• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan Anak Angkat Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Antropologi Tentang Pembagian Warisan Pada Anak Angkat Pada Masyarakat Batak Toba di Bagan Batu, Kec. Bagan Sinembah, Riau)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kedudukan Anak Angkat Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Antropologi Tentang Pembagian Warisan Pada Anak Angkat Pada Masyarakat Batak Toba di Bagan Batu, Kec. Bagan Sinembah, Riau)"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

Kedudukan Anak Angkat Pada Masyarakat Batak Toba

(Studi Antropologi Tentang Pembagian Warisan Pada Anak Angkat Pada

Masyarakat Batak Toba di Bagan Batu, Kec.Bagan Sinembah, Riau)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi syarat mendapat gelar Sarjana Ilmu Sosial dalam bidang Antropologi

Disusun Oleh :

PRILMON 040905032

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ABSTRAKSI

Prilmon, 040905032, 2010. Skripsi ini berjudul “Kedudukan Anak Angkat Pada Masyarakat Batak Toba, Studi Antropologi Tentang Pembagian Warisan Pada Anak Angkat Pada Masyarakat Batak Toba di Bagan Batu, Kec. Bagan Sinembah, Riau”. Skripsi ini terdiri dari 5 Bab, 74 Halaman dan surat penunjukan dosen pembimbing, surat izin penelitian dari FISIP-USU, surat penelitian dari Kecamatan Bagan Sinembah, interview guide dan daftar informan serta 1 foto, 1 bagan, 1 peta lokasi dan 4 tabel.

Pengangkatan anak pada masyarakat Batak Toba adalah suatu tindakan yang diambil dengan diawali adanya kesepakatan antara orangtua kandung dengan orangtua angkat serta Dalihan Natolu dengan alasan untuk meneruskan garis keturunan secara patrilineal dan untuk menjadi teman dalam kehidupan, keputusan mengangkat anak berimplikasi terhadap pembagian harta warisan bagi anak angkat tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran dan pemahaman mengenai kedudukan anak angkat dan pembagian harta waris pada masyarakat Batak Toba di Bagan Batu, Kecamatan Bagan Sinembah, Riau.

Untuk mendapatkan gambaran dan pemahaman tersebut maka penelitian ini mempergunakan metode penelitian kualitatif dengan model studi kasus. Proses pengumpulan data dilakukan melalui serangkaian studi literatur, wawancara dan analisis data. Studi literatur dilakukan untuk mendapatkan tambahan data sekunder mengenai pengangkatan anak dan pembagian harta warisan. Sedangkan wawancara dilakukan kepada informan tentang bagaimana proses pengangkatan anak dan pembagian warisan kepada anak angkat. Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis secara kualitatif.

Dalam pembagian harta warisan kepada anak angkat memperjelas hak anak angkat atas hak waris, selain itu pengangkatan anak merupakan suatu tindakan yang dimungkinkan dengan alasan logis, seperti : meneruskan garis marga secara patrilineal dan sebagai teman dalam hidup, secara langsung pengangkatan anak berkaitan dengan hak dan kewajiban anak angkat serta berdampak pada pembagian harta warisan. Pembagian warisan kepada anak angkat laki-laki akan mendapat bagian 1/3 dari harta warisan orangtua angkat dan anak angkat perempuan akan mendapatkan 2/3 bagian dari harta warisan tersebut yang didasarkan atas hukum waris Islam yang diadopsi dalam hukum adat Batak Toba di Bagan Sinembah.

Hasil penelitian ini mengemukakan bahwa pengangkatan anak berdampak pada pembagian harta warisan, ketika dalam proses pembagian warisan disepakati oleh keluarga untuk membagi rata harta waris tersebut pada tiap-tiap bagian. Proses pembagian tidak lepas dari peran dalihan na tolu untuk semakin menjamin posisi anak angkat dalam pembagian waris. Pembagian warisan didasarkan pada sistem hukum Islam, dikarenakan didaerah ini mayoritas penduduk adalah suku Melayu yang erat dengan nilai budaya Islam.

