• Tidak ada hasil yang ditemukan

Asas Pembuktian Secara Sederhana Dalam Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Pkpu) Pada Putusan Ma Ri No. 586 K/Pdt.Sus-Pailit/2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Asas Pembuktian Secara Sederhana Dalam Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Pkpu) Pada Putusan Ma Ri No. 586 K/Pdt.Sus-Pailit/2013"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

1

Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH: ALEX SANDRO

NIM: 110200262

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ASAS PEMBUKTIAN SECARA SEDERHANA DALAM PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU) PADA

PUTUSAN MA RI NO. 586 K/PDT.SUS-PAILIT/2013 SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH: ALEX SANDRO NIM: 110200262

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Hukum Ekonomi

Windha S.H.,M.Hum

NIP. 197501122005012002

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Ramli Siregar, S.H.,M.Hum Windha S.H.,M.Hum

NIP. 195303121983031002 NIP. 197501122005012002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

ABSTRAK

ASAS PEMBUKTIAN SECARA SEDERHANA DALAM PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU) PADA

PUTUSAN MA RI NO. 586 K/PDT.SUS-PAILIT/2013

*)Alex Sandro **)Ramli Siregar ***)Windha

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU mengatur asas pembuktian secara sederhana dalam Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU. Penerapan asas pembuktian secara sederhana ini menimbulkan pertanyaan apakah ketentuan ini berlaku terhadap permohonan PKPU. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah mengenai bagaimana prosedur pengajuan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang kepada pengadilan niaga, bagaimana pengaturan pembuktian secara sederhana dalam hukum kepailitan dan PKPU, dan bagaimana pertimbangan hakim tentang pembuktian secara sederhana pada putusan MA RI tentang PKPU dalam perkara No.586 K/Pdt.Sus-Pailit/2013.

Penelitian yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif. Data yang digunakan adalah data sekunder terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Teknik pengumpulan data dilakukan studi hukum kepustakaan. Metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah analisis kualitatif.

Permohonan PKPU dapat diajukan debitur atau kreditur kepada Pengadilan Niaga disertai daftar yang memuat sifat, jumlah piutang dan utang debitur beserta bukti secukupnya. Asas pembuktian secara sederhana yang diatur dalam Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU mensyaratkan permohonan pailit dapat dikabulkan apabila syarat-syarat dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) terbukti secara sederhana. UUK-PKPU secara eksplisit mengatur asas pembuktian secara sederhana berlaku terhadap perkara kepailitan. Tidak ada ketentuan UUK-PKPU yang merumuskan asas tersebut berlaku dalam permohonan PKPU. Hakim menerapkan asas pembuktian secara sederhana dalam putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.586 K/Pdt.Sus-Pailit/2013. Hakim menolak permohonan PKPU dengan pertimbangan pembuktian tidak sederhana dengan dasar ketentuan Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU. Hal ini dirasa kurang tepat, sebab Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU berlaku untuk perkara kepailitan.

Kata kunci: Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), Asas, Pembuktian sederhana

*)Mahasiswa Fakultas Hukum USU **)Dosen Pembimbing I

***) Dosen Pembimbing II

(4)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur atas berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi dengan tepat waktunya. Skripsi ini dilakukan bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan studi pada Program Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Medan.

Skripsi ini diberi judul “ASAS PEMBUKTIAN SECARA SEDERHANA

DALAM PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU) PADA PUTUSAN MA RI NO. 586 K/PDT.SUS-PAILIT/2013” Dengan adanya penulisan skripsi ini penulis berharap agar para pembaca dapat memaklumi kekurangan dari penulis karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan serta bahan-bahan refrensi. Semoga dari skripsi ini, pembaca dapat mengerti, memahami serta memberikan manfaat kepada pembaca.

Demi kelancaran penyelesaian skripsi ini penulis telah banyak menerima bantuan dari berbagai pihak baik dukungan moril dan materil. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof.Dr.Runtung Sitepu, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan;

2. Bapak Prof.Dr.Budiman Ginting, S.H., M.Hum selaku Pembantu Dekan I, Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.Hum. selaku Pembantu Dekan II, dan Bapak Dr.OK. Saidin, S.H., M.H. selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan;

3. Ibu Windha, S.H., M.Hum selaku Ketua Bagian Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, dan

(5)

sekaligus sebagai Dosen Pembimbing II yang telah sangat peduli dan memberikan bimbingan bagi penulis.terhadap penulisan skripsi;

4. Bapak Ramli, S.H, M.Hum selaku Sekretaris bagian Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, dan sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I yang telah sangat peduli dan memberikan bimbingan bagi penulis.terhadap penulisan skripsi;

5. Teristimewa kepada orangtuaku, Drs.Robert Simanjuntak dan Iptu Marice Sitorus serta kedua kakakku Sarah Cascarina S, S.H., MKn dan Rebecca Margareta, A.Md yang telah banyak memberi semangat, kekuatan, motivasi serta doa kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan tepat pada waktunya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan;

6. Bapak Edy Murya, S.H selaku Dosen Wali/Penasehat Akademik Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan;

7. Seluruh Bapak/Ibu Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak mendidik selama proses perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan;

8. Orang yang spesial bagi penulis, Thresya Nova Valentina Situmorang, S.H yang telah memberikan bantuan, dukungan, dan semangat;

9. Abang kelompok kecil Togi Marhara Sihite, S.H dan kakak kelompok kecil Novika S. Aritonang, S.H, teman-teman kelompok kecil Eko Pahala Nainggolan, Hadi Tampubolon, dan Rolas Putri Febriyani Sihombing.

(6)

10.Seluruh kawan-kawan Grup F Fakultas Hukum USU angkatan 2011 yang telah berjuang bersama penulis menuntut ilmu mulai dari awal masuk perkulihaan.

11.Perkumpulan Gemar Belajar (GEMBEL) yang telah menjadi sebuah wadah yang membantu penulis untuk berkembang dimasa perkuliahan dan Seluruh kawan-kawan GEMBEL angkatan 2011 (Eko, Sapta, Poltak, Samuel, John, Tulus, Boby, Jaka, Thresya Nova, Dian Ekawaty, Maslon, Adhy, Hary Tama), adik-adik angkatan 2012, angkatan 2013, dan angkatan 2014.

12.Seluruh kawan-kawan Ikatan Mahasiswa Hukum Ekonomi (IMAHMI) stambuk 2011 terkhusus kepada Sapta Agung dan Christi Pratami yang bersama-sama dengan penulis mengambil kepengurusan sebagai BPH. 13.Kawan-kawan di Komunitas Peradilan Semu (KPS) khususnya

kawan-kawan pada Delegasi NMCC UNDIP Piala Prof Sudarto IV.

Demikianlah penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada yang mendukung sehingga skripsi ini dengan diselesaikan dengan lancar dan kira Tuhan Yang Maha Esa memberikan yang terbaik buat kita semua.

Medan, 17 Maret 2015 Penulis Alex Sandro

(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... 1

B.Perumusan Masalah ... 7

C.Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 7

D. Keaslian Penulisan ... 8

E. Tinjauan Kepustakaan ... 9

F. Metode Penulisan ... 15

G. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II PENGAJUAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG KEPADA PENGADILAN NIAGA A.Pengertian PKPU dan Perbedaannya dengan Kepailitan ... 20

B.Syarat Permohonan PKPU ... 23

C. Prosedur Mengajukan PKPU ... 31

D.PKPU Sementara dan PKPU Tetap ... 35

BAB III ASAS PEMBUKTIAN SECARA SEDERHANA DALAM UU NO 37 TAHUN 2004 A.Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata ... 43

B.Pembuktian Secara Sederhana Sebagai Suatu Asas ... 64

C.Pembuktian Secara Sederhana dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU ... 71

BAB IV ASAS PEMBUKTIAN SECARA SEDERHANA DALAM PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU) PADA PUTUSAN MA RI NO. 586 K/PDT.SUS-PAILIT/2013 A.Posisi Kasus ... 82

(8)

B.Penerapan Asas Pembuktian Secara Sederhana dalam

Permohonan PKPU pada Putusan MA RI No. 586 K/PDT.SUS-PAILIT/2013 ... 97

BAB V PENUTUP

A.Kesimpulan ... 103 B.Saran ... 105

DAFTAR PUSTAKA ... 106

(9)

ABSTRAK

ASAS PEMBUKTIAN SECARA SEDERHANA DALAM PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU) PADA

PUTUSAN MA RI NO. 586 K/PDT.SUS-PAILIT/2013

*)Alex Sandro **)Ramli Siregar ***)Windha

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU mengatur asas pembuktian secara sederhana dalam Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU. Penerapan asas pembuktian secara sederhana ini menimbulkan pertanyaan apakah ketentuan ini berlaku terhadap permohonan PKPU. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah mengenai bagaimana prosedur pengajuan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang kepada pengadilan niaga, bagaimana pengaturan pembuktian secara sederhana dalam hukum kepailitan dan PKPU, dan bagaimana pertimbangan hakim tentang pembuktian secara sederhana pada putusan MA RI tentang PKPU dalam perkara No.586 K/Pdt.Sus-Pailit/2013.

