nya sekaligus. Arus
reformasi berhasil mengoreksi praktek-praktek Pemilu yang tidak demokratis
tersebut. Pemilu pertama di era reformasi digelar pada Tahun 1999, tidak saja
bertujuan untuk membangun Indonesia yang demokratis, namun juga diharapkan
mampu meletakan dasar kepemimpinan yang berpihak pada usaha-usaha
pencapaian kemakmuran dan keadilan bagi rakyat.
Setiap penyelenggaraan Pemilu seringkali muncul persoalan atau pelanggaran
Pemilu. Persoalan-persoalan tersebut muncul karena ketidak puasan terhadap
penyelenggara Pemilu dalam hal ini Komisi Penyelernggara Pemilu (KPU),
seperti keputusan/kebijakan yang tidak tepat merugikan peserta Pemilu, kekurang
cermat dalam penghitungan suara, hingga indikasi keberpihakkan kepada salah
satu peserta Pemilu, seperti pemalsuan identitas, intimidasi dan money politik
kepada pemilih. Persoalan-persoalan tersebut apabila dibiarkan dan tidak
diberikan mekanisme penyelesaianya (mekanisme hukum) yang jelas dan tegas,
mengganggu kelancaran/kesuksesan Pemilu dan mengakibatkan rendahnya
kredibilitas serta legitimasi Pemilu. Pada giliranya dapat mengancam dan
mengabaikan hak-hak konstitusionalisme para peserta Pemilu dan masyarakat
pada umumnya.
Setelah Pemilu pada Tahun 1999 Pemilu kedua era reformasi berlangsung Tahun
pelanggaran peraturan maupun pelanggaran kode etik yang dilakukan KPU tidak
begitu responsif menindak lanjuti dan hanya mengandalkan hasil keputusan
pengadilan.Pemilu ketiga di era reformasi yaitu pada Tahun 2009 dimaksudkan
untuk semakin menyempurnakan dari Pemilu-pemilu sebelumnya,tapi pada
Pemilu Tahun 2009 tetap mengalami berbagai pelanggaran.
Setelah Tahun 2009 Pemilu kembali dilaksanakan pada Tahun 2014 khususnya
provinsi lampung serempak pelaksanaan Pemilu legislatif dengan dilaksanakan
Pemilihan Gubernur Lampung periode 2014-2019.
Pada awalnya Pilgub Lampung pernah mengalami kontroversi yaitu pada saat
Tahun 2002 Alzier Dianis Thabrani terpilih menjadi Gubernur Lampung namun
karena tersangkut tindak pidana tidak jadi dilantik oleh Mendagri. Setelah itu
Hasil rapat paripurna DPRD Prov Lampung Tahun 2004 memenangkan pasangan
Sjachroedin ZP - Syamsurya Ryacudu dengan mengalahkan pasangan Oemarsono
– Ibrahim BS, untuk menjabat Gubernur Lampung periode Tahun 2004-2009.1
Pemilihan Gubernur selanjutnya dilaksanakan langsung dipilih oleh rakyat pada
Tahun 2008. Sjachroedin ZP mengundurkan diri sebagai Gubernur dan
digantikan oleh syamsurya ryacudu yang sebelumnya sebagai Wakil Gubernur
Lampung menjadi Gubernur definitif karena Sjachroedin ZP ingin mencalonkan
diri kembali pada pertarungan Pemilihan Gubernur Lampung Tahun 2008.
1
Dengan berpasangan dengan MS Joko Umar Said, Sjachroedin ZP memenangkan
kembali sebagai Gubernur Lampung periode 2009-2014.2
Perdebatan dan adu arguementasi pada Pemilihan Gubernur Lampung 2014
sangat rumit,sangat berlarutnya polemik Pilgub menjadi preseden buruk yang
memalukan daerah,karena sudah berulang kali Lampung mencatatkan sejarah
buruk di momentum pesta demokrasi lima tahunan ini. Bermula dari terbitnya SK
KPUD Lampung No.75/Kpts?KPU-Prov-008/2012 tertanggal 11 September 2012
tentang hari pemungutan suara Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Tahun
2013,yang menegaskan putaran pertama akan dilakukan pada 2 Oktober Putaran
kedua disiapkan pada 4 Desember. Gubernur menolak dengan tidak memasukan
anggaran Pilkada dalam APBD-P 2013. Dengan begitu, Pilgub diundur hingga
Tahun 2015 dengan pertimbangan belum adanya dasar hukum yang kuat. Karena
RUU Pemilukada belum disahkan oleh DPR RI. Kementrian Dalam Negri dan
DPRD Provinsi pun memilih jalan tengah dan hanya mendapatkan kata sepakat.
Gubernur menawarkan akan disediakan pada APBD 2014 dengan dilaksanakan
bulan januari Mendagri menawarkan bulan april 2014 pelaksanaan bersamaan
dengan Pileg. Bahkan sempat muncul wacana solusi agar ara calon yang sedang
menjabat Kepala Daerah untuk sementara urunan Rp 50.000.000.000 dari dana
sisa bagi hasil APBD masing-masing. Dengan diperpanjangkanya masa jabatan 5
orang komisioner KPU Lampung hingga pelantikan Gubernur terpilih 2014-2019
melalui SK KPU-RI No.707/Kpts/KPU/Tahun 2013 tertanggal 12 September, dan
dengan landasan hukum UU No.32 Tahun 2004, PP No. 6 Tahun 2005 dan
Peraturan KPU No. 9 Tahun 2010, maka tahapan yang tertunda patutlah segera
2
dimulai kembali.semua pihak harus lebih tegas dan proaktif menuntaskan semua
persoalan.3
Dalam Pemilihan Gubernur Lampung 2014 yang akhirnya pelaksanaanya
membarengi pemilihan legislatif pada tanggal 9 April 2014 diikuti oleh 4 pasang
calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur yaitu Nomor urut 1. Berlian Tihang –
Mukhlis Basri, Nomor urut 2. Ridho Ficardo - Bachtiar, Nomor urut 3. Herman
HN – Zainudin Hasan, Nomor urut 4. Alzier Dianis Thabrani – Lukman Hakim.
Dengan Daftar pemilih tetap kurang lebih 5,8 juta jiwa dilaksanakan di 16.497
TPS.
