• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Maslahah dalam Dunia Bisnis dengan Sistem Franchise (waralaba)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konsep Maslahah dalam Dunia Bisnis dengan Sistem Franchise (waralaba)"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP MASLAHAH MURSALAH DALAM DUNIA BISNIS

DENGAN SISTEM FRANCHISE (WARALABA)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Islam

Oleh :

SITI MUSROFAH

NIM: 100046219663

KONSENTRASI ASURANSI SYARIAH

PROGRAM STUDI MUAMALAH (EKONOMI ISLAM)

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

KONSEP MASLAHAH MURSALAH DALAM DUNIA BISNIS

DENGAN SISTEM FRANCHISE (WARALABA)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Islam

Oleh:

Siti Musrofah NIM: 100046219663

Di Bawah Bimbingan

DR. Ahmad Sudirman Abbas, MA NIP: 150 294 051

KONSENTRASI ASURANSI SYARIAH

PROGRAM STUDI MUAMALAH (EKONOMI ISLAM)

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

PENGESAHAN PANITIA SIDANG

Skripsi yang berjudul “Konsep Maslahah Mursalah Dalam Dunia Bisnis Dengan Sistem Franchise (Waralaba)” telah diujikan dalam sidang Munaqasah Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah pada tanggal 13 Maret 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S1) pada Program Studi Muamalat (Ekonomi Islam) Konsentrasi Asuransi Syariah.

Jakarta, Maret 2008 Mengetahui

Dekan Fak. Syariah Dan Hukum

Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH, MA, MM

NIP: 150 210 442

Panitia Ujian Munaqasah

Ketua : Euis Amalia, M.Ag (____________________)

NIP: 150 289 264

Sekretaris : Ah. Azharuddin Lathif, M. Ag (____________________) NIP: 150 318 308

Pembimbing : DR. Ahmad Sudirman Abbas, MA (____________________) NIP: 150 294 051

Penguji I : Dra. Hj. Halimah Ismail (____________________) NIP: 150 220 554

Penguji II : Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido, MA (____________________) NIP: 150 165 267

(4)

ﻢﻴﺣﺮﻟا

ﻦﻤﺣﺮﻟا

ﷲا

ﻢﺴﺑ

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, dengan segala kepasrahan dan kerendahan hati, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada baginda Rasulullah SAW, keluarga dan para sahabatnya yang telah menjadi jalan bagi umatnya dalam menempuh keselamatan dan kebahagiaan dengan berbagai ilmu pengetahuan yang benar.

Skripsi ini berjudul ”Konsep Maslahah Mursaalah Dalam Dunia Bisnis Dengan Sistem Franchise (Waralaba)”. Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah syarat dan gelar Sarjana Ekonomi Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Jurusan Asuransi Syariah, UIN Syarif Hidayatullah.

Penulis menyadari bahwa muatan skripsi ini masih jauh dari sempurna, baik penyusunan, penulisan maupun isinya. Hal tersebut dikarenakan keterbatasan pengetahuan, pengalaman dan kemampuan yang penulis miliki. Oleh karena itu, saran dan kritik menuju perbaikan sangat penulis harapkan.

(5)

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah.

2. Ibu Euis Amalia M. Ag dan Bapak Ah. Azharuddin Lathif, M. Ag selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Muamalat Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syahid.

3. Bapak Dr. A. Sudirman Abbas, MA selaku pembimbing yang saya merasa begitu beruntung atas bimbingan dan kepercayaan yang beliau berikan. 4. Keluarga tercinta HM. Hasanuddin, ayahanda dan ibunda Kaspinah,

terima kasih atas kesabaran tiada batas, sujud dan bakti ananda selalu till the end. Segala dorongan, semangat, nasehat dan cinta kasih sayang with

the unique way yang diberikan dengan tulus dan ikhlas akan menjadi

anugerah yang sangat berharga dan tak ternilai dalam diri penulis. Ananda persembahkan ”karya” ini sebagai bukti ketulusan dan bakti ananda. 5. My Beloved Brother and Sister, Ka Haji Subki my hero, thanks for always

be there for me in my rainy days. Ka Syam and Bunda you’re my second

parents for me, thanks for love and care. Ka Ukung my “kangkung”

thanks for everything you gave to me, it mean so much for me. Teh Ijah

dan Ka Rizal, Si keluarga ceriwis yang selalu membangkitkan semangat.

Teh Engkom The Iron Woman, suka duka pernah kita lalui bersama,

nobody knows me better than U sis, love U always. Teh Ipit dan Ka

(6)

sister!. Jalal and Bati, adik tercinta yang pasti suatu saat bisa belajar dari

sekelilingnya.

6. My Lovely and Funny Nephews, Zahra, Handzola, Farghali, Ahmad

Deedat, Nayla Qanita, Tasya Hanifa, Salma Humaira, Fairuz El-Fida, Najma Tsaqifa, Qisthi Reva, Moh Faqih Nurizal, Akmal Abdullah Azzam, Syabbul Ghazy, Aisyah Maulida Kamila, dan keponakan-keponakan ku yang belum lahir. Bibi will always love you all.

7. Untuk sahabat yang selalu setia mendampingi for better or worst D-Echi

and Ka Fika, Lulun, Dian and Sunny, I_One & Central Group Komputer, Amira Dan semua angkatan 2000 yang telah mengisi hari-hari, Yuyun, Puput, Umi, Rizha, Reza, Irfan, Rusdi (alm), ka Nunik, ka Sabeth, ka Wardah, dan semua yang tidak bisa disebut satu persatu.

Harapan penulis, semoga semua pihak yang telah berjasa membantu dalam menyelesaikan studi dan skripsi ini mendapatkan balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT, amin….

Jakarta, Rabiul Awal 1429 H Maret 2008 M

(7)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN... i

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan ... 8

D. Metode Penelitian ... 9

E. Sistematika Pembahasan... 10

BAB II GAMBARAN UMUM MASLAHAH MURSALAH A. Pengertian dan Macam-macam Maslahah ... 12

B. Syarat dan Kedudukan Maslahah Mursalah ... 24

C. Lapangan dan Contoh Penggunaan Maslahah Mursalah... 27

D. Pendapat Para Ulama Tentang Maslahah Mursalah ... 33

BAB III PEMBAHASAN KONSEP FRANCHISE SECARA UMUM A. Pengertian Waralaba... 36

B. Sejarah Waralaba ... 39

C. Tinjauan Umum Mengenai Bisnis ... 43

(8)

E. Jenis-jenis Perjanjian Dalam Bisnis Franchise ... 48

BAB IV MASLAHAH MURSALAH DAN

SISTEM WARALABA

a. Urgensi. ... 54 b. Analisis Penulis... 69

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 70 B. Saran ... 72

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum Islam adalah suatu peraturan (syariat) yang diturunkan Allah SWT untuk kemaslahatan umat manusia agar dapat hidup tenang, damai, tentram dan bahagia baik di dunia maupun diakherat.

Allah SWT dengan rahmat-Nya tidak meninggalkan manusia dalam kegelapan. Dia mengutus para Rasul-Nya diberbagai bangsa dan sepanjang waktu untuk menjelaskan dan menunjukkan kepada umat jalan yang ma’ruf dan jalan yang munkar, yang benar dan yang salah. Semua ajaran secara bertahap dibawa oleh para Rasul-Nya saling memperkuat hingga ajaran terakhir yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW.

(10)

Kebahagiaan hakiki adalah kebahagiaan paripurna yang universal. Kebahagiaan abadi yang meliputi kebahagiaan jasmani dan ruhani, kebahagiaan pribadi dan masyarakat, kebahagiaan ketika hidup di dunia dan di akherat nanti.

Semua upaya dan cara untuk mencapai kepuasan itu adalah maslahah.

Mempertahankan, memelihara dan menungkatkan mutunya juga merupakan

maslahah. Oleh karena itu, ajaran yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW yang

berupa syariat Islam adalah agama yang berorientasi pada kemaslahatan.

Maslahah itu berupa rahmat, karena itu dia mendatangkan kedamaian dan

kebahagiaan. Seperti dalam al-Quran Surat Yunus/10: 57-58:

Artinya: “Hai manusia sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah dengan karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”

(11)

Ketika nabi Muhammad SAW wafat pada tahun 362 M, beliau telah menyampaikan al-Quran secara keseluruhandan telah menjelaskan kandungannya sesuai dengan kebutuhan umat pada saat itu.

Dengan demikian cukuplah al-Quran dan Sunnah nabi Muhammad SAW yang menjadi pegangan masyarakat menyangkut kehidupan keseharian mereka. Akan tetapi, bagi masyarakat yang jauh dari nabi, tentu situasi demikian merupakan suatu hal yang sulit. Untuk itu Rasulullah SAW mengizinkan orang yang mempunyai kemampuan berijtihad untuk melakukan ijtihad.

Bila kita kembali membuka lembaran sejarah, sejak semula hukum Islam telah dihadapkan pada proses perkembangan pemikiran manusia dalam rangka mencari metode baru demi meningkatkan kesejahteraan hidupnya.

Perubahan menuju perkembangan, banyak menimbulkan permasalahan baru dalam segala bidang, terutama bidang sosial, budaya, sains dan teknologi, yang dulunya belum terfikirkan oleh mujtahid-mujtahid kita, sekarang sudah bermunculan.