Penelitian yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif. Data yang digunakan adalah data sekunder terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Teknik pengumpulan data dilakukan studi hukum kepustakaan. Metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah analisis kualitatif.

Permohonan PKPU dapat diajukan debitur atau kreditur kepada Pengadilan Niaga disertai daftar yang memuat sifat, jumlah piutang dan utang debitur beserta bukti secukupnya. Asas pembuktian secara sederhana yang diatur dalam Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU mensyaratkan permohonan pailit dapat dikabulkan apabila syarat-syarat dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) terbukti secara sederhana. UUK-PKPU secara eksplisit mengatur asas pembuktian secara sederhana berlaku terhadap perkara kepailitan. Tidak ada ketentuan UUK-PKPU yang merumuskan asas tersebut berlaku dalam permohonan PKPU. Hakim menerapkan asas pembuktian secara sederhana dalam putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.586 K/Pdt.Sus-Pailit/2013. Hakim menolak permohonan PKPU dengan pertimbangan pembuktian tidak sederhana dengan dasar ketentuan Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU. Hal ini dirasa kurang tepat, sebab Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU berlaku untuk perkara kepailitan.

Kata kunci: Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), Asas, Pembuktian sederhana

*)Mahasiswa Fakultas Hukum USU **)Dosen Pembimbing I

***) Dosen Pembimbing II

(10)

1

A.Latar Belakang

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut dengan UUK-PKPU) yang diundangkan pada tanggal 18 Oktober 2004 memberikan dua cara agar debitur dapat terhindar dari ancaman harta kekayaannya dilikuidasi ketika debitur telah atau akan berada dalam keadaan insolven, yaitu:1

1. Cara pertama yang dapat ditempuh oleh debitur agar harta kekayaannya terhindar dari likuidasi adalah dengan mengadakan perdamaian antara debitur dengan para krediturnya setelah debitur dinyatakan pailit oleh pengadilan. Perdamaian ini memang tidak dapat menghindarkan kepailitan, karena kepailitan itu sudah terjadi, tetapi apabila perdamaian itu tercapai maka kepailitan debitur yang telah diputuskan oleh pengadilan itu menjadi berakhir. Atau dengan kata lain debitur dapat menghindarkan diri dari pelaksanaan likuidasi terhadap harta kekayaannya sekalipun sudah diputuskan oleh pengadilan. Perdamaian tersebut dapat mengakhiri kepailitan debitur hanya apabila dibicarakan bersama dan melibatkan semua kreditur. Apabila perdamaian hanya diajukan dan dirundingkan dengan hanya satu atau beberapa kreditur, tidak dapat mengakhiri kepailitan debitur.

1

(11)

2. Cara kedua adalah dengan mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disingkat PKPU) atau Surseance van Betaling menurut istilah Faillisementverordening atau Suspension of Payment menurut istilah dalam bahasa Inggris. UUK-PKPU mengatur PKPU dalam Bab III, yaitu mulai dari Pasal 222 sampai dengan Pasal 294 UUK-PKPU dimana dalam Pasal 222 ayat (2) tujuan dari pengajuan PKPU adalah untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditur. Menurut penjelasan Pasal 222 ayat (2) UUK-PKPU yang dimaksud “kreditur” adalah baik kreditur konkuren maupun

kreditur yang didahulukan.

Richard Burton memberikan definisi PKPU adalah suatu keadaan saat debitur tidak dapat atau memperkirakan bahwa ia tidak dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang kepada kreditur konkuren. Seperti halnya permohonan pailit, permohonan PKPU juga harus diajukan oleh debitur kepada pengadilan dengan ditandatangani oleh debitur dan oleh penasehat hukumnya.2

Ada dua jenis PKPU yang dikenal dalam UUK-PKPU, yaitu PKPU sementara dan PKPU tetap. Kedua jenis PKPU tersebut merupakan sebuah tahapan dan memiliki batas waktu. PKPU sementara diatur dalam Pasal 225 ayat (4) UUK-PKPU yang berbunyi:

2

(12)

“Segera setelah putusan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara diucapkan, Pengadilan melalui pengurus wajib memanggil debitur dan kreditur yang dikenal dengan surat tercatat atau melalui kurir untuk menghadap dalam sidang yang diselenggarakan paling lama hari ke-45 (empat puluh lima) terhitung sejak putusan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara diucapkan.”3

Sedangkan PKPU tetap diatur dalam Pasal 228 ayat (6) UUK-PKPU yang berbunyi:

“Apabila penundaan kewajiban pembayaran utang tetap sebagaimana

dimaksud pada ayat (4) disetujui, penundaan tersebut berikut perpanjangannya tidak boleh melebihi 270 (dua ratus tujuh puluh) hari setelah putusan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara diucapkan.”4

Dilihat dari segi norma, ruang lingkup materi, maupun proses penyelesaian utang-putang, UUK-PKPU ini mempunyai cakupan yang lebih luas dibandingkan dengan UUK-PKPU sebelumnya. Hal ini dikarenakan adanya perkembangan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Sedangkan ketentuan yang selama ini berlaku, belum memadai sebagai sarana hukum untuk menyelesaikan masalah utang-piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif.5

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) menyebutkan kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini maka hukum acara yang berlaku adalah hukum acara perdata.6 Hal ini berarti sepanjang tidak diatur secara khusus dalam UUK-PKPU maka hukum acara yang berlaku untuk pengadilan niaga dalam menangani

3

Pasal 225 ayat (4) UUK-PKPU 4

Pasal 228 ayat (6) UUK-PKPU 5

Victorianus M.H. Randa Puang, Penerapan Asas Pembuktian Sederhana dalam Penjatuhan Putusan Pailit (Bandung: Sarana Tutorial Nurani Sejahtera, 2011), hlm. 7.

6

(13)

perkara-perkara kepailitan dan PKPU adalah HIR (Het Herziene Indonesich Reglement) untuk Pengadilan Niaga yang berada di Jawa dan Madura, dan RBg (Reglement Buiten Gewesten) untuk Pengadilan Niaga di luar Jawa dan Madura.7

Pembuktian dalam hukum kepailitan dan PKPU sedikit berbeda dibandingkan dengan pembuktian dalam hukum acara perdata pada umumnya. Pemeriksaan perkara kepailitan dan PKPU di Pengadilan Niaga berlangsung lebih cepat, hal ini dikarenakan UUK-PKPU memberikan batasan waktu proses kepailitan dan PKPU. Selain itu, lebih cepatnya waktu pemeriksaan perkara di Pengadilan Niaga antara lain dipengaruhi oleh sistem pembuktian yang dianut, yaitu asas pembuktian secara sederhana atau pembuktian secara sumir.

Asas pembuktian secara sederhana termuat pada Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU yang menyebutkan: “Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi.”8 Dalam kepailitan, Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU di atas tidak terlepas dengan Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU yang menyebutkan: “Debitur yang

mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya.”9

Penjelasan asas pembuktian secara sederhana yang telah dipaparkan di atas, muncul pertanyaan apakah asas pembuktian secara sederhana yang diatur

7

Ibid hlm. 9 8

Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU 9

(14)

dalam Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU jo Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU berlaku juga terhadap permohonan PKPU? Dalam Bab III UUK-PKPU tentang PKPU memang terdapat pasal yang menegaskan bahwa ketentuan Bab II UUK-PKPU tentang kepailitan juga berlaku terhadap ketentuan PKPU diantaranya:

1. Pasal 245 UUK-PKPU tentang pembayaran piutang masing-masing kreditur yang harus tunduk pada Pasal 185 ayat (3) UUK-PKPU,

2. Pasal 246 UUK-PKPU yang menyatakan ketentuan Pasal 56, Pasal 57 dan Pasal 58 UUK-PKPU berlaku mutatis mutandis terhadap pelaksanaan kreditur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) UUK-PKPU, 3. Pasal 248 ayat (3) UUK-PKPU yang menyatakan Pasal 53 dan Pasal 54

UUK-PKPU berlaku bagi perjumpaan utang pada PKPU,

4. Pasal 256 UUK-PKPU yang menyatakan Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 UUK-PKPU berlaku mutatis mutandis terhadap putusan pernyataan pailit sebagai akibat putusan pengakhiran PKPU.