Berdasarkan hasil quick count SMRC (Saiful Muzani Research Center) pasangan
Ridho Ficardo – Bachtiar memperoleh 43,66 % suara dan diikuti oleh Herman
HN– Zainudin Hasan memperoleh 32,94 % suara sedangkan Berlian Tihang-
Muchlis Basri 15,7 % dan Alzier Dianis Thabrani – Lukman Hakim memperoleh
7,7 % suara. Berbanding terbalik dengan SMRC, real count versi Pussbik
Lampung pasangan Herman HN – Zainudin Hasan mengungguli pasangan Ridho
– Bachtiar.4
Hasil rapat pleno KPU Provinsi Lampung tanggal 17 april 2014 yang dibacakan
langsung oleh Ketua KPU Provinsi Lampung Nanang Trenggono memenangkan
pasangan Ridho – Bachtiar pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur
Lampung 2014-2019 dengan memperoleh 1.816.533 suara (44,96%).5
3
nyoman adi irawan, Mahasiswa Untuk Demokrasi, 2013, hlm 1
Lahirnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu
(selanjutnya disingkat UU No. 15 Tahun 2011), mengamanatkan untuk
membentuk suatu lembaga negara baru,yaitu Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu (selanjutnya disingkat DKPP). DKPP adalah lembaga yang bertugas
menangani pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu dan merupakan satu
kesatuan fungsi Penyelenggara Pemilu. DKPP memiliki tugas dan wewenang
untuk menegakan dan menjaga kemandirian, integritas, dan kredibelitas
Penyelenggara Pemilu. Secara lebih spesifik DKPP dibentuk untuk memeriksa,
mengadili dan memutuskan pengaduan/laporan dugaan pelanggaran kode etik
yang dilakukan anggota KPU, anggota Bawaslu, dan jajaran di bawahnya.
Pada hari Selasa 12 Juni 2012 Presiden melantik tujuh anggota DKPP periode
Tahun 2012-2017 di Istana Negara. Pengurus DKPP dituangkan dalam Keppres
Nomor 57 Tahun 2012. Ketujuh anggota DKPP tersebut adalah Ida Budhiarti
mewakili unsur KPU, Nelson Simanjuntak mewakili unsur Bawaslu dan lima dari
unsur masyarakat yaitu AbdulBari Azed, Valina Singka Subekti, Jimly
Asshiddiqie, Saut Hamonangan Sirait serta Nur Hidayat Sardini.
Sejak berdirinya DKPP, sangat produktif menangani perkara pengaduan
pelanggaran kode etik oleh Penyelenggara Pemilu. Sampai bulan November
Tahun 2012, DKPP telah memproses perkara pelanggarana kode etik
Penyelenggara Pemilu sejumlah 53 perkara. Namun mengingat dalam penanganan
perkara lazim didasarkan pada pihak yang diadukan (teradu).
Begitu besarnya pengaruh DKPP dalam suatu proses Penyelenggara Pemilu dan
struktur ketatanegaraan dan tatanan pemerintah, menjadi suatu hal yang sangat
penting dan menarik untuk dibahas lebih lanjut. Kehadiran lembaga DKPP yang
berwibawa sebagai pilar demokrasi sangat diperlukan. DKPP tidak hanya
diharapkan mampu meneggakan kode etik penyelenggara Pemilu, tetapi juga
dapat mengawal independensi dan imparsialitas jajaran KPU dan Bawaslu dari
pusat hingga daerah. Selain itu, keberadaan DKPP diharapkan dapat memberikan
kepastian dan jaminan bagi Pemilu yang jujur, adil, bebas, rahasia.
Kemenangan Ridho – Bachtiar ternodai oleh banyaknya pelanggaran-pelanggaran
pemilu seperti money politik, etika kampanye dan terindikasi mengubah hasil
suara di beberapa TPS. Kepustusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu
No.25/DKPP-PKE-III/2014 menyimpulkan bahwa Bawaslu Provinsi Lampung
melakukan pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu, dan memertintahkan
kepada Bawaslu pusat untuk menindaklanjuti sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.6
Dari beberapa uraian dan masalah di atas peneliti menarik kesimpulan dengan
judul KEKUATAN PUTUSAN DKPP DALAM KAITANNYA DENGAN
PEMILIHAN GUBERNUR LAMPUNG 2014.
6
B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup
1. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas terdapat beberapa permasalahan yang menarik
untuk dibahas lebih lanjut dan agar lebih fokus kajian masalah dalam penelitian
ini dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana proses pelaksanaan pemilihan Gubernur Lampung 2014
ditinjau berdasarkan putusan DKPP?
2. Sejauh mana kekuatan dan pelaksanaan putusan DKPP terhadap
pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu?
2. Ruang Lingkup
Berdasarkan rumusan masalah, maka ruang lingkup penelitian ini adalah kajian
bidang hukum kenegaraan, yang secara khusus meneliti keputusan lembaga
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu dalam keabsahan hasil Pemilihan
Gubernur Lampung Tahun 2014.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penulisan tesis ini adalah :
a. Mengetahui dan menganalisis proses pemilihan Gubernur Lampung tahun
b. Mengetahui dan menganalisis kekuatan dan pelaksanaan putusan DKPP
terhadap pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu.
2. Kegunaan Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna secara Teoritis maupun Praktis
yaitu :
1). Secara Teoritis
Kegunaan teoritis penelitian ini untuk memberikan masukan sumbangan
pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum
kenegaraan.
2). Secara Praktis
a. Sumbangan pemikiran kepada stechholder (pejabat dan petinggi
negara) dalam hal pembentukan lembaga penyelenggara pemilu yang
kredible, berkompeten dan tidak terintervensi oleh pihak manapun.
b. Untuk acuan bagi seluruh elemen lembaga Penyelenggara Pemilu agar
lebih independen,profesionalitas, tidak memihak dan lebih
mengutamakan demokrasi dalam bekerja sebagai Penyelenggara
Pemilu.
c. Dapat dijadikan bahan informasi kepada masyarakat bahwa dalam
Daerah yang sesuai dengan kemauan masyarakat, sah sesuai dengan
konstitusi dan asas Pemilu.