(3)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PENGESAHAN ……… i

HALAMAN PERSETUJUAN ……… ii

ABSTRAK ……… iii

BAB II. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ………. 22

2.1 Sejarah Kota Bagan Sinembah ……….………. 22

2.1.1 Sejarah Terbentuknya Bagan Sinembah………. 25

2.2 Geografis Lokasi Penelitian ………... 26

2.3 Visi dan Misi Bagan Sinembah ………... 27

2.3.1 Visi Pembangunan Bagan Sinembah ... 28

2.3.2 Misi Pembangunan Bagan Sinembah ... 29

2.4 Keadaan Penduduk ………...…………... 30

2.5 Organisasi Masyarakat ……….……... 32

2.6 Deskripsi Masyarakat Batak Toba Di Bagan Sinembah ... 33

2.7 Karakteristik Masyarakat Batak Toba Di Bagan Sinembah ... 34

BAB III. PROSES PENGANGKATAN ANAK DAN TAHAPANNYA ... 36

(4)

BAB IV. PEMBAGIAN WARISAN PADA ANAK ANGKAT DALAM

KELUARGA BATAK TOBA di BAGAN SINEMBAH ... 49

4.1 Kasus-kasus Proses Pengangkatan Anak Angkat ……… 49

4.1.1 Anak Angkat Laki-laki Yang Berstatus Sebagai Anak Tunggal ……….. 50

4.1.2 Anak Angkat Laki-laki Yang Berstatus Anak Kedua Dalam Keluarga ……… 52

4.1.3 Pengangkatan Anak Perempuan ………... 55

4.2 Tipe Anak Angkat ………....………..…………... 59

4.3 Pembagian Warisan ... 61

4.4 Implikasi Pengangkatan Anak Pada Masyarakat Batak Toba di Bagan Sinembah ... 62

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ……… 66

5.1 Kesimpulan ……… 67

5.2 Saran ……….. 70

(5)

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan :

Nama : PRILMON NIM : 040905032 Departemen : Antropologi

Judul : Kedudukan Anak Angkat Pada Masyarakat Batak Toba.

(Studi Antropologi Tentang Pembagian Warisan Pada Anak Angkat Pada Masyarakat Batak Toba di Bagan Batu, Kecamatan Bagan Sinembah, Riau)

Medan, 4 September 2010

Pembimbing Skripsi a.n Ketua Departemen Sekretaris

(Dra. Rytha Tambunan, M.Si.)

NIP: 196308291990032001 NIP:196401231990031001 (Drs. Irfan, M.Si)

Dekan FISIP USU

(6)

ABSTRAKSI

Prilmon, 040905032, 2010. Skripsi ini berjudul “Kedudukan Anak Angkat Pada Masyarakat Batak Toba, Studi Antropologi Tentang Pembagian Warisan Pada Anak Angkat Pada Masyarakat Batak Toba di Bagan Batu, Kec. Bagan Sinembah, Riau”. Skripsi ini terdiri dari 5 Bab, 74 Halaman dan surat penunjukan dosen pembimbing, surat izin penelitian dari FISIP-USU, surat penelitian dari Kecamatan Bagan Sinembah, interview guide dan daftar informan serta 1 foto, 1 bagan, 1 peta lokasi dan 4 tabel.

Pengangkatan anak pada masyarakat Batak Toba adalah suatu tindakan yang diambil dengan diawali adanya kesepakatan antara orangtua kandung dengan orangtua angkat serta Dalihan Natolu dengan alasan untuk meneruskan garis keturunan secara patrilineal dan untuk menjadi teman dalam kehidupan, keputusan mengangkat anak berimplikasi terhadap pembagian harta warisan bagi anak angkat tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran dan pemahaman mengenai kedudukan anak angkat dan pembagian harta waris pada masyarakat Batak Toba di Bagan Batu, Kecamatan Bagan Sinembah, Riau.

Untuk mendapatkan gambaran dan pemahaman tersebut maka penelitian ini mempergunakan metode penelitian kualitatif dengan model studi kasus. Proses pengumpulan data dilakukan melalui serangkaian studi literatur, wawancara dan analisis data. Studi literatur dilakukan untuk mendapatkan tambahan data sekunder mengenai pengangkatan anak dan pembagian harta warisan. Sedangkan wawancara dilakukan kepada informan tentang bagaimana proses pengangkatan anak dan pembagian warisan kepada anak angkat. Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis secara kualitatif.

