• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Tingkat Pendidikan dan Pengetahuan Tentang Tuberkulosis Paru dengan Keteraturan Minum Obat Anti Tuberkulosis Pada Penderita Tuberkulosis Paru di Poli Paru RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Tingkat Pendidikan dan Pengetahuan Tentang Tuberkulosis Paru dengan Keteraturan Minum Obat Anti Tuberkulosis Pada Penderita Tuberkulosis Paru di Poli Paru RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2011"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN TENTANG TUBERKULOSIS PARU

DENGAN KETERATURAN MINUM OBAT ANTI TUBERKULOSIS PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI POLI PARU

RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2011

OLEH :

PUTERI WULANDARI 080100002

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN TENTANG TUBERKULOSIS PARU

DENGAN KETERATURAN MINUM OBAT ANTI TUBERKULOSIS PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI POLI PARU

RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2011

KARYA TULIS ILMIAH

OLEH :

PUTERI WULANDARI 080100002

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul: Pengaruh Tingkat Pendidikan dan Pengetahuan Tentang Tuberkulosis Paru dengan Keteraturan Minum

Obat Anti Tuberkulosis Pada Penderita Tuberkulosis Paru di Poli Paru RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2011 Nama : PUTERI WULANDARI

NIM : 080100002

Pembimbing Penguji I

dr. Soegiarto Gani, Sp.PD Prof.dr. Gontar Alamsyah Siregar,Sp.PD-KGEH NIP: 197103222005011004 NIP: 195402201980111001

Penguji II

Prof. dr. Harris Hasan, Sp. PD, Sp. JP (K) NIP: 195604051983031004

Medan, 22 Desember 2011 Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(4)

ABSTRAK

Menurut Organisasi Kesehatan Sedunia (World Health Organization (WHO, 2006)), Indonesia sebagai penyumbang Tuberkulosis (TB) terbesar pada peringkat 3 di dunia setelah India dan China dengan kasus baru sekitar 539.000 dengan angka kematian yaitu sekitar 101.000 orang setiap tahun.

Penelitian deskriptif analitik dengan desain cross-sectional ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tingkat pendidikan dan pengetahuan tentang tuberkulosis dengan keteraturan minum Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Pada bulan Januari sampai April 2011 sebanyak 1.188 orang penderita TB di Poli Paru RSUP. H. Adam Malik Medan. Berdasarkan teknik non-probability sampling yaitu teknik consecutive sampling, 90 orang responden terpilih sebagai sample. Mereka dikelompokkan dalam dua kategori tingkat pendidikan yaitu rendah dan tinggi, pengetahuan baik dan kurang. Pengetahuan tentang TB di ukur melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Pengaruh tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan tentang TB dengan keteraturan minum Obat Anti Tuberkulosis dianalisis dengan analisis statistik chi-square.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 40 orang responden mempunyai tingkat pendidikan rendah dan 50 orang dengan tingkat pendidikan tinggi. Sebanyak 28 orang responden tidak mengetahui tentang TB dan 62 orang responden mengetahui tentang TB. Berdasarkan pengelompokan pengetahuan, 34 orang responden memiliki pengetahuan kurang dan 56 orang memiliki pengetahuan yang baik.

Analisis data menggunakan uji chi square menunjukkan p value adalah 0.000 (dengan α = 0,1) dan hipotesis nol ditolak karena ada pengaruh antara tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan responden tentang TB dengan keteraturan minum Obat Anti Tuberkulosis (OAT).

(5)

ABSTRACT

According to World Health Organization (WHO, 2006), Indonesia as a donation of the biggest Tuberculosis (TB) rank 3 in the world after India and China with the approximately 539.000 new cases, the mortality rate 101.000 people yearly.

This analytical descriptive with cross-sectional design study aims to discover the influence of the level of education and knowledge about TB and the taking of Anti Tuberculosis Medication. There were 1.188 people who suffered from TB in January to April 2011 in Pulmonary Poli RSUP. H. Adam Malik Medan. Based on non-probability sampling technique i.e. consecutive sampling technique, 90 respondents were chosen as the sample. They were grouped into two categories of education level, i.e. low and high, good and less of knowledge. The knowledge about TB were measured by using a structured questionnaire interview. The regularity of taking Anti Tuberculosis Medication was analyzed using chi-square statistical analysis.

The findings shows that 40 of the respondents had low level of education and 50 with high level of education, and a total of 28 respondents did not know about TB while 62 respondents know about it. Based on the grouping of the level of knowledge, 34 respondents had less knowledge and 56 with good knowledge.

The data analysis with chi-square shows that p value was 0.000 (α = 0.1) and the hypothesis null was rejected because that was an influence between education level and knowledge about the regularity of taking Anti Tuberculosis Medication.

(6)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT., Tuhan pemilik alam semesta dan ilmu pengetahuan yang ada di dalamnya. Berkat rahmat dan karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian ini.

Proposal penelitian dengan judul “Pengaruh Tingkat Pendidikan dan Pengetahuan tentang Tuberkulosis Paru dengan Keteraturan Minum Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Pada Penderita Tuberkulosis Paru Di Poli Paru RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2011” ini dibuat dalam rangka menyelesaikan tugas akhir untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Dalam pelaksanaan penelitian ini, penulis mendapatkan banyak bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. dr. Soegiarto Gani, Sp.PD, selaku dosen pembimbing penulis. Terima kasih atas segala bimbingan, ilmu, dan waktu yang diluangkan untuk membimbing penulis.

3. Seluruh civitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, teristimewa kepada dosen dan staf departemen IKK serta staf Medical Education Unit (MEU).

4. Direktur RSUP. H. Adam Malik Medan yang telah mengizinkan peneliti untuk melakukukan pengambilan data populasi dan sampel .

(7)

6. Kedua orang tua penulis : Drs. H. Anwar Muzakir dan Dra. Hj. Fatimah Bastari. Terima kasih penulis ucapkan atas kasih sayang, dukungan, dan doa yang tiada hentinya yang telah diberikan kepada penulis.

7. Kakak-kakak penulis : Arie Mulawarman, S.STP, MM dan Ratih Enggarini, S.Farm, APT. Terima kasih untuk dukungan serta doa yang diberikan.

8. Teman-teman yang telah mendukung dan membantu penulis, Ismayani Lubis, dan teman-teman lainnya, teristimewa kepada M. Arif Habibi Nst. Terima kasih atas bantuan dalam menyelesaikan penelitian ini.

9. Anak-anak kost Pondok Aqilah, Kakanda Nina Munawaroh Damanik. Terima kasih atas bantuan dalam menyelesaikan penelitian ini.

10. Pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima kasih atas segala bantuan yang telah diberikan. Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan kalian.

Penulis menyadari laporan hasil penelitian ini masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran agar penulis dapat menjadi lebih baik untuk ke depannya kelak.

Medan, 22 Desember 2011

Penulis,

(8)

DAFTAR ISI

2.5. DOTS (Directly Observed Treatment, Shortcourse ... 24

2.6. Resistensi Obat Anti Tuberkulosis ... 26

2.6.1. Multi Drug Resistance (MDR) ... 26

(9)

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL ... 28

3.1. Kerangka Konsep ... 28

3.2. Defenisi Operasional ... 28

3.2.1. Tingkat Pendidikan ... 28

3.2.2. Pengetahuan Penderita tentang Tuberkulosis ... 29

3.2.3. Keteraturan Minum Obat Anti Tuberkulosis ... 29

5.2 Deskripsi Responden Penelitian ... 34

5.3 Hasil Penelitian ... 36

5.3.1. Deskripsi Hasil Penelitian ... 36

5.3.2. Analisa Hasil Penelitian ... 38

5.4 Pembahasan ... 38

5.4.1. Gambaran Pengetahuan ... 38

5.4.2. Gambaran Frekuensi Keteraturan Minum Obat Anti Tuberkulosis ... 40

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel Judul Tabel Halaman

Tabel 2.1 Dosis Panduan OAT KDT Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3

18

Tabel 2.2 Dosis Panduan OAT Kombipak Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3

19

Tabel 2.3 Dosis Panduan OAT KDT Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3

19

Tabel 2.4 Tabel 4. Dosis panduan OAT Kombipak Kategori2 : 2 (HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3

20

Tabel 2.5 Efek Samping Ringan dari Obat Anti Tuberkulosis(OAT)

Efek Samping Berat dari Obat Anti Tuberkulosis(OAT)

Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Penelitian

Distribusi Karakteristik Responden

Distribusi Frekuensi Dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan

Distribusi Frekuensi Dan Persentase Responden Berdasarkan Informasi Pengetahuan

Distribusi Frekuensi Dan Persentase Responden Berdasarkan Keteraturan Minum Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

(11)

Tabel 5.6 Tabulasi Tingkat Pengetahuan Responden Tentang Tuberkulosis (TB) Paru Dengan Keteraturan Minum Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

(12)

ABSTRAK

Menurut Organisasi Kesehatan Sedunia (World Health Organization (WHO, 2006)), Indonesia sebagai penyumbang Tuberkulosis (TB) terbesar pada peringkat 3 di dunia setelah India dan China dengan kasus baru sekitar 539.000 dengan angka kematian yaitu sekitar 101.000 orang setiap tahun.