Yusuf Qardhawi mengatakan “Kondisi masyarakat selalu berubah dan berkembang, dan selama itu syariat Islam masih cocok disetiap waktu dan tempat serta masih harus menetapkan hukum setiap perkara manusia, terutama zaman sekarang ini, ijtihad lebih dibutuhkan bila dibandingkan zaman sebelumnya.”1

Sebagaimana kita ketahui, bahwa pada dasarnya hukum Islam itu hanya bersumber dari al-Quran dan al-Hadits. Namun, setelah Islam semakin

1

(12)

berkembang, maka timbullah berbagai macam istilah-istilah dalam penggalian hukum Islam (metode istinbath) yang dimunculkan oleh para mujtahid, sehingga dikenallah istilah sebagai hukum primer dan hukum sekunder. Hukum primer yaitu hukum-hukum yang telah disepakati oleh jumhur ulama (quran, sunnah,

ijma, dan qiyas), dan sumber hukum sekunder, yaitu sumber-sumber hukum yang masih diperselisihkan pemakaiannya dalam menetapkan hukum Islam oleh para ulama (al-istihsān, al-maslahah mursalah, al-urf, al-istishāb, madzahib shahabi, dan asy-syar’u man qablana).

Salah satu dari sumber hukum sekunder dalam Islam akan dibahas secara lebih detail, yaitu maslahah mursalah. Secara umum maslahah mursalah adalah hukum yang ditetapkan karena tuntutan maslahah yang tidak didukung maupun diabaikan oleh dalil khusus, tetapi masih sesuai dengan maqashid syari’ah

ammah (tujuan umum hukum Islam).

Maslahah mursalah merupakan jalan yang ditempuh hukum Islam untuk

menerapkan kaidah-kaidah dan perintah-Nya terhadap peristiwa baru yang tidak

ada nashnya. Disamping itu, maslahah mursalah juga menjadi jalan dalam

menetapkan aturan yang harus ada dalam perjalanan hidup umat manusia, agar

sesuai dengan maqashid syariah ammah (pemeliharan terhadap agama, jiwa, akal,

keturunan dan harta), dan satu perbuatan yang pada intinya untuk memelihara

kelima aspek tujuan syara tersebut, maka dinamakan maslahah.

(13)

maslahah mursalah dari sisi muamalahnya (dalam hal ini lebih ditekankan lagi pada kegiatan bisnis/entrepreneurship).

Berbisnis, termasuk dalam kegiatan wirausaha. Jiwa kewirausahaan

sebenarnya telah ada pada suri tauladan Nabi Muhammad SAW. Pada waktu

beliau masih kecil, Rasul bekerja menjadi seorang pengembala kambing demi

menjaga kehormatan dan harga dirinya agar tidak menjadi beban bagi orang lain.

Pada saat usia beliau 12 tahun, beliau melakukan perjalanan ke Syiria bersama

Abu Thalib, disinilah beliau banyak belajar mengenai bisnis perdagangan dari

pamannya, hingga akhirnya beliau berdagang sendiri ke kota Mekkah demi untuk

memberi nafkah keluarga besar pamannya.

Aktivitas bisnis kian berlanjut meskipun Rasul tidak memiliki modal

sendiri, ternyata beliau mendapatkan modal dari orang-orang kaya di kota

Mekkah yang tidak sanggup memutar uangnya, sehingga mereka memberi dana

tersebut kepada Rasul untuk dikelola berdasarkan prinsip kemitraan dengan

sistem profit sharing (bagi hasil), seperti yang pernah dilakukan Siti Khadijah.

Hubungan kemitraan yang terjadi saat itu sangat sederhana dan dapat

dengan mudah dipraktikkan di masyarakat. Namun seiring dengan perkembangan

zaman yang semakin hari semakin canggih dan modern, sistem perdagangan

menjadi lebih kompleks lagi. Misalnya bisnis dengan sistem E-Commerce dan

Franchising (waralaba) yang pada masa Rasul tentu saja tidak ada.

(14)

intelektual atas penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan sistem imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut, dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang dan jasa, dimana pemberi waralaba lazim disebut Franchisor, dan penerima waralaba disebut Franchisee.

Konsep waralaba muncul sejak 200 SM. Saat itu, seorang pengusaha Cina

memperkenalkan konsep rangkaian toko untuk mendistribusikan produk makanan

tertentu. Pada era modern, waralaba berkembang di Amerika Serikat pada tahun

1863 yang dilakukan oleh penjahit SINGER dan kemudian diikuti Coca Cola

pada tahun 1899.

Sedangkan di Indonesia sendiri, waralaba mulai berkembang pada tahun 1950-an dengan munculnya dealer kendaraan bermotor melalui pembelian lisensi (menjadi agen tunggal pemilik merk). Pada awal perkembangan bisnis waralaba di Indonesia yang bergerak di bidang fast food, yaitu restoran cepat saji yang sangat terkenal KFC.

Seiring dengan berjalannya waktu, bisnis waralaba di tanah air kian bergairah dengan berkembangnya keinginan masyarakat untuk mencari peluang usaha baru. Tak hanya bisnis waralaba lokal seperti Ayam Bakar Wong Solo dan Es Teler 77, bahkan waralaba mancanegara pun semakin marak seperti KFC, Mc Donalds, Hoka-Hoka Bento dan lain sebagainya.

Franchise tidak hanya menjamur pada segmen food and beverages, namun

(15)

book store, furniture, salon dan kecantikan, kosmetika, gym dan kesehatan dan

masih banyak lagi.

Melihat fenomena inilah penulis sangat tertarik untuk meyelami lebih

dalam lagi tentang franchising dan manfaatnya bagi peluang usaha di bumi

pertiwi dengan mengaitkannya pada konsep syariah untuk menganalisis apakah

franchising membawa banyak manfaat bagi umat dan menuangkannya dalam

bentuk penulisan skripsi dengan tema “Konsep Maslahah Mursalah Dalam Dunia

Bisnis Dengan Sistem Franchise (Waralaba)”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya,

dan agar permasalahan tidak melebar dalam penulisan skripsi ini, maka saya

batasi dalam konsep Maslahah Mursalah dalam masalah-masalah ekonomi dan

bisnis kontemporer, masalah-masalah yang terkait dengan konsep bisnis dengan

sistem waralaba,dan bisnis dengan sistem waralaba yang sesuai dengan Maslahah

Mursalah dalam Ushul Fiqh.

Dari pembatasan masalah tersebut, maka dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Sejauhmanakah konsep Maslahah Mursalah dapat dijadikan hujjah dalam penyelesaian masalah-masalah ekonomi dan bisnis kontemporer?

(16)

3. dan, apakah sistem waralaba sesuai dengan Maslahah Mursalah dalam Ushul Fiqh?

C. Tujuan Dan Kegunaan Penulisan

Tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah untuk menggambarkan dan

memberikan penjelasan kepada masyarakat mengenai alternatif memulai bisnis

dengan sistem copy and develop yang dicontohkan oleh usaha waralaba dan

banyak sekali sisi positif/ maslahah yang dapat dipetik dari usaha waralaba ini.

Penulisan skripsi ini juga merupakan wujud dari tanggung jawab penulis

pada Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Muamalah dalam rangka

memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1)

Ekonomi Islam.

Adapun kegunaan dari penulisan ini adalah:

1. Secara akademis, untuk menambah khazanah pengetahuan dibidang ekonomi, khususnya ekonomi kontemporer seperti waralaba, memberi informasi lebih tentang Maslahah Mursalah dalam Ushul Fiqh yang dapat menjadi hujjah

dalam penyelesaian masalah-masalah ekonomi dan bisnis kontemporer.

2. Secara praktis, dapat digunakan sebagai informasi dan sumber ilmu pengetahuan tentang pemahaman waralaba dilihat dari sudut pandang islam melalui konsep Maslahah Mursalah dalam Ushul Fiqh dan manfaat apa saja yang bisa diambil.

(17)

Metode yang digunakan dalam pencarian data adalah penelitian kepustakaan (library research) yang bersifat deskriptif analisis. Dengan cara membaca buku-buku, terutama Ushul Fiqh, baik yang langsung maupun tidak langsung membicarakan maslahah mursalah, dan tentu saja buku-buku yang membahas tentang franchise, serta sumber lain yang ada kaitannya dengan pembahasan ini.

Analisis dan pegolahan data dilakukan melalui metode deskriptif, dimana data-data yang diperoleh dipaparkan lalu diinterpretasikan dan dianalisis. Dengan demikian dapat menarik suatu kesimpulan bahwa maslahah mursalah ini dapat dipakai sebagai salah satu sumber hukum Islam yang sangat efektif dalam menyikapi perkembangan dan perubahan yang terjadi, dimana perubahan dan perkembangan ini memerlukan kepastian hukum yang mungkin belum ada nashnya, baik didalam al-Quran maupun al-Hadits.

Dan secara umum hukum Islam tetap aktual dalam menghadapi segala macam perubahan dan problematika hidup sebagai akibat dari perkembangan hidup manusia dari masa ke masa, dalam arti bahwa hukum Islam tetap cocok dan sesuai dengan segala zaman dan semua tempat, musaayiran likulli zamaan wa shaalihan likulli makaan.

Adapun teknik penulisan dalam skripsi ini, penulis menggunakan pedoman penulisan skripsi fakultas syariah dan hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan menggunakan EYD.