D. KerangkaPemikiran
1. Alur Pikir
UUD 1945
UU Nomor 32 Tahun 2004 tantang Pemilihan Kepala
Daerah
UU Nomor 15 Tahun 2004 tantang Penyelenggara
Pemilu
Asas-Asas Pemilu
SK KPU-RI No. 707/KPTS/KPU/Tahun 2013 tentang Pemilihan
GubernurLampung
PEMILIHAN
GUBERNUR LAMPUNG
2014
Putusan DKPP
No.25/DKPP-PKE-14/2014 Tentang pelanggaran anggota
2. Teori-teori dan Konsep-konsep
a. Teori Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan perundang-undangan berasal dari kata Peraturan dan
Perundang-undangan. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia peraturan adalah
tatanan(petunjuk, kaidah, ketentuan) yang dibuat mengatur, sedangkan
perundangan diterjemahkan sebagai yang bertalian dengan
undang-undang. Kata undang-undang diartikan ketentuan-ketentuan dan peraturan
negara yang dibuat oleh pemerintah, disahkan oleh parlemen, ditanda tangani
oleh kepala negara, dan mempunyai kekuatan mengikat atau aturan yang dibuat
oleh orang atau badan yang berkuasa.7
Dalam bahasa Belanda istilah undangan dan peraturan
perundang-undangan dari istilah wettelijke regels atau wettelijke regeling. Istilah wet
(undang-undang) dalam buku Belanda mempunyai dua pengertian, yaitu wet in
fomele zin (undang-undang dalam arti formal). Adalah setiap keputusan
pemerintah yang merupakan undang-undang yang didasarkan kepada bentuk
dan cara terbentuknya. Dan wet in materele zin (undang-undang dalam arti
materil) yaitu keputusan pemerintah/penguasa yang dilihat berdasarkan kepada
isi atau subtansinya mengikat langsung terus penduduk atau suatu daerah
tertentu,misalnya:peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan
menteri,peraturan daerah dan sebagainya.8
7
Armen Yasir, Hukum Perundang-undangan,Lembaga Penelitian universitas Lampung, Lampung,2008 hlm.. 25
8
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, menyebutkan dalam Pasal 1 angka 2 pengertian
“Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma
hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga
negara atau pejabat yang berwewenang melalui prosedur yang ditetapkan
dalam Peraturan Perundang-undangan”. Menurut Bukhardt Krem,9 Istilah
perundang-undangan (legislation, wetgeving atau gezetzgebung) mempunyai 2
(dua) pengertian yang berbeda, yaitu: (1) Perundang-undangan merupakan
proses pembentukan/proses membentuk peraturan-peraturan negara, baik di
tingkat pusat maupun di tingkat daerah; (2) Perundang-undangan adalah segala
peraturan negara, yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan,
baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
Bagir Manan10 memberikan pengertian Peraturan perundang undangan sebagai
kaidah hukum tertulis yang dibuat pejabat berwewenang atau lingkungan
jabatan yang berwewenang yang berisikan aturan tingkah laku yang bersifat
abstrak dan bersifat umum. Berdasarkan beberapa pengertian diatas, Menurut
Armen Yasir, ciri atau sifat suatu perundang-undangan adalah:11
1. Peraturan Perundang-undangan berupa keputusan tertulis, jadi mempunyai
bentuk dan format tertentu;
2. Dibentuk, ditetapkan dan dikeluarkan oleh pejabat yang berwewenang,
berdasarkan ketentuan yang berlaku;
9
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, Dasar-Dasar dan pembentukannya,
Kanisius, Jakarta, 1998, hlm. 3
10
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, 2003,hlm. 216
11
3. Peraturan Perundang-undangan berisikan aturan pola perilaku, jadi bersifat
mengatur(regulerend);
4. Peraturan Perundang-undangan mengikat secara umum, tidak ditunjukan
kepada seseorang atau individu tertentu.
Mengenai jenis dan hirearki peraturan perundang-undangan, Hans Kelsen
mengemukakan Teori stufbau des Recht atau The Hirarchy of law12, teori
tersebut membahas mengenai jenjang norma hukum, dimana ia berpendapat
bahwa “norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam
suatu hirarki tata susunan”. Norma hukum mengatur pembentukanya sendiri
karena suatu norma hukum menentukan cara untuk membuat norma hukum
lainya,dan juga sampai derajat tertentu menentukan isi dari norma yang lainya
itu. Norma yang menentukan pembentukan norma lain adalah norma yang
lebih tinggi sedangkan norma yang dibentuk menurut peraturan ini adalah
norma yang lebih rendah.
b. Konsep Lembaga Negara
Negara sebagai suatu organisasi memiliki alat perlengkapan untuk
merealisasikan tujuan dan keinginan-keinginan negara (staatswill).13 Konsep
lembaga negara secara terminologis memiliki keberagaman istilah “political
institution”, sedangkan dalam kepustakaan Belanda dikenal dengan istilah
12
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russell & Russell, New york, 1061, diterjemahkan oleh Raisul Mutaqien, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Cetakan I, Penenerbit Nusamedia dan Penenrbit Nuansa, Bandung, September 2006, hlm 179
13
“staatorgamen”. Sementara itu, bahasa Indonesia menggunakan istilah
“lembaga negara, badan negara, atau organ negara”.14
Arti kata “lembaga” dalam Kamus besar Bahasa Indonesia yang relevan
digunakan dalam penelitian ini adalah badan atau organisasi yang bertujuan
melakukan suatu usaha. Kamus tersebut memberi contoh frase yang
menggunakan kata lembaga, yaitu “lembaga pemerintah” yang diartikan
sebagai badan-badan pemerintah dalam lingkungan eksekutif. Apabila kata
“pemerintah” diganti dengan kata “negara” maka frase “lembaga negara”
diartikan sebagai badan-badan negara di semua lingkungan pemerintah negara
(khususnya di lingkungan eksekutif, legislatif, dan yudikatif)15.
Dalam kamus Hukum Belanda-Indonesia kata staatsorgaan diterjemahkan
sebagai alat perlengkapan negara. Dalam Kamus Hukum Fockema Andreae,
kata ogan juga diartikan sebagai perlengkapan, Hal ini menyebabkan istilah
lembaga negara, organ negara, badan negara, dan alat perlengkapan negara
seringkali dipertikarkan satu sama lain. Menurut Natabanya, penyususun UUD
1945 sebelum perubahan, cenderung konsisten menggunakan istilah badan
negara, bukan lembaga negara atau organ negara, untuk maksud yang sama,
Konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat) tahun 1949 setelah perubahan
keempat, melanjutkan kebiasaan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia
(MPR RI) sebelum masa reformasi tindak konsisten menggunakan peristilahan
14
Firmansyah Arifin dkk. Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan antar Lembaga Negara, KHRN bekerjasama dengan MKRI didukung oleh The Asia Foundation dan USAID, Jakarta 2005, hlm. 29
15
lembaga negara, organ negara dan badan negara. 16 Satu-satunya istilah
lembaga negara terdapat dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang
menyebutkan “Mahkamah Konstitusi berwewenang mengadili, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara”.
Dalam memahami pengertian organ atau lembaga, dapat dilihat dari pandangan
Hans Kelsen mengenai the Concept of the State Organdalam bukunya General
Theory of Law and State (Teori Umum tentang Hukum Dan Negara).17 Hans
Kelsen menguraikan bahwa “Whoever fulfills a function determined by the
legal order is an organ”. Siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang
ditentukan oleh suatu tata hukum (legal order) adalah suatu organ. Artinya,
organ negara itu tidak selalu berbentuk organik. Disamping organ yang
berbentuk organik, lebih luas lagi, setiap jabatan yang ditentukan oleh hukum
dapat pula disebut organ, asalkan fungsi-fungsinya itu bersifat menciptakan
norma dan atau bersifat menjalankan norma.