Penelitian deskriptif analitik dengan desain cross-sectional ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tingkat pendidikan dan pengetahuan tentang tuberkulosis dengan keteraturan minum Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Pada bulan Januari sampai April 2011 sebanyak 1.188 orang penderita TB di Poli Paru RSUP. H. Adam Malik Medan. Berdasarkan teknik non-probability sampling yaitu teknik consecutive sampling, 90 orang responden terpilih sebagai sample. Mereka dikelompokkan dalam dua kategori tingkat pendidikan yaitu rendah dan tinggi, pengetahuan baik dan kurang. Pengetahuan tentang TB di ukur melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Pengaruh tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan tentang TB dengan keteraturan minum Obat Anti Tuberkulosis dianalisis dengan analisis statistik chi-square.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 40 orang responden mempunyai tingkat pendidikan rendah dan 50 orang dengan tingkat pendidikan tinggi. Sebanyak 28 orang responden tidak mengetahui tentang TB dan 62 orang responden mengetahui tentang TB. Berdasarkan pengelompokan pengetahuan, 34 orang responden memiliki pengetahuan kurang dan 56 orang memiliki pengetahuan yang baik.

Analisis data menggunakan uji chi square menunjukkan p value adalah 0.000 (dengan α = 0,1) dan hipotesis nol ditolak karena ada pengaruh antara tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan responden tentang TB dengan keteraturan minum Obat Anti Tuberkulosis (OAT).

(13)

ABSTRACT

According to World Health Organization (WHO, 2006), Indonesia as a donation of the biggest Tuberculosis (TB) rank 3 in the world after India and China with the approximately 539.000 new cases, the mortality rate 101.000 people yearly.

This analytical descriptive with cross-sectional design study aims to discover the influence of the level of education and knowledge about TB and the taking of Anti Tuberculosis Medication. There were 1.188 people who suffered from TB in January to April 2011 in Pulmonary Poli RSUP. H. Adam Malik Medan. Based on non-probability sampling technique i.e. consecutive sampling technique, 90 respondents were chosen as the sample. They were grouped into two categories of education level, i.e. low and high, good and less of knowledge. The knowledge about TB were measured by using a structured questionnaire interview. The regularity of taking Anti Tuberculosis Medication was analyzed using chi-square statistical analysis.

The findings shows that 40 of the respondents had low level of education and 50 with high level of education, and a total of 28 respondents did not know about TB while 62 respondents know about it. Based on the grouping of the level of knowledge, 34 respondents had less knowledge and 56 with good knowledge.

The data analysis with chi-square shows that p value was 0.000 (α = 0.1) and the hypothesis null was rejected because that was an influence between education level and knowledge about the regularity of taking Anti Tuberculosis Medication.

(14)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Infeksi ini paling sering mengenai paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Pedoman Nasional Penanggulangan TB, 2008). Penularan penyakit ini melalui perantaraan ludah atau dahak penderita yang mengandung basil tuberkulosis paru. Pada waktu penderita batuk, butir-butir air ludah beterbangan di udara dan terhisap oleh orang yang sehat dan masuk ke dalam paru-parunya yang kemudian menyebabkan penyakit tuberkulosis paru (Aditama, 1994).

Menurut WHO (World Health Organization) (1993), tuberkulosis paru (TB paru) merupakan masalah kesehatan penting di dunia saat ini. Tuberkulosis paru telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia. Sekitar 8 juta penduduk dunia diserang tuberkulosis paru dengan angka kematian 3 juta pertahun.

Menurut WHO (2006), Indonesia berada pada urutan ketiga di dunia setelah India dan China dengan jumlah kasus baru sekitar 539.000 dan jumlah kematian sekitar 101.000 pertahun. Sementara di Provinsi Sumatera Utara, angka penemuan kasus (case detection rate) diperkirakan sebesar 90%. Jadi masalah TB ini harus selalu dievaluasi untuk melihat keberhasilan pengobatan DOTS (Directly Observed Treatment Shourcourse) yang dianjurkan oleh WHO melalui pemantauan terhadap kasus-kasus baru (WHO, 2008).

(15)

Untuk itu kedisiplinan pasien dalam menjalankan pengobatan juga perlu diawasi oleh anggota keluarga terdekat yang tinggal serumah, yang setiap saat dapat mengingatkan penderita untuk minum obat. Apabila pengobatan terputus atau tidak tuntas, maka akan menyebabkan kuman kebal atau resisten terhadap obat dan akan muncul kuman yang lebih ganas, sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk penyembuhan serta menghabiskan banyak biaya untuk pengobatannya (Aditama, 1994).

Penelitian Tanjung, dkk (1995) dikecamatan Kotanopan, Tapanuli Selatan menunjukkan bahwa tingginya angka kesakitan, kekambuhan, dan kematian pada penderita TB paru disebabkan karena beberapa faktor, antara lain rendahnya penghasilan, pendidikan dan pengetahuan yang kurang, rendahnya kepatuhan berobat, tidak cocoknya paduan obat, resistensi obat, supervisi dan penyuluhan yang kurang dari petugas.

Menurut Nukman (Permatasari, 2005), faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengobatan TB paru adalah : 1) faktor sarana yang meliputi tersedianya obat yang cukup dan kontinyu, edukasi petugas kesehatan, dan pemberian OAT yang adekuat; 2) faktor penderita yang meliputi pengetahuan, kesadaran dan tekad untuk sembuh, dan kebersihan diri; 3) faktor keluarga dan lingkungan masyarakat.

Berdasarkan uraian diatas, banyak faktor yang mempengaruhi dalam keberhasilan pengobatan. Hal ini menimbulkan ketertarikan tersendiri bagi peneliti untuk meneliti pengaruh tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan penderita TB mengenai penyakit TB paru dengan keteratuan minum obat anti tuberkulosis.

1.2. Rumusan Masalah

(16)

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada pengaruh antara tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan tentang tuberkulosis paru dengan keteraturan minum obat anti tuberkulosis (OAT) pada penderita tuberkulosis paru di Poli Paru RSUP. H. Adam Malik Medan tahun 2011.

1.3.2. Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan tentang tuberkulosis paru pada penderita TB paru di Poli Paru RSUP. H. Adam Malik tahun 2011.

b. Untuk mengetahui keteraturan minum obat anti tuberkulosis (OAT) pada penderita TB di Poli Paru RSUP. H. Adam Malik tahun 2011.

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

a. Memperoleh gambaran pengaruh tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan tentang TB paru dengan keteraturan minum OAT pada penderita TB paru.

b. Meningkatkan pengetahuan penderita tentang TB paru sekaligus memberitahukan pentingnya keteraturan minum OAT.

c. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peneliti dalam bidang penelitian.

(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Pendidikan

Pendidikan adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok, atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan (Notoatmodjo, 2003).

Pendidikan terdiri dari tiga unsur, yaitu: a. Input, yaitu: sasaran pendidikan dan pendidik.

b. Proses, yaitu: upaya yang dilakukan untuk mempengaruhi orang lain. c. Output, yaitu: hasil yang diharapkan.

2.2. Pengetahuan

2.2.1. Definisi Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek, baik melalui indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba (Notoatmodjo, 2003).

2.2.2. Tingkat Pengetahuan

Pengetahuan mempunyai enam tingkatan, yaitu: a. Tahu

Tahu adalah suatu keadaan dimana seseorang dapat mengingat sesuatu yang telah dipelajari sebelumnya. Tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.

b. Paham

Paham diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang mampu menjelaskan dengan benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.

c. Aplikasi

(18)

d. Analisis

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan suatu objek ke dalam komponen-komponen yang masih dalam satu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain, misalnya mengelompokkan dan membedakan.

e. Sintesis

Sintesis adalah suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

f. Evaluasi

Evaluasi adalah suatu kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek.