Dalam pembagian harta warisan kepada anak angkat memperjelas hak anak angkat atas hak waris, selain itu pengangkatan anak merupakan suatu tindakan yang dimungkinkan dengan alasan logis, seperti : meneruskan garis marga secara patrilineal dan sebagai teman dalam hidup, secara langsung pengangkatan anak berkaitan dengan hak dan kewajiban anak angkat serta berdampak pada pembagian harta warisan. Pembagian warisan kepada anak angkat laki-laki akan mendapat bagian 1/3 dari harta warisan orangtua angkat dan anak angkat perempuan akan mendapatkan 2/3 bagian dari harta warisan tersebut yang didasarkan atas hukum waris Islam yang diadopsi dalam hukum adat Batak Toba di Bagan Sinembah.

Hasil penelitian ini mengemukakan bahwa pengangkatan anak berdampak pada pembagian harta warisan, ketika dalam proses pembagian warisan disepakati oleh keluarga untuk membagi rata harta waris tersebut pada tiap-tiap bagian. Proses pembagian tidak lepas dari peran dalihan na tolu untuk semakin menjamin posisi anak angkat dalam pembagian waris. Pembagian warisan didasarkan pada sistem hukum Islam, dikarenakan didaerah ini mayoritas penduduk adalah suku Melayu yang erat dengan nilai budaya Islam.

(7)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dalam suatu perkawinan, hal yang paling dinantikan adalah kehadiran seorang

anak, khususnya anak laki-laki karena bagi orang Batak anak laki-laki akan mewarisi

marga, hak tanah, milik, nama dan jabatan hal ini disebabkan karena suku Batak Toba

menganut sistem kekerabatan secara patrilineal.

Anakkhon hi do hamora di ahu adalah ungkapan suku bangsa Batak Toba

untuk menyatakan bahwa anak adalah harta yang tertinggi baginya. Anak dalam

keluarga adalah kebahagiaan, perkawinan salah satu tujuannya adalah mendapat

keturunan terutama adalah anak laki-laki sebab anak laki-laki merupakan pewaris

marga, harta, dan penerus budaya Dalihan na tolu, jadi, apabila dalam suatu keluarga

tidak ada anak laki-laki maka itu merupakan aib yang dapat mengancam punahnya

silsilah keluarga tersebut karena marga tidak akan diturunkan lagi

Nilai anak dalam prinsip hidup suku bangsa Batak Toba meliputi hagabeon,

hamoraon, hasangapon. Kehidupan menjadi sempurna bila ketiganya telah tercapai.

Hagabeon adalah keturunan yang banyak (laki-laki dan perempuan). Anak yang

banyak akan membentuk keturunan yang besar yang merupakan kekuatan di hari

depan. Bukan hanya dari jumlah anak yang banyak tetapi mutu sang anak juga

diperhatikan pada masyarakat suku Batak Toba.

Orang tua menginginkan anak-anak yang lahir itu rajin bekerja dan bijaksana,

menjadi panutan/teladan bagi masyarakat. Itulah sebabnya orang tua menyekolahkan

(8)

membiayai pendidikan anak. Dengan pendidikan yang baik si anak akan mendapat

pekerjaan atau kedudukan yang baik sekaligus membawa nama baik keluarga.

Anak menunjukkan hamoraon merupakan kekayaaan utama bagi suku bangsa

Batak Toba. Bila keluarga memiliki anak banyak terutama anak laki-laki disebut

mora. Hamoraon tidak dilihat dari segi material. Keluarga yang kaya materi tetapi

tidak ada anak laki-laki tidak disebut mora, keluarga sederhana dan memiliki anak

laki-laki akan disebut mora.

Anak menunjukkan hasangapon (kemuliaan), seorang yang sangap

(dimuliakan) adalah orang yang memiliki prestise yang tinggi, antara lain memahami

adat, menerapkan adat dan aktif dalam kegiatan sosial masyarakat akan tetapi orang

tersebut harus memiliki anak laki-laki, bila tidak memiliki anak laki-laki maka tidak

disebut sangap. Jadi pada diri anaklah Hagabeon, Hasangapon, Hamoraon itu.

Masyarakat Batak Toba menganut sistem keturunan adalah patrilineal yaitu

menurut garis keturunan laki-laki (ayah). Garis laki-laki diteruskan oleh anak laki-laki

dan menjadi musnah atau hilang kalau tidak ada lagi anak laki-laki yang

dilahirkannya. Sistem keturunan patrilineal menjadi tulang punggung masyarakat

Batak dalam melanjutkan keturunan, marga, kelompok suku, yang semuanya saling

berhubungan menurut garis laki-laki. Anak laki-laki sangat berarti kehadirannya

dalam suatu keluarga karena merupakan penerus keturunan ataupun marga dalam

silsilah keluarga.