Namun tidak terdapat ketentuan perihal pembuktian secara sederhana dalam kepailitan pada Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU jo Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU juga berlaku terhadap PKPU.10

Hakim sebagai salah satu pejabat kekuasaan kehakiman yang melaksanakan proses peradilan tentunya mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap lahirnya putusan. Putusan yang dihasilkan oleh hakim di Pengadilan idealnya tidak menimbulkan masalah-masalah baru dikemudian hari di

(15)

masyarakat. Hal ini berarti kualitas putusan hakim berpengaruh penting pada lingkungan masyarakat dan berpengaruh pada lingkungan masyarakat dan pada kredibilitas lembaga pengadilan itu sendiri.11

Hakim dalam membuat putusan tidak hanya melihat kepada hukum (system denken) tetapi juga harus bertanya pada hati nurani dengan cara memperhatikan keadilan dan kemanfaatan ketika putusan itu telah dijatuhkan (problem denken). Akibat putusan hakim yang hanya menerapkan pada hukum tanpa menggunakan hati nuraninya akan berakibat pada kegagalan menghadirkan keadilan dan kemanfaatan, meskipun putusan hakim sejatinya diadakan untuk menyelesaikan suatu perkara atau sengketa dalam bingkai tegaknya hukum dan keadilan.12

Berdasarkan pemaparan di atas, penelitian ini mengangkat asas pembuktian secara sederhana dalam PKPU menjadi penelitian skripsi dengan melakukan tinjauan yuridis terhadap salah satu putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Tinjauan yuridis dilakukan untuk mengkaji penerapan asas pembuktian secara sederhana dalam permohonan PKPU untuk melihat apakah asas pembuktian secara sederhana ini diterapkan dalam pertimbangan hukum hakim yang memutus perkara tersebut. Adapun judul tulisan skripsi ini adalah

11

Tata Wijayanta, “Asas Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan dalam Kaitannya

dengan Putusan Kepailitan Pengadilan Niaga,” Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 14 No. 2 Mei 2014

(Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada), hlm. 217.

12 HM. Soerya Respationo, “Putusan Hakim: Menuju Rasionalitas Hukum Refleksif

dalam Penegakan Hukum”, Jurnal Hukum Yustisia, No. 86 Th. XXII Mei-Agustus 2013, Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, hlm. 43 seperti dikutip oleh Tata Wijayanta, Ibid.

(16)

“Asas Pembuktian Secara Sederhana dalam Permohonan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang (PKPU) Pada Putusan MA RI No. 586 K/Pdt.Sus-Pailit/2013”.

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis merumuskan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana prosedur pengajuan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang kepada Pengadilan Niaga?

2. Bagaimana pengaturan pembuktian secara sederhana dalam hukum kepailitan dan PKPU?

3. Bagaimana pertimbangan hakim tentang pembuktian secara sederhana pada Putusan MA RI tentang PKPU dalam perkara No.586 K/Pdt.Sus-Pailit/2013?

C.Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan penulisan

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian skripsi ini antara lain:

a. Mengetahui sistem pembuktian dalam hukum acara perdata.

b. Mengetahui pengaturan pembuktian secara sederhana dalam hukum Kepailitan dan PKPU.

(17)

2. Manfaat penulisan

Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini antara lain: a. Secara teoritis

Dengan kehadiran skripsi ini diharapkan mampu mengisi ruang-ruang kosong dalam ilmu pengetahuan di bidang hukum yang berkenaan dengan substansi penulisan skripsi ini, sehingga dapat memberikan sumbangsih berarti bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang hukum Kepailitan dan PKPU terutama menyangkut pembuktian dalam hukum acara perdata sebagai hukum acara yang dipakai dalam Pengadilan Niaga dalam menyelesaikan perkara-perkara Kepailitan dan PKPU, asas pembuktian secara sederhana dalam Hukum Kepailitan dan PKPU, dan penerapan asas pembuktian secara sederhana dalam salah satu putusan perkara PKPU. b. Secara praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada masyarakant pada umumnya dan sebagai bahan referensi bagi kalangan praktisi hukum, mahasiswa dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pada khususnya mengenai pembuktian secara sederhana dalam PKPU.

D.Keaslian Penulisan

(18)

Universitas Sumatera Utara. Pusat dokumentasi dan informasi hukum/perpustakaan Universitas cabang Fakultas Hukum USU melalui surat tertanggal 17 Desember 2014 yang menyatakan bahwa tidak ada judul yang sama.

Surat tersebut dijadikan dasar bagi Ibu Windha, S.H., M.Hum dan Bapak Ramli Siregar,S.H.,M.Hum selaku Ketua dan Sekretaris Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk menerima judul yang diajukan karena substansi yang terdapat dalam skripsi ini dinilai berbeda dengan judul-judul skripsi lain yang terdapat dilingkungan perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Apabila dikemudian hari terdapat judul yang sama atau telah tertulis orang lain dalam berbagai tingkat kesarjanaan sebelum skripsi ini dibuat, maka hal tersebut dapat diminta pertanggungjawaban.

E.Tinjauan Pustaka

(19)

hukumnya. Sebaliknya debitur juga dapat mengajukan permohonan PKPU kepada Pengadilan Niaga agar debitur dapat diberi waktu untuk membayar utang-utangnya. Prosedur pengajuan perkara kepailitan dan PKPU ini diatur dalam UUK-PKPU.13

Pengadilan Niaga sebagai lembaga peradilan yang memiliki salah satu wewenang untuk memeriksa dan memutuskan apakah suatu permohonan kepailitan dan PKPU yang diajukan dapat diterima atau tidak, menggunakan hukum acara perdata. Dalam UUK-PKPU menyatakan bahwa selain diatur dalam undang-undang ini, maka hukum acara yang berlaku adalah hukum acara perdata. UUK-PKPU mengatur beberapa aturan acara dalam Pengadilan Niaga, salah satunya adalah mengenai pembuktian, yaitu asas pembuktian secara sederhana.

Adapun beberapa unsur yang termasuk dalam bahan kajian penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) merupakan alternatif penyelesaian utang untuk menghindari kepailitan. Menurut Munir Fuady Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) ini adalah suatu periode waktu tertentu yang diberikan oleh undang-undang melalui putusan Pengadilan Niaga, dimana dalam periode waktu tersebut kepada kreditur dan debitur diberikan kesepakatan untuk memusyawarahkan cara-cara pembayaran utang-utangnya dengan memberikan rencana perdamaian (composition plan) terhadap seluruh atau sebagian utangnya itu, termasuk apabila perlu merestrukturisasi utangnya tersebut.

13

(20)

Dengan kata lain PKPU merupakan semacam moratorium dalam hal ini legal moratorium.14

Berdasarkan Pasal 222 ayat (2) UUK-PKPU permohonan PKPU yang diajukan oleh debitur harus memenuhi empat syarat agar permohonan dikabulkan, yaitu:15

a. Adanya utang

b. Utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih c. Ada dua atau lebih kreditur, dan

d. Debitur tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan pembayaran utang-utangnya.

Jika permohonan PKPU diajukan kreditur, maka berdasarkan Pasal 222 ayat (3) UUK-PKPU ada empat syarat yang wajib dipenuhi atau harus terbukti agar permohonan dikabulkan, yaitu:16

a. Adanya utang,

b. Utang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, c. Ada satu Kreditur,

d. Kreditur memperkirakan bahwa Debitur tidak dapat melanjutkan pembayaran utangnya.

Pihak yang dapat mengajukan permohonan PKPU menurut UUK-PKPU adalah:17

a. Debitur;

14

Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 82. 15

Syamsudin M Sinaga, Op.Cit., hlm. 260-261. 16

Ibid., hlm. 261. 17

(21)

b. Kreditur;

c. Bank Indonesia bila debiturnya adalah Bank;

d. Bapepam, bila debiturnya adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjamin, Lembaga Penyimpanan dan penyelesaian;

e. Menteri Keuangan, bila debitur Perusahaan Asuransi, Perusahaan Rasuransi, Dana Pensiun, dan Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik (Pasal 233 UU No.37 tahun 2004).