2.2.3. Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2003) dalam Widianti (2007), pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

a. Pengalaman

Pengalaman dapat diperoleh dari pengalaman sendiri maupun pengalaman orang lain. Pengalaman yang diperoleh dapat memperluas pengetahuan seseorang.

b. Tingkat pendidikan

Secara umum, orang yang berpendidikan lebih tinggi akan memiliki pengetahuan yang lebih luas daripada orang yang berpendidikan lebih rendah.

c. Keyakinan

Biasanya keyakinan diperoleh secara turun-temurun, baik keyakinan yang positif maupun keyakinan yang negatif, tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu.

d. Fasilitas

(19)

e. Penghasilan

Penghasilan tidak berpengaruh secara langsung terhadap pengetahuan seseorang. Namun, jika seseorang berpenghasilan cukup besar, maka dia mampu menyediakan fasilitas yang lebih baik.

f. Sosial budaya

Kebudayaan setempat dan kebiasaan dalam keluarga dapat mempengaruhi pengetahuan, persepsi, dan sikap seseorang terhadap sesuatu.

2.3. Tuberkulosis Paru

2.3.1. Definisi Tuberkulosis Paru

Penyakit TB paru adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang mengenai paru. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Basil Tahan Asam (BTA). (Price, 2006).

2.3.2. Epidemiologi TB di Indonesia

Indonesia adalah negeri dengan prevalensi TB ke-3 tertinggi di dunia setelah China dan India. Pada tahun 1998 diperkirakan TB di China. India dan Indonesia berturut-turut 1.828.000, 1.414.000, dan 591.000 kasus. Perkiraan kejadian BTA sputum yang positif di Indonesia adalah 266.000 tahun 1998.

(20)

2.3.3. Etiologi

Penyakit tuberkulosis adalah disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis (M. tuberculosis). M. tuberculosis berbentuk batang lurus tidak berspora dan juga tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 – 0,6 mm dan panjang 1 – 4 mm.

Dinding M. tuberculosis sangat kompleks dan terdiri dari lapisan lemak yang cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel M. tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60 – C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester.

Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri M. tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam-alkohol. Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid, polisakarida dan protein. Karakteristik antigen M. tuberculosis dapat diidentifikasi dengan menggunakan antibodi monoklonal (PDPI, 2006).

2.3.4. Faktor risiko

Faktor risiko terjadinya TB dibagi menjadi faktor risiko infeksi dan faktor risiko penyakit TB.

Faktor risiko infeksi TB yang terpenting adalah pajanan terhadap orang dewasa yang infeksius. Selain itu, tempat tinggal di daerah endemis, daerah dengan prevalensi TB yang tinggi, kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat (tempat penampungan atau panti perawatan yang penuh sesak, sirkulasi udara yang tidak baik) juga merupakan faktor risiko infeksi TB.

(21)

selulernya belum berkembang sempurna. Namun risiko ini berkurang seiring pertambahan usia. Bayi < 1 tahun yang terinfeksi TB 43%-nya akan menjadi sakit TB, sedangkan anak usia 1-5 tahun yang menjadi sakit hanya 24%, usia remaja 15%, dan dewasa 5-10%.

Faktor risiko lain adalah pada penderita TB yang tidak mendapat pengobatan adekuat, keadaan imunokompromais misalnya malnutrisi, HIV, keganasan, pengobatan imunosupresi, diabetes melitus, dan gagal ginjal kronis. Untuk terpapar penyakit TB pada seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti : status sosial ekonomi, status gizi, umur, jenis kelamin.

1. Faktor Sosial Ekonomi

Disini sangat erat dengan keadaan rumah, kepadatan hunian, lingkungan perumahan, lingkungan dan sanitasi tempat bekerja yang buruk dapat memudahkan penularan TBC. Pendapatan keluarga sangat erat juga dengan penularan TBC, karena pendapatan yang kecil membuat orang tidak dapat hidup layak dengan memenuhi syarat-syarat kesehatan.

2. Status Gizi.

Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi dan lain-lain, akan mempengaruhi daya tahan tubuh sesoeranga sehingga rentan terhadap penyakit termasuk TB-Paru. Keadaan ini merupakan faktor penting yang berpengaruh dinegara miskin, baik pada orang dewasa maupun anak-anak.

3. Umur.

(22)

4. Jenis Kelamin.

Penyakit TB paru cenderung lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan perempuan. Menurut WHO, sedikitnya dalam periode setahun ada sekitar 1 juta perempuan yang meninggal akibat TB-Paru, dapat disimpulkan bahwa pada kaum perempuan lebih banyak terjadi kematian yang disebabkan oleh TB paru dibandingkan dengan akibat proses kehamilan dan persalinan. Pada jenis kelamin laki-laki penyakit ini lebih tinggi karena merokok tembakau dan minum alkohol sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh, sehingga lebih mudah terpapar dengan agent penyebab TB paru.

2.3.5. Cara penularan

Penularan TB paru dapat melalui lingkungan hidup yang sangat padat dan permukiman di wilayah perkotaan kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan berperan sekali atas peningkatan jumlah kasus TB. Proses terjadinya infeksi biasanya melalui inhalasi, sehingga TB paru merupakan manifestasi klinis yang paling sering dibanding organ lainnya. Penularan penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi basil yang mengandung droplet nuclei, khususnya yang di dapat dari pasien TB paru dengan batuk berdarah atau berdahak yang mengandung basil tahan asam (BTA).

Pada TB kulit atau jaringan lunak penularan bisa melalui inokulasi langsung. Infeksi yang disebabkan oleh M. bovis dapat disebabkan oleh susu yang kurang disterilkan dengan baik atau terkontaminasi. Sudah dibuktikan bahwa lingkungan sosial ekonomi yang baik, pengobatan teratur dan pengawasan minum obat ketat berhasil mengurangi angka morbiditas dan mortalitas di Amerika selama tahun 1950-1960. (Amin, Zulkifli. Bahar, Asril, 2006).

2.3.6. Patogenesis

(23)

organ lainnya. Tuberkulosis yang mempunyai kaverna dan tuberkulosis yang belum mendapat pengobatan mempunyai angka penularan yang tinggi. (Amin, Zulkifli. Bahar, Asril, 2006).

Berdasarkan penularannya maka TB paru dapat dibagi menjadi 3 bentuk, yakni :

• Tuberkulosis primer

Terdapat pada anak-anak. Setelah tertular 6-8 minggu kemudian mulai dibentuk mekanisme imunitas dalam tubuh, sehingga tes tuberkulin menjadi positif. Di dalam alveoli yang kemasukan kuman terjadi penghancuran (lisis) bakteri yang dilakukan oleh makrofag dan dengan terdapatnya sel langhans, yakni makrofag yang mempunyai inti di perifer, maka mulailah terjadi pembentukan granulasi. Keadaan ini disertai pula dengan fibrosis dan kalsifikasi yang terjadi di lobus bawah paru. Proses infeksi yang terjadi di lobus bawah paru yang disertai dengan pembesaran dari kelenjar limfe yang terdapat di hilus disebut dengan kompleks Ghon yang sebenarnya merupakan permulaan infeksi yang terjadi di alveoli atau di kelenjar limfe hilus. Kuman tuberkulosis akan mengalami penyebaran secara hematogen ke apeks paru yang kaya dengan oksigen dan kemudian berdiam diri (dorman) untuk menunggu reaksi yang lebih lanjut.

• Reaktifasi dari tuberkulosis primer

Sekitar 10 % dari infeksi tuberkulosis primer akan mengalami reaktifasi, terutama setelah dua tahun dari infeksi primer. Reaktifasi ini disebut juga dengan tuberkulosis postprimer. Kuman akan disebarkan melalui hematogen ke bagian segmen apikal posterior. Reaktifasi dapat juga terjadi melalui metastasis hematogen ke berbagai jaringan tubuh.

• Reinfeksi

(24)

2.3.7. Klasifikasi Tuberkulosis Paru

Ada banyak klasifikasi mengenai penyakit ini. Dari sistem lama diketahui beberapa klasifikasi seperti (Amin, Zulkifli. Bahar, Asril, 2006) :

• Pembagian secara patologis

- Tuberkulosis primer (childhood tuberculosis) - Tuberkulosis post-primer (adult tuberculosis)

• Pembagian secara aktivitas radiologis Tuberkulosis paru (Koch pulmonum) aktif, non aktif dan quiescent (bentuk aktif yang mulai menyembuh).

• Pembagian secara radiologis (luas lesi).