Marga adalah kelompok kekerabatan yang terdiri dari semua keturunan dari

seorang leluhur yang diperhitungkan malalui garis keturunan pria atau wanita.

Berbicara tentang marga, marga hanya bisa diturunkan oleh seorang laki-laki kepada

keturunannya baik laki-laki maupun perempuan. Anak-anak yang lahir akan

(9)

Minangkabau. Salah satu alasan itulah mengapa hanya anak laki-laki yang berhak atas

harta warisan. Anak laki-laki penyambung garis silsilah si pewaris, sedangkan anak

perempuan ketika menikah ia akan bergabung dengan keluarga suami, melahirkan

anak-anak yang akan meneruskan marga suami.

Dalam masyarakat Batak Toba, suatu perkawinan akan mengalami atau

memunculkan permasalahan apabila dalam perkawinan tersebut tidak lahir seorang

anak pun atau adanya kegagalan dalam mendapatkan anak laki-laki. Bagi kehidupan

keluarga Batak, keturunan itu sangat penting terutama dalam menurunkan marganya.

Dahulu, jika dalam sebuah perkawinan tidak melahirkan keturunan atau tidak juga

mendapatkan anak laki-laki, maka si suami akan melakukan poligami yaitu suatu

perkawinan yang memperbolehkan masing-masing jenis baik pria maupun wanita

mempunyai lebih dari seorang istri atau suami berdasarkan adat. Saat ini bentuk

perkawinan ini jarang dilakukan, walaupun satu keluarga itu tidak mempunyai anak

atau hanya mempunyai anak perempuan saja. Perangin angin (2004) mengemukakan

bahwa salah satu alasannya adalah karena rasa saling mencintai dan menerima

keadaan dengan pasrah serta pengaruh agama kristiani yang dianut masyarakat Batak

Toba melarang keras untuk berpoligami.

Agama Kristiani masuk ke wilayah Nusantara dibawa oleh Misionaris Belanda

khususnya aliran Protestan. Protestan lahir dari suatu gerakan yang menegakkan

ajaran yang di duga sudah mulai melenceng. Tokoh reformator gereja seperti Martin

Luther, Johanes Calvin, Zwingly yang kesemuanya dari Eropa. Aliran Kristen

Protestan sangat menekankan ajaran agama menurut kitab suci, namun disamping itu

juga sangat menekankan aspek kesejahteraan bagi jemaatnya. Etika Protestan yang

(10)

jemaatnya menjadi lebih maju salah satunya meninggalkan kebiasaan perkawinan

poligami.

Sekarang ini ada pilihan bagi pasangan-pasangan suami istri yang sama sekali

tidak mempunyai keturunan atau tidak mempunyai anak laki-laki salah satunya adalah

mengambil anak angkat (mengadopsi anak). Pengangkatan anak sering diistilahkan

dengan adopsi. Adopsi berasal dari Adoptie (dalam bahasa Belanda) atau adoptions

(dalam bahasa Inggris) adoptions artinya pengangkatan atau pemungutan, jadi

Pengangkatan anak disebut adoptions of a child, yaitu mengangkat anak orang lain

sebagai anak sendiri.

Ter Haar menyatakan ada beberapa alasan dalam pengangkatan anak di

beberapa daerah, antara lain :

1) Motivasi perbuatan adopsi dilakukan adalah karena rasa takut bahwa keluarga

yang bersangkutan akan punah (Fear of extinction of afamily);

2) Rasa takut akan meninggal tanpa mempunyai keturunan dan sangat kuatir akan

hilang garis keturunannya (Fear of diving childless and so suffering the axtinction of

the line of descent).

Dari motivasi di atas terkandung asas mengangkat anak untuk meneruskan

garis keturunan. Di daerah Tapanuli, Nias, Gayo, Lampung, Maluku, Kepulauan

Timor dan Bali yang menganut garis patrilineal, pengangkatan anak pada prinsipnya

hanya pengangkatan anak laki-laki dengan tujuan utamanya adalah untuk

meneruskan keturunan.

Pengangkatan anak secara hukum adat yang dilakukan di beberapa daerah

seperti pada masyarakat Batak Karo yang menganut sistem patrilineal yaitu, setelah

(11)

kekeluargaan dengan ayah kandungnya menjadi terputus sama sekali dan anak

tersebut menjadi masuk kedalam Clan ayah angkatnya. Di daerah Jawa Barat, di

samping mewaris harta gono gini (kaya reujeung) dari orang tua kandungnya sendiri.

