• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Hukum Terhadap Polemik Sengketa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Hukum Terhadap Polemik Sengketa"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Analisis Hukum Terhadap

Polemik Sengketa Jaminan

Fidusia PT Tripanca

_______________________________________________________

Bayu Atletiko Yanida Putera

Dipublikasikan pada 10 Juni 2014

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara nyata Indonesia mengakui sebagai rechstaat, dalam artian bahwa segala sesuatunya dilandasi oleh konstitusi yang ada sehingga berjalan seperti amanah konstitusi. Dengan adanya prinsip demikian maka dalam penyelenggaraan negaranya selalu mengedepankan pembentukan aturan terlebih dahulu agar pihak-pihak tersebut dapat dilindungi oleh pemerintah melalui mekanisme yang ada, sehingga tidak terjadi ketidakadilan di salah satu pihak.

Konsep jaminan yang berkembang di Indonesia, beberapa bentuk jaminan sudah dituangkan dalam perundang-undangan termasuk dalam hal ini adalah konsep mengenai jaminan fidusia yang berpotensi menimbulkan kerancuan sehingga mengharuskan adanya pengaturan melalui peraturan perundang-undangan. Adanya pengaturan yang jelas memungkinkan adanya kepastian hukum agar yang salah satunya adalah melindungi pihak-pihak dalam jaminan tersebut sehingga dibentuklah Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Namun, dalam pelaksanaannya masih terdapat beberapa sengketa terkait fidusia yang telah diatur dalam UU Jaminan Fidusia, baik akibat perbedaan penafsiran maupun akibat klausul – klausul yang berpotensi tumpang tindih antarpasalnya. Oleh karena itu, dipandang perlu untuk dilakukan kajian mendalam terhadap sebuah perkara yang mewakili beberapa kerancuan dalam UU Jaminan Fidusia, dalam hal ini perkara PT Tripanca, baik untuk melakukan harmonisasi antar pasal – pasal UU Jaminan Fidusia, maupun mempertimbangkan apakah putusan yang dijatuhkan bagi perkara tersebut sudah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.

B. Kronologi Kasus

(3)

Bank BRI 250 M, Bank Ekspor Indonesia 245 M, dan 50 M kepada Bank Mandiri. Kelima bank ini memberikan fidusia berupa kopi, tetapi tidak sebesar jumlah pinjaman.

Mengapa kelima bank ini memberikan fidusia yang tidak senilai dengan jumlah pinjaman? Karena BPR Tripanca memiliki track record yang baik, bahkan dinobatkan sebagai BPR no.3 terbaik di Indonesia. Sehingga kelima bank ini percaya kepada BPR Tripanca. Karena pada dasarnya FEO (Fidusiaire Eingendom Overdracht) adalah jaminan yang berbasis kepercayaan.

Bank Mega memberikan fasilitas kredit berupa Warehouse Receipt Financing (WRF) kepada PT Tripanca dengan total kredit USD 47 juta. Jaminan kopi itu diikat dengan perjanjian fidusia melalui Akta No. 49 tanggal 24 Agustus 2007. kemudian diterbitkan sertifikat jaminan fidusia No. W.6.836.04.06. TH. 2007 tanggal 6 November 2007 jo Akta fidusia No. 38 tanggal 28 November 2007 jo sertifikat jaminan fidusia No. W6.1103.HT.04.06.TH2007/STD tanggal 4 Desember 2007.

Pada tahun yang sama, uang pinjaman dari bank-bank tersebut dibawa kabur oleh Sugiharto Wihardjo, komisaris PT Tripanca sehingga membuat PT Tripanca dan BPR Tripanca collapse / bangkrut. Pada kasus ini, PT Tripanca masih dalam proses kepailitan. Bank Mega meminta izin untuk eksekusi ke Pengadilan Negeri Tanjung Karang. Pengadilan Negeri Tanjung Karang menerima dan mendaftarkan permintaan eksekusi ini ke kepaniteraan Pengadilan Negeri Tanjung Karang.