(18)

Dalam penulisan skripsi yang berjudul “Konsep Maslahah Mursalah Dalam Dunia Bisnis Dengan Sistem Franchise (waralaba)”, dipergunakan sistematika pembahasan yang terdiri dari lima bab, yang masing-masing tersusun sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan

F. Latar Belakang Masalah

G. Pembatasan Dan Perumusan Masalah H. Tujuan Dan Kegunaan Penulisan I. Metode Penelitian

J. Sistematika Pembahasan

BAB II : Gambaran Umum Maslahah Mursalah E. Pengertian dan Macam-macam Maslahah F. Syarat dan Kedudukan Maslahah Mursalah

G. Lapangan dan Contoh Penggunaan Maslahah Mursalah H. Pendapat Para Ulama Tentang Maslahah Mursalah

BAB III : Pembahasan Konsep Franchise Secara Umum F. Pengertian waralaba

G. Sejarah waralaba

H. Tinjauan Umum Mengenai Bisnis

(19)

BAB IV : Maslahah Mursalah dan Sistem Waralaba A. Urgensi

B. Analisis Penulis

BAB V : Penutup

(20)
[image:20.612.111.531.127.508.2]

BAB II

GAMBARAN UMUM

AL-MASLAHAH AL-MURSALAH

A. Pengertian dan macam-macam al-Maslahah

1. Pengertian

Secara etimologis term “Maslahah Mursalah” terdiri atas dua suku kata, yaitu maslahah dan mursalah.

Maslahah berasal dari kata حﻼ dengan penambahan “alif” diawalnya,

yang secara arti kata berarti “baik” lawan kata dari “buruk” atau “rusak”. Ia adalah mashdar dengan arti kata shalāh yaitu “manfaat” atau “terlepas dari padanya kerusakan.”2

Kata maslahah inipun telah menjadi bahasa Indonesia yang berarti “Sesuatu yang mendatangkan kebaikan“.3 Adapun pengertian maslahah dalam bahasa Arab berarti “perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia“. Dalam arti yang umum adalah segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkan seperti menghasilkan keuntungan atau ketenangan; atau dalam arti menolak atau menghindarkan seperti

2

PROF. DR. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet I, Jilid II, hal. 323

3

(21)

menolak kemudharatan atau kerusakan. Jadi, setiap yang mengandung manfaat patut disebut maslahah.4

Sedangkan kata mursalah merupakan bentuk isim maf’ul dari kata :

arsala-yursilu-irsal; artinya: ‘adam at-taqyid (tidak terikat); atau berarti: al-mutlaqah (bebas atau lepas).5

Kemudian maslahah secara terminologi, terdapat beberapa definisi yang dikemukakan ulama Ushul Fiqh, tetapi seluruh definisi tersebut mengandung esensi yang sama.

Imam Ghazali, misalnya, mengemukakan bahwa pada prinsipnya

maslahah sama dengan “Sesuatu yang mendatangkan manfaat (keuntungan) dan

menjauhkan mudharat (kerusakan),6 namun hakikat dari maslahah adalah memelihara tujuan syara“. Sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia, karena kemaslahatan manusia tidak selamanya didasarkan kepada kehendak syariat tetapi sering didasarkan kepada kehendak hawa nafsu, misalnya, di zaman jahiliyah para wanita tidak mendapatkan bagian harta warisan yang menurut mereka hal tersebut mengandung kemaslahatan dan sesuai dengan adat istiadat mereka, tetapi pandangan ini tidak sejalan dengan kehendak syara’, karenanya tidak dinamakan maslahah. Oleh sebab itu, menurut Imam al-Ghazali, yang

4

Op. Cit. hal. 324 5

Drs. H. Ahmad Mukri Aji, MA., Pandangan al-Ghazali Tentang Maslahah Mursalah, Jurnal Ahkam, IV, 08, (Jakarta: 2002), hal. 38

6

(22)

dijadikan patokan dalam menentukan kemaslahatan itu adalah kehendak dan tujuan syara’, bukan kehendak dan tujuan manusia.

Tujuan syara’ yang harus dipelihara tersebut ada lima bentuk, yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Apabila seseorang melakukan suatu perbuatan yang pada intinya untuk memelihara ke lima aspek tujuan syara’ tersebut maka dinamakan maslahah.

Dalam kaitan dengan ini, al-Syatibi mengartikan maslahah itu dari dua pandangan, yaitu dari segi terjadinya maslahah dalam kenyataan dan dari segi tergantungnya tuntutan syara’ kepada maslahah.

a. Dari segi terjadinya maslahah dalam kenyataan, berarti sesuatu yang kembali kepada tegaknya kehidupan manusia, sempurna hidupnya, tercapai apa yang dikehendaki oleh sifat syahwati dan aklinya secara mutlak.

b. Dari segi tergantungnya tuntutan syara’ kepada maslahah, yaitu kemaslahatan yang merupakan tujuan dari penetapan hukum syara’. Untuk menghasilkannya Allah menuntut manusia untuk berbuat.

Dari beberapa definisi tentang maslahah dengan rumusan yang berbeda tersebut dapat disimpulkan bahwa maslahah itu adalah sesuatu yang dipandang baik oleh akal sehat karena mendatangkan kebaikan dan menghindarkan kerusakan pada manusia, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.

Dari kesimpulan tersebut terlihat adanya perbedaan antara maslahah

dalam pengertian bahasa (umum) dengan maslahah dalam pengertian hukum atau

(23)

Maslahah dalam pengertian bahasa merujuk kepada tujuan pemenuhan kebutuhan manusia dan karenanya mengandung pengertian untuk mengikuti syahwat dan hawa nafsu. Sedangkan pada maslahah dalam artian syara’ yang menjadi titik bahasan dalam Ushul Fiqh, yang selalu menjadi ukuran dan rujukannya adalah tujuan syara’ yaitu memelihara agama, akal, keturunan, dan harta benda, tanpa melepaskan tujuan pemenuhan kebutuhan manusia yaitu mendapatkan kebahagiaan dan menjauhkan dari kesengsaraan.

Pada perkembangan selanjutnya penggunaan term maslahah mursalah telah terjadi perbedaan di kalangan ulama Ushul Fiqh. Sebagian ulama ada yang menyebutkan dengan istilah: al-Munāsib al-Mursal, al-Istidlāl Mursal,

al-Qiyas al-Maslahi, sedangkan Imam al-Ghazali menyebutnya dengan nama “

al-Istishlāh “.7

2. Macam-macam al-Maslahah

Maslahah dalam artian syara’ bukan hanya didasarkan pada pertimbangan akal dalam menilai baik buruknya sesuatu, bukan pula dapat mendatangkan kenikmatan dan menghindarkan kerusakan; tetapi lebih jauh dari itu, yaitu bahwa apa yang dianggap baik oleh akal juga harus sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum yaitu memelihara lima prinsip pokok kehidupan.

Kekuatan maslahah dapat dilihat dari segi tujuan syara’ dalam menetapkan hukum, yang berkaitan –secara langsung atau tidak langsung- dengan lima prinsip pokok kehidupan bagi kehidupan manusia, yaitu: agama, jiwa, akal,

7

(24)

keturunan dan harta. Juga dapat dilihat dari segi tingkat kebutuhan dan tuntutan kehidupan manusia kepada lima hal tersebut.8

Pertama, dari segi kekuatannya sebagai hujjah dalam menetapkan hukum, maslahah ada tiga macam, yaitu:

a. Maslahah Dharuriyah, adalah kemaslahatan yang keberadaanya sangat

dibutuhkan oleh kehidupan manusia; artinya, kehidupan manusia tidak ada apa-apa bila satu saja dari prinsip yang lima itu tidak ada. Segala usaha yang secara langsung menjamin atau menuju pada keberadaan lima prinsip tersebut adalah baik atau maslahah dalam tingkat dharuri.

Memeluk agama adalah hak dan fitrah individu setiap manusia yang tidak dapat dipungkiri dan sangat dibutuhkan oleh umat manusia. Untuk kebutuhan tersebut Allah mensyariatkan agama yang wajib di pelihara oleh umat manusia, baik yang berkaitan dengan aqidah, ibadah dan muamalah.

Hak hidup juga merupakan hak paling asasi bagi setiap manusia. Dalam hal ini adalah kemaslahatan, keselamatan jiwa dan kehidupan manusia, Allah telah mensyariatkan berbagai hukum yang terkait dengan hidup dan penghidupan manusia, seperti melarang membunuh untuk memelihara jiwa dengan adanya hukuman qishash.

Demikian pula halnya akal, wajib untuk dipelihara dan dijaga, karena merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Oleh sebab itu Allah melarang meminum minuman keras, karena minuman keras dapat merusak akal dan hidup manusia.

8

(25)

Berketurunan juga merupakan masalah pokok bagi manusia dalam rangka memelihara kelangsungan umat manusia di muka bumi, oleh karena itu Allah mensyariatkan nikah dengan segala hak dan kewajiban yang diakibatkannya dan melarang berzina untuk memelihara keturunan.

Kemudian harta, hal ini pun merupakan sesuatu yang pokok dalam hidup dan penghidupan manusia. Dan untuk mendapatkannya Allah mensyariatkan berbagai ketentuan dan untuk memelihara seseorang. Allah mensyariatkan hukuman bagi kejahatan yang dilakukan manusia seperti mencuri dan merampok.

b. Maslahah al-hājiyah, adalah kemaslahatan yang tingkat kehidupan manusia kepadanya tidak berada pada tingkat dharuri. Bentuk kemaslahatannya tidak secara langsung bagi pemenuhan kebutuhan pokok yang lima (dharuri), tetapi secara tidak langsung menuju kearah sana, seperti dalam hal yang memberi kemudahan bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia.