- Minimal tuberculosis. Terdapat sebagian kecil infiltrat nonkavitas pada satu paru maupun kedua paru, tetapi jumlahnya tidak melebihi satu lobus paru.

- Moderately advanced tuberculosis. Ada kavitas dengan diameter tidak lebih dari 4 cm. Jumlah infiltrat bayangan halus tidak lebih dari satu bagian paru. Bila bayangannya kasar tidak lebih dari sepertiga bagian satu paru.

- Far advanced tuberculosis. Terdapat infiltrat dan kavitas yang melebihi keadaan pada moderately advanced tuberculosis.

Pada tahun 1974 American Thoracic Society memberi klasifikasi baru yang diambil berdasarkan aspek kesehatan masyarakat.

• Kategori 0 : tidak pernah terpajan, dan tidak terinfeksi, riwayat kontak negatif, tes tuberkulin negatif.

• Kategori 1 : terpajan tuberkulosis, tapi tidak terbuksi ada infeksi. Di sini riwayat kontak positif, tes tuberkulin negatif.

• Kategori 2 : terinfeksi tuberkulosis, tetapi tidak sakit. Tes tuberkulin positif, radiologis dan sputum negatif.

(25)

WHO 1991 berdasarkan terapi membagi TB dalam 4 kategori : 1. Kategori 1 ditujukkan terhadap :

- Kasus baru dengan sputum positif - Kasus baru dengan bentuk TB berat 2. Kategori 2 ditujukan terhadap :

- Kasus kambuh

- Kasus gagal dengan sputum BTA positif 3. Kategori 3 ditujukan terhadap :

- Kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas - Kasus TB ekstra paru selain dari yang di sebut dalam kategori 1 4. Kategori 4 ditujukan terhadap : TB kronik (Sudoyo, 2006)

Penyakit tuberkulosis paru dapat disembuhkan. Namun karena kekurangpekaan si penderita dan kurangnya informasi berkaitan cara pencegahan dan pengobatan TB paru, kematian pun tak jarang terjadi. Oleh karena itu dibutuhkan tindakan dini untuk mencegah dan mengobati penyakit TB paru.

Bakteri yang menyebabkan tuberkulosis: 1. Mycobacterium tuberkulosis

2. Mycobacterium bovis 3. Mycobacterium africanum 4. Mycobacterium canetti 5. Mycrobacterium microti

2.3.8. Gejala Klinis Tuberkulosis Paru

Keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis dapat bermacam-macam atau malah banyak pasien yang ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan. Keluhan yang terbanyak adalah (Amin, Zulkifli. Bahar, Asril, 2006) :

• Demam

(26)

hilang-timbulnya demam influenza ini, sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari serangan demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman tuberkulosis yang masuk.

• Batuk/Batuk Darah

Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan peradang bermula. Sifat untuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa bentuk batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang terpecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberkulosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus. • Sesak Nafas

Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak nafas. Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.

• Nyeri Dada

Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik / melepaskan nafasnya.

• Malaise

Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam dan lain-lain. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.

(27)

2.3.9. Diagnosis Tuberkulosis Paru

Batuk yang lebih dari 2 minggu setelah dicurigai berkontak dengan pasien tuberkulosis dapat di duga sebagai tuberkulosis. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis tuberkulosis adalah (Amin, Zulkifli. Bahar, Asril, 2006) :

• Radiologi

- Infiltrat atau nodular, terutama pada lapangan atas paru

- Kavitas

- Kalsifikasi

- Efek Ghon

- Atelektasis

- Miliar

- Tuberkulom (bayangan seperti coin lesion)

• Mikrobiologi

Spesimen yang dipakai adalah sputum pada pagi hari, bilasan lambung dan cairan pleura, serta biakan dari cairan dari bronkoskopi. Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan atas adanya BTA pada pengecatan. Tes resistensi dikerjakan sebagai bahan pertimbangan dalam penanganan tuberkulosis. Pada anak-anak dapat dilakukan pemeriksaan dari cairan lambung. Cairan pleura, cairan bilasan bronkoskopi, serebrospinal, urin, dan cairan sendi dapat digunakan sebagai bahan untuk pemeriksaan. Bila pasien tidak dapat mengeluarkan sputum maka dapat diberikan aerosol, terutama larutan garam, yakni dengan cara aerasi. Pada prinsipnya diperlukan waktu selama 3-8 minggu untuk menumbuhkan kuman tuberkulosis pada pembiakan dan waktu lebih lama untuk menilai tes resistensi.

• Tes tuberkulosis

(28)

setelah tes. Dikatakan positif jika diameter indurasi lebih besar dari 10 mm. Tes heaf dipakai secara luas untuk survei. Satu tetes dari 100.000 IU tuberkulin/ cc melalui 6 jarum dipungsikan ke kulit. Hasilnya di baca setelah 3-7 hari maka di dapat gradasi tes sebagai berikut.

- Gradasi 1 : 1-6 indurasi papula yang halus

- Gradasi 2 : adanya cincin indurasi yang di bentuk oleh sekelompok

papula

- Gradasi 3 : indurasi dengan diameter 5-10 mm

- Gradasi 4 : indurasi dengan lebar lebih dari 10 mm

• Biopsi jaringan

Terdapat gambaran perkejuan dengan sel langhans bukanlah merupakan suatu diagnosis dari tuberkulosis oleh karena dasar dari diagnosis yang positif adalah ditemukannya kuman Mycobacterium tuberculosis .

• Bronkoskopi

Bilasan transbronkial dapat digunakan untuk menegakkan diagnosa tuberkulosis, baik melalui pemeriksaan langsung maupun melalui biakan. Hasil dari biopsi pleura dapat memperlihatkan suatu gambaran tuberkulosis dan dapat digunakan untuk bahan pemeriksaan BTA (basil tahan asam).

2.3.10. Pengobatan

a. Prinsip Pengobatan Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut (Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, 2008) :

(29)

2) Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

3) Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Tahap awal (intensif)

a) Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.

b) Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. c) Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)

dalam 2 bulan.

Tahap Lanjutan

a) Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama

b) Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan

b. Jenis dan Dosis Obat Anti Tuberkulosis

Jenis Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang digunakan antara lain : 1) Isoniasid (H)

(30)

2) Rifampisin (R)

Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman semi-dormant (persisten) yang tidak dapat dibunuh oleh Isoniasid. Dosis 10 mg/kg BB diberikan sama untuk pengobatan harian maupun intermiten 3 kali seminggu. 3) Pirasinamid (Z)

Bersifat bakterisid, yang dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kg BB.

4) Streptomisin (S)

Bersifat bakterisid. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama. Penderita berumur sampai 60 tahun dosisnya 0,75g/hari, sedangkan untuk berumur 60 atau lebih diberikan 0,50g/hari.

5) Etambutol (E)

Bersifat sebagai bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis 30 mg/kg BB.

c. Panduan Obat Anti Tuberkulosis

Panduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) menurut WHO dan IUATLD (International Against Tuberkulosis and Lung Disease) ada 3 kategori, antara lain (Anonim, 2002) :

1) Kategori 1

(31)

Obat ini diberikan untuk :

a) Penderita baru TBC Paru BTA positif

b) Penderita TBC Paru BTA negatif Rontegn yang ”sakit berat” c) Penderita TBC Ekstra Paru Berat

2) Kategori 2

Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z), etambutol (E) dan suntikan streptomisin setiap hari dari Unit Pelayanan Kesehatan (UPK). Dilanjutkan 1 bulan dengan Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E) setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu.

Obat ini diberikan untuk : a) Penderita kambuh (relaps) b) Penderita gagal (failure)

c) Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default) 3) Kategori 3

Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ), diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan tiga kali seminggu (4H3R3).

Obat ini diberikan untuk :

a) Penderita baru BTA negatif dan rongent positif sakit ringan

b) Penderita ekstra paru ringan, yaitu TBC kelenjar limfe (limfadenitis), pleuritis eksudativa unilateral, TBC kulit, TBC tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.