Bank Mega yang telah mengantongi izin sebagai salah satu bank yang dirugikan menjual 26.000 ton komoditas kopi pada pelelangan senilai 277,5 M. Bank Mandiri mengindikasikan bahwa Bank Mega ini menyalahi perjanjian fidusia dimana kurator BPR Tripanca tidak tahu bahwa kopinya telah dilelangkan dengan dijual oleh Bank Mega. Bank Mandiri menggugat Bank Mega karena menyalahi perjanjian serta kesalahan dengan menjual aset pailit yang seharusnya menunggu proses kepailitan selesai.

(4)

pengadilan sehingga atas keputusan hakim tersebut memerintahkan Bank Mega menyerahkan uang hasil pelelangan kepada Kurator PT Tripanca. Bank Mega sebagai tergugat mengajukan kasasi atas pertanyaan apakah pelaksanaan lelang oleh Bank Mega itu diperbolehkan.

MA berpendapat berdasarkan pasal 34 UU Kepailitan UU No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan yang melarang adanya perjanjian yang bermaksud untuk memindahtangankan jaminan fidusia. Namun MA menganggap eksekusi yang dilakukan Bank Mega telah sesuai pada pasal 55 UU Kepailitan UU Kepailitan yang mengatur bahwa pemegang jaminan fidusia boleh mengeksekusi seolah-olah tidak ada kepailitan. MA menafsirkan dari pasal 55 UU Kepailitan bahwa yang tidak diperbolehkan pada pasal 34 UU Kepailitan adalah melakukan perjanjian, sehingga bila perjanjian telah sempurna, maka pasal 55 UU Kepailitan berlaku. Dari tafsiran ini, MA menganggap bahwa sebelumnya Bank Mega dan PT Tripanca telah melakukan perjanjian tentang jaminan fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia Wilayah departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia republik Indonesia Propinsi Lampung. sehingga MA memperbolehkan tindakan Bank Mega berdasar pasal 55 UU Kepailitan UU Kepailitan. Selain itu, MA juga mempertimbangkan atas posisi Bank Mega sebagai kreditur separatis dan preferen yang harus didahulukan dan pertimbangan bahwa keputusan Pengadilan yang menyatakan PT Tripanca pailit pada 3 Agustus 2008 dan eksekusi lelang yang dilakukan pada 2 November 2008 yang mana pada pasal 56 UU Kepailitan telah menyebutkan bahwa eksekusi dapat dilaksanakan paling lama 90 hari sejak keputusan pailit.

C. Rumusan masalah

Dari kasus yang telah dijabarkan di atas, setidaknya ada tiga poin penting yang menjadi pokok pembahasan paper ini, yakni:

1. Apakah barang jaminan sebuah perjanjian fidusia dapat dijual (parate eksekusi – dijual secara lelang) setelah debitur melakukan wanprestasi namun sebelum proses kepailitan debitur selesai?

(5)
(6)

BAB II

PEMBAHASAN

a. Analisis Masalah 1

“Apakah barang jaminan sebuah perjanjian fidusia dapat dijual (parate eksekusi – dijual secara lelang) setelah debitur melakukan wanprestasi namun sebelum proses kepailitan debitur selesai?

Dalam penjelasan Pasal 2 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan) disebutkan bahwa dalam kepailitan kreditur dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu:

1. Kreditur separatis (kreditur yang memegang hak jaminan kebendaan atas piutangnya). Jaminan ini mencakup Gadai, Fidusia, Hak Tanggungan dan Hipotik Kapal.

2. Kreditur preferen (kreditur yang diistimewakan). Kreditur jenis ini merujuk pada Pasal 1139 dan Pasal 1149 KUHPer, yaitu kreditur yang memiliki piutang-piutang yang diistimewakan, antara lain mencakup:

1. biaya perkara;

2. uang sewa dari benda tak bergerak;

3. harga pembelian benda bergerak yang belum dibayar; 4. upah para buruh;

3. Kreditur konkuren (kreditur biasa), artinya kreditur yang sama sekali tidak memegang jaminan khusus atas piutangnya dan tidak memperoleh hak diistimewakan dari undang-undang.