Menurut Hans Kelsen, parlemen yang menetapkan undang-undang dan
lembaga negara yang memilih para wakilnya melalui pemilihan umum,
sama-sama merupakan organ negara dalam arti luas. Pendek kata, dalam pengertian
yang luas ini, organ negara identik dengan individu yang menjalankan fungsi
atau jabatan tertentu dalam konteks kegiatan bernegara. Inilah yang disebut
16
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsulidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 28
17
sebagai jabatan publik atau jabatan umum (public offices) dan pejabat publik
atau pejabat umum (public officials).18
Di sisi lain Sri Soemantri menyatakan bahwa, lembaga-lembaga negara
merupakan lembaga-lembaga yang ditentukan dalam konstitusi. Hal ini
mengacu pada pendapat KC. Wheare, bahwa konstitusi digunakan untuk
menggambarkan keseluruhan sistem ketatanegaraan suatu negara. Lord James
Bryce menegaskan bahwa konstitusi merupakan suatu kerangka masyarakat
politik yang diatur melalui dan atu dengan hukum. Hukum telah menetapkan
secara permanen lembaga-lembaga yang mempunyai fungsi-fungsi dan
hak-hak yang tertentu yang diakui, sedangkan menurut C.F Strong konstitusi adalah
kumpulan yang mengatur dan menetapkan kekuasaan pemerintah dan hak-hak
yang diperintah, dan hubungan-hubungan diantara keduanya atau antara
pemerintah yang diperintah. Hal ini berarti konstitusi sebagai kerangka negara
berisi lembaga-lembaga negara. Lembaga-lembaga tersebut menjalankan
fungsi yang terpisah dan memiliki sistem checks and balances, antara lain
fungsi legislatif,eksekutif,dan peradilan.19
Sri Soemantri mengatakan bahwa diluar konstitusi juga terdapat
lembaga-lembaga negara. Terkait hal tersebut beliau membagi dua sistem ketata
negaraan Indonesia. Pertama,sistem ketatanegaraan dalam arti sempit,yakni
18
Jimly Asshiddiqie, op.cit, hlm. 32
19Sri Soemantri, “
Lembaga Negara dan State Auxiliary Bodies dalam Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945”, Disampaikan dalam dialog hukum dan non hukum “penataan State Auxiliary Bodies dalam Sistem Ketatanegaraan”Departemen Hukum dan HAM RI, Badan
hanya berkenaan dengan lembaga-lembaga negara yang terdapat di dalam dan
diluar Undang-Undang Dasar.20
Menurut Jimly Asshiddiqie terdapat lebih dari 34 organ,jabatan atau
lembaga-lembaga yang secara eksplisit disebut dan diatur keberadaanya dalam UUD
1945.21 Organ tersebut dapat dibedakan dari dua kriteria, yaitu (i) kriteria
hirarki bentuk sumber normatif yang menentukan kewenangan, dan (ii) kualitas
fungsinya yang bersifat utama atau penunjang dalam sistem kekuasaan negara.
Dari segi hirarkinya lembaga atau organ negara dapat dibedakan menjadi tiga
lapis :
a. Organ lapis pertama dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara, yakni :
presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, MPR, MA dan BPK. Seluruh
lembaga negara tersebut mendapat kewenangan dari UUD 1945.
b. Organ lapis kedua disebut sebagai lembaga negara saja, yakni : menteri
negara, TNI, POLRI, KY, KPU, dan BI. Lembaga-lembaga tersebut ada
yang mendapatkan kewenanganya dari UUD, dan ada pula yang
mendapatkan kewenanganya dari undang-undang.
c. Organ lapis ketiga adalah lembaga negara yang sumber kewenanganya
berasal dari regulator atau pembentuk peraturan di bawah undang-undang
Misalnya Komisi Hukum Nasional dan Komisi Ombudsman Nasional.
20
Sri Soemantri, Ibid.,
21
Dari segi fungsinya, lembaga atau organ negara dapat dibagi menjadi dua,
yaitu ada yang bersifat utama atau primer,dan ada pula yang bersifat skunder
atau penunjang (auxiliary).22
Ketentuan dalam Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 menentukan, “Badan-badan lain
yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam
undang-undang”. Artinya23
, selain selain Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi,
serta Komisi Yudisial dan kepolisian negara yang sudah diatur dalam UUD
1945. Masih ada badan-badan lainya yang jumlahnya lebih dari satu yang
mempunyai fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, yaitu yang
menjalankan fungsi,penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan. Badan atau
lembaga lain yang dimaksud itu antara lain adalah Kejaksaan Agung, Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
dan sebagainya. Lembaga-lembaga ini, meskipun tidak secara eksplisit disebut
dalam UUD 1945, tetapi sama-sama memiliki constitutional
importance24dalam sistem konstitusional berdasarkan UUD 1945.
Lebih lanjut Jimly25 menjelaskan persoalan konstitusionalitas lembaga negara
itu tidak selalu berkaitan dengan darajat hirarkis antara lembaga yang lebih
tinggi atau yang lebih rendah kedudukanya secara konstitusional. Persoalan
yang relevan adalah “apa dan bagaimana Undang-Undang Dasar (UUD)
mengatur dan menentukan hal-hal yang berkaitan dengan lembaga negara
dimaksud”. Meskipun kedudukanya lebih rendah dari lembaga konstitusional
22
Jimly Asshidiqie. Ibid., hlm. 90
23
Jimly Asshiddiqie. Ibid., hlm. 88
24
Derajat kepentingan suatu lembaga berdasarkan undang-undang dasar dalam sistem negara demokrasi konstitusi. Jimly Ashiddiqie. Ibid., hlm. 89
25
yang biasa,tetapi selama ketentuan mengenai lembaga yang bersangkutan di
atur dalam Undang-Undang Dasar (UUD), berarti lembaga tersebut
bersangkutan dengan persoalan konstitusionalitas.
c. Konsep Lembaga Negara Independen
Lembaga negara telah pada saat ini mengalami perekembangan pesat,hal ini
disebabkan beberapa hal,antara lain:
a. Negara mengalami perkembangan dimana kehidupan ekonomi dan sosial
menjadi sangat kompleks yang mengakibatkan badan eksekutif mengatur
hampir seluruh kehidupan masyarakat.
b. Hampir semua negara modern mempunyai tujuan untuk mencapai
kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya yang berkonsep negara
kesejahteraan(Welfare State). Untuk mencapai tujuan tersebut negara
dituntut menjalankan fungsi secara tepat, cepat dan komprehensip dari
semua lembaga negara.
c. Adanya keadaan dan kebutuhan yang nyata,baik karena faktor-faktor sosial,
ekonomi, politik dan budaya di tengah dinamika gelombang pengaruh
globalisme versus lokalisme yang semakin komplek mengakibatkan variasi
struktur dan fungsi organisasi dan institusi kenegaraan semakin
berkembang.
d. Terjadinya transisi demokrasi, yang mengakibatkan berbagai kesulitan
ekonomi, dikarenakan terjadinya aneka perubahan sosial dan ekonomi.
negara melakukan eksperimentasi kelembagaan (institutional
experimentation).