(32)

disesuaikan dengan berat badan pasien, yaitu sebagai berikut (Anonim, 2008) :

1) Kategori 1

Panduan OAT ini diberikan untuk pasien baru yang : a) Pasien baru TB paru BTA positif

b) Pasien TB baru BTA negatif foto toraks positif c) Pasien TB ekstra paru

Tabel 2.1. Dosis panduan OAT KDT Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3

Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 56 hari RHZE (150/75/400/275)

Tahap Lanjutan seminggu 3 kali selama 16 minggu RH (150/150) 30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT 38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT 55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT

≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Sumber : Pedoman Nasianal Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan Kedua : 2008

Tabel 2.2 Dosis panduan OAT Kombipak Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3

Tahap

Sumber : Pedoman Nasianal Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan Kedua : 2008

(33)

a) Pasien kambuh b) Pasien gagal

c) Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat

Tabel 2.3. Dosis panduan OAT KDT Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3

Berat Badan

Tahap Intensif (Setiap Hari) Tahap Lanjutan (3 Kali Seminggu) RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150) + E

(400) Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu 30 – 37 kg 2 tab 4KDT + 500 mg S 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT + 2 tab E 38 – 54 kg 3 tab 4KDT + 750 mg S 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT + 3 tab E 55 – 70 kg 4 tab 4KDT + 1000 mg S 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT + 4 tab E ≥ 71 kg 5 tab 4KDT + 1000 mg S 5 tab 3KDT 5 tab 2KDT + 5 tab E Sumber : Pedoman Nasianal Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan Kedua : 2008

Tabel 2.4. Dosis panduan OAT Kombipak Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3

(34)

d. Efek Samping Obat Sebagian besar penderita Tuberkulosis dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping, namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping. Pemantauan efek samping diperlukan selama pengobatan dengan cara :

1) Menjelaskan kepada pasien tanda-tanda efek samping obat

2) Menanyakan adanya gejala efek samping pada waktu penderita mengambil obat.

Tabel 2.5. Efek Samping Ringan dari Obat Anti Tuberkulosis(OAT)

Obat Efek Samping Penanganan

Rifampisin Tidak ada nafsu makan, mual, sakit perut, warna kemerahan pada air seni (urine)

Perlu penjelasan kepada penderita dan obat diminum malam sebelum tidur

Pirasinamid Nyeri sendi Beri aspirin INH Kesemutan s/d rasa terbakar di

kaki

Beri vitamin B

6 (piridoxin) 100mg per hari

Sumber : Pedoman Nasianal Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan Kedua : 2008

Tabel 2.6. Efek Samping Berat dari Obat Anti Tuberkulosis(OAT)

Obat Efek Samping Penanganan

Streptomisin Tuli, gangguan keseimbangan Streptomisin dihentikan, ganti Etambutol

Etambutol Gangguan penglihatan Hentikan Etambutol Rifampisin Purpura dan rejatan (syok) Hentikan Rifampisin Semua jenis OAT Gatal dan kemerahan kulit Diberi antihistamin Hampir

Semua OAT

Ikterus tanpa panyebab lain, bingung dan muntah-muntah

Hentikan semua OAT

sampai ikterus menghilang dan segera

(35)

e. Hasil Pengobatan

Hasil pengobatan seorang penderita dapat dikategorikan sebagai :

1) Sembuh : penderita dinyatakan sembuh bila telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap dan pemeriksaan dahak 3 kali berturut-turut hasilnya negatif.

2) Pengobatan lengkap : penderita yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tapi tidak ada hasil pemeriksaan ulang dahak paling sedikit 2 kali berturut-turut hasilnya negatif.

3) Meninggal : penderita yang dalam masa pengobatan dikarenakan meninggal karena sebab apapun.

4) Pindah : penderita yang pindah berobat ke kabupaten lain.

5) Drop out / DO : penderita yang tidak mengambil obat 2 kali berturut-turut atau sebelum masa pengobatan selesai.

6) Gagal

a) Penderita BTA positif hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif/kembali positif pada 1 bulan sebelum akhir pengobatan. b) Penderita BTA negatif yang hasil pemeriksaan dahaknya pada

akhir bulan ke-2 menjadi positif.

f. Interaksi Obat

(36)

2) Isoniazid (INH) dapat meningkatkan ekskresi piridoksin, asam amino salisilat, mereduksi asetilasi dari isoniazid, akibatnya dapat meningkatkan kadarnya dalam darah. Alkohol dapat meningkatkan kecepatan metabolisme isoniazid. Antasida alumunium hidroksida dapat menghambat absorbsi isoniazid, yang mungkin disebabkan karena senyawa alumunium menekan kecepatan pengosongan lambung. Kombinasi INH dan Rifampisin kemungkinan akan meningkatkan kerja hepatotoksik

3) Etambutol dapat berinteraksi dengan Sulfinpirazon dimana efek urikosurik dari sulfipirazon dapat tidak timbul karena pengaruh etambutol

4) Asam amino salisilat dapat menghambat efek hiperurikemia oleh pirasinamid pada beberapa penderita.

2.3.11. Pencegahan Infeksi Tuberkulosis Paru

Pencegahan meliputi (Alsagaff, Hood, Mukty, Abdul, 2009) : a. Terhadap Infeksi Tuberkulosis

1. Pencegahan terhadap sputum yang infeksius 1.1 Case finding

- X-foto toraks yang dikerjakan secara masal - Uji teberkulin secara Mantoux

1.2 Isolasi penderita dan mengobati penderita

1.3 Ventilasi harus baik, kepadatan penduduk dikurangi

2. Pasteurisasi susu sapi dan membunuh hewan yang terinfeksi oleh Mycobacterium bovis akan mencegah tuberkulosis bovis pada manusia.

b. Meningkatkan Daya Tahan Tubuh 1. Memperbaiki standar hidup.

(37)

- Lakukan olahraga di tempat-tempat yang mempunyai udara segar. 2. Usahakan peningkatan kekebalan tubuh dengan vaksinasi BCG

Mengenai vaksinasi BCG, hanya sebagian kecil negara di dunia yang tidak setuju pelaksanaannya, tetapi di Indonesia, sampai saat ini, vaksinasi BCG masih sanagt penting. Banyak keuntungan dibandingkan dengan kerugian yang mungkin ditimbulkan. Saat ini vaksin BCG disediakan dalam bentuk bubuk kering dan disimpan didalam kamar dengan suhu di bawah 6oC. Pada udara dan suhu didaerah tropis vaksin BCG dapat bertahan selama satu minggu.

c. Pencegahan dengan mengobati penderita yang sakit dengan obat anti tuberkulosis seperti tersebut di atas.

2.4. Keteraturan Minum Obat Anti Tuberkulosis

2.4.1. Definisi Keteraturan Minum Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Keteraturan minum OAT adalah suatu proses dimana penderita melakukan ketepatan waktu dalam pengobatan. Hal ini dapat dilihat dari teratur dan tidak teraturnya penderita minum OAT.

2.4.2. Klasifikasi

a. Teratur : apabila penderita tidak pernah lalai / lupa minum OAT atau pernah lalai ≤ 3 hari berturut -turut pada fase awal dan ≤ 7 hari berturut -turut (1 minggu) pada fase lanjutan.

b. Tidak teratur : apabila penderita lalai atau tidak pernah minum OAT lebih dari 3 hari berturut-turut pada fase awal dan lebih dari 7 hari berturut-turut (1 minggu) pada fase lanjutan.

2.5. DOTS (Directly Observed Treatment, Shortcourse)

(38)

Shortcourse) dan telah terbukti sebagai strategi penanggulangan yang secara ekonomis paling efektif (cost-efective).

Strategi ini dikembangkan dari berbagai studi, uji coba klinik (clinicals trials), pengalaman-pengalaman terbaik (best practices), dan hasil implementasi program penanggulangan TB selama lebih dari dua dekade. Penerapan strategi DOTS secara baik, disamping secara cepat menekan penularan, juga mencegah berkembangya MDR- TB (Multi Drugs Resistance-TB).

Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan dengan demikian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan TB.

WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam penanggulangan TB sejak tahun 1995. Bank dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu intervensi kesehatan yang paling efktif. Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya.

DOTS mengandung lima komponen, yaitu :

a. Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional b. Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA mikroskop

c. Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung, dikenal dengan istilah DOT (Directly Observed Theraphy)

d. Pengadaan OAT secara berkesinambungan

e. Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang baku/standar

Strategi DOTS diatas telah dikembangkan oleh Kemitraan global dalam penanggulangan TB (stop TB partnership) dengan memperluas strategi dots sebagai berikut :

a. Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS b. Merespon masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya c. Berkontribusi dalam penguatan sistem kesehatan

(39)

e. Memberdayakan pasien dan masyarakat f. Melaksanakan dan mengembangankan riset 2.6. Resistensi Obat Anti Tuberkulosis (OAT) 2.6.1. MDR (Multi Drug Resistance)

2.6.1.1 Definisi

Resistensi ganda menunjukkan Mycobacterium tuberculosis resisten terhadap rifampisin dan INH dengan atau tanpa OAT lainnya. Secara umum resistensi terhadap tuberkulosis dibagi menjadi :

• Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan TB

• Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasiennya sudah pernah ada riwayat pengobatan sebelumnya atau tidak

• Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah punya riwayat pengobatan sebelumnya.