Dalam hukum perdata hal tersebut dikenal dengan sebutan anak angkat menerima air

dari dua sumber. Di Bali perbuatan mengangkat anak adalah perbuatan hukum yang

melepaskan anak itu dari pertalian kekeluargaan dengan orang tuanya sendiri dan

memasukkan anak itu ke dalam keluarga bapak angkat, sehingga anak tersebut

berstatus seperti anak kandung, untuk meneruskan turunan bapak angkatnya. Di

daerah Rejang (Bengkulu) anak angkat mempunyai kedudukan sebagai anak kandung

dari orang tua angkatnya dan merupakan ahli waris mereka sepenuhnya

(Masalah-masalah Hukum Perdata Adat, 1981)

Permasalahan yang menarik dalam hal ini adalah bagaimana kedudukan anak

angkat tersebut dalam pembagian harta warisan yang dimiliki oleh orang tua

angkatnya, khususnya pada masyarakat yang menganut sistem keturunan patrilineal.

Sistem keturunan patrilineal dianut oleh masyarakat Batak Toba yang menarik

sistem pewarisan dari pihak laki-laki. Di daerah Batak Toba yang menganut sistem

kekerabatan patrilineal, anak laki-laki merupakan penerus keturunan ataupun marga

dalam silsilah keluarga. Anak laki-laki sangat berarti kehadirannya dalam suatu

keluarga. Pada masyarakat Batak Toba, apabila suatu keluarga tidak mempunyai anak

laki-laki, maka ia dapat mengangkat seorang anak laki-laki yang disebut dengan anak

naniain dengan syarat anak laki-laki yang diangkat haruslah berasal dari lingkungan

keluarga atau kerabat dekat orang yang mengangkat.

Pengangkatannya haruslah dilaksanakan secara terus terang yaitu dilakukan di

hadapan dalihan na tolu dan pemuka-pemuka adat yang bertempat tinggal di desa

(12)

pengangkatan anak sebagaimana diuraikan di atas telah terpenuhi, maka anak tersebut

akan menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya dan tidak lagi mewaris dari orang

tua kandungnya.

Sementara itu, ketentuan pokok dalam hukum warisan Batak Toba adalah

bahwa anak laki-laki merupakan pewaris harta peninggalan bapaknya. Janda dengan,

atau tanpa, anak laki-laki tidak dapat mewarisi. Anak laki-laki dari ibu yang berlainan

dalam suatu perkawinan bigami merupakan kelompok tersendiri, sebagaimana dengan

anak laki-laki dari bapak yang berlainan tetapi dari ibu yang sama, seperti yang

terdapat dalam perkawinan ganti tikar. Anak sulung (sihahaan), yang menggantikan

bapak, dan anak bungsu (siampudan atau sianggian) yang mengurus orang tua di usia

senja, menempati kedudukan khusus dalam hukum waris dibandingkan dengan

anak-anak yang di tengah (silitonga) (Vergoewen:1986).

Demikian juga halnya dengan anak angkat. Ia juga berhak atas warisan

sebagai anak bukan orang asing. Sepanjang perbuatan pengangkatan anak atau adopsi

telah menghapuskan perangainya sebagai orang asing dan menjadikannya sebagai

anak maka anak angkat berhak atas warisan sebagai seorang anak. Itulah titik

pangkalnya hukum adat. Namun boleh jadi, bahwa terhadap kerabatnya kedua

orangtua yang mengangkat anak, anak tersebut tetap asing dan tidak mendapatkan

apa-apa dari harta benda orang tua angkatnya. Mengangkat anak sebagai perbuatan

tunai selalu menimbulkan hak sepenuhnya atas warisan (Ter Haar :247).

Anak angkat mendapat warisan dari orang yang mengangkatnya dan akan

menjadi ahli waris. Dalam hal pengangkatan anak, apabila anak yang diangkat

laki-laki maka anak tersebut harus merujuk pada marga orang tua yang mengangkatnya.