Dalam perkembanganya sebagian besar lembaga yang dibentuk tersebut adalah
lembaga-lembaga yang mempunyai fungsi pembantu bukan yang berfungsi
utama. Lembaga tersebut disebut Auxiliary States institution, atau Auxiliary
States Organ yang apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti
institusi atau organ negara penunjang. Para ahli hukum tata negara Indonesia
tidak memiliki padanan kata yang sama untuk menyebut lembaga ini ada yang
menyebut lembaga negara pembantu, lembaga negara penunjang, lembaga
negara melayani, lembaga negara independen,dan lembaga negara mandiri.
Lembaga Administrasi Negara (LAN) memberikan pengertian “lembaga
independen adalah pemerintah dan non pemerintah yang bebas dari
pengendalian pemerintah dan pembuat kebijakan (legislatif), bebas dari
pengendalian oleh pemanfaatan kelompok, dan bebas dari kepentingan tertentu
serta bersifat netral.
Di negara-negara demokrasi yang telah mapan, pada tiga dasawarsa terakhir
abad ke-20, banyak tumbuh lembaga-lembaga negara baru. Lembaga-lembaga
baru tersebut umumnyadisebut sebagaistate auxiliary organs , atau auxiliary
institutions sebagai lembaga penunjang. Di antara lemnbaga-lembaga itu
kadang-kadang ada juga yang disebut sebagai self regulatory agencies,
independen supervisory bodies, atau lembaga-lembaga yang menjalankan
fungsi campuran antara fungsi-fungsi regulatif, administratif, dan fungsi
penghukuman yang biasanya dipisahkan tetapi justru dilakukan bersamaan oleh
serikat disebut juga the headless fourth branch of the goverment, sedangkan di
Inggris lembaga-lembaga seperti ini biasa disebut quasi autonomus non
govermental organizations atau disingkat quangos.26
Menurut Muchlis Hamdi, hampir semua negara memiliki lembaga yang dapat
disebut “auxiliary states bodies”.27 Menurutnya, lembaga ini umumnya
berfungsi untuk mendukung lembaga negara utama. Auxiliary states organ
dapat dibentuk dari fungsi lembaga negara utama yang secara teori
menjalankan tiga fungsi, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Pembentukan organisasi pendukung ini dalam rangka efektivitas pelaksanaan
kekuasaan yang menjadi tanggung jawabnya. Selain itu terdapat juga lembaga
independen yang kewenanganya bersumber dari konstitusi negara atau
kebutuhan penyelenggara pemerintah dan umumnya dibentuk berdasarkan
undang-undang.28
Alasan utama yang melatarbelakangi munculnya lembaga independen, adalah29
: Pertama, alasan sosiologis yang menyatakan bahwa munculnya lembaga
independen disebabkan adanya kegiatan negara (modern) yang semakin
kompleks senhingga membutuhkan banyak lembaga atau alata perlengkapan
yang dibutuhkan untuk menjalankan tugas atau fungsi negara. Alat
perlengkapan atau lembaga negara yang dihasilkan melalui konstitusi sudah
26
Jimly Asshiddiqie. Op cit., hlm 7-9
27Muchlis Hamdi, “State Auxiliary Bodies di Beberapa Negara”, Disampaikan dalam dialog
hukum dan non hukum “Penataan State Auxiliary Bodies dalam Sistem Ketatanegaraan “
Departemen Hukum dan HAM RI Badan Pembinaan Hukum Nasional bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya 26-29 Juni 2009
28
Muchlis Hamdi, Ibid.,
29Hendra Nurtjahjo, “Lembaga Independen di Indonesia : Kajian Perspektif Yuridis”, Makalah
tidak mampu lagi menampung tugas-tugas spesifik yang umumnya
membutuhkan independensi dan profesionalitas dalam pelaksanaannya.
Konsekuensi yang dituntut adalah membentuk lembaga baru yang merupakan
conditio sine qua non (konsekuensi logis) bagi pertumbuhan dan
perkembangan negara dalam mengakomodasi aspirasi dan dinamika
masyarakat modern.
Kedua, alasan administratif yang menyatakan bahwa kemunculan lembaga
independen lebih disebabkan adanya tuntutan penyelenggaraan pemerintah
yang efektif, effisien dan berkeadilan. Pelaksanaan satu fungsi atau satu tugas
tidak selalu harus ditempatkan pada hanya satu organ kelembagaan saja,
apalagi bila fungsi yang menjadi tugas suatu lembaga tidak berjalan dengan
efektif dan efisien.
Lembaga negara independen secara umum memiliki fungsi utama, yaitu30 :
1. Lembaga independen berfungsi mengakomodasi tuntutan dinamika
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam proses
penyelenggaraan negara yang didasarkan pada paradigma good
govermance, mensyaratkan adanya interaksi yang proporsional antara
ketiga aktor pemerintah, yaitu: pemerintah (goverment), sektor swasta
(private sector), dan masyarakat (society).
2. Lembaga independen berfungsi menjadikan penyelenggaraan
pemerintah lebih efektif dan effisien.
30
Secara umum lembaga independen mempunyai peran yang cukup strategis
dalam proses penyelenggaraan negara dan pemerintah, yaitu:31
1. Sebagai pengambil dan atau pelaksanaan kebijakan yang efektif, efisien,
adil dan akuntabel sesuai tugas yang menjadi tanggung jawabnya;
2. Sebagai penjamin kepastian hukum dan kepastian regulasi (pengaturan)
terhadap subyek dan obyek yang menjadi tanggung jawabnya;
3. Sebagai pengantisipasi dominasi dari aktor-aktor yang terkait dengan
urusan yang menjadi tanggung jawabnya;
4. Sebagai pencipta harmonisasi dan singkronisasi iklim dari seluruh
stakeholders terkait dengan tugas yang menjadi tanggung jawabnya;
5. Sebagai “investigator” terhadap seluruh aktivitas yang menghambat dari
pihak-pihak yang terlibat dalam urusan menjadi tanggung jawabnya;
6. Berhak memberikan sanksi (administratif atau hukum)sesuai dengan
kewenangan yang dimiliki terkait dengan urusan yang menjadi
tanggungjawabnya.
Namun gejala umum yang dihadapi oleh negara-negara yang membentuk
lembaga-lembaga independent tersebut adalah personalan mekanisme
akuntabilitas, kedudukan dalam struktur ketatanegaraan, dan pola hubungan
kerja dengan kekuasaan pemerintah,kekuasaan membuat undang-undang, dan
kekuasaan kehakiman32. Ketidakjelasan pembentukan tentunya membawa
dampak negatif berupa ketidakjelasan kedudukan dan pertanggungjawaban
yang pada akhirnya dapat merusak sistem.
31
Istiyadi Insani, Ibid.,
32A.Ahsin Thohari, “Kedudukan Komisi
-Komisi Negara Dalam Struktur Ketatanegaraan
E. Metode Penelitian
Dalam mengemukakan masalah yang diteliti, digunakan metode-metode tertentu
sesuai dengan kebutuhan penelitian. Metode tersebut diperlukan dalam upaya
memperoleh data yang benar-benar objektif dan dapat dipertanggungjawabkan
kenbenaranya.