Seperti dalam bidang ibadah, orang yang sedang sakit atau dalam perjalanan jauh (musafir) dalam bulan Ramadhan, diberi keringanan/

rukhshah oleh syariat untuk tidak berpuasa dengan kewajiban mengganti

puasa yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain setelah ia sembuh atau setelah kembali dari perjalanannya.

Firman Allah dalam Quran Surat al-Baqarah/ 2:184:

...

(26)

Artinya: “...Dan siapa saja diantara kamu yang sakit atau sedang dalam perjalanan (musafir) hendaklah ia berpuasa di hari-hari yang lain....”

Dalam bidang muamalah diperbolehkan berburu binatang dan memakan makanan yang baik-baik, dibolehkan melakukan jual beli pesanan (Bay’ al-Salam), kerjasama dalam pertanian (muzāra’ah) dan perkebunan (musāqah). Semuanya ini disyariatkan oleh Allah untuk mendukung kebutuhan mendasar al-Mashalih al-Khamsah diatas.

c. Maslahah Tahsiniyah, adalah maslahah yang kebutuhan hidup manusia

kepadanya tidak sampai pada tingkat dharuri, juga tidak sampai pada tingkat

hajiyah, namun kebutuhan tersebut perlu dipenuhi dalam rangka memberi

kesempurnaan dan keindahan bagi hidup manusia. Maslahah dalam bentuk tahsini tersebut, juga berkaitan dengan lima kebutuhan pokok manusia.

Dalam masalah ibadah misalnya, disyariatkan bersih atau memelihara kebersihan, menutup aurat, berhias dan berbagai hal yang baik lainnya. Dalam lapangan kemanusiaan, telah disyariatkan pula prinsip mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan kebaikan-kebaikan yang dianjurkan berupa sedekah dan amalan baik lainnya. Dalam dunia keluarga, telah ditetapkan masalah-masalah kafa’ah dalam memilih pasangan hidup dan juga etika pergaulan antara keduanya. Dalam bidang muamalah, Islam menganjurkan agar orang tidak melakukan jual beli benda-benda yang najis, benda-benda yang kotor yang merusak kesehatan.

(27)

kemudian maslahah hajiyah, dan berikutnya adalah maslahah tahsiniyah.

Dharuriyah yang lima itu juga berbeda tingkat kekuatannya, yang secara

berurutan adalah; agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Perbedaan tingkat kekuatan ini terlihat bila terjadi perbenturan kepentingan antara sesamanya, dalam hal ini harus didahulukan dharuri atas haji dan didahulukan haji atas

tahsini.

Kedua, dari segi kandungan maslahah, ulama Ushul Fiqh membaginya kepada dua bagian, yaitu:9

a. Maslahah al-Ammah, yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut

kepentingan orang banyak. Kemaslahatan umum itu tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas umat.

b. Maslahah al-khashshah, yaitu kemaslahatan pribadi dan ini sangat jarang sekali, seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang (mafqud).

Ketiga, dari segi eksistensinya/ keberadaan maslahah menurut syara’

terbagi kepada tiga macam, yaitu:10

a. Maslahah al-Mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang terdapat nash secara tegas menjelaskan dan mengakui keberadaannya, dengan kata lain kemaslahatan yang diakui syar’i secara tegas dengan dalil yang khusus baik langsung

9

Wahidul Kahhar, Efektivitas Maslahah Mursalah Dalam Penetapan Hukum Syara, (Thesis, Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta: 2003), hal. 23

10

(28)

mupun tidak langsung yang memberikan petunjuk pada adanya maslahah

yang menjadi alasan dalam menetapkan hukum.

Dari langsung tidak langsungnya petunjuk (dalil) terhadap maslahah

tersebut, maslahah terbagi dua, yaitu:11

Munaasib mu’atstsir, yaitu ada petunjuk langsung dari pembuat

hukum (Syari’) yang memperhatikan maslahah tersebut. Contoh dalil yang menunjuk langsung kepada maslahah ialah tidak baiknya “mendekati” perempuan yang sedang haid dengan alasan itu adalah penyakit. Hal ini disebut maslahah karena menjauhkan diri dari kerusakan atau penyakit. Alasan adanya “penyakit” itu yang dikaitkan dengan larangan mendekati perempuan, disebut munaasib. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah dalam Quran Surat al-Baqarah/ 2: 222:

...

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah bahwa haid itu adalah penyakit; oleh karenanya jauhilah perempuan yang sedang haid....” (Q.S.al-Baqarah/ 2: 222)

Munāsib Mula’im, yaitu tidak ada petunjuk langsung dari syara’ baik dalam bentuk nash atau ijma’ tentang perhatian syara’ terhadap maslahah

tersebut, namun secara tidak langsung ada. Maksudnya, meskipun syara’

secara langsung tidak menetapkan suatu keadaan menjadi alasan untuk

11

(29)

menetapkan hukum yang disebutkan, namun ada petunjuk syara’ bahwa keadaan itulah yang ditetapkan syara’ sebagai alasan untuk hukum yang sejenis. Contohnya; Berlanjutnya perwalian ayah terhadap anak gadisnya dengan alasan anak gadisnya itu “belum dewasa“. “Belum dewasa“ ini menjadi alasan bagi hukum yang sejenis dengan perwalian dalam harta milik anak kecil.

b. Maslahah al-Mulghah, yaitu maslahah yang berlawanan dengan ketentuan

nash. Dengan kata lain, maslahah yang tertolak karena ada dalil yang

menunjukkan bahwa ia bertentangan dengan ketentuan dalil yang jelas.

Contoh yang sering diangkat oleh ulama Ushul Fiqh yaitu menyamakan pembagian harta warisan antara perempuan dengan saudara laki-lakinya. Penyamaan antara seorang perempuan dengan laki-laki tentang warisan memang terlihat ada kemaslahatannya, tetapi berlawanan dengan ketentuan nash yang jelas dan rinci, sebagaimana firman Allah dalam Quran Surat an-Nisaa’/4: 11

...

Artinya: “Untuk anak-anak kamu Allah telah menetapkan bagi kamu (tentang pembagian harta pusaka), yaitu bagi seorang anak laki-laki sama dengan dua orang anak perempuan....” (Q.S. an-Nisaa/ 4: 11)

(30)

seorang anak laki-laki sama bagiannya dengan anak perempuan, dengan alasan ingin menciptakan kemaslahatan. Penyamaan anak laki-laki dengan anak perempuan, dengan kemaslahatan seperti inilah yang disebut dengan

Maslahah al- Mulghah, karena bertentangan dengan nash yang sharih.

c. Maslahah al-Mursalah, yang juga biasa disebut Istishlah, yaitu maslahah

yang secara eksplisit tidak ada satu dalil pun, baik yang mengakuinya maupun yang menolaknya. Secara lebih tegas maslahah mursalah ini termasuk jenis

maslahah yang didiamkan oleh nash. maslahah mursalah ini terus tumbuh

dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat Islam yang dipengaruhi oleh perbedaan kondisi dan tempat.

Ada beberapa rumusan definisi yang berbeda tentang maslahah

mursalah ini, namun masing-masing memiliki kesamaan dan berdekatan

pengertiannya. Diantara definisi tersebut adalah:12

1. Al-Ghazali dalam kitab al-Mustasyfa merumuskan maslahah sebagai berikut:

“Apa-apa (maslahah) yang tidak ada bukti baginya dari syara’ dalam bentuk nash tertentu yang membatalkannya dan tidak ada yang memperhatikannya.”

2. Abdul Wahab Khallaf memberi rumusan berikut:

“Maslahah Mursalah adalah maslahah yang tidak ada dalil syara’ datang untuk mengakuinya atau menolaknya.”

12

(31)

3. Muhammad Abu Zahrah memberi rumusan sebagai berikut

“Maslahah yang selaras dengan tujuan syariat islam dan petunjuk tertentu yang membuktikan tentang pengakuannya atau penolakannya.”

Dari beberapa rumusan definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan tentang hakikat dari maslahah mursalah tersebut, sebagai berikut:

a. Ia adalah sesuatu yang baik menurut akal dengan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan atau menghindarkan keburukan bagi manusia. b. Apa yang baik menurut akal itu, juga selaras dan sejalan dengan tujuan

syara’ dalam menetapkan hukum.

c. Apa yang baik menurut akal dan selaras pula dengan tujuan syara’

tersebut tidak ada petunjuk syara’ secara khusus yang menolaknya, juga tidak ada petunjuk syara’ yang mengetahuinya.

Maslahah mursalah tersebut dalam beberapa literatur disebut dengan “maslahah muthlaqah”, ada pula yang menyebutnya “munasib mursal”, juga ada yang menamainya dengan “al-Istishlah”. Perbedaan penamaan ini tidak membawa perbedaan pada hakikat pengertiannya.