2.6.1.2 Penyebab

Ada beberapa penyebab terjadinya resistensi terhadap obat tuberkulosis, yaitu :

• Pemakaian obat tunggal dalam penggobatan tuberkulosis

• Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang kurang atau dilingkungan tersebut telah terdapat resistensi yang tinggi terhadap obat yang digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut sudah cukup tinggi

• Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu lalu stop, setelah dua bulan berhenti kemudian berpindah dokter dan mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu stop lagi, demikian seterusnya

(40)

pertama, maka “penambahan” (addition) satu macam obat hanya akan menambah panjang daftar obat yang resisten

• Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik, sehingga mengganggu bioavailabilitas obat

• Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang obat datang ke suatu daeah kadang terhenti pengirimannya sampai berbulan-bulan

• Pemakaian obat antituberkulosis cukup lama, sehingga menimbulkan kejemuan

• Pengetahuan pasien kurang tentang TB

2.6.2. XDR (Extensively/ Extreme Drug Resistance)

XDR-TB didefinisikan sebagai resistensi terhadap sedikitnya rifampisin dan isoniazid (yang merupakan definisi MDR-TB), selain fluorokuinolon, dan setidaknya satu dari tiga obat injeksi berikut digunakan dalam pengobatan TB: kapreomisin, kanamisin dan amikasin.

Bakteri atau kuman TB didalam tubuh dapat menjadi menjadi aktif sehingga mengurangi kekebalan tubuh seseorang, seperti pada pasien HIV, usia lanjut, atau beberapa kondisi medis yang lain.

Jika obat ini disalahgunakan atau pada pengobatan lini pertama tidak berhasil atau salah, resistansi TB (MDR-TB) dapat berkembang. MDR-TB membutuhkan waktu lebih lama untuk diobati dengan obat lini kedua, karena obat yang lebih mahal dan memiliki efek samping yang lebih banyak.

XDR-TB dapat berkembang jika pengobatan pada lini kedua juga disalahgunakan, karena XDR-TB adalah resistan terhadap pengobatan lini pertama dan lini kedua.

(41)

BAB 3

KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep

Berdasarkan tujuan penelitian ini, keteraturan minum obat anti tuberkulosis (OAT) pada penderita tuberkulosis paru diuraikan berdasarkan variabel tingkat pengetahuan penderita tentang tuberkulosis paru.

Variabel independen Variabel dependen

3.2. Definisi Operasional

3.2.1. Tingkat pendidikan adalah pendidikan formal terakhir yang diselesaikan oleh responden berdasarkan ijazah yang dimiliki.

Cara ukur : Cara ukur yang digunakan adalah wawancara. Alat Ukur : Alat ukur yang digunakan berupa kuesioner. Hasil ukur :

a. Pendidikan rendah : tidak sekolah, tamat SD (atau pendidikan sederajat), atau tamat SMP (atau pendidikan sederajat)

b. Pendidikan tinggi : tamat SMA (atau pendidikan sederajat) atau tamat kuliah (D1, D3, S1, S2, atau S3).

Skala ukur : Dengan menggunakan skala ordinal Tingkat Pendidikan

Penderita Tuberkulosis

Paru Keteraturan Minum Obat

Anti Tuberkulosis (OAT) Pengetahuan tentang

(42)

3.2.2. Pengetahuan penderita tentang tuberkulosis diartikan sebagai segala sesuatu yang diketahui oleh responden tentang tuberkulosis paru. Dalam konsep penelitian ini, pengetahuan yang diukur hanya dalam batas ”tahu”. Cara ukur : Cara ukur yang digunakan adalah wawancara. Alat Ukur : Alat ukur yang digunakan berupa kuesioner. Hasil ukur :

a. Pengetahuan kurang : apabila responden mendapat nilai ≤ 50% dari seluruh skor yang ada.

b. Pengetahuan baik : apabila responden mendapat nilai > 50% dari seluruh skor yang ada.

Skala ukur : Dengan menggunakan skala ordinal

3.2.3. Keteraturan Minum Obat Anti Tuberkulosis

Keteraturan minum obat anti tuberkulosis (OAT) didefinisikan sebagai suatu proses dimana penderita melakukan ketepatan waktu dalam pengobatan, hal ini dapat dilihat dari teratur dan tidak teraturnya penderita minum OAT.

Cara ukur : Cara ukur yang digunakan adalah wawancara. Alat Ukur : Alat ukur yang digunakan berupa kuesioner. Hasil ukur :

a. Teratur : apabila penderita tidak pernah lalai / lupa minum OAT atau pernah lalai ≤ 3 hari berturut-turut pada fase awal dan ≤ 7 hari berturut-turut (1 minggu) pada fase lanjutan.

b.Tidak teratur : apabila penderita lalai atau tidak pernah minum OAT lebih dari 3 hari berturut-turut pada fase awal dan lebih dari 7 hari berturut-turut (1 minggu) pada fase lanjutan.

(43)

3.3. Hipotesis

3.3.1 Hipotesis Nol (Ho)1

Tidak ada pengaruh antara tingkat pendidikan dengan keteraturan minum obat anti tuberkulosis (OAT) pada penderita tuberkulosis paru di Poli Paru RSUP. H. Adam Malik Medan.

3.3.2 Hipotesis Nol (Ho)2

Tidak ada pengaruh antara tingkat pengetahuan tentang tuberkulosis paru dengan keteraturan minum obat anti tuberkulosis (OAT) pada penderita tuberkulosis paru di Poli Paru RSUP. H. Adam Malik Medan.

3.3.3 Hipotesis Alternatif (Ha)1

Ada pengaruh antara tingkat pendidikan dengan keteraturan minum obat anti tuberkulosis (OAT) pada penderita tuberkulosis paru di Poli Paru RSUP. H. Adam Malik Medan.

3.3.4 Hipotesis Alternatif (Ha)2

(44)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif analitik dengan desain penelitian cross sectional. Dalam satu rentang waktu tertentu, didapatkan gambaran pengetahuan responden tuberkulosis tentang penyakit tuberkulosis paru dan hubungan antara tingkat pengetahuan dengan keteraturan minum obat anti tuberkulosis (OAT) pada responden tuberkulosis.

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Pengumpulan data penelitian akan dilakukan selama bulan Juni - Juli 2011. Tempat penelitian dilakukan di Poli Paru RSUP. H. Adam Malik Medan karena di Poli Paru terdapat responden tuberkulosis paru, selain itu Poli Paru juga merupakan suatu tempat yang representatif untuk mengambil data-data responden tuberkulosis dan RSUP.H. Adam Malik Medan merupakan rumah sakit tipe A rujukan di Sumatera Utara.

4.3. Populasi dan Sampel 4.3.1. Populasi Penelitian

Populasi target pada penelitian ini adalah penderita tuberkulosis di Poli Paru RSUP.H. Adam Malik Medan.

4.3.2. Sampel Penelitian

(45)

N.Z²1-α/2 p.(1-p) n =

(N-1)d² + Z²1-α/2. p.(1-p)

Dari rumus diatas maka dapat diperoleh hasil pengukuran sampelnya yaitu 88,9 kemudian digenapkan menjadi 90. Jadi besar sampel pada penelitian ini adalah 90 orang.

Sampel diambil dengan menggunakan teknik non probability sampling, yaitu dengan teknik consecutive sampling, dimana semua orang yang memenuhi kriteria sampel dijadikan sebagai sampel penelitian. (Wahyuni, 2008)

Kriteria Inklusi

Pasien / penderita TB paru diPoli Paru RSUP. H. Adam Malik Medan yang telah menjalani pengobatan selama lebih dari 2 bulan.

Kriteria Ekslusi

Pasien / penderita TB paru yang tidak bersedia diwawancarai dan tidak bersedia diminta untuk menjawab pertanyaan peneliti dengan alat pengumpul data berupa kuesioner.