Dari ketentuan tersebut, kreditur pemegang fidusia dan hak tanggungan adalah termasuk kreditur separatis. Dalam pelaksanaannya, berdasarkan Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan, kreditur separatis tidak perlu khawatir bilamana debiturnya dinyatakan pailit oleh suatu putusan Pengadilan, karena ia dapat melaksanakan hak eksekutorialnya sendiri seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Pada hal ini Bank Mega berposisi selain sebagai kreditur preferen, juga sebagai kreditur separatis.

Advokat dan kurator Yulius Setiarto, SH, pernah menjelaskan dalam salah satu artikel

hukumonline.com berjudul “Hak Eksekutorial Kreditur Separatis: Kapan Dapat Dilaksanakan?” menyatakan bahwa frasa seolah-olah tidak terjadi kepailitan, tidak berarti bahwa benda yang diikat dengan jaminan kebendaan tertentu menjadi kebal dari kepailitan (Bankrupcty Proof). Benda tersebut tetap merupakan bagian dari harta pailit, namun kewenangan eksekusinya diberikan kepada kreditur pemegang jaminan kebendaan tersebut.

(7)

Meskipun kreditur separatis (dalam hal ini Bank Mega) dapat melaksanakan hak eksekutorialnya sendiri seolah-olah tidak terjadi kepailitan, akan tetapi Pasal 56 UU Kepailitan memberikan penangguhan jangka waktu eksekusi paling lama 90 (sembilanpuluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. Dan kreditur separatis harus melaksanakan hak eksekutorialnya dalam waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi (ketidak mampuan membayar) (Pasal 59 UU Kepailitan).

Setelah melewati jangka waktu 2 (dua) bulan tersebut, Kurator harus menuntut diserahkannya benda yang menjadi agunan untuk selanjutnya dijual sesuai dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185, tanpa mengurangi hak Kreditur pemegang hak tersebut atas hasil penjualan agunan tersebut (Pasal 59 ayat [2] UU Kepailitan).

Perlindungan atas hak eksekutorial kreditur separatis ini telah ada sejak periode Stb. 1905 Nomor 217 jo Stb. 1906 No. 348 tentang faillissements verordening (selanjutnya disebut FV), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) dan (3) FV. Pengaturan tersebut masih tetap diikuti dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kepailitan, sejak Perpu nomor 1 tahun 1998, UU No. 4 tahun 1998, maupun UU Kepailitan yang terakhir UU No. 37 tahun 2004.

Jadi, Bank Mega dapat melakukan eksekusi terhadap jaminan (fidusia maupun hak tanggungan) setelah melewati masa penangguhan paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan dan eksekusinya dilakukan paling lambat 2 (dua) bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi.

Pada kenyataannya, Bank Mega telah melakukan pelelangan sesuai waktu yang ditentukan. Jadi dapat disimpulkan dari sini bahwa Bank Mega tidak melanggar hukum karena melakukan eksekusi dan pelelangan telah sesuai dengan apa yang diatur dalam undang-undang dengan dasar hukum Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

b. Analisis Masalah 2

“Apakah barang jaminan fidusia nilainya harus sama dengan jumlah kewajiban (dalam kasus ini pinjaman) debitur kepada kreditur? Mengingat, dalam kasus ini pinjaman debitur mencapai 1,7 trilyun namun aset yang dijaminkan ketika dilelang nilainya hanya 277,5 milyar.”