(13)

adat yang berlangsung pada kehidupan masyarakat Batak Toba yaitu Sistem Dalihan

na tolu yang terdiri dari tiga buah batu, ketiga hubungan itu adalah:

1. Dongan sabutuha (teman semarga)

2. Hula-Hula (keluarga dari pihak istri)

3. Boru (keluarga dari pihak laki-laki)

Posisi kekerabatan sebagai dongan sabutuha, sebagai boru dan sebagai

hula-hula tidak statis, tetapi bergerak terus, adakalanya sebagai hula-hula-hula-hula tetapi di kala lain

dia menjadi boru, bergantung pada acara adat apa yang sedang di gelar. Sistem

dalihan na tolu tersebut merupakan hukum yang mengatur tata kehidupan masyarakat

suku Batak Toba seperti halnya dengan pengangkatan anak tersebut.

Berbeda halnya dengan anak laki-laki dari seorang perempuan yang berada

dalam suatu ikatan perkawinan yang tidak resmi tidak akan mendapat warisan. Jika

orang yang meninggal tidak memiliki keturunan, dan juga tidak memiliki bapak

ataupun kakek maka harta warisan berpindah ke sanak koletoral (panean). Pihak yang

terpenting di antara mereka adalah saudara kandung orang yang meninggal,

seandainya tidak ada maka menyusul paman dan sepupu dari kakek yang sama dan

begitu seterusnya. Jika orang yang meninggal tidak lagi memiliki isteri ataupun anak

perempuan maka panean dapat mengambil seluruh harta peninggalan. Namun jika

orang yang meninggal memiliki isteri dan anak peempuan maka panean harus

merelakan sebagaian dari harta warisan itu untuk diberikan kepada mereka, selain itu

panean juga harus menyerahkan apa yang menjadi hak anak-anak perempuan itu, baik

saat itu juga maupun dikemudian hari. (Vergoewen, 1986 : 337-338).

Masyarakat Batak Toba yang terdapat di daerah Desa Bagan Batu, Kecamatan

Bagan Sinembah, Kabupaten Rokan Hilir, Riau. Di daerah tersebut terdapat beberapa

(14)

(mengadopsi anak) dengan berbagai alasan. Ada yang mengangkat anak laki-laki

karena semua anak kandungnya perempuan, ada yang memang sudah lama menikah

tapi belum juga dikaruniai seorang anak dan ada juga yang mengangkat anak

kerabatnya, berdasarkan hal-hal tersebut maka mendorong penulis untuk melakukan

penelitian bagaimana sebenarnya realitas posisi anak angkat tersebut dalam sistem

pewarisan adat Batak Toba dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana kedudukan

anak angkat tersebut dalam hak dan kewajiban sebagai bagian masyarakat Batak Toba

yang ada di Desa Bagan Batu Kecamatan Bagan Sinembah Kabupaten Rokan Hilir,

Riau.

1.2 Perumusan Masalah.

Perumusan masalah diperlukan untuk menentukan jalannya penelitian,

berdasarkan uraian yang telah dikemukakan maka sebagai rumusan masalah adalah

sebagai berikut:

a. Posisi anak angkat dalam masyarakat Batak Toba di Desa Bagan Batu?

b. Bagaimana pembagian hak waris dan apa saja kewajiban anak angkat pada

masyarakat Batak Toba di Bagan Sinembah ?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Meskipun penelitian ini akan berusaha untuk melihat gambaran menyeluruh

dari sistem pengangkatan anak pada masyarakat Batak khususnya pada suku bangsa

Batak Toba pada suatu wilayah yang dipilih atau ditentukan dan efektifitasnya

terhadap usaha untuk mempermudah menyelesaikan persoalan dalam menentukan

hak-hak waris yang diperoleh agar nantinya dapat membantu dalam penyelesaian bila

(15)

biaya, serta untuk menjaga penilaian agar lebih terarah dan fokus, maka diperlukan

adanya pembatasan masalah.

Dengan pertimbangan tersebut, maka penelitian ini dibatasi pada hal yang

berkenaan dengan bagaimana kedudukan anak angkat pada masyarakat Batak Toba

dan akibat hukumnya pada harta benda orang tua angkatnya. Dalam hal ini penulis

akan melihat bagaimana si anak angkat dapat menjadi anak yang sah di mata hukum

dalam memperoleh harta benda orang tua angkatnya, serta perlakuan keluarga

angkatnya pada dirinya. Kecuali itu, penulis juga mencoba memperhatikan pandangan

masyarakat terhadap permasalahan tersebut.

1.4 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Desa Bagan Batu, Kec. Bagan Sinembah, Kab.