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) memiliki dua tahap yaitu PKPU sementara dan PKPU tetap. PKPU sementara diatur dalam Pasal 225 ayat (4) UUK-PKPU yang menyatakan:

“Segera setelah putusan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara diucapkan, Pengadilan melalui pengurus wajib memanggil Debitur dan Kreditur yang dikenal dengan surat tercatat atau melalui kurir, untuk menghadap dalam sidang yang diselenggarakan paling lama pada hari ke-45 (empat puluh lima) terhitung sejak putusan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara diucapkan.”18

Sedangkan PKPU tetap diatur dalam Pasal 228 ayat (6) yang menyatakan:

“Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dipenuhi, atau jika Kreditur belum dapat memberikan suara mereka mengenai rencana perdamaian, atas permintaan Debitur, Kreditur harus menentukan pemberian atau penolakan penundaan kewajiban pembayaran utang tetap dengan maksud untuk memungkinkan Debitur, pengurus, dan Kreditur untuk mempertimbangkan dan menyetujui rencana perdamaian pada rapat atau sidang yang diadakan selanjutnya.”19 PKPU sementara diberikan terlebih dahulu selama 45 hari sedangkan PKPU tetap diberikan untuk jangka waktu 270 hari.

18

Pasal 225 ayat (4) UUK-PKPU 19

(22)

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sementara merupakan tahap pertama dari proses PKPU. Debitur yang mengajukan permohonan PKPU jika syarat-syarat administrasinya sudah dipenuhi maka pengadilan paling lambat 3 hari sejak permohonan didaftarkan harus segera memutus mengabulkan permohonan PKPU sementara. Dalam hal PKPU diajukan oleh kreditur, pengadilan harus segera mengabulkan PKPU sementara selambat-lambatnya dua puluh hari sejak permohonan PKPU didaftarkan. Setelahnya pengadilan menunjuk hakim pengawas dan mengangkat satu atau lebih pengurus.

Setelah ditetapkannya PKPU sementara pengadilan melalui pengurus wajib memanggil debitur dan kreditur untuk menghadap dalam sidang yang paling lama diadakan pada hari ke empat puluh lima sejak diputuskan PKPU sementara. Dalam sidang tersebut akan diputuskan apakah dapat diberikan PKPU secara tetap dengan tujuan memungkinkan debitur, pengurus dan para kreditur untuk mempertimbangkan dan menyetujui perdamaian.

2. Asas pembuktian secara sederhana

Menurut Bellefroid, asas hukum secara umum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum posotif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum. Asas hukum merupakan pengendapan hukum positif dalam suatu masyarakat.20

Asas hukum dibagi menjadi dua, yaitu: asas hukum umum dan asas hukum khusus. Asas hukum umum adalah asas hukum yang berhubungan dengan seluruh bidang hukum, seperti asas lex posteriori derogat legi priori. Sedangkan asas

20

(23)

hukum khusus adalah asas yang berfungsi dalam bidang tertentu yang lebih sempit, seperti dalam bidang hukum perdata, hukum pidana, dan sebagainya, misalnya asas pacta sunt servanda, dan asas legalitas.21

Asas pembuktian secara sederhana merupakan suatu asas hukum khusus dalam hukum Kepailitan dan PKPU. Definisi mengenai apa yang dimaksud dengan pembuktian secara sederhana tidak dijelaskan dalam UUK-PKPU, namun demikian petunjuk mengenai diterapkannya pembuktian secara sederhana dalam perkara kepailitan terdapat dalam ketentuan Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU yang menyatakan bahwa permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keaadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi.22

Ketentuan tersebut tidak memberikan pengertian mengenai pembuktian secara sederhana, dan dalam penjelasannya hanya menjelaskan apa yang dimaksud dengan fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana, yaitu fakta dua atau lebih kreditur dan fakta utang telah jatuh waktu dan tidak dibayar. Dari penjelasan ini, secara tersirat dapat diketahui bahwa pada prinsipnya inti dari penerapan pembuktian secara sederhana ini adalah penerapan syarat-syarat kepailitan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) yang dilakukan secara sederhana.23

21

Ibid., hlm. 36. 22

Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU

23Erma Defiana Putriyanti dan Tata Wijayanta, “Kajian Hukum tentang Pen

erapan Pembuktian Sederhana dalam Perkara Kepailitan Asuransi”,

(24)

F. Metode Penulisan

1. Spesifikasi penelitian

Penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi ini bersifat deskriptif yang mengacu kepada penelitian hukum normatif yaitu mengkaji ketentuan-ketentuan tentang asas pembuktian secara sederhana dalam permohonan PKPU. Adapun metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis.

Penelitian normatif dapat dikatakan juga dengan penelitian sistematik hukum sehingga bertujuan mengadakan identifikasi terhadap pengertian-pengertian pokok/dasar dalam hukum, yakni masyarakat hukum, subyek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum dan obyek hukum.24 2. Data penelitian

Sumber data adalah subjek dari mana data dapat diperoleh.25 Sumber data dapat dari data primer dan data sekunder. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder, dimana data yang diperoleh secara tidak langsung.

a. Bahan hukum primer

Diperoleh melalui Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, HIR (Het Herziene Indonesich Reglement), dan

24

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hlm.15.

25

(25)

RBg (Reglement Buiten Gewesten) dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor. 586 K/PDT.SUS-PAILIT/2013;

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder berupa buku-buku, karya-karya ilmiah, artikel serta jenis tulisan lain yang ada hubungannya dengan permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini;

c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier berupa bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti Kamus Hukum dan Kamus Bahasa Indonesia dan lain sebagainya.

3. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi adalah dengan penelusuran pustaka (library research) yaitu mengumpulkan data dari informasi dengan bantuan buku, karya ilmiah dan juga perundang-undangan yang berkaitan dengan materi penelitian.

Menurut M. Nazil dalam bukunya, dikemukakan bahwa studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan dan laporanlaporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan.26

26

(26)

4. Analisa data

Penelitian hukum normatif yang menelaah data sekunder menyajikan data berikut dengan analisisnya.27 Metode analisis data dilakukan dengan metode kualitatif dengan penarikan kesimpulan secara deduktif.

Metode penarikan kesimpulan pada dasarnya ada dua, yaitu metode penarikan kesimpulan secara deduktif dan induktif. Metode penarikan kesimpulan secara deduktif adalah suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui dan berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru) yang bersifat lebih khusus.28 Metode penarikan kesimpulan secara induktif adalah proses berawal dari proposisi-proposisi khusus (sebagai hasil pengamatan) dan berakhir pada kesimpulan (pengetahuan baru) berupa asas umum.29

G.Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang terdapat dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, serta sistematika penulisan yang dilakukan penulis untuk melakukan penelitian normatif terhadap asas pembuktian secara sederhana dalam permohonan Penundaan

27

Soerjono Soekanto, Op.Cit., hlm. 69. 28

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 11.

29

(27)

Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) pada Putusan MA RI No. 586 K/Pdt.Sus-Pailit/2013.

BAB II PENGAJUAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG KEPADA PENGADILAN NIAGA Bab ini menguraikan tentang pengertian PKPU, syarat-syarat mengajukan PKPU, prosedur mengajukan PKPU, dan PKPU sementara dan PKPU tetap.

BAB III ASAS PEMBUKTIAN SECARA SEDERHANA DALAM UU NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG.

Bab ini menguraikan tentang pembuktian dalam hukum acara perdata, pembuktian secara sederhana sebagai suatu asas, dan pembuktian secara sederhana dalam UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

BAB IV ASAS PEMBUKTIAN SECARA SEDERHANA DALAM

PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU) PADA PUTUSAN PUTUSAN MA RI No. 586 K/Pdt.Sus-Pailit/2013

(28)

BAB V PENUTUP

(29)

BAB II

PENGAJUAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN

PEMBAYARAN UTANG KEPADA PENGADILAN NIAGA

A.Pengertian PKPU

Istilah PKPU (suspension of payment) sangat akrab dalam hukum kepailitan. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU) tidak merumuskan pengertian apa yang dimaksud dengan PKPU. Oleh karena itu perlu dibuatkan definisi tentang PKPU dalam UUK-PKPU.30

Menurut Syamsudin M. Sinaga, PKPU adalah suatu masa tertentu yang diberikan oleh Pengadilan Niaga kepada debitur yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, untuk menegosiasikan cara pembayarannya kepada kreditur, baik sebagian maupun seluruhnya, termasuk merestrukturisasinya apabila dianggap perlu, dengan mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utangnya kepada kreditur.31 Sedangkan Menurut Munir Fuady PKPU ini adalah suatu periode waktu tertentu yang diberikan oleh undang-undang melalui putusan Pengadilan Niaga, dalam periode waktu tersebut kepada kreditur dan debitur diberikan kesepakatan untuk memusyawarahkan cara-cara pembayaran utang-utangnya dengan memberikan rencana perdamaian (composition plan) terhadap

30

Syamsuddin M. Sinaga, Op.Cit., hlm. 8. 31

Ibid.