Pengertian jaminan fidusia di atas dengan jelas menggambarkan, bahwa jaminan fidusia merupakan hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan pelunasan (pembayaran) utang debitur kepada kreditur. Pembayaran dan pelunasan utang debitur kepada kreditur dimaksud bisa terjadi karena perjanjian maupun karena undang-undang, yang terjadi karena:

a. utang yang telah ada,

(8)

timbul dari pembayaran yang dilakukan oleh kreditur untuk kepentingan debitur dalam rangka pelaksanaan garansi bank.

c. utang yang pada saat eksekusi dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban memenuhi suatu prestasi (Pasal 7 UU Jaminan Fidusia). utang yang dimaksudkan adalah utang bunga atas pinjaman pokok dan biaya lainnya yang jumlahnya dapat ditentukan kemudian.

Pada dasarnya jaminan fidusia sudah dibuat dalam bentuk akta jaminan fidusia, seperti yang dijelaskan dalam Pasal 5 UU Jaminan Fidusia yang menguraikan mengenai identitas pemberi dan penerima fidusia, data perjanjian pokok yang dijamin fidusia, benda yang menjadi pokok jaminan fidusia, nilai penjaminan, dan nilai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia. Mengingat Pasal 5 UU Jaminan Fidusia di atas dapat dikatakan bahwa jumlah pinjaman sama besar nilainya dengan jumlah jaminan yang difidusiakan ,namun karena adanya suatu perjanjian dalam akta pendiriannya bisa saja jumlah jaminan fidusia tak senilai nilainya dengan jumlah pinjaman yang harus dibayarkan di akhir pembayaran pinjaman. Hal ini bisa saja terjadi sesuai pada poin b dan c pada Pasal 7 UU Jaminan Fidusia yang berbunyi :

“Utang yang pelunasannya dijamin dengan fidusia dapat berupa:

a. utang yang telah ada;

b. utang yang akan timbul di kemudian hari yang telah diperjanjikan dalam jumlah tertentu; atau

c. utang yang pada saat eksekusi dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban memenuhi suatu

prestasi.”

c. Analisis Masalah 3

“Perbedaan penafsiran Pasal 34 UU Kepailitan oleh Pengadilan Niaga pada

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Putusan Mahkamah Agung beserta penggunaan Pasal 55 UU Kepailitan pada putusan Kasasi Mahkamah Agung.”

Bank Mega melakukan pelelangan pada tanggal 2 November 2009 setelah mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan negeri melalaui surat No. 102/SARD/08 pada tanggal 7 November 2008 dan diterima oleh Kepaniteraan Pengadilan Negeri Tanjung Karang pada tanggal 10 November 2008.

(9)

lain dalam undang-undang ini perjanjian yang bermaksud memindahtangankan hak atas tanah, balik nama kapal, pembebanan hak tanggungan, hipotik, atau jaminan fidusia yang telah diperjanjikan lebih dahulu, tidak dapat dilaksanakan setelah putusan pernyataan pailit

diucapkan.”. Dan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menerima gugatan tersebut dan memerintahkan bank Mega memberikan dokumen-dokumen dan risalah lelang atas eksekusi kopi tersebut, serta mengalokasikan 5% dari hasil lelang ke pemohon, yaitu kurator PT Tripanca Group dan 5% kepada kreditur yang lain, yaitu Bank Mandiri.

Kemudian Bank Mega melakukan kasasi ke Mahkamah Agung. Dan Mahkamah Agung berpendapat bahwa walaupun terdapat ketentuan di Pasal 34 UU Kepailitan yang melarang adanya perjanjian yang bermaksud untuk memindah tangankan Hak atas tanah, Balik nama Kapal, Pembebanan Hak Tanggungan, Pemberian Hipotik/ Jaminan Fidusia,

namun juga harus mempertimbangkan ketentuan Pasal 55 UU Kepailitan yang mengatur bahwa pemengang jaminan fidusia dapat mengeksekusi hak haknya seolah olah tidak ada kepailitan, karenanya larangan dalam Pasal 34 UU Kepailitan harus ditafsirkan bahwa yang tidak boleh dilakukan adalah melakukan perjanjian, sementara bila perjanjian telah sempurna maka berlaku Pasal 55 UU Kepailitan. Dengan demikian pelelangan atas obyek jaminan fidusia tidak bertentangan dengan hukum.