B. Syarat-syarat al-Maslahah al-Mursalah

Ulama dalam memakai dan mempergunakan maslahah mursalah sebagai

(32)

hawa nafsu dan keinginan perorangan, bila tidak ada batasan-batasan yang benar dalam memperggunakannya. Adapun syarat-syarat tersebut antara lain:13

1. Berupa maslahah yang sebenarnya, bukan maslahah yang bersifat dugaan. Yang dimaksud dengan ini, yaitu agar dapat direalisasi pembentukan hukum suatu kejadian itu dan dapat mendatangkan keuntungan, manfaat atau menolak mudharat. Adapun dugaan semata bahwa pembentukan hukum itu mendatangkan keuntungan-keuntungan tanpa pertimbangan diantara

maslahah yang dapat didatangkan oleh pembentukan hukum itu, maka ini berarti adalah didasarkan atas maslahah yang bersifat dugaan, contoh maslahah ini

adalah maslahah yang didengar dalam hal merampas hak suami untuk

menceraikan istrinya, dan menjadikan hak menjatuhkan talak itu bagi hakim (qadhi) saja dalam segala keadaan.

2. Berupa maslahah yang bersifat umum, bukan maslahah yang bersifat perseorangan. Yang dimaksud dengan ini, yaitu agar dapat direalisasi bahwa dalam pembentukan ukuran suatu kejadian dapat mendatangkan manfaatkan kepada umat manusia, atau dapat menolak mudharat dari mereka dan bukan hanya memberikan manfaat kepada seseorang atau beberapa orang saja. Apabila demikian maka hal tersebut tidak dapat disyariatkan sebagai sebuah hukum.

3. Pembentukan hukum bagi maslahah ini tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang telah ditetapkan oleh nash atau ijma’ dalam artian bahwa

13

(33)

maslahah tersebut adalah maslahah yang hakiki dan selalu berjalan dengan tujuan syara’ serta tidak berbenturan dengan dalil-dalil syara’ yang telah ada.

4. Maslahah mursalah itu diamalkan dalam kondisi yang memerlukan, yang

seandainya masalahnya tidak diselesaikan dengan cara ini, maka umat akan berada dalam kesulitan hidup, dalam arti harus ditempuh untuk menghindarkan umat dari kesulitan.

Imam Ghazali, dalam mempergunakan pemakaian maslahah mursalah

sebagai salah satu metode penetapan hukum, beliau tidak begitu saja mempergunakannya dengan mudah, namun beliau memakai syarat-syarat yang begitu ketat. Syarat-syarat tersebut antara lain:14

1. Maslahah itu haruslah satu dari lima kebutuhan pokok. Apabila hanya

kebutuhan kedua atau pelengkap maka tidak dapat dijadikan landasan.

2. Maslahah itu haruslah bersifat semesta, yakni kemaslahatan kaum muslimin

secara utuh, bukan hanya sebagian orang atau hanya relevan dalam keadaan tertentu.

3. Maslahah tersebut harus bersifat qath’I (pasti) atau mendekati itu.

Sedangkan syarat-syarat maslahah mursalah menurut asy-Syatibi adalah sebagai berikut:15

1. Maslahah itu secara hakiki harus masuk akal.

14

Dr. Yusuf Qardhawi, Keluwesan Dan Keluasan Syariat Islam: Dalam Menghadapi Perubahan Zaman, (Jakarta: Pustaka Firdaus, Agustus, 1996), Cet I, hal. 24

15

(34)

2. Maslahah itu harus sejalan dengan tujuan-tujuan umum syariat, tidak bertentangan dengan salah satu prinsip pokok atau dalil qath’I nya.

3. Maslahah itu dimaksudkan untuk menjaga hal-hal yang bersifat dharuri atau menghilangkan kesulitan dalam agama.

Selanjutnya Imam Malik juga memiliki versi tersendiri dalam mempergunakan maslahah mursalah sebagai salah satu metode penetapan hukum, syarat-syarat tersebut antara lain:16

1. Adanya kesesuaian antara maslahah yang diperhatikan dengan maqashid

syariah, dimana maslahah tersebut tidak bertentangan dengan dasar dan dalil

syara’ meskipun hanya satu.

2. Maslahah tersebut berkaitan dengan perkara-perkara yang ma’qulat (rasional)

yang menurut syara’ didasarkan kepada pemeliharaan terhadap maslahat,

sehungga tidak ada tempat untuk maslahat dalam masalah ta’abuddiyyah dan

perkara-perkara syara yang sepertinya.

3. Hasil dari maslahah mursalah dikembalikan kepada pemeliharaan terhadap

perkara yang dharuri (primer) menurut syara’ dan meniadakan kesempitan

dalam agama.

Bila kita perhatikan persyaratan diatas terlihat bahwa ulama yang

memakai dan menggunakan maslahah mursalah dalam berhujjah cukup

berhati-hati dalam menggunakannya, karena meski bagaimanapun juga apa yang

16

(35)

dilakukan ulama ini adalah keberanian menetapkan dalam hal-hal yang pada

waktu itu tidak ditemukan petunjuk hukum.

C. Lapangan dan Contoh Penggunaan al-Maslahah al-Mursalah

Tidak seorang pun yang menyangkal bahwa syariat Islam itu dimaksudkan untuk kemaslahatan umat manusia. Syariat itu membawa manusia kepada kebaikan dan kebahagiaan serta mencegah kejahatan dan menolak kebinasaan.

Pokok dan prinsip kemaslahatan itu sudah digariskan dalam teks syariat dengan lengkap dan telah berakhir sejak wafat Nabi Muhammad SAW. Alat dan cara untuk memperoleh kemaslahatan itu berkembang dan beraneka ragam, seirama dengan perkembangan sejarah dan peradaban manusia itu sendiri. Kemaslahatan hidup manusia yang ada hubungannya dengan situasi dan kondisi di zaman Nabi, langsung mendapat pengakuan dan pengesahan dari teks syariat kalau itu dibenarkan, dan dibatalkan kalau tidak dibenarkan. Maslahah yang dibatalkan berarti tidak dianggap sebagai maslahat oleh syariah.17

Yang menjadi masalah adalah kemaslahatan yang dirasakan atau dialami

orang setelah Nabi wafat, sedangkan teks syariat tidak pernah menyinggung

masalah yang seperti itu. Inilah lapangan penggunaan maslahah mursalah yaitu

kemaslahatan hidup manusia menurut yang dialami dan dirasakan oleh manusia

17

(36)

itu sendiri yang tidak dapat diqiyaskan pada maslahat yang pernah dibenarkan

atau dibatalkan oleh teks syariat (nash).18

Lapangan atau ruang lingkup penerapan maslahah mursalah menurut ulama yang menggunakannya itu menetapkan batas wilayah penggunaannya, yaitu hanya untuk masalah diluar wilayah ibadah, seperti muamalah dan adat. Dalam masalah ibadah (dalam arti khusus) sama sekali maslahah tidak dapat dipergunakan secara keseluruhan. Alasannya karena maslahah itu didasarkan pada pertimbangan akal tentang baik buruk suatu masalah, sedangkan akal tidak dapat melakukan hal itu untuk masalah ibadah.

Segala bentuk perbuatan ibadah ta’abuddi dan tawqifi, artinya kita hanya mengikuti secara apa adanya sesuai dengan petunjuk syar’i dalam nash, dan akal sama sekali tidak dapat mengetahui kenapa demikian. Misalnya mengenai shalat dhuhur empat rakaat dan dilakukan setelah tergelincir matahari, tidak dapat dinilai akal apakah itu baik atau buruk.

Diluar wilayah ibadah, meskipun diantaranya ada yang tidak dapat diketahui alasan hukumnya, namun secara umum bersifat ta’aqquli (rasional) dan oleh karenanya dapat dinilai baik dan buruknya oleh akal. Umpamanya minum

khamr itu adalah buruk karena merusak akal; penetapan sanksi atas pelanggar

18

(37)

hukum itu baik karena dengan begitu umat bebas dari kerusakan akal yang dapat mengarah pada tindak kekerasan.19

Adapun contoh-contoh penggunaan maslahah mursalah antara lain:

Sahabat Utsman bin Affan mengumpulkan al-Quran kedalam beberapa

mushaf. Padahal hal ini tak pernah dilakukan dimasa Rasulullah SAW. Alasan

yang mendorong mereka malakukan pengumpulan pengumpulan itu tidak lain kecuali semata-mata maslahat, yaitu menjaga al-Quran dari kepunahan atau kehilangan kemutawatirannya karena meninggalnya sejumlah besar hafidz dari generasi sahabat.20

Perbuatan para sahabat memilih dan mengangkat Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai khalifah pertama pengganti nabi untuk memimpin umat dalam meneruskan tugas imamah dan da’wah, menjaga, mengembangkan dan mempertahankan berlakunya syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Seorang khalifah sangat dibutuhkan pada saat itu, dan ini merupakan suatu maslahat yang sangat besar, namun hal ini tidak ditemukan dalil khusus dari teks syariat yang membenarkan atau menyuruh atau membatalkannya (melarang).