Rokan Hilir, Riau. Lokasi ini dipilih karena di daerah tersebut terdapat

pasangan-pasangan suami istri yang mengadopsi anak dan sebagai bagian dari masyarakat suku

Batak Toba.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan kedudukan anak angkat di

masyarakat Batak toba dalam lingkungan orang tua angkat dan kedudukannya

memperoleh hak dan kewajiban. Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan

sumbangsih berdasarkan hasil penelitian dalam upaya reformasi hukum yang jelas

dalam penyelesaian hak dan kewajiban anak angkat yang tidak diskriminatif dalam

(16)

1.6 Tinjauan Pustaka

Menurut Malinowski (1967) hukum bersahaja bukan merupakan suatu sistem

homogen yang mencakup perangkat aturan seragam yang sempurna, yang

kesemuanya didasarkan pada suatu prinsip yang dikembangkan kedalam suatu sistem

yang konsisten. Ter Haar (1985), juga mengatakan hakekatnya hukum adat mencakup

seluruh peraturan-peraturan yang menjelma didalam keputusan–keputusan para

pejabat hukum dalam arti yang luas yang mempunyai kewibawaan dan pengaruh,

serta yang di dalam pelaksanaannya berlaku secara spontan dan dipatuhi dengan

segenap hati oleh mereka yang diatur oleh keputusan-keputusan yang mengenai suatu

persengketaan, akan tetapi juga keputusan-keputusan yang diambil berdasarkan

kerukunan dan musyawarah (jadi diluar persengketaan), keputusan-keputusan tersebut

diambil atas dasar nilai-nilai yang hidup dan sesuai dengan jiwa warga masyarakat di

mana keputusan tadi diambil.

Menurut Soepomo (1977), hukum adat merupakan hukum yang tidak tertulis

dalam arti yang luas sekali, yaitu dalam arti hukum kebiasaan yang tidak tertulis yang

juga mencakup ketatanegaraan dan peradilan, maka juga agak mengabaikan yang

tertulis dari hukum adat. Hal ini dapat dimengerti mengingat bahwa memang bagian

yang tertulis dalam hukum adat sangat sedikit sekali.

Hukum waris Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW telah mengubah

hukum waris Arab pra-Islam dan sekaligus merombak struktur hubungan kekerabatan,

bahkan merombak sistem pemilikan masyarakat tersebut atas harta benda, khususnya

harta pusaka. Sebelumnya, dalam masyarakat Arab ketika itu, wanita tidak

diperkenankan memiliki harta benda --kecuali wanita dari kalangan elite-- bahkan

wanita menjadi sesuatu yang diwariskan, selain itu syarat menjadi ahli waris adalah

(17)

Islam merinci dan menjelaskan melalui Al-Qur'an Al-Karim bagian tiap-tiap

ahli waris dengan tujuan mewujudkan keadilan didalam masyarakat. Meskipun

demikian, sampai kini persoalan pembagian harta waris masih menjadi penyebab

timbulnya keretakan hubungan keluarga. Ternyata, disamping karena keserakahan dan

ketamakan manusianya, kericuhan itu sering disebabkan oleh kekurangtahuan ahli

waris akan hakikat waris dan cara pembagiannya.

Kekurang pedulian umat Islam terhadap disiplin ilmu waris memang tidak

dipungkiri, bahkan kondisi sosial telah mengisyaratkannya: "Betapa banyak manusia

sekarang mengabaikan ilmu faraid,” sebagai tambahan Hadits riwayat Muslim

mengatakan bahwa : “bahagikanlah (bagikanlah) harta itu antara orang-orang yang

berhak, menurut kitab Allah.”

Ayat Alquran juga menjelaskan tentang pembagian warisan secara implisit,

yang terkandung dalam surat Al-Baqarah (2):182 :

182. (Akan tetapi) barangsiapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu, berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan[113] antara mereka, maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ([113]. Mendamaikan ialah menyuruh orang yang berwasiat berlaku adil dalam mewasiatkan sesuai dengan batas-batas yang ditentukan syara'.)

Selain itu, dalam Islam juga dikenal hukum mengenai waris dan pembagian

warisan yang disebut dengan Al-Faroi’dl, Ilmu artinya pengetahuan, Al-Faroi'dl

artinya bagian-bagian tertentu. Jadi Ilmu Al-Faroi'dl secara garis besar merupakan

pengetahuan untuk membagikan harta warisan atau Ilmu Pembagian Pusaka.