Bahwa atas permohonan para penggugat (Bank Mandiri, Tim Kurator dan Bank Ekspor Indonesia) tersebut, Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah mengeluarkan putusan, yaitu Putusan No. 01/Pailit lain-lain/2009/PN. Niaga.JKT.1PST Jo No. 33/Pailit/2009/PN.Niaga.Jkt.PST tanggal 17 Februari 2010 yang amar utamanya untuk mengembalikan uang lelang sejumlah Rp. 277.500.001.000,- beserta bunga kepada Tim Kurator PT Tripanca Group (dalam pailit).

Menurut kurator PT Tripanca, Bank Mandiri, dan BEI hal yang dilakukan Bank Mega dengan eksekusinya dianggap merugikan karena membuat Kurator PT Tripanca tidak bisa mengoptimalkan harta pailitnya dengan alasan telah dijual/dilelang sepihak oleh Bank Mega. Namun Bank Mega sendiri juga tidak tinggal diam, Bank Mega beranggapan bahwa tindakannya berdasar hukum yang jelas dengan tujuan untuk mengamankan harta jaminan jika PT Tripanca tidak mampu membayar.

Menurut pendapat para hakim MA, putusan hakim Pengadilan Niaga menyatakan agar menyerahkan uang hasil pelelangan kepada kurator membuat rancu MA, dimana putusan Hakim Pengadilan Niaga hanya berdasar ketentuan Pasal 34 UU Kepailitan dan telah mengabaikan ketentuan-ketentuan lainnya antara lain sebagai berikut :

a. Pasal 27 UU Jaminan Fidusia yang secara tegas menyatakan bahwa: “Benda yang menjadi objek jaminan fidusia berada di luar kepailitan dan atau likuidasi.”

b. penjelasan Pasal 31 ayat (1) UU Kepailitan menyatakan "Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 56, 57, dan Pasal 58, ketentuan ini Pasal 31 ayat (1) tidak berlaku bagi kreditur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55."

(10)

atau hak agunan atas kebendaan lainnya dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan."

Dalam hal hakim Pengadilan Niaga hanya memutuskan berdasarkan Pasal 34 UU Kepailitan dan mengabaikan ketentuan lainnya jelas ini akan menimbulkan kekeliruan putusan.

Mahkamah Agung juga telah menolak Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Kurator PT Tripanca, Bank Mandiri, dan BEI dengan alasan bahwa judex facti Pengadilan Negeri Tanjung Karang sudah tepat dan tidak ada kekeliruan, dan dalam judex juris juga tidak perlu dipermasalahkan sehingga sebenarnya tidak perlu adanya Peninjauan Kembali.

Eksekusi Fidusia itu sendiri seharusnya dapat dilakukan sesuai dengan Pasal Pasal 29 UU Jaminan Fidusia, yaitu :

1. Apabila debitur atau pemberi fidusia cidera janji, eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara:

a. Pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) oleh penerima fidusia,

b. Penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan.

c. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menentukan para pihak.

2. Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf c dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan penerima fidusia kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan.

Dan juga sesuai dengan Pasal 31 UU Jaminan Fidusia, “Dalam hal benda yang menjadi objek jaminan fidusia terdiri atas benda perdagangan atau efek yang dapat dijual di Pasal atau bursa, penjualannya dapat dilakukan di tempat-tempat tersebut sesuai dengan perturan perundang-undangan yang berlaku.”

Jadi prinsipnya adalah bahwa penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia harus melalui pelelangan umum kecuali jika harga tidak menguntungkan bagi kedua pihak maka dimungkinkan penjualan dibawah tangan, asalkan di sepakati oleh debitur dan kreditur.