(30)

seluruh atau sebagian utangnya itu, termasuk apabila perlu merestrukturisasi utangnya tersebut. Dengan kata lain PKPU merupakan semacam moratorium dalam hal ini legal moratorium.32

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dapat dilakukan sebagai upaya yang dilakukan debitur untuk menghindari kepailitan. Upaya tersebut hanya dapat diajukan oleh debitur sebelum putusan pernyataan pailit ditetapkan oleh pengadilan, karena berdasarkan Pasal 229 ayat (3) UUK-PKPU permohonan PKPU harus diputuskan lebih dahulu apabila permohonan pernyataan pailit dan permohonan PKPU diajukan pada waktu yang bersamaan.33 Agar permohonan PKPU yang diajukan setelah permohonan pernyataan pailit diajukan terhadap debitur dapat diputus terlebih dahulu sebelum permohonan pernyataan pailit, maka berdasarkan Pasal 229 ayat (4) UUK-PKPU, wajib permohonan PKPU itu diajukan pada sidang pertama permohonan pemeriksaan pernyataan pailit.

Fred B.G Tumbuan perancang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang Kepailitan yang kemudian disahkan oleh DPR menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan mengatakan bahwa pada dasarnya PKPU dan Kepailitan berbeda. PKPU tidak berdasarkan pada keadaan debitur tidak membayar utangnya atau insolven dan juga tidak bertujuan untuk dilakukannya pemberesan (likuidasi budel pailit). PKPU tidak dimaksudkan untuk kepentingan debitur semata, tetapi juga untuk kepentingan kreditur, terutama kreditur

32

Munir Fuady, Op.Cit., hlm. 82. 33

(31)

konkuren. PKPU bertujuan menjaga jangan sampai seorang debitur yang karena suatu keadaan semisalnya keadaan likuid dan sulit memperoleh kredit, dinyatakan pailit, sedangkan jika debitur diberi waktu maka besar harapan ia dapat melunasi utang-utangnya. Pernyataan pailit dalam keadaan seperti ini hanya merugikan para kreditur, karena akan mengakibatkan berkurangnya nilai perusahaan.34

Selama PKPU debitur tidak kehilangan penguasaan dan hak atas kekayaannya, hanya kehilangan kebebasan dalam penguasaan kekayaan, yang mana dibawah pengawasan pengurus dan hanya dapat bertindak atas izin pengurus. Sedangkan dalam hal pailit debitur tidak dapat menguasai harta kekayaannya, harta kekayaanya dikuasai oleh kurator. Bahkan dalam PKPU atas izin dari pengurus, debitur dapat mengajukan permohonan pinjaman dari pihak ketiga dalam rangka meningkatkan nilai harta debitur.

Dengan demikian jelas perbedaan antara PKPU dengan kepailitan. Dalam PKPU debitur memiliki kewenangan dalam melakukan perbuatan hukum berkaitan dengan harta kekayaan berdasarkan izin pengurus. Sementara dalam hal debitur dinyatakan pailit oleh pengadilan, debitur tidak lagi berwenang melakukan perbuatan hukum berkaitan dengan harta kekayaanya. Kewenangan tersebut ada pada kurator.

Perbedaan antara Kepailitan dan PKPU dapat pula dibandingkan dengan perbedaan antara liquidation menurut Chapter 7 dan reorganization menurut

Chapter11 U.S. Bankruptcy Code. Pada liquidation menurut Chapter 7 diangkat seorang trustee. Pada kasus reorganization menurut Chapter 11 tidak diangkat

34

(32)

seorang trustee. Pada kasus Chapter 7, trustee menguasai harta pailit (the prioperty of the estate) dan melikuidasi harta tersebut. Para kreditur dibayar dari hasil likuidasi itu dan jumlah yang dapat diterima oleh seorang kreditur ditentukan oleh undang-undang. Dalam kasus Chapter 11, debitur, yang disebut “debtor in possession” tetap menguasai harta kekayaannya. Para kreditur pada umumnya

dibayar dari pendapatan-pendapatan yang diperoleh oleh debitur setelah pengajuan permohonan reorganizataion, dan setiap kreditur memperoleh hasil pelunasaannya sesuai rencana (a plan) yang telah disetujui baik oleh para kreditur dan pengadilan. Dalam kasus Chapter 7, pembebasan dari kewajiban membayar utang (discharge) bagi seorang debitur tergantung pada ketentuan undang-undang. Sementara itu, pada kasus Chapter 11, seorang debitur dapat dibebaskan dari kewajiban membayar utang sesuai dengan reorganization plan yang telah disetujui oleh para kreditur dan pengadilan itu.35

B. Syarat Permohonan PKPU

Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan yang hanya memungkinkan PKPU diajukan oleh debitur, UUK-PKPU memberikan kemungkinan PKPU diajukan oleh kreditur. Hal ini merupakan perbedaan yang sangat signifikan dan sesuai dengan aspirasi dunia usaha yang dapat diketahui dari Pasal 222 ayat (1).36 Dalam UUK-PKPU permohonan PKPU dapat diajukan oleh:37

35

Epstein et al.,Bankruptcy (St. Paul: West Publishing Co, 1993), hlm. 13 seperti dikutip oleh Sutan Remy,Ibid., hlm. 330-331.

36

Ibid.,hlm. 331. 37

(33)

1. Debitur yang mempunyai lebih dari 1 (satu) kreditur; atau debitur yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh tempoh dan dapat ditagih, dapat memohon PKPU, dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruhnya kepada kreditur.

2. Kreditur, baik kreditur konkuren maupun kreditur preferen (kreditur dengan hak didahulukan). Kreditur yang memperkirakan bahwa debitur tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat memohon agar kepada debitur diberi PKPU, untuk memungkinkan debitur mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada krediturnya.

3. Pengecualian: terhadap debitur bank, perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjamin, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, dan badan usaha milik negara yang bergerak di bidang kepentingan publik.

a. Dalam hal debiturnya adalah bank, maka permohonan PKPU hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia.

b. Dalam hal debiturnya adalah perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjamin, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, permohonan PKPU hanya dapat diajukan oleh badan pengawas pasar modal (sekarang otoritas jasa keuangan).

(34)

kepentingan publik, maka permohonan PKPU hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.

Permohonan PKPU yang diajukan ke Pengadilan Niaga, baik yang diajukan oleh debitur maupun kreditur harus memenuhi syarat formal dan syarat substansial, yaitu:38

1. Syarat formal

Syarat formal merupakan kelengkapan berkas perkara, termasuk kwitansi pembayaran ongkos perkara, sebelum perkara PKPU dicatat dalam buku registrasi atau diregister.

a. Dalam hal PKPU diajukan oleh debitur orang perseorangan, wajib mengajukan surat permohonan bermaterai cukup yang ditandatangani oleh debitur dan advokat sebagai kuasanya dengan melampirkan:

1) Daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang debitur beserta surat bukti secukupnya.

2) Rencana perdamaian.

3) Fotocopy kartu/izin advokat yang dilegalisir. 4) Surat Kuasa Khusus.

5) Fotocopy Kartu Tanda Penduduk pemohon yang dilegasir. 6) Surat persetujuan suami/istri.

7) Daftar harta kekayaan.

8) Neraca pembukuan, jika mempunyai perusahaan.

38

(35)

b. Dalam hal PKPU diajukan oleh debitur badan hukum perseoran, wajib mengajukan surat permohonan bermaterai cukup yang ditandatangani debitur dan advokat sebagai kuasanya, dengan melampirkan:

1) Daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang debitur beserta surat bukti secukupnya.

2) Rencana perdamaian.

3) Fotocopy kartu/izin advokat yang dilegalisir. 4) Surat Kuasa Khusus.

5) Surat tanda daftar perusahaan yang dilegasir 6) Akta keputusan RUPS terakhir

7) Neraca keuangan terakhir

8) Nama, dan alamat debitur serta kreditur

9) Akta pendirian atau perubahan anggaran dasar yang dibuat oleh notaries.

10) Fotocopy surat keputusan pengesahan badan hukum perseroan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

c. Dalam hal PKPU diajukan oleh debitur badan hukum sosial (yayasan/perkumpulan), wajib mengajukan surat permohonan bermaterai cukup yang ditandatangani debitur dan advokat sebagai kuasanya, dengan melampirkan:

1) Daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang debitur beserta surat bukti secukupnya.

(36)

3) Fotocopy kartu/izin advokat yang dilegalisir. 4) Surat kuasa khusus.

5) Keputusan rapat pengurus yang menyetujui pengajuan permohonan PKPU

6) Akta pendirian atau perubahan anggaran dasar yang dibuat oleh notaris.