Selanjutnya jika kita bisa memperhatikan produk-produk hukum para Ulama saat ini, maka akan didapatkan bahwa produk-produk hukum tersebut banyak dilandasi pertimbangan maslahah mursalah, seperti fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia, misalnya, fatwa tentang keharusan “sertifikat halal” bagi

19

Amir Syarifuddin, Op. Cit., hal. 340, Lihat pula: Drs. H. Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, Permasalahan dan Fleksibilitasnya, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hal. 154; Departemen Agama RI, Ushul Fiqh I (t. th,), Cet II, hal. 149

20

(38)

produk makanan, minuman dan kosmetik. Majalis Ulama Indonesia melalui lembaga pengkajian pangan, obat-obatan dan kosmetik (LP-POM MUI) berupaya melakukan penelitian terhadap produk makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetik yang diproduksi oleh suatu pabrik untuk dipasarkan. Hal yang seperti ini tidak pernah ada teks nash yang menyinggungnya secara langsung, namun dilihat dari ruh syariat sangat baik sekali dan hal ini merupakan langkah positif dalam melindungi umat manusia (khususnya umat Islam) dari makanan, minuman, obat-obatan serta kosmetika yang tidak halal untuk dikonsumsi, dan masih banyak lagi hal yang lainnya.21

Begitu pula dengan hal bunga bank, tidak disebutkan hukumnya dalam al-Quran dan al-Hadits. Mayoritas ulama menetapkan bunga bank itu haram untuk mengqiyaskan kepada riba karena menurut mereka unsur tambahan yang menjadi

illat haramnya riba juga terdapat pada bunga bank.

Dalam kehidupan modern sekarang ini, bank sudah merupakan suatu hal yang sangat dibutuhkan masyarakat. Bank dengan segala konsekuensinya telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat modern yang tidak mungkin dipisahkan lagi. Praktek perbankan yang ada sekarang ini dapat menjadi sarana tolong menolong sesama umat manusia karena hampir semua masyarakat modern saat ini berkepentingan dengan bank, baik untuk menjadi meminjam uang, menabung, membayar rekening listrik, telepon, uang kuliah, transfer uang, bahkan untuk mengirimkan bantuan berupa uang untuk korban-korban

21

(39)

bencana alam yang akhir-akhir ini saring menimpa negara kita. Dan hampir semua orang telah merasakan manfaat dalam berhubungan dengan bank. Mereka yang meminjam uang merasa mendapatkan kemudahan dari bank, demikian juga mereka yang mempunyai uang, dapat menabung di bank dan mendapatkan keuntungan yang wajar berupa bunga dari uang tabungannya dan tentu saja, rasa aman.

Kalaupun ada sebagian umat yang merasa kurang nyaman dengan bank konvensional dengan bunganya, masih ada jalan keluarnya, yaitu bank syariah yang saat ini mulai menjamur dan menjadikan bagi hasil sebagai pengganti bunga, dengan segala fasilitas yang tidak kalah lengkap dengan bank konvensional.

Jelasnya, baik meminjam uang dari bank maupun menabung di bank, orang merasa senang dan merasakan manfaatnya. Demikian juga sebaliknya, bank pun mendapatkan manfaat baik dalam memberikan pinjaman uang ataupun dalam menerima tabungan uang dari nasabahnya.

(40)

Dalam keadaan demikian, fuqaha meninggalkan hukum yang dihasilkan oleh qiyas dan menetapkan hukum lain dengan menggunakan metode maslahah

mursalah. Praktek perbankan yang tidak mengandung zhulum malahan menjadi

sarana untuk saling tolong menolong sesama manusia dan hal ini sangat sesuai dengan maqashid syariah ammah.

Contoh lainnya adalah tentang kesaksian anak-anak (yang belum baligh), atas dasar kemaslahatan, kesaksian anak-anak dapat dipertimbangkan oleh hakim dalam satu perkara, walaupun tidak ada ketetapan syara’. Asy-syari’ hanya mengatakan bahwa kesaksian hanya sah dari seorang yang dewasa. Kasus-kasus penganiayaan yang terjadi dikalangan anak-anak, yang sulit mencari persaksian orang dewasa, maka dalam hal ini persaksian anak-anak dapat menjadi bahan pertimbangan.

Bila diperhatikan produk-produk hukum yang dihasilkan oleh para sahabat, tabi’in dan para Ulama itu semuanya adalah merupakan hasil ijtihad dengan pertimbangan maslahah mursalah meskipun mereka tidak menggunakan istilah tersebut.

D. Pendapat Para Ulama Tentang al-Maslahah al-Mursalah

Dalam hal penggunaan dan pemakaian mursalah mursalah sebagai dalil syariat dalam mengistinbathkan atau menetapkan hukum, maka penulis akan memaparkan pendapat para Ulama yang dibatasi pada pendapat beberapa Imam mazhab dan Ulama terkenal lainnya.

Maslahah menurut Najmuddin at-Thufi

(41)

sebagaimana yang dilakukan oleh jumhur ulama. Ada tiga prinsip yang dianut at-Thufi tentang maslahah yang menyebabkan pandangannya berbeda dengan jumhur ulama, yaitu: 22

1. Akal bebas menentukan kemaslahatan dan kemafsadatan khususnya dalam

bidang muamalah dan adat. Untuk menentukan –termasuk mengenai kemaslahatan dan kemudharataan-cukup dengan akal. Pandangan ini berbeda

dengan jumhur ulama yang mengatakan bahwa sekalipun kemaslahatan dan

kemudharatan itu dapat dicapai dengan akal, namun kemaslahatan itu harus

mendapatkan dukungan dari nash atau ijma’, baik bentuk, sifat maupun jenisnya.

2. Maslahah merupakan dalil mandiri dalam menetapkan hukum. Oleh sebab itu,

untuk kehujjahan maslahah tidak diperlukan dalil pendukung, karena maslahah itu didasarkan kepada pendapat akal semata.

3. Maslahah hanya berlaku dalam masalah muamalah dan adat kebiasaan,

adapun dalam masalah ibadah atau ukuran-ukuran yang ditetapkan syara’, seperti shalat dhuhur empat rakaat, puasa selama ramadhan satu bulan dan lain-lain, tidak termasuk objek maslahah, karena masalah-masalah seperti ini merupakan hak Allah semata.

Maslahah menurut Hasbi ash-Shiddieqy

Menurut Hasbi ash-Shiddieqy, tidak ada perselisihan dikalangan ulama bahwa penetapan-penetapan hukum (tasyri’) dimaksudkan untuk melahirkan kemaslahatan manusia, yang bersifat dharuriyat, hajiyat, maupun tahsiniyat.

22

(42)

Karena maksud hendak memberikan kemaslahatan itulah, maka ada bagian dalam fiqh yang dinamakan siyasah syar’iyyah, yakni kebijaksanaan untuk membuat masyarakat lebih dekat dan gemar kepada kebajikan serta menjauhi dan membenci keburukan dan kerusakan. Menurut Hasbi, siyaasah syar’iyyah pada hakikatnya sama dengan maslahah mursalah. Maslahah mursalah inilah yang digali melalui qiyas, kaidah umum hukum dan istihsan. Selain itu, jumhur ulama pun sepakat, bahwa yang dinashkan oleh syara’ yang didasarkan atas illat

tujuannya adalah untuk mewujudkan kemaslahatan bagi manusia. Hasbi berpendapat:

“Berhujjah dengan maslahah mursalah dan membina hukum diatasnya, adalah satu keharusan. Inilah yang sesuai dengan keumuman syariat dan dengan demikianlah hukum-hukum Islam dapat berjalan seiringan dengan masa dan inilah yang ditempuh oleh para sahabat. Menolak maslahah mursalah berarti membekukan syariat, karena aneka maslahat yang terus tumbuh tidak mudah didasarkan pada satu dalil tertentu”.23

Maslahah menurut mazhab Maliki, Hambali dan Syathibi

Ulama Malikiyah dan Hanabilah menerima maslahah mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak dan luas menerapkannya. Menurut mereka maslahah mursalah merupakan induksi dari logika sekumpulan nash, bukan dari nash yang dirinci seperti yang berlaku dalam qiyas. Bahkan Imam Syathibi mengatakan

23

(43)

bahwa keberadaan dan kualitas maslahah mursalah bersifat pasti (qath’I), sekalipun dalam penerapannya bisa bersifat zhanni (relatif).24

24

(44)

BAB III

SEPUTAR BISNIS FRANCHISE

A. Pengertian Waralaba

Kata “Franchise” berasal dari bahasa Perancis kuno yang berarti “bebas”. Pada abad pertengahan franchise diartikan sebagai “hak utama” atau “kebiasaan”, saat itu pemerintahan setempat atau lord (gelar kebangsawanan di Inggris biasanya dimiliki oleh tuan tanah setempat) memberikan hak khusus seperti untuk mengoperasikan kapal Feri atau untuk berburu tanahnya. Konsep franchise berkembang di Jerman sekitar tahun 1840-an, pada saat itu mulai diberikan hak khusus untuk menjual minuman, hal ini merupakan konsep awal dari franchising. Konsep franchise mengalami perkembangan yang sangat pesat di Amerika, pada tahun 1951 yaitu perusahaan mesin jahit Singer di Amerika mulai memberikan

distribution franchise25 untuk penjualan mesin-mesin jahit. Singer membuat

perjanjian distribution franchise secara tertulis, sehingga Singer dapat disebut sebagai pelopor dari perjanjian franchise modern. Pengertian franchise ini masih sederhana, franchise hanya dikenal sebagai pemberian hak untuk mendistribusikan produk serta menjual produk-produk hasil manufaktur.26

25

Distribution franchise adalah hak yang diperoleh franchisee untuk mendistribusikan atau menjual produk suatu produsen atau pemasok.