(11)

BAB III

PENUTUP

Kasus sengketa Jaminan Fidusia dari PT Tripanca dengan Bank Mega bermula saat Bank Mega menjual dengan cara melelang jaminan fidusia PT Tripanca yang berstatus

“dalam kepailitan” berupa 26.000 ton kopi senilai Rp. 267 M yang pada dasarnya Bank Mega

telah mengantongi ijin dari Pengadilan Negeri Tanjung Karang Propinsi Lampung.

Namun, Tim Kurator PT Tripanca, Bank Mandiri, dan Bank Ekspor Indonesia selaku kreditur lainnya tidak dapat menerima eksekusi sepihak oleh Bank Mega sehingga menimbulkan konflik baru dimana Bank Mandiri dan BEI mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan meminta Mahkamah Agung untuk melakukan Peninjauan Kembali.

Menurut Mahkamah Agung yang menolak permohonan Peninjauan Kembali ini menyatakan bahwa Bank Mandiri dan BEI hanya berdasar pada Pasal 34 UU Kepailitan, dan banyak mengabaikan beberapa hal penting terkait tentang eksekusi jaminan fidusia yang telah dilakukan oleh Bank Mega, salah satunya adalah mengabaikan Pasal 55 UU Kepailitan.

Telah jelas dinyatakan oleh Mahkamah Agung bahwa eksekusi yang dilakukan oleh Bank Mega sesuai dengan judex facti sehingga tidak perlu dipermasalahkan.

Daftar Pustaka

Devita, Irma. 2013. “Lelang Atas Objek Jaminan Fidusia Pada Saat Debitur Dinyatakan Pailit”. irmadevita.com. 3 Maret 2013. Diunduh dari

http://irmadevita.com/2013/lelang-atas-objek-jaminan-fidusia-pada-saat-debitur-dinyatakan-pailit/

Indriadi, Try. 2012. “Jangka Waktu Bagi Kreditor Pemegang Jaminan Untuk Eksekusi”.

Hukumonline.com. 4 April 2012. Diunduh dari

http://hukumonline.com/klinik/detail/lt4f79594881f35/jangka-waktu-bagi-kreditor-pemegang-jaminan-untuk-eksekusi.htmlSkala News. 2011. “MA Tolak PK Bank Mandiri Atas Eksekusi Lelang Kopi Tripanca”. skalanews.com. 12 Sep 2011. Diunduh dari

http://skalanews.com/news/detail/97162/4/ma-tolak-pk-bank-mandiri-atas-eksekusi-lelang-kopi-tripanca.html

Syahrani, H. Riduan. Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata. Edisi Revisi

Referensi

Dokumen terkait

Jadi, apabila seorang hamba telah menganggap sama kedudukan antara orang yang memuji atau yang mencelanya, berarti menunjukkan bahwa kedudukan makhluk di hatinya adalah rendah,

kini.Oleh karena itu, peran ayah tunggal dalam kehidupan anak pun lebih menjadi seorang.. gambaran yang ideal.Bagi anak lelaki, ayah menjadi contoh bagaimana

Pada tugas akhir ini dilakukan simulai untuk membandingkan performansi sistem komunikasi nano satelit arah downlink tanpa channel coding , dengan turbo coding (rate

Maka pejabat Pengadaan Barang dan Jasa Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Aceh Timur Tahun Anggaran 2015 Mengumumkan Pemenang pada Paket tersebut di atas sebagai berikut

Setelah diadakan tindakan perbaikan pembelajaran pada siklus 2, ternyata ada peningkatan nilai evaluasi siswa hanya 5 orang siswa yang belum mencapai KKM atau (12,5%)

|jejakseribupena.com, Soal dan Solusi Simak UI Matematika IPA, 2012

Rasio kemerataan (uniformity ratio) merupakan perbandingan harga antara dua kondisi dari suatu besaran kuat pencahayaan (iluminansi atau luminansi) pada suatu permukaan jalan,

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh stress kerja dan motivasi kerja terhadap produktivitas karyawan pada PTPN IV (Persero) Unit Kebun Tanah