1. Pendekatan Masalah
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan metode pendekatan
yuridis normatif, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan mempelajari dan
menganalisis teori-teori, konsep-konsep, literatur dan peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.
2. Sumber Data
Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu
data yang diperoleh dari bahan-bahan yang berupa dokumen resmi, buku-buku,
laporan hasil penelitian dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan
dengan permasalahan yang akan dibahas. Sebagai penelitian hukum, data
sekunder dipergunakan terdiri dari:
a. Bahan hukum primer, yaitu ketentuan hukum dan perundang-undangan
yang mengikat serta berkaitan dengan penelitian ini.
1. Undang-Undang Dasar 1945
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemilihan Kepala
Daerah
5. Surat Keputusan KPU-RI No.707/Kpts/KPU/Tahun 2013 tentang
Pelaksanaan Pemilihan Gubernur Lampung 2014
6. Keputusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu
No.25/DKPP-PKE-III/2014
b. Bahan hukum sekunder yaitu, bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer yang bersumber dari buku, literatur dan
hasil karya ilmiah dalam bidang ilmu pengetahuan hukum yang berkaitan
dengan permasalahan penelitian.
c. Bahan hukum tersier yaitu, bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum sekunder seperti kamus,
ensikopedia,surat kabar dan situs internet.
3. Pengumpulan dan Pengolahan Data
a. Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian
studi kepustakaan yang dilakukan dengan mengadakan penelusuran dan
identifikasi data yang diperlukan lalu membaca dan memahami kemudian
dilakukan pengutipan dan pembuatan catatan-catatan, yang bersumber dari
peraturan perundang-undangan, buku-buku literatur, dan kamus hukum atau
b. Pengolahan Data
Data sekunder berupa bahan hukum yang sudah diperoleh, kemudian diolah
sebagai berikut:
1. Pemeriksaan data (editing) guna mengecek jika masih ada kekurangan
untuk dilengkapi atau jika ada berlebihan yang tidak perlu untuk
dibuang,atau jika ada kesalahan untuk diperbaiki.
2. Penyusunan data secara sistematis berdasarkan pada urutan masalah terdiri
dari pokok bahasan dan subpokok bahasan.
c. Analisis Data
Setelah semua data selesai diolah, selanjutnya diadakan analisis data secara
kualitatif, yaitu disusun dalam bentuk kalimat yang teratur, logis, sistematis,
sehingga mudah dipahami dan diberi makna yang jelas. Secara kualitatif artinya
mendeskripsikan secara rinci, lengkap, jelas dan komprehensif data dan informasi
hasil penelitian dan pembahasan dalam bentuk kalimat yang tersusun secara
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan Tesis ini disajikan dalam beberapa bab yang saling
berhubungan antara satu dengan yang lainya yaitu sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN, Bab ini berisi pendahuluan penyusunan Tesis yang terdiri dari Latar Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan
Kegunaan Penelitian, Kerangka Pemikiran, Metode Penelitian, serta Sistematika
Penulisan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, Bab ini berisi tinjauan pustaka yang meliputi konsep lembaga negara independen, pengertian tentang Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilihan Umum, pengertian tentang Pemilihan Umum,
kedudukan DKPP di dalam system ketatanegaraan Indonesia.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN, Bab ini berisi penyajian dan pembahasan data yang telah didapat dari hasil penelitian Kekuatan
Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum dalam kaitanya
dengan Pemilihan Gubernur Lampung 2014.
BAB IV PENUTUP, Bab ini berisi kesimpulan yang didasarkan pada hasil penelitian dan pembahasan serta saran direkomendasikan kepada berbagai pihak
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kedudukan DKPP Dalam System Ketatanegaraan Indonesia
1. Lembaga Negara Pembantu Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Sistem ketatanegaraan atau sistem pemerintahan dalam arti luas adalah
pembagian dan pemisahan kekuasaan serta hubungan lembaga-lembaga negara
dalam menjalankan tugas dan kewenangannya demi kesejahteraan rakyat. Terdapat
tiga sistem pemerintahan yang lazim digunakan banyak negara yaitu : sistem
pemerintahan presidensial, sistem parlementer, dan sistem pemerintahan
campuran.
Sebelum amandemen UUD 1945, sistem pemerintahan Indonesia menganut
sistem pemerintahan campuran yang cenderung lebih menguatkan pada sistem
presidensil dengan ciri : (a) presiden adalah kepala negara dan kepala
pemerintahan (b) kepastian masa jabatan presiden lima tahun; (c) presiden tidak
bertanggung jawab kepada DPR; dan (d) presiden tidak dapat membubarkan
DPR. Sementara itu ciri parlementer terlihat pada : (a) presiden tidak dipilih
langsung oleh rakyat melalui Pemilu tetapi dipilih oleh DPR; dan (b) presiden
bertanggung jawab kepada lembaga perwakilan rakyat yang dalam hal ini MPR.
Perubahan terhadap UUD 1945 dari sudut pandang hukum tata negara merupakan
condition sine qua non bagi penataan ulang sistem pemerintahan dan sistem
atau kedaulatan rakyat yang berorientasi pada tegakannya rule of law,
pengendalian kekuasaan, otonomi daerah, civil society dan check and balances.1
Pokok-pokok sistem pemerintahan Indonesia pasca perubahan UUD 1945 adalah
sebagai berikut :
1. Bentuk negara kesatuan dengan prinsip otonomi daerah yang luas.
Wilayah negara terbagi dalam beberapa provinsi.
2. Bentuk pemerintahan adalah republik, sedangkan sistem
pemerintahan presidensial.
3. Presiden adalah kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan.
Presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat dalam
satu paket.
4. Kabinet atau menteri diangkat oleh presiden dan bertanggung jawab
kepada presiden.
5. Parlemen terdiri atas dua bagian (bikameral), Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Para
anggota dewan merupakan anggota MPR. DPR memiliki kekuasaan
legislatif dan kekuasaan mengawasi jalannya pemerintahan.
6. Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Makamah Agung dan badan
peradilan dibawahnya serta Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan hasil perubahan UUD 1945 kekuasaan negara dibagi kepada tujuh
Lembaga Negara dengan kedudukan yang sama dan sejajar yang sering disebut
1
lembaga tinggi negara, yaitu Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi
(MK). Selain itu terdapat juga lembaga-lembaga negara lain yang ditentukan
dalam UUD 1945.
Setelah beberapa kali perubahan UUD 1945, sistem ketatanegaraan
Indonesia mengalami perubahan dari yang sebelumnya menerapkan pembagian
kekuasaan (distribution of power) menjadi pemisahan kekuasaan (separation of
power) dengan prinsip check and balances. Kekuasaan negara dipisah-pisahkan
menurut fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif pada lembaga yang
berbeda-beda. Perubahan ini ditandai dengan MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi
negara tetapi sederajat dengan lembaga negara lain.