26

(45)

Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins, franchise berarti “hak untuk memasarkan suatu produk”. Penyerahan hak oleh suatu perusahaan kepada suatu perusahaan lain (secara eksklusif) atau pihak-pihak lain (tidak secara eksklusif) untuk memasok produknya. Suatu franchise adalah suatu perjanjian kontrak dagang dalam jangka waktu tertentu dimana yang diberi hak (franchisee) membayar royalti kepada pemberi hak atas hak dagang yang diberikan.

Menurut Hardjowidiyo, definisi franchise adalah sebagai berikut:

“….Suatu sistem usaha yang sudah khas atau memiliki ciri mengenai bisnis di perdagangan atau jasa , berupa jenis produk dan bentuk yang diusahakan, identitas perusahaan (logo, desain, merk bahkan termasuk pakaian karyawan perusahaan), rencana pemasaran dan bantuan operasional”.27

Sedangkan pengertian lainnya, franchising adalah hubungan berdasarkan kontrak antara franchisor dengan franchisee. Franchisor menawarkan dan berkewajiban menyediakan terus menerus pada bisnis dari franchisee melalui penyediaan pengetahuan dan pelayanan. Franchisee beroperasi dengan menggunakan nama dagang, format, atau prosedur yang dipunyai serta dikendalikan oleh franchisor.28

Franchise individual biasanya disyaratkan untuk menyediakan modal

yang besar pada franchisor guna mendukung bantuan teknik, peralatan khusus,

27

Lindawaty S. Sewu, Franchise; Pola Bisnis Spektakuler Dalam Perspektif Hukum dan Ekonomi, (Bandung: CV. Utomo, 2004), hal. 11

28

(46)

periklanan dan promosi. Sistem franchise membolehkan franchisor untuk membangun usahanya tanpa harus meningkatkan jumlah modal yang besar.

Kata “waralaba” merupakan terjemahan bebas dari kata franchise yang pertama kali dikenalkan oleh lembaga pendidikan dan pembinaan menajemen (LPPM) sebagai padanan kata “franchise”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, waralaba berasal dari kata “wara” yang berarti lebih atau istimewa “laba” berarti untung. Jadi, waralaba berarti usaha yang memberikan keuntungan lebih atau istimewa.29

Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 16 tahun 1997 tanggal 18 Juni 1997 tentang waralaba, dikatakan bahwa “waralaba adalah perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan dan atau penjualan dan atau jasa” (pasal 1 angka 1).30

Amir Karamoy menulis bahwa batasan pengertian pewaralabaan ialah: “Warlaba adalah suatu pola kemitraan usaha antara perusahaan yang memiliki merk dagang dikenal dan system manajemen, keuangan dan pemasaran yang telah mantap, disebut pewaralaba, dengan perusahaan atau individu yang memanfaatkan atau menggunakan merk dan system milik pewaralaba, disebut terwaralaba. Pewaralaba wajib memberikan bantuan teknis, manajemen dan

29

Ibid. hal. 12 30

(47)

pemasaran kepada terwaralaba dan sebagai imbal baliknya, terwaralaba membayar sejumlah biaya (fees) kepada pewaralaba. Hubungan kemitraan usaha antara kedua pihak dikukuhkan dalam suatu perjanjian lisensi atau waralaba”.31

Jadi yang dimaksud waralaba (franchising) adalah bentuk kerjasama dimana pemberi waralaba (franchisor) memberikan izin kepada penerima waralaba (franchisee) untuk menggunakan hak intelektualnya, seperti nama, merk dagang, produk dan jasa serta sistem operasi usahanya. Sebagai timbal baliknya, penerima waralaba membayar suatu jumlah seperti franchisee fee dan royalty fee

atau lainnya.32

B. Sejarah Waralaba

Perkembangan waralaba berkaitan erat dengan tumbuhnya revolusi industri pada akhir 1800 di Eropa barat, khususnya di Inggris. Perubahan teknologi berkembang sejalan dengan pergerakan penduduk ke kota-kota di Eropa ketika itu. Daerah perkotaan menjadi pusat industri dan bisnis yang berkembang pesat, yang kemudian mendorong tumbuhnya kelompok kelas menengah yang disebut wirausaha (entrepreneur). Revolusi mendorong pula terjadinya perubahan dalam sistem perdagangan dan distribusi barang.

The British Brewers (perusahaan pembuat bir) adalah pionir pewaralabaan modern yang dimulai di Inggris pada abad ke-19. Ada pula anggapan bahwa Isaac

31

Amir Karamoy, Menjadi Kaya Lewat Waralaba, (Jakarta, Pustaka Bisnis Indonesia, Oktober, 2005), Cet I, hal. 6

32

(48)

Singer adalah orang pertama yang menerapkan waralaba pada 1851 di Amerika Serikat. Sistem waralaba yang berkembang pada saat itu mirip dengan tipe pewaralabaan produk dan merk dagang, yaitu menggunakan tenaga penjual

independent (semacam agen) yang dibayar berdasarkan komisi. Dengan cara

tersebut dapat menjual mesin jahit produknya, Singer relatif tidak mengeluarkan modal.Pada 1898 waralaba sebagai konsep pemasaran memperoleh pengakuan yang lebih besar ketika General Motors Coorporation berhasil menjual waralabanya yang pertama. Sejak itu pewaralabaan digunakan dalam industri otomotif dan Stasiun Pompa Bensin Umum (SPBU).33

Berdasarkan fakta sejarah diduga kuat bahwa pelopor waralaba dalam pemasaran bahan bakar minyak (khususnya bensin) di Indonesia adalah PT. Permindo (sekarang Pertamina) yang dibentuk dalam rangka kebijakan nasionalisasi perusahaan minyak asing, yaitu Belanda dan Inggris (NIAM- Nederlandsche Indische Aardolie Maatschappij) pada 1959. Sampai saat ini Pertamina masih menerapkan sistem pewaralabaan produk dan merk dagang, dengan memberikan kesempatan pada investor (terwaralaba) untuk berusaha dibidang jasa SPBU secara waralaba akan semakin marak dengan diizinkannya perusahaan minyak asing membuka SPBU di pasar lokal, seperti Shell.

Pada 1950-an, setelah Perang Dunia II berakhir, dapat dikatakan sebagai periode “Franchising Booming” di Amerika Serikat. Dengan ditandai munculnya “raksasa” waralaba dalam dalam bidang makanan siap saji Kentucky Fried

33

(49)

Chicken yang didirikan Kolonel Harlan Sander’s (1950) dan McDonald’s (1955). McDonald’s kemudian berkembang pesat scara waralaba atas jasa Ray Kroc.34

Pada 1970-an regulasi waralaba mulai diterapkan di Amerika Serikat. Setiap pewaralaba diwajibkan melakukan disclosure dan pendaftaran, hampir mirip dengan peraturan tentang penjualan surat berharga (securities). Regulasi ini dibuat untuk melindungi terwaralaba dari kemungkinan praktik tidak jujur dalam penawaran (offering) waralaba oleh terwaralaba atau disebut pula unfair business practices. Disamping untuk mendidik (calon) terwaralaba agar lebih teliti dalam memilih prospek pewaralabanya.

Dari dengar pendapat yang dilakukan Small Business Commitees of US Senate dan The House of Representatives dengan dukungan industri waralaba, beberapa negara bagian di Amerika Serikat mengadopsi peraturan yang mensyaratkan pewaralaba disclosure dan pendaftaran. Pada 1979 The Federal Trade Commission melahirkan The Franchise Disclosure Act yang mewajibkan pewaralaba memuat dua puluh persyaratan untuk dicantumkan dalam prospektus penawaran waralaba.

Di Indonesia regulasi khusus mengenai waralaba baru diberlakukan pada 1997 menjelang jatuhnya Pemerintahan Orde Baru dengan keluarnya PP No. 16/ 1997. Peraturan Pemerintah ini kemudian dioperasionalkan dalam Surat Keputuan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 259/ MPP/ Kep? 7/ 1997.

34

(50)

Disamping itu Undang-Undang Nomor 9/ 1995 tentang Usaha Kecil dan PP Nomor 44/ 1977 mengenai Kemitraan, mengatur pula mengenai waralaba.35

Walaupun telah bermunculan pewaralaba lokal, seperti Es Teler 77, Indomaret dan Alfamart (toko swalayan mini), Homes 21 Realty (pialang real estate), California Fried Chicken (CFC) pada 1970-an dan 1980-an, perkembangan waralaba di Indonesia sebenarnya lebih banyak dipacu oleh McDonald’s ketika membuka gerai pertamanya di gedung Sarinah di Jakarta pada 1991.

Pertumbuhan McDonald’s di Indonesia dapat dianggap sebagai fenomena tersendiri, yang menjadi tolok ukur keberhasilan sistem waralaba di Indonesia. Tantangan bagi McDonald’s Indonesia dan usaha sejenis seperti KFC dan Wendy’s selanjutnya adalah melakukan subwaralaba dipasar lokal dan memperbanyak jumlah terwaralaba, bukan lagi company owned restaurants.

Pada awal 1990-an Pemerintah Indonesia (Departemen Perdagangan, yang kemudian diikuti oleh kantor Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah) mulai memberikan perhatian pada pewaralabaan di Indonesia. Departemen Perdagangan melihat waralaba sebagai suatu pola distribusi barang atau jasa yang efektif, sehingga perlu dibina dan dikembangkan. Strategi pembinaan waralaba lokal oleh Departemen Perdagangan belakangan diarahkan pada upaya pengembangan ekspor waralaba lokal ke pasar global. Sementara itu, kantor Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah melihat

35

(51)

waralaba sebagai salah satu model pembinaan pengusaha kecil dan menengah, melalui pola kemitraan usaha dengan pengusaha besar. Namun, program kemitraan usaha ini relatif belum berjalan baik, walaupun merupakan amanat UU Nomor 9/ 1995 tentang Usaha Kecil.