7) Neraca keuangan terakhir 8) Nama dan alamat kreditur

9) Fotocopy surat keputusan pengesahan badan hukum sosial dari Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

d. Dalam hal PKPU diajukan oleh debitur Firma/CV, wajib mengajukan surat permohonan bermaterai cukup yang ditandatangani debitur dan advokat sebagai kuasanya, dengan melampirkan:

1) Daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang debitur beserta surat bukti secukupnya.

2) Rencana Perdamaian

3) Fotocopy kartu/izin advokat yang dilegalisir. 4) Surat kuasa khusus.

5) Surat tanda daftar perusahaan yang dilegalisir. 6) Neraca keuangan terakhir.

7) Nama dan tempat tinggal masing-masing pesero. 8) Nama dan alamat kreditur.

(37)

e. Dalam hal PKPU diajukan oleh Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal (sekarang Otoritas Jasa Keuangan), Menteri Keuangan, wajib mengajukan surat permohonan bermaterai cukup yang ditandatanganioleh pemimpin institusi tersebut, dengan melampirkan:

1) Daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang debitur beserta surat bukti secukupnya.

2) Rencana Perdamaian

3) Surat tugas dari pemimpin institusi, jika menugaskan staf/pegawai. 4) Keputusan RUPS terakhir.

5) Neraca keuangan terakhir. 6) Daftar harta kekayaan perseroan 7) Nama dan alamat kreditur

8) Akta pendirian atau perubahan anggaran dasar yang dibuat notaris. 9) Fotocopy surat keputusan pengesahan badan hukum perseroan dari

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

(38)

f. Dalam hal PKPU diajukan oleh kreditur orang perseorangan, wajib mengajukan surat permohonan bermaterai cukup yang ditandatangani kreditur dan kuasanya, dengan melampirkan:

1) Fotocopy kartu/izin advokat yang dilegalisir. 2) Surat kuasa khusus.

g. Dalam hal PKPU diajukan oleh kreditur badan hukum sosial (yayasan/perkumpulan), wajib mengajukan surat permohonan bermaterai cukup yang ditandatangani kreditur dan kuasanya, dengan melampirkan:

1) Fotocopy kartu/izin advokat yang dilegalisir. 2) Surat kuasa khusus.

3) Akta pendirian atau perubahaan anggaran dasar badan hukum sosial yang dibuat notaris.

4) Fotocopy surat keputusan pengesahan badan hukum sosial dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia

h. Dalam hal PKPU diajukan oleh kreditur Firma/CV wajib mengajukan surat permohonan bermaterai cukup yang ditandatangani kreditur dan kuasanya, dengan melampirkan:

1) Fotocopy kartu/izin advokat yang dilegalisir. 2) Surat Kuasa Khusus.

3) Surat tanda daftar firma/CV yang dilegasir.

(39)

i.Dalam hal PKPU diajukan oleh kreditur badan hukum perseroan, wajib mengajukan surat permohonan bermaterai cukup yang ditandatangani kreditur dan kuasanya, dengan melampirkan:

1) Fotocopy kartu/izin advokat yang dilegalisir. 2) Surat kuasa khusus.

3) Akta pendirian atau perubahan anggaran dasar perseroan yang dibuat Notaris.

4) Fotocopy surat keputusan pengesahan badan hukum perseroan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

2. Syarat substansial

Syarat substansial merupakan syarat yang wajib dipenuhi dan dibuktiakan oleh pemohon PKPU dipersidangan.

a. Dalam hal pemohon PKPU adalah debitur, maka berdasarkan Pasal 222 ayat (2) UUK-PKPU, ada empat syarat yang wajib dipenuhi atau harus terbukti agar permohonan dikabulkan, yaitu:

1) Ada utang,

2) Utang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, 3) Ada dua atau lebih kreditur, dan

4) Debitur tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan pembayaran utang-utangnya.

(40)

1)Ada utang,

2)Utang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, 3)Ada satu kreditur, dan

4)Kreditur memperkirakan bahwa debitur tidak dapat melanjutkan pembayaran utangnya.

Syarat substansial ini bersifat kumulatif, yang berarti seluruh syarat substansial ini harus dapat dibuktikan pemohon PKPU. Jika salah satu syarat tidak dapat dibuktikan, maka permohonan ditolak. Perbedaan antara PKPU yang diajukan oleh debitur dan kreditur terletak pada jumlah krediturnya. PKPU yang diajukan debitur harus ada dua atau lebih kreditur, sedangkan PKPU yang diajukan kreditur cukup satau kreditur yang sekaligus bertindak sebagai pemohon.39

C.Prosedur Mengajukan PKPU

Secara khusus, UUK-PKPU menentukan tata cara (prosedur) yang harus ditempuh untuk mengajukan permohonan PKPU. Prosedur tersebut terdapat dalam ketentuan Pasal 224 UUK-PKPU yang berbunyi:40

(1) Permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222 harus diajukan kepada Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dengan ditandatangani oleh pemohon dan oleh advokatnya.

(2) Dalam hal pemohon adalah Debitor, permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang harus disertai daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang Debitor beserta surat bukti secukupnya.

39

Syamsuddin M Sinaga, Op.Cit., hlm. 261. 40

(41)

(3) Dalam hal pemohon adalah Kreditor, Pengadilan wajib memanggil Debitor melalui juru sita dengan surat kilat tercatat paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang.

(4) Pada sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Debitor mengajukan daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang Debitor beserta surat bukti secukupnya dan, bila ada, rencana perdamaian.

(5) Pada surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilampirkan rencana perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222. (6) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), ayat (2), ayat (3),

ayat (4), dan ayat (5) berlaku mutatis mutandis sebagai tata cara pengajuan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

Menurut Pasal 224 ayat (1) UUK-PKPU permohonan PKPU sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 222 harus diajukan kepada pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dengan ditandatangani oleh pemohon dan oleh advokatnya. Pengajuan dilakukan kepada Pengadilan Niaga berdasarkan kedudukan hukum debitur, dengan ketentuan:41

1. Dalam hal debitur telah meninggalkan wilayah Negara Republik Indonesia, pengadilan yang berwenang menjatuhkan putusan atas permohonan pernyataaan PKPU adalah pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir debitur.

2. Dalam hal Debitur adalah pesero atau firma, maka pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firma tersebut juga berwenang memutuskan.

3. Dalam hal debitur tidak berkedudukan di wilayah Negara Republik Indonesia tetapi menjalankan profesi atau usahanya di wilayah Negara Republik Indonesia, pengadilan yang berwenang memutuskan adalah pengadilan yang

41

(42)

daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan atau kantor pusat debitur menjalankan profesi atau usahanya di wilayah Negara Republik Indonesia. 4. Dalam hal debitur merupakan badan hukum, tempat kedudukannya adalah

sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasarnya.

Pasal 224 ayat (2) UUK-PKPU menentukan bahwa dalam hal pemohon adalah debitur, permohonan PKPU harus disertai daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang debitur beserta surat bukti secukupnya. Pasal 224 ayat (3) UUK-PKPU menyatakan, dalam hal pemohon adalah kreditur, pengadilan wajib memanggil debitur melalui juru sita dengan surat kilat tercatat paling lambat tujuh hari sebelum sidang. Selanjutnya, Pasal 224 ayat (4) UUK-PKPU menyatakan, pada saat sidang sebagaimana dimaksud ayat (3), debitur mengajukan daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang debitur beserta surat bukti secukupnya dan, bila ada rencana perdamaian.

Daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang debitur beserta surat bukti secukupnya sebagaimana yang dikatakan Pasal 224 ayat (2) dan Pasal 224 ayat (4) harus dipenuhi. Hal ini perlu dilakukan agar dari surat-surat tersebut dapat diketahui apakah ada harapan bahwa debitur di kemudian hari dapat memuaskan kreditur-krediturnya. Disamping itu informasi mengenai nama dan tempat kedudukan atau domisili para kreditur diperlukan untuk dilakukan pemanggilan kreditur.42

Pasal 224 ayat (5) UUK-PKPU menyatakan, pada surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilampirkan rencana perdamaian

42

(43)

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222. Klausula dapat disini berarti tidak diwajibkan untuk melampirkan rencana perdamaian pada surat permohonan. Namun seyogianya apabila pengajuan permohonan PKPU sekaligus dilampirkan rencana perdamaian, agar para kreditur dapat mengambil sikap untuk menerima atau menolak permohonan PKPU tersebut, sebagaimana tujuan dari PKPU adalah untuk mencapai perdamaian.43 Ketentuan sebagaimanan dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), menurut Pasal 224 ayat (6) UUK-PKPU berlaku mutatis mutandis sebagai tata cara pengajuan permohonan PKPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Permohonan PKPU tersebut dapat diajukan oleh debitur baik sebelum permohonan pernyataan pailit diajukan maupun setelah permohonan pernyataan pailit diajukan. Hal ini sehubungan dengan ketentuan Pasal 222 jo Pasal 229 ayat (4) UUK-PKPU.44 Dalam hal permohonan PKPU yang diajukan setelah Pengadilan Niaga menerima permohonan pernyataan pailit, maka dapat terjadi kemungkinan:45

1. Permohonan pernyataan pailit telah diterima oleh Pengadilan Niaga tetapi belum diperiksa, dan sementara permohonan pernyataan pailit itu belum diperiksa, Pengadilan Niaga menerima pula permohonan PKPU dari debitur atau dari kreditur yang bukan pemohon kepailitan.