Checks and balances pertama kali dimunculkan oleh Montesquieu dari gagasan
tentang pemisahan kekuasaan (separation of power). Berdasarkan ide ini, suatu
negara dikatakan memiliki sistem checks and balances yang efektif jika tidak ada
satupun cabang pemerintahan yang memiliki kekuasaan dominan, serta dapat
dipengaruhi oleh cabang lainnya (A government is said to have an effective
system of checks and balances if no one branch of government holds total power,
and canbe overridden by another).2
Secara konseptual, prinsip check and balances dimaksudkan agar tidak terjadi
overlapping atau tumpang tindih antara kewenangan lembaga negara sehingga
hlm.173
2
kekuasaan dalam negara haruslah diatur dengan seksama. Kamus hukum
mendefinisikan prinsip check and balances sebagai sebuah sistem aturan yang
menegaskan adanya mekanisme saling kontrol di antara cabang kekuasaan
baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif yang didesain untuk mencegah
terkonsentrasinya kekuasaan dalam satu cabang sehingga mendominasi cabang
kekuasaan yang lain.3
Amandemen UUD 1945, telah merubah sistem ketatanegaraan Indonesia
secara mendasar. Jimly Asshiddiqie4 mengkategorikan perubahan atas UUD
1945 menjadi enam bagian, yaitu: (1) Pembaharuan struktur UUD; (2)
Pembaharuan mengenai sendi-sendi bernegara; (3) Pembaharuan bentuk susunan
negara; (4) Pembaharuan kelembagaan atau alat kelengkapan negara; (5)
Pembaharuan yang terkait masalah penduduk dan kewarganegaraan; dan (6)
Pembaharuan yang bersangkutan dengan identitas negara. Kategori yang
memiliki relevansi paling kuat dengan penelitian ini adalah pembaharuan
mengenai kelembagaan atau kelengkapan negara.
Perubahan UUD 1945 telah menjadikan seluruh lembaga negara setara/sederajat
dan saling terkait serta memiliki mekanisme kontrol antara satu dan yang lain,
yang dikenal dengan istilah check and balence. Kehadiran lembaga negara
pembantu yang disebut states auxiliary agencies sesungguhnya untuk memperkuat
prinsip check and balance tersebut dalam penyelenggaraan pemerintah. Lembaga
negara pembantu memiliki peran strategis yang salah satunya adalah mencipta
harmonisasi dan sinkronisasi seluruh lembaga negara yang terkait dengan
tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
Lahirnya lembaga negara pembantu merupakan perkembangan baru dalam sistem
pemerintahan. Lembaga negara tersebut mempunyai dasar hukum dan latar
belakang yang berbeda-beda serta tugas dan wewenangnya. Salah satu sifat
lembaga negara pembantu atau organ penujang (auxiliary states organ) ini adalah
independen, yang sering disebut dengan istilah lembaga negara indpenden atau
komisi negara independen. lembaga negara indpenden adalah organ negara (state
organs) yang diidealkan independen dan karenanya berada diluar kekuasaan
eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Pengertian dasar dari independen adalah adanya kebebasan, kemerdekaan,
kemandirian, otonom (otonomi), tidak dalam dominasi personal maupun
institusional, sehingga pelaksanaan kehendak yang bebas (free will) dapat terwujud
tanpa ada pengaruh yang secara signifikan merubah pendiriannya untuk membuat
keputusan atau kebijakan. Oleh karen itu, lembaga negara independen berbeda
dengan lembaga negara biasa.
Lembaga negara pembantu merupakan instusi yang membantu lembaga negara
pokok/utama yang telah ada dan selama ini dikenal baik dalam teori maupun
praktik ketatanegaraan. Sesuai dengan teori trias politika-nya Montesquieu yang
membagi kekuasaan pemerintahan kedalam tiga cabang yaitu legislatif, eksekutif,
utama jelas terkait dan tak terpisahkan dengan negara sebagai sebuah organisasi
dan manajemen kenegaraan.
Terhadap keberadaan lembaga negara pembantu (auxiliary states organ) sebagai
lembaga negara, dapat dilihat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
005/PUU-I/2003 tentang perkara permohonan Pengujian Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; yang
menyatakan bahwa5“Dalam sebuah negara demokrasi modern memang akan lahir
banyak sekali institusi-institusi demokratis dan lembaga-lembaga negara yang
kemudian memunculkan beragam penamaan, seperti Komisi Hak Asasi Manusia
dan Komisi-Komisi lainnya. Komisi Independen yang lahir ini memang
merupakan sebuah konsekwensi logis dari sebuah negara demokrasi modern yang
ingin secara lebih sempurna menjalankan prinsip check and balances untuk
kepentingan publik yang lebih besar”.
Pada bagian lain dari keputusan ini, “Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia istilah lembaga negara tidak selalu
dimaksudkan sebagai lembaga negara yang disebutkan dalam UUD yang
keberadaannya atas dasar perintah konstitusi, tetapi juga ada lembaga negara yang
dibentuk atas perintah UU dan bahkan ada lembaga negara yang dibentuk atas
dasar Keppres. KPI yang oleh UU Penyiaran disebut lembaga negara tidak
menyalahi dan tidak bertentangan dengan UUD 19456.
5
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id “Putusan MK Nomor 005/PUU-I/2003, hlm.21-22” diunduh tanggal 18 Juni 2015
6
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut diatas, kehadiran lembaga
negara pembantu dalam sistem ketatanegaraan pada negara demokrasi modern
seperti di Indonesia merupakan suatu keniscayaan. Lembaga negara pembantu
tersebut dibentuk dalam rangka menciptakan sistem pemerintahan yang lebih
baik dengan prinsip check and balences. Lembaga-lembaga negara pembantu
dengan fungsi dan kewenanggan yang dimilikinya telah menjadi bagian yang
takterpisahkan dari struktur ketatanegaraan Indonesia.
2. Kedudukan DKPP Dalam Sistem Penyelenggaraan Pemilu
Dalam rangka mewujudkan visi pembangunan bangsa melalui peningkatan kualitas
demokrasi maka diperlukan institusi-institusi negara untuk mengawal proses
penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Umum Kepala Daerah
(Pemilu Kada) di seluruh Indonesia. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan
Umum Republik Indonesia atau disingkat DKPP RI merupakan lembaga yang
dibentuk dalam praktek demokrasi modern di Indonesia. DKPP merupakan produk
wacana perbaikan kualitas demokrasi khususnya penyelenggaraan Pemilu.
Apabila seluruh penyelenggara Pemilu di semua tingkatan pada proses Pemilu
berpegang dengan asas penyelenggaraan Pemilu, maka DKPP tidak perlu hadir.