4.4. Metode Pengumpulan Data

(46)

Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas 22 pertanyaan yang terdiri atas 2 pertanyaan informasi pengetahuan responden tentang TB Paru dan sumber informasi yang didapatkan, 7 pertanyaan pengetahuan responden tentang TB paru, 8 pertanyaan pengetahuan responden tentang pengobatan TB paru, dan 5 pertanyaan tentang keteraturan responden minum OAT. Sebelum digunakan dalam penelitian, kuesioner disebarkan kepada 20 orang responden non sampel penelitian, yang terdiri atas 5 orang responden tamat SD, 4 orang tamat SMP, 7 orang tamat SMA, dan 4 orang tamat perguruan tinggi. Kuesioner ini diuji validitas dan reliabilitasnya dari pertanyaan nomor 3 sampai nomor 17 dengan menggunakan program komputer. Berikut ini adalah hasil uji validitas dan reliabilitas kuesioner penelitian.

Tabel 4.1 Hasil Uji Vailiditas dan Reliabilitas Kuesioner Penelitian

Nomor Pertanyaan Status Validitas Status Reliabilitas

3 Valid Reliabel

4.5. Metode Analisa Data

(47)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

RS.Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM) kota Medan provinsi Sumatera Utara yang berlokasi di Jalan Bunga Lau No. 17, Kelurahan Kemenangan Tani, Kecamatan Medan Tuntungan. Rumah sakit ini merupakan rumah sakit pemerintah dengan kategori kelas A. Dengan predikat rumah sakit kelas A, RSUP Haji Adam Malik Medan telah memiliki fasilitas kesehatan yang memenuhi standard dan tenaga kesehatan yang kompeten. Selain itu, RSUP Haji Adam Malik Medan juga merupakan rumah sakit rujukan meliputi Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat, dan Riau. Sehingga dapat dijumpai pasien dengan latar belakang yang sangat bervariasi. Berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan RI No.502/Menkes/IX/1991 tanggal 6 September 1991, RSUP Haji Adam Malik Medan ditetapkan sebagai rumah sakit pendidikan bagi mahasiswa kedokteran USU.

Lokasi penelitian di SMF. Paru RSUP. H. Adam Malik yang berada di lantai dua gedung B. SMF paru terbagi atas tiga bagian yaitu bagian asma dan PPOK, bagian onkologi, dan bagian infeksi. Berhubungan dengan penelitian peneliti tentang tuberkulosis, maka peneliti melakukan penyebaran kuesioner di SMF. Paru bagian infeksi.

5.2. Deskripsi Responden Penelitian

(48)

Tabel 5.1. Distribusi Karakteristik Responden

Karakteristik Responden n (%)

Jenis Kelamin

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa responden yang terkena penyakit tuberkulosis berdasarkan jenis kelamin lebih banyak lak-laki daripada perempuan., sebanyak 52 orang penderita (57,8%) pada laki-laki, sedangkan pada perempuan ada 38 orang penderita ( 42,2%). Bila dilihat berdasarkan usia penderita berbeda-beda. Banyak responden yang terkena penyakit tuberkulosis pada usia remaja dan dewasa muda atau pada usia produktif, dengan total persentase 86.7% pada usia 16-55 tahun. Persentase yang paling sedikit adalah 2,2% pada usia lanjut 76-85 tahun. Hasil penelitian Pandit, Choudhary, (2006) menyatakan bahwa pada populasi penelitian sebanyak 85% adalah pada kelompok usia 15-55 tahun atau pada usia produktif.

(49)

hasil pengelompokkan, didapatkan 40 orang (44,4%) berpendidikan rendah dan 50 orang (55,6%) berpendidikan tinggi. Pada reesponden yang terkena penyakit tuberkulosis ada yang bekerja dan ada yang tidak bekerja, responden yang bekerja sebanyak 41 orang yang (45,6%), dan 49 orang yang tidak bekerja (54,4%). Dari hasil tersebut persentase lebih besar responden terkena penyakit tuberkulosis berdasarkan pekerjaan adalah pada responden yang tidak bekerja dan persentase lebih kecil adalah pada responden yang bekerja.

Karakteristik responden dilihat berdasarkan penghasilan perbulan, yaitu lebih dari Rp 750.000,- sebanyak 24 orang (26,7%), kurang Rp 750.000,- 17 orang (18,9%) dan yang tidak bekerja atau tidak mempunyai penghasilan perbulan 49 orang (54,4%). Dari hasil tersebut persentase lebih besar pada responden yang tidak mempunyai penghasilan perbulan .dan persentase lebih kecil adalah pada responden yang peghasilan perbulannya kurang dari Rp 750.000,-

5.3. Hasil Penelitian

5.3.1. Deskripsi Hasil Penelitian

Wawancara terhadap 90 orang responden penelitian menunjukkan bahwa 62 orang responden mengetahui tentang tuberkulosis paru dan 28 orang tidak mengetahui tentang tuberkulosis paru. Setelah dilakukan pengelompokkan tingkat pengetahuan, 34 orang dinyatakan memiliki pengetahuan yang kurang tentang tuberkulosis paru (skor penilaian ≤ 50) dan 56 orang yang memiliki pengetahuan baik tentang tuberkulosis paru (skor penilaian > 50).

(50)

Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi dan Persentase Responden Berdasarkan

Tidak pernah mendapat informasi Total

Responden penelitian mengetahui informasi pengetahuan tentang tuberkulosis paru berdasarkan informasi yang berbeda-beda. Dari 90 orang responden yang terkena penyakit TB paru berdasarkan sumber informasi yang paling banyak mengetahui penyakit TB paru, yaitu dari Petugas Kesehatan 30 orang (33,3%), dari media Cetak 3 orang (3,3%), dari Media Elektronik 6 orang (6,7%), dari Penyuluhan 12 orang (13,3%), dari Keluarga 6 orang (6,7%), dari Tetangga 5 orang (5,6%), dan penderita yang tidak pernah mendapatkan informasi 28 orang (31,1%). Dari hasil tersebut persentase terbesar responden terkena penyakit tuberkulosis berdasarkan sumber informasi yang paling berkesan mengenai penyakit TB paru adalah dari sumber Petugas Kesehatan dan persentase terkecil adalah dari sumber Media cetak.

Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi dan Persentase Responden Berdasarkan Keteraturan Minum Obat Anti Tuberkulosis

Keteraturan Minum Obat Antituberkulosis N (%)

(51)

5.3.2. Analisa Hasil Penelitian

Untuk mengetahui pengaruh antara tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan responden tentang tuberkulosis paru dengan keteraturan minum obat anti tuberkulosis paru, peneliti menggunakan uji chi square. Hasil uji chi square dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.5. Tabulasi Tingkat Pendidikan Responden Dengan Keteraturan Minum Obat Anti Tuberkulosis

Tingkat Pendidikan Responden

Keteraturan Minum OAT

Total Tidak Teratur Teratur

n % n % n %

Pendidikan Rendah 32 65.3 8 19.5 40 44.4 Pendidikan Tinggi 17 34.7 33 80.5 50 55.6

Total 49 100 41 100 90 100

Tabel 5.6. Tabulasi Tingkat Pengetahuan Responden Tentang TB Paru Dengan Keteraturan Minum Obat Anti Tuberkulosis

Tingkat Pendidikan Responden

Keteraturan Minum OAT

Total Tidak Teratur Teratur

n % n % n %

Pengetahuan Kurang 32 65.3 2 4.9 34 37.8 Pengetahuan Baik 17 34.7 39 95.1 56 62.2

Total 49 100 41 100 90 100

Dari hasil analisa uji chi square dengan bantuan SPSS versi 17.0, p value adalah 0,000 (dengan taraf kepercayaan = 0,1) . Nilai p (p value) yang lebih kecil dari 0,1 menunjukkan bahwa hipotesis nol ditolak. Artinya, peneliti percaya bahwa ada pengaruh antara tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan responden tentang tuberkulosis paru dengan keteraturan minum obat anti tuberkulosis.

5.4. Pembahasan

5.4.1 Gambaran Pengetahuan

(52)

Hal ini menunjukkan bahwa pada penderita TB paru yang tidak mengetahui mengenai penyakit TB paru itu karena mereka sama sekali tidak pernah mendapatkan informasi. Setelah dilakukan pengelompokan tingkat pengetahuan tentang TB paru, 34 orang (37,8%) memiliki pengetahuan yang kurang (skor penilaian ≤ 50) dan 56 orang (62,2%) yang memil iki pengetahuan yang baik tentang TB paru (skor penilaian > 50). Hal ini menunjukkan bahwa masih ada penderita yang kurang mendapatkan informasi mengenai penyakit TB paru dan yang mempunyai tingkat pengetahuan yang kurang. Hasil penelitian Mweemba, Haruzivishe, dkk (2008) di Zambia menyatakan bahwa dari 104 responden, tingkat pengetahuan responden rata-rata 34% memiliki pengetahuan yang kurang. Sedangkan penelitian menurut Rusnoto, dkk (2006) di Kabupaten Pati- Semarang, menyatakan bahwa 90.6% pada kelompok responden yang terkena TB paru memiliki tingkat pengetahuan kurang.