2. Permohonan pernyataan pailit telah diterima oleh pengadilan niaga, dan sementara permohonan pernyataan pailit sedang diperiksa oleh pengadilan

43

Ibid.,hlm.341. 44

Ibid., hlm. 338 45

(44)

niaga, debitur atau kreditur (yang bukan pemohon kepailitan) mengajukan PKPU.

Sesuai ketentuan Pasal 229 ayat (3) UUK-PKPU, dalam hal terjadi keadaan tersebut, maka permohonan PKPU harus diperiksa terlebih dahulu sebelum permohonan pernyataan pailit. Apabila permohonan pernyataan pailit sedang diperiksa dan kemudian diajukan permohonan PKPU oleh debitur atau salah satu kreditur yang bukan pemohon, maka pemeriksaan permohonan pailit tersebut harus ditunda.

D.PKPU Sementara dan PKPU Tetap.

1. PKPU sementara

PKPU sementara merupakan tahap pertama dari proses PKPU. Sebagaimana diatur dalam UUK-PKPU, dalam hal permohonan PKPU diajukan oleh debitur, Pengadilan dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari sejak tanggal pendaftaran surat permohonan harus mengabulkan PKPU sementara, dan harus menunjuk seorang hakim pengawas dari hakim pengadilan serta mengangkat 1 (satu) atau lebih pengurus yang bersama dengan debitur mengurus hartanya. Dalam hal permohonan PKPU diajukan oleh kreditur, pengadilan dalam jangka waktu paling lambat 20 hari sejak tanggal pendaftaran surat permohonan harus mengabulkan permohonan PKPU sementara, dan harus menunjuk seorang hakim pengawas dari hakim pengadilan serta mengangkat 1 (satu) atau lebih pengurus yang bersama dengan debitur mengurus hartanya46.

46

(45)

Segera setelah putusan PKPU sementara diucapkan, Pengadilan melalui pengurus wajib memanggil debitur kreditur yang dikenal dengan surat tercatat atau memalui kurir, untuk menghadap dalam sidang yang diselenggarakan paling lama pada hari ke-45 (empat puluh lima) terhitung sejak putusan PKPU sementara diucapkan.47 Apabila debitur tidak hadir dalam sidang tersebut, maka PKPU sementara berakhir dan Pengadilan wajib menyatakan debitur pailit dalam sidang yang sama.48

Pembaharuan yang dilakukan oleh UUK-PKPU terhadap Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 dalam PKPU adalah tentang jangka waktu, yaitu mengenai jangka waktu 3 (tiga) hari apabila permohonan PKPU diajukan oleh debitur dan 20 (dua puluh) hari apabila permohonan PKPU diajukan oleh kreditur, dalam hal pengabulan permohonan PKPU sementara.49

Selain itu ditegaskan, bila debitur yang tidak hadir dalam sidang PKPU sementara, maka Pengadilan wajib menyatakan debitur pailit. Ketentuan ini juga tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998.50

Sutan Remy berpendapat bahwa merupakan kepentingan semua pihak agar Pengadilan Niaga secepatnya memberikan PKPU sementara agar segera terjadi keadaan yang diam (stay atau standstill) sehingga kesepakatan yang dicapai antara debitur dan para krediturnya tentang rencana perdamaian betul-betul efektif. Tepat sekali didalam Pasal 225 ayat (2) dan ayat (3) ditentukan batas waktu bagi Pengadilan Niaga untuk mengabulkan PKPU sementara, yaitu tiga hari atau dua

47

Pasal 225 ayat (4) UUK-PKPU. 48

Pasal 225 ayat (5) UUK-PKPU. 49

Sunarmi, Op.Cit.,hlm. 206. 50

(46)

puluh hari sejak tanggal didaftarkan surat permohonan tersebut. Sepanjang debitur telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Pasal 222 dan Pasal 224 UUK-PKPU, Pengadilan Niaga akan memeberikan PKPU sementara sebelum pada akhirnya memberikan PKPU tetap, yaitu setelah dilakukan pemeriksaan sebagaimana mestinya.51

Putusan PKPU sementara yang dimaksud, menurut Pasal 227 UUK-PKPU berlaku semenjak tanggal putusan PKPU tersebut diucapkan sampai dengan tanggal sidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226 ayat (1) diselenggarakan. Sedangkan dari ketentuan Pasal 230 UUK-PKPU dapat diketahui bahwa jangka waktu PKPU sementara berakhir karena hal-hal berikut:

a. Kreditur tidak menyetujui pemberian PKPU tetap, atau

b. Pada saat batas waktu perpanjangan PKPU telah sampai, ternyata antara debitur dan kreditur belum tercapai persetujuan rencana perdamaian. Dari ketentuan Pasal 227 PKPU yang dihubungkan dengan Pasal 230 UUK-PKPU, dapat disimpulkan bahwa selama dalam rangka memperoleh putusan mengenai PKPU tetap, PKPU sementara terus berlaku.52

2. PKPU tetap

Pada hari sidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226 ayat (1) UUK-PKPU, Pengadilan Niaga harus mendengar debitur, hakim pengawas, pengurus dan kreditur yang hadir, wakilnya atau kuasanya yang ditunjuk berdasarkan surat

51

Sutan Remy Sjahdeni, Op.Cit .hlm. 343. 52

(47)

kuasa.53 Dalam sidang tersebut, setiap kreditur berhak untuk hadir walaupun yang bersangkutan tidak menerima panggilan untuk itu.54

Apabila rencana perdamaian dilampirkan dalam permohonan PKPU sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 ayat (2) UUK-PKPU atau telah disampaikan oleh debitur sebelum sidang, maka pemungutan suara tentang rencana perdamaian dapat dilakukan, jika ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 267 telah terpenuhi.55 Pasal 228 ayat (2) UUK-PKPU memberikan kemungkinan bagi debitur untuk menyerahkan rencana perdamaian tidak bersamaan dengan diajukannya surat permohonan penundaan tetapi sebelum sidang berlangsung. Dengan demikian harus diperhatikan bahwa menurut Pasal 228 ayat (3) UUK-PKPU rencana perdamaian itu harus telah diserahkan oleh debitur sebelum sidang dimulai.

Bukan hal yang mustahil debitur belum siap menyerahkan rencana perdamaian sebelum sidang dimulai dan baru menyerahkannya setelah sidang berlangsung, baik pada sidang pertama maupun pada sidang-sidang berikutnya. Rencana perdamaian merupakan dasar dan bahan pertimbangan yang paling utama bagi para kreditur dan bagi hakim untuk menentukan sikap mengenai pengajuan PKPU. Tanpa adanya rencana perdamaian, tidak mungkin bagi kreditur maupun bagi hakim untuk menentukan sikap apakah pengajuan PKPU tersebut layak untuk dikabulkan atau seharusnya ditolak. Mengingat hal yang demikian, maka seyogianya debitur mengajukan rencana perdamaian selama pemeriksaan permohonan PKPU berlangsung di Pengadilan, namun dengan ketentuan sebelum

53

Pasal 228 ayat (1) UUK-PKPU. 54

Pasal 228 ayat (2) UUK-PKPU. 55

(48)

sidang pengumuman putusan hakim atas pengajuan PKPU tersebut. Namun demikian yang terbaik adalah, seyogianya hakim pada sidang hari pertama memerintahkan kepada debitur untuk menyerahkan rencana perdamaian sebelum sidang kedua, misalnya selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang kedua agar para kreditur dapat mempelajari rencana perdamaian tersebut.56

Pasal 228 ayat (3) UUK-PKPU menentukan pemungutan suara tentang rencana perdamaian dapat dilakukan jika ketentuan dalam Pasal 267 UUK-PKPU telah terpenuhi. Pasal 267 UUK-PKPU sebagaimana dirujuk Pasal 228 ayat (3) UUK-PKPU, ternyata tidak tepat. Mungkin salah penulisannya. Rujukan yang tepat adalah Pasal 268 UUK-PKPU.57 Bila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268 UUK-PKPU tidak dipenuhi atau jika kreditur belum dapat memberikan suara mereka mengenai rencana perdamaian, maka sesuai Pasal 228 ayat (4) UUK-PKPU, atas permintaan debitur, para kreditur harus menentukan pemberian atau penolakan PKPU tetap dengan maksud untuk memungkinkan debitur, pengurus dan kreditur untuk mempertimbangkan dan menyetujui perdamaian pada rapat atau sidang yang diadakan selanjutnya. Menurut ketentuan penjelasan Pasal 228 ayat (4) UUK-PKPU, yang dimaksud dengan “kreditur” adalah baik kreditur konkuren, separatis, maupun kreditur lain yang didahulukan.