C. Tinjauan Umum Mengenai Bisnis

Kata “Bisnis” berasal dari bahasa Inggris yaitu “Business”. Bisnis dapat di definisikan sebagai “segala aktivitas dari berbagai institusi yang menghasilkan barang dan jasa yang perlu untuk kehidupan masyarakat sehari-hari”.36 Secara luas kata “bisnis” sering diartikan sebagai keseluruhan kegiatan usaha yang dijalankan oleh orang atau badan secara teratur dan terus menerus, yaitu berupa kegiatan mengadakan barang-barang atau jasa-jasa maupun fasilitas-fasilitas untuk diperjualbelikan, dipertukarkan, dan disewagunakan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan.37 Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan pengertian bisnis adalah usaha dagang, usaha komersial dalam dunia perdagangan.38

Berdasarkan pada pengertian yang telah diuraikan diatas nampak bahwa bisnis merupakan kegiatan perdagangan namun meliputi unsur yang lebih luas, yaitu pekerjaan, profesi, penghasilan, mata pencaharian, dan keuntungan.

36

M. Manullang, Pengantar Bisnis, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2002), hal. 3

37

Richard Buton Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal. 138

38

(52)
[image:52.612.113.527.151.524.2]

Gambaran mengenai bisnis dalam definisi tersebut apabila diuraikan lebih lanjut akan sebagai berikut:39

1. Bisnis merupakan suatu kegiatan yang rutin dilakukan, karena dikatakan sebagai suatu pekerjaan, mata pencaharian, bahkan suatu profesi.

2. Bisnis merupakan aktivitas dalam perdagangan.

3. Bisnis dilakukan dalam rangka memperoleh suatu keuntungan. 4. Bisnis dilakukan baik oleh perorangan maupun perusahaan.

Kegiatan mencari keuntungan ini dilakukan oleh usaha perseorangan, persekutuan, atau kerjasama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Tapi ada pula kegiatan yang tidak mencari keuntungan yaitu kegiatan yang dilakukan oleh kantor-kantor pemerintahan, rumah sakit, pemadam kebakaran dan lain sebagainya.

Jadi pengertian bisnis mencakup usaha yang dilakukan pemerintah dan swasta yang menyediakan barang dan jasa guna memenuhi kebutuhan masyarakat, baik mengejar keuntungan atau tidak. Tujuan utama kegiatan bisnis adalah mencari keuntungan, mengejar pertumbuhan, meningkatkan efisiensi, dan melindungi masyarakat (bagi kegiatan bisnis yang tidak mengejar keuntungan).40

39

Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, Op. Cit., hal. 26 40

(53)

Lingkup aktivitas bisnis sangat luas, namun pada dasarnya aktivitas tersebut terdiri dari produksi, distribusi dan konsumsi.41

1. Produksi, berarti aktivitas untuk memuaskan kebutuhan manusia. Produksi dapat dibedakan atas produksi primer, sekunder dan tersier. Produksi primer yaitu aktivitas bisnis menarik sumber daya alam yang ada dilingkungan, misalnya perikanan, orang mengambil ikan dari laut, dan pertanian, petani menanam padi dan menuai hasilnya. Pada tingkat produksi sekunder, sumber daya alam atau bahan mentah diolah atau proses menjadi barang jadi, misalnya balok kayu diubah menjadi meubel dan bijih besi diubah menjadi pipa atau lempengan besi, termasuk alat-alat dan mesin-mesin yang dibutuhkan oleh pabrikan dalam menghasilkan barang produksinya. Pada produksi tersier, umumnya yang dihasilkan sdalah jasa-jasa, misalnya perusahaan transportasi membawa produk-produk manufaktur dari pabrik ke penyalur, pedagang besar dan kecilmenyediakan jasa pendistribusian kepada pemakai akhir, transportasi udara, telekomunikasi dan pos, perumahan, perbankan, perhotelan, restoran, dan lain-lain. Termasuk jasa yang dipersiapkan oleh professional seperti dokter, guru, akuntan, dan jasa yang disediakan oleh pemerintah juga merupakan bentuk dari produksi tersier. 2. Distribusi, berarti pemindahan tempat barang dan jasa dari produsen ke

konsumen, termasuk pemindahan material dari lini permulaan ke produksi

yang meliputi penyimpanan, pengepakan, pengawasan, persediaan dan

41

(54)

transportasi kepada pemakai akhir. Dulu seorang produsen lebih suka

mendistribusikan secara langsung ke konsumen, seperti tukang susu langsung

ke rumah tangga, namun untuk saat ini sangat sedikit pendistribusian barang

secara langsung. Kebanyakan pabrikan akan sangat tergantung pada suatu

jalinan kerjasama antara pedagang besar maupun kecil agar barang-barang

yang telah di produksi sampai ke konsumen.

(55)

aktivitas ini adalah permintaan dan tenaga beli konsumen dan kesukaan mereka untuk barang dan jasa dengan tersedianya pendanaan.

D. Elemen-Elemen Pokok Dalam Bisnis Franchise

Dari pengertian yang telah dipaparkan diatas, menunjukkan bahwa

franchise pada dasarnya mengandung elemen-elemen pokok sebagai berikut: 1. Pemberi waralaba (franchisor) yaitu badan usaha atau perorangan yang

memberikan hak kepada pihak lain (franchisee) untuk memanfaatkan segala ciri khas usaha dan segala kekayaan intelektual, seperti nama, merk dagang, dan sistem usaha yang dimilikinya.

2. Penerima waralaba (franchisee) adalah badan usaha atau perorangan yang diberikan atau menerima hak untuk memanfaatkan dan menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau ciri khas usaha yang dimiliki oleh franchisor.

3. Adanya penyerahan hak-hak secara eksklusif (dalam praktik meliputi berbagai macam hak intelektual) dari franchisor kepada franchisee.

4. Adanya penetapan wilayah tertentu. Franchise area dimana franchisee

diberikan hak oleh franchisor untuk beroperasi di wilayah tertentu.

5. Adanya imbal-prestasi dari franchisee kepada franchisor yang berupa

franchisee fee, sebagai imbalan atas pemberian hak pemanfaatan dan

penggunaan hak intelektual yang dimiliki oleh franchisor yang dibayarkan hanya sekali untuk hak yang di peroleh franchisee, biasa disebut juga sebagai

(56)

yang dibayarkan oleh franchisee secara periodik kepada franchisor, biasanya secara bulanan dari besarnya omzet penjualan.

6. Adanya standar mutu yang ditetapkan oleh franchisor kepada franchisee,

biasanya tertuang dalam buku petunjuk operasional/operating manuals yang berisikan metode dalam bentuk tertulis yang lengkap untuk menjalankan bisnis franchise, serta supervise secara berkala dalam rangka mempertahankan mutu.

7. Adanya bentuk-bentuk pelatihan yang diselenggarakan oleh franchisor guna meningkatkan keterampilan yaitu pada pelatihan awal, maupun pelatihan yang berkesinambungan.

E. Jenis-Jenis Perjanjian Dalam Bisnis Franchise

Dalam bentuknya sebagai bisnis, waralaba memiliki dua jenis kegiatan: 1. Waralaba Produk dan merk dagang

2. Waralaba format bisnis

Waralaba produk dan merk dagang adalah bentuk waralaba yang paling

sederhana. Dalam waralaba produk dan merk dagang, pemberi waralaba

memberikan hak kepada penerima waralaba untuk menjual produk yang

dikembangkan oleh pemberi waralaba yang disertai dengan pemberian izin untuk

menggunakan merk dagang milik pemberi waralaba. Pemberian izin pengguanan

(57)

diwaralabakan tersebut.42 Atau franchise produk dapat diartikan bahwa pemegang

franchise mendistribusikan barang yang dibuat oleh pemilik franchise dan

memakai merk pemilik franchise. Pemilik franchise mempelajari pengendalian

penting dalam metode operasi pemegang franchise.43 Dalam bentuknya yang

sederhana ini, waralaba produk dan merk dagang sering kali mengambil bentuk

keagenan maupun distributor.

Sedangkan pengertian waralaba (franchise) format bisnis adalah pemberian sebuah lisensi oleh seseorang (franchisor) keapda pihak lain (franchisee), lisensi tersebut memberi hak kepada franchisee untuk berusaha dengan mengguanakan merk dagang/ nama dagang franchisor, dan untuk keseluruhan paket, yang terdiri dari seluruh elemen yang diperlukan untuk membuat seseorang yang sebelumnya belum terlatih dalam bisnis, dan untuk menjalankannya dengan bantuan yang terus menerus atas dasar-dasar yang telah ditentukan sebelumnya.

Format bisnis ini terdiri atas:44 1. Konsep bisnis yang mnyeluruh.

2. Sebuah proses permulaan dan pelatihan mengenai seluruh aspek pengelolaan bisnis, sesuai dengan konsep franchisor.

3. Proses bantuan dan bim

Gambar

GAMBARAN UMUM AL-MASLAHAH AL-MURSALAH
Gambaran mengenai bisnis dalam definisi tersebut apabila diuraikan lebih lanjut

Referensi

Dokumen terkait