Kehadiran DKPP bukan sebuah kebanggaan, tetapi sebuah keprihatinan atas
praktik dan perilaku penyelenggara Pemilu yang tidak bermartabat. Pemilu
seakan-akan menjadi beban sejarah politik tersendiri bagi perubahan, bahkan begitu
penegakan kode etik guna menghasilkan Pemilu yang tidak saja luber jurdil tapi
mewujudkan proses dan hasil pemimpin yang betul-betul bermartabat.
Salah satu faktor penting bagi keberhasilan penyelenggaraan Pemilu terletak pada
kesiapan dan profesionalitas penyelenggara Pemilu itu sendiri, yaitu Komisi
Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu.
Ketiga institusi ini telah diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum untuk menyelenggarakan Pemilu
menurut fungsi, tugas dan kewenangannya masing-masing. Pasal 1 angka 22 UU
No.15 Tahun 2011 menjelaskan bahwa “Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu, selanjutnya disingkat DKPP, adalah lembaga yang bertugas
menangani pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu dan merupakan satu
kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu”. Pasal tersebut jelas menerangkan
bahwa DKPP sebagai lembaga kode etik yang tugas dan wewenangnya
merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu. Dengan tugas dan
kewenangan yang dimilikinya, DKPP berfungsi menjaga kemandirian, integritas,
dan kredibilitas penyelenggara Pemilu. DKPP bukanlah sebagai penyelenggara
pemilu, karena penyelenggara pemilu adalah KPU sebagai pelaksana Pemilu dan
Bawaslu sebagai pengawas Pemilu.
Pada Pasal 109 ayat (1) UU No.15 Tahun 2011 menyatakan bahwa “DKPP
bersifat tetap dan berkedudukan di ibu kota negara”. DKPP bisa disebut sebagai
lembaga/organ negara karena DKPP menjalankan fungsinya yang menciptakan
hukum (law•creating function) atau fungsi yang menerapkan hukum
kode etik penyelenggara Pemilu dan satu kesatuan fungsi dalam penyelenggaraan
Pemilu. Selain itu anggota DKPP dipilih, diangkat dan menjalankan tugas sebagai
pejabat negara berdasarkan undang-undang. Ini sesuai dengan konsep organ
negara (theConcept of the State Organ) yang diungkapkan oleh Hans Kelsen7.
Sebagai lembaga negara baru yang dibentuk dalam rangka penyelenggaraan
Pemilu, kedudukan DKPP dalam sistem ketatanegaraan indonesia dapat dilihat
dari 4 (empat) hal yaitu : (1) sumber hukum pembentukannya, (2) pemilihan
dan pengangkatan anggotanya, (3) pertanggungjawaban dalam pelaksanaan
tugas dan kewenangannya; (4) sumber anggaran yang digunakan.
Sumber hukum pembentukan DKPP adalah Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Secara khusus DKPP diatur dalam
bab V Pasal 109 sampai dengan Pasal 115. DKPP dalam menjalankan tugas dan
kewenangannya dalam sistem ketatanegaraan mempunyai kedudukan yang kuat,
karena selain dibentuk berdasarkan undang-undang, DKPP mempunyai
constitutional importance secara langsung dengan UUD 1945 Pasal 22E ayat (5).
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-VIII/2010 dan Nomor 81/PUU-
IX/2011 menjelaskan bahwa KPU, Bawaslu, dan DKPP adalah bagian dari
komisi pemilihan umum yang dimaksud oleh Pasal 22E ayat (5) UUD
1945 yang memiliki sifat mandiri.
Pemilihan dan pengangkatan anggota DKPP diatur dalam Pasal 109 UU
No.15 Tahun 2011. Sebelum DKPP terbentuk, terhadap undang-undang
7
Hans Kelsen, General Theory Of Law and State, Russell & Russell, New York, 1961, diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara,
penyelenggara pemilu telah mengalami judicial review berdasarkan putusan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 81/PUU-IX/2011. Salah satu putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut menghapus ketentuan komposisi keanggotaan
DKPP dari unsur partai politik dan pemerintah yang diatur dalam Pasal 109 ayat
(4) huruf c dan d serta sebagian dari ayat (5). Pasal 109 ayat (6) menyebutkan
bahwa anggota DKPP yang berasal dari unsur masyarakat, Presiden berhak
mengusulkan 2 (dua) orang dan DPR mengusulkan 3 (tiga) orang. Seluruh usulan
calon anggota DKPP dari semua unsur disampaikan kepada Presiden untuk dilantik
dan ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Secara umum pertanggungjawaban lembaga/komisi negara pembantu/penujang
dalam pelaksanaan Pertanggungjawaban tugas dan kewenangannya ada yang
kepada publik, presiden, dan DPR. DKPP dalam pelaksanaan tugas dan
kewenangannya tidak diatur secara jelas dan tegas dalam UU No.15 Tahun
2011. Namun jika dilihat dari pengangkatan anggota dan sumber anggaran
DKPP, maka pertanggungjawabannya dilakukan kepada presiden dan DPR.
Mengenai sumber anggaran yang digunakan oleh DKPP telah diatur dalam
Pasal 116 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2011, yang menyebutkan“Anggaran
belanja KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, Bawaslu, Bawaslu Provinsi,
DKPP, Sekretariat Jenderal KPU, sekretariat KPU Provinsi, sekretariat KPU
Kabupaten/Kota, Sekretariat Jenderal Bawaslu, dan sekretariat Bawaslu Provinsi
bersumber dari APBN”. Selanjutnya disebutkan dalam Pasal 118 menegenai
kedudukan keuangan DKPP diatur lebih lanjut dengan peraturan presiden.
Namun sayang dalam melaksanakan tugasnya, DKPP tidak dibantu oleh
Jenderal Bawaslu.
Selanjutnya mengenai keberadaan DKPP ini juga dijelaskan dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 81/PUU-IX/20118 tentang perkara Pengujian
Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum
terhadap Undang-Undang Dasar; yang menyatakan bahwa“Mahkamah berpendapat
bahwa dewan kehormatan yang menangani perilaku penyelenggara pemilu
merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu. “Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu, selanjutnya disingkat DKPP, adalah lembaga yang bertugas
menangani pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu dan merupakan satu
kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu.” Sebagai satu kesatuan fungsi
penyelenggaraan pemilihan umum, maka menurut Mahkamah sifat mandiri yang
dinyatakan dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 harus juga mendasari
pembentukan dewan kehormatan”.
DKPP sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu dalam pelaksanaan
tugas dan wewenangnya bersifat mandiri atau independen. Walaupun tidak
dinyatakan secara tegas dalam undang-undang, sifat independen dari DKPP
dapat dilihat dari komposisi anggotanya dan dalam pelaksanaan tugas dan
wewenangnya sebagai lembaga yang menangani pelanggaran kode etik oleh
penyelenggara Pemilu.
Anggota DKPP terdiri dari masing-masing 1 (satu) orang unsur KPU dan
Bawaslu serta 5 (lima) orang dari unsur masyarakat/ahli. Sebagai lembaga kode