Bila PKPU tetap tidak dapat ditetapkan oleh pengadilan, maka dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 225 ayat (4) UUK-PKPU, debitur dinyatakan pailit.58 Apabila PKPU tetap disetujui, PKPU tersebut berikut perpanjangannya tidak boleh melebihi 270 (dua ratus tujuh puluh) hari terhitung

56

Sutan Remy, Op.Cit., hlm. 350. 57

Ibid.,hlm. 350-351. 58

(49)

sejak putusan PKPU sementara diucapkan.59 Menurut penjelasan Pasal 228 ayat (6) UUK-PKPU, yang berhak untuk menentukan apakah kepada debitur akan diberikan PKPU tetap adalah kreditur konkuren, sedangkan pengadilan hanya berwenang menetapkan berdasarkan persetujuan kreditur konkuren.

Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) tetap berbeda dengan pengertian jangka waktu rescheduling utang sebagaimana istilah itu dikenal dalam industri perbankan. Jangka waktu 270 hari itu adalah jangka waktu bagi debitur dan para krediturnya untuk merundingkan perdamaian diantara mereka. Sebagai hasil perdamaian, yang harus dicapai dalam jangka waktu itu, mungkin saja dihasilkan perdamaian untuk memberikan rescheduling bagi utang debitur untuk jangka waktu yang panjang, misalnya sampai lima atau delapan tahun. Dengan demikian, masa PKPU tidak melebih dari 270 hari itu adalah jangka waktu bagi tercapainya perdamaian antara debitur dan para kreditur atas rencana perdamaian yang diajukan debitur. Apabila dalam jangka waktu waktu PKPU tersebut, yang tidak boleh diberikan oleh Pengadilan Niaga lebih dari 270 hari termasuk perpanjangan waktunya, ternyata dicapai perdamaian antara debitur dan para kreditur kokuren untuk memberikan masa rescheduling misalnya selama delapan tahun, maka artinya masa pelunasan utang-utang debitur kepada para kreditur adalah delapan tahun, bukan 270 hari.60

Pemberian PKPU tetap berikut perpanjangannya menurut ketentuan Pasal 229 ayat (1) ditetapkan oleh Pengadilan Niaga berdasarkan:61

59

Pasal 228 ayat (6) UUK-PKPU. 60

Sutan Remy, Op.Cit.,hlm. 352. 61

(50)

1. Persetujuan lebih dari ½ (satu perdua) dari jumlah kreditur konkuren (tidak termasuk kreditur preferen) yang haknya diakui atau sementara diakui yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau sementara diakui dari kreditur konkuren atau kuasanya yang hadir dalam sidang tersebut; dan

2. Persetujuan lebih dari ½ (satu perdua) jumlah kreditur yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotik, atau hak agunan atas kebendaan lainnya (kreditur preferen) yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan kreditur atau kuasanya yang dalam sidang tersebut.

Pasal 229 ayat (2) UUK-PKPU menyatakan, apabila timbul perselisihan antara pengurus dan kreditur konkuren tentang hak suara kreditur, maka penyelesaian atas perselisihan itu harus diputuskan oleh hakim pengawas.

Berdasarkan ketentuan Pasal 229 ayat (1) UUK-PKPU itu, pada hakikatnya PKPU tetap diberikan oleh para kreditur dan bukan oleh Pengadilan Niaga. Dengan kata lain, PKPU tetap diberikan berdasarkan kesepakatan antara debitur dan para krediturnya mengenai rencana perdamaian yang diajukan oleh debitur. Pengadilan Niaga hanya memberikan putusan pengesahan atau konfirmasi saja atas kesepakatan antara debitur dan para kreditur konkurennya tersebut. Menurut tujuan Pasal 229 UUK-PKPU tersebut, tidak dibenarkan bagi pengadilan niaga untuk mengeluarkan putusan yang tidak sesuai dengan kehendak atau kesepakatan debitur dan para krediturnya.62

62

(51)

Apabila jangka waktu PKPU sementara berakhir, karena kreditur tidak menyetujui pemberian PKPU tetap atau perpanjangannya sudah diberikan, tetapi sampai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 228 ayat (6) yaitu 270 (dua ratus tujuh puluh) hari belum tercapai persetujuan mengenai rencana perdamaian, maka pengurus pada hari berakhirnya waktu tersebut wajib memberitahukan hal itu melalui hakim pengawas kepada pengadilan niaga yang harus menyatakan debitur pailit paling lambat pada hari berikutnya. Dalam hal ini, pengurus wajib mengumumkan kepailitan tersebut dalam surat kabar harian dimana permohonan PKPU sementara diumumkan berdasarkan Pasal 226.63

Persetujuan terhadap rencana perdamaian harus dicapai paling lambat pada hari ke 270, sedangkan pengesahan perdamaian dapat diberikan sesudahnya.64 Bagi debitur, hal ini merupakan konsekuensi dari ketentuan Pasal ini, yang menentukan bahwa dalam hal permohonan PKPU tetap ditolak maka Pengadilan Naiaga harus menyatakan debitur pailit. Seimbang dengan hal tersebut, maka apabila permohonan PKPU tetap dikabulkan, kreditur yang tidak menyetujuinya juga tidak lagi dapat mengajukan upaya hukum kasasi.65

63

Pasal 230 UUK-PKPU. 64

Penjelasan Pasal 230 ayat (1)UUK-PKPU. 65

(52)

BAB III

ASAS PEMBUKTIAN SECARA SEDERHANA DALAM UU NO 37 TAHUN 2004

Hukum acara pada Pengadilan Niaga atau hukum acara kepailitan adalah hukum formil yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan atau penerapan hukum materiil dalam perkara pailit dan perkara PKPU. Dengan kata lain, hukum acara Pengadilan Niaga adalah hukum yang mengatur dan menjamin pelaksanaan hukum materiil. UUK-PKPU selain memuat hukum materiil juga memuat hukum formal/hukum acara. Apabila dalam UUK-PKPU tidak diatur hukum acara maka berlakulah hukum acara perdata , baik yang diatur dalam HIR/RBg, maupun Rv.

Mekanisme dan prosedur beracara di Pengadilan Niaga, sepanjang diatur dalam UUK-PKPU, maka diberlakukanlah ketentuan tersebut. Namun apabila tidak diatur, dapat diberlakukan hukum acara perdata sebagaimana diatur dalam HIR/RBg dan Rv. Hal ini sesuai dengan Pasal 299 UUK-PKPU yang menyatakan “Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini maka Hukum Acara yang berlaku adalah Hukum Acara Perdata.” Dengan demikian, berlaku juga asas Lex

Spesialis Derogat Legi Generalis.

A.Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata

Hukum

Referensi

Dokumen terkait

Selaras dengan amanah dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan sebagai tindak lanjut dari Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun

Fulgensius., 2015, Pengaruh Ekstrak Etanol Herba Putri Malu (Mimosa Pudica L.) pada Histologi Organ Mencit Betina sebagai Penunjang Uji Toksisitas Subkronis,

Goods menegaskan bahwa negara yang mengakui agama dan sekolah agama, maka pendidikan moral di sekolah diajarkan melauli pendidikan moral di sekolah diajarkan

Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Kilpatricik, Swafford, dan Findell, 2001: 16 (dalam Hudiono, 2007: 57) yang menyatakan bahwa siswa dikatakan

Siti Rahayu (1985), menyatakan bahwa anak dan menyatakan bahwa anak dan permainan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Jumirah, dkk (2007) pada anak sekolah dasar di Desa Namo Gajah Kecamatan Medan Tuntungan bahwa

Persamaan dasar ( governing equation ) fluida ideal dalam formulasi Lagrange telah digunakan oleh Grimshaw (1981)[3] untuk menurunkan persamaan Korteweg-de Vries (KdV) bagi

Ta je podudarnost teza o “obi č nosti” kulture ovdje postavljena tek kao metonimija jer je na zna č ajnije veze i otvorena pitanja koja doti č u problem marksisti č kih