Salah satu yang mempengaruhi pengetahuan seseorang adalah ketersediaan fasilitas sebagai sumber informasi (Notoatmodjo, 2003). Seperti yang kita ketahui, informasi tentang TB paru ini sudah banyak dipublikasikan di berbagai media, seperti media cetak (buku, majalah, koran,) dan media elektronik (televisi, radio, internet). Oleh karena itu, keterbatasan media informasi tidak dapat dijadikan alasan mengapa informasi tentang TB kurang menyebar di masyarakat. Menurut pendapat peneliti, kurangnya pengetahuan masyarakat tentang TB paru lebih disebabkan oleh kurangnya ketertarikan masyarakat untuk mencari informasi tentang TB paru dan menganggap bahwa penyakit TB paru adalah suatu penyakit yang biasa.

Penyuluhan kesehatan tentang TB paru dimasyarakat masih kurang digalakkan. Tujuan dari peyuluhan ini tidak hanya ditujukkan pada penderita yang sakit saja,namun diharapkan juga pada masyarakat luas yang sehat. Hal ini dapat berpengaruh jika salah satu anggota keluarga atau tetangga dari masyarakat tersebut ada yang menderita penyakit TB paru,disini pihak keluarga atau tetangga sangat diharapkan sebagai pemberi informasi kepada penderita.

(53)

memperluas pengetahuan seseorang. Sebagian responden yang mengetahui tentang TB paru mengaku pernah menderita TB paru, sedangkan sebagian lainnya memiliki keluarga atau tetangga yang pernah menderita penyakit TB paru.

5.4.2 Gambaran Frekuensi Keteraturan minum Obat Antituberkulosis Tidak semua responden minum obat secara teratur meskipun telah mengetahui betapa pentingnya minum obat antituberkulosis. Dari 90 orang responden, 49 orang (54.4%) tidak teratur minum OAT, dan sisanya 41 orang (45.6%) lagi teratur minum OAT [Tabel 5.4] . Hasil penelitian Mweemba, Haruzivishe, dkk (2008) di Zambia menyatakan bahwa pada 104 orang responden penelitian, 80.8% reponden dilaporkan memiliki keteraturan yang tinggi dalam hal minum OAT atau dalam pengobatan TB. Sedangkan penelitian menurut Hutapea (2006) di Surabaya menyatakan bahwa pada 134 responden penelitian, 69.4% responden teratur minum OAT dan 30.6% lagi kadang-kadang lupa minum OAT.

Berdasarkan hasil skor dari kuesioner yang ditanyakan pada responden, 46 orang (51.1%) tidak mengetahui tujuan pengobatan TB, 57 orang (63.3%) menganggap bahwa minum obat antituberkulosis boleh sesekali saja apabila gejala ringan atau obat dapat diminum 1x sehari saja., sedangkan 63 orang (70%) menganggap minum obat boleh dihentikan jika keluhan sudah membaik. Padahal dalam pengobatan TB paru mempunyai 2 tahapan, tahap awal atau intensif dan tahap lanjutan.

Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.

(54)

5.4.3 Pengaruh Tingkat Pendidikan dan Tingkat Pengetahuan Responden tentang TB paru dengan Keteraturan Minum Obat Antituberkulosis Dari hasil penelitian, sebagian besar responden yaitu sebanyak 50 orang (55.6%) pendidikan tinggi dan 40 orang (44.4%) pendidikan rendah. Responden yang memiliki pengetahuan baik tentang TB paru sebanyak 56 orang (62,2%) dan 34 orang (37.8%) responden memiliki pengetahuan yang kurang. Pengetahuan yang baik menunjukkan bahwa tingkat pendidikan responden tinggi. Pengetahuan yang kurang menunjukkan bahwa responden tidak mengetahui atau salah dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada di kuesioner penelitian. Secara umum, responden penelitian tidak mengetahui atau salah dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut :

● gejala penyakit TB paru ● cara penularan TB paru ● tujuan pengobatan TB paru

● kapan pasien boleh menghentikan pengobatan ● penggunaan obat TB paru

Menurut peneliti, ketidaktahuan atau kesalahan responden dalam menjawab pertanyaan ini mungkin disebabkan oleh ketidakpahaman responden, hal ini dapat dilihat dari hasil kuesioner yang ditanyakan pada responden. Ada 40 orang (44.4%) responden menganggap bahwa penyakit TB paru adalah penyakit infeksi menular yang tidak dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan yang tuntas.

Dari hasil analisa data diketahui bahwa ada pengaruh antara tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan tentang TB paru dengan keteraturan minum obat antituberkulosis pada penderita TB paru.

Tingkat pendidikan yang tinggi mempunyai hubungan yang erat dengan tingkat pengetahuan. Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin luas pengetahuan seseorang (Notoatmodjo, 2003).

(55)
(56)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

 Dari 90 orang responden penelitian, sebanyak 40 orang (44,4%) memiliki tingkat pendidikan rendah (tidak tamat SD,tamat SD/sederajat atau SMP/sederajat) dan 50 orang (55,6%) memiliki tingkat pendidikan tinggi (tamat SMA/sederajat atau Perguruan Tinggi).

 Dari hasil wawancara terhadap responden tentang TB paru, didapatkan bahwa 28 orang (31,1%) tidak mengetahui informasi mengenai penyakit TB paru dan 62 orang lainnya (68,9%) mengetahui penyakit TB paru.  Setelah dilakukan pengelompokan tingkat pengetahuan tentang TB paru,

34 orang (37,8%) memiliki pengetahuan yang kurang (skor penilaian ≤ 50) dan 56 orang (62,2%) yang memiliki pengetahuan yang baik tentang TB paru (skor penilaian > 50).

 Sumber pengetahuan responden tentang TB paru berbeda-beda, yaitu petugas kesehatan (33,3%), media cetak (3,3%), media elektronik (6,7%), Penyuluhan (13,3%), keluarga (6,7%), tetangga (5,6%), dan responden yang tidak pernah mendapatkan informasi (31,1%)

 Dari 90 orang responden penelitian, sebanyak 41 orang (45,6%) yang teratur dalam minum obat antituberkulosis dan 49 orang (54,4%) yang tidak teratur dalam minum obat antituberkulosis.

Setelah dilakukan analisa statistik, didapatkan p value pada chi square adalah 0,000 (α = 0,1). Dari hasil ini, disimpulkan bahwa ada pengaruh antara tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan penderita tentang tuberkulosis paru dengan keteraturan minum obat anti tuberculosis (OAT).  Tingkat pendidikan yang tinggi mempunyai hubungan yang erat dengan

pengetahuan yang baik pada penderita tuberkulosis paru.

Gambar

Tabel 2.2 Dosis panduan OAT Kombipak Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3
Tabel 2.4. Dosis panduan OAT Kombipak Kategori 2 :
Tabel 2.5. Efek Samping Ringan dari Obat Anti Tuberkulosis(OAT)
Tabel 4.1  Hasil Uji Vailiditas dan Reliabilitas Kuesioner Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Di dalam UU No.41/1999, KPH sebagai bagian dari Unit Pengelolaan diartikan sebagai kesatuan pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat

Sistem Pembelian Bahan Baku : Bagian Gudang mengecek persediaan bahan baku,jika ada bahan baku yang habis atau dibutuhkan nantinya akan tampak pada pencatatan di

Rincian Perubahan Anggaran Belanja Langsung Program dan Per Kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah. Kode

a.. Tampaknya, dalam Tabel l 1 baik &lt;li dalam kantor maupun di mana saja pemakai bahasa Larnpung lebih senang memakai bahasanya. Hal ini disebabkan oleh rasa

Diharapkan dari penelitian ini menjadi bahan pertimbangan untuk pemerintah atau instansi kesehatan dalam mencanangkan program pemanfaatan starter tape, nasi basi

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala yang telah melimpahkan berkah, rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas

Menurut Syifa, masyarakat Indonesia saat ini bisa dikatakan dalam masa transisi dari masyarakat industri ke masyarakat informasi. Salah satu hal yang menyebabkan transisi

Untuk menjamin bahwa pengembangan Politeknik Indonusa Surakarta selaras dengan pembangunan nasional dalam penahapannya, peta jalan menuju tercapainya Visi tersebut