Menurut Hadits Riwayat Ahmad, Tirmidzi, dan Nasaie :

(18)

Buku Al-Faro'idl ini berisi cara perhitungan pembagian warisan secara jelas

menurut syariat, sangat jelas dan disertai dalil-dalil Al-Quran dan Hadits sehingga

sangat mudah untuk dipraktekan walaupun bagi umat Islam yang sama sekali buta

akan ilmu pembagian waris ini. Metode perhitungannya berdasarkan logika yang detil

tanpa pecahan desimal dan semua perhitungan matematika didalammya sangat

sederhana dan hanya menggunakan pecahan biasa.

Hassan (1999) ini menjelaskan identitas, nama, atau istilah dari para calon

penerima harta warisan (ahli waris) yang pada akhirnya setelah diproses secara syariat

akan tersaring siapa yang berhak menerima warisan dan siapa yang tidak berhak

(terhijab) dan jumlah persentase dari masing-masing ahli waris, adapun syarat utama

penerima waris adalah sehat secara jasmani dan rohani serta tidak kehilangan haknya

sebagai penerima waris. Setelah perhitungan selesai, persentase tersebut dikalikan

dengan total warisan yang akan dibagikan (setelah dikurangi hutang, wasiat, biaya

pemakaman, dan lain-lain).

Dalam pembagian waris secara hukum Islam juga dapat berdasarkan atas

kesepakatan yang tercapai dengan mengutamakan pembagian yang adil, hal ini sejalan

dengan pendapat Shihab (2004:86-87) yang mengatakan bahwa :

“... jika seluruh ahli waris –sekali lagi seluruh mereka—sepakat untuk membaginya dengan cara lain maka pada prinsipnya ini dapat dibenarkan, karena ketika itu, masing-masing pemilik hak merelakan haknya.”

Hukum adat yang secara tak langsung juga berhubungan dengan kebudayaan,

kebudayaan mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting didalam

kehidupan manusia. Sehari-hari orang tidak mungkin tidak berurusan dengan hasil

kebudayaan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Setiap orang

mempergunakan dan bahkan kadang-kadang merusak hasil kebudayaan. Kebudayaan

(19)

warga masyarakat dari alam dan bahkan masyarakat itu sendiri. Karena kebudayaan

terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perikelakuan yang normatif

yang mencakup segala cara-cara atau pola-pola berfikir, merasakan dan berkehendak.

Kebudayaan merupakan struktur normatif atau disebut oleh Ralph Linton sebagai

Design For Living. Artinya kebudayaan merupakan suatu Blue Print Of Behavior

yang memberikan pedoman-pedoman tentang apa yang harus dilakukan, boleh

dilakukan dan yang dilarang. (Soekanto:1974; 1-2).

Pada hakekatnya kebudayaan itu mempunyai tiga perwujudan, yaitu: pertama

wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai,

norma-norma dan sebagainya. Kedua kebudayaan dapat mewujudkan diri sebagai kompleks

aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat. Ketiga kebudayaan dapat

berwujudkan benda-benda hasil karya manusia. Wujud yang pertama dari kebudayaan

dapat dijumpai dalam alam yang idealis dari warga masyarakat dimana kebudayaan

yang bersangkutan itu hidup, wujud partama dari kebudayaan ini lebih dikenal dengan

sebutan kebudayaan idiil yang berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur,

mengendalikan, serta memberikan arah kelakuan dalam perbuatan masyarakat

(Koentjaraningrat: 1974; 15).

Searah dengan pendapat tersebut khususnya yang mengenai hukum adat

Indonesia dikatakan bahwa; sebagai sesuatu pernyataan kebudayaan orang Indonesia

asli maka tampak pada pembangunan hidup dan tingkah lakunya. Orang Indonesia

pada umumnya merasa dirinya sebagian dari alam sekitarnya, dan di dalam tingkah

lakunya dia harus memperhitungkan kekuatan-kekuatan diluar kemampuan manusia

yang tidak tampak.

Soepomo (1977:81-82) menyatakan bahwa hukum waris itu memuat

(20)

barang-barang harta benda dan barang-barang-barang-barang yang tidak berwujud (Immateriale goedaren)

dari suatu angkatan manusia (“generation”) kepada turunannya. Proses ini telah mulai

dalam masih hidup. Proses tersebut tidak menjadi “akut” oleh sebab orang tua

meninggal dunia. Memang meninggalnya bapak atau ibu adalah suatu peristiwa yang

penting bagi proses itu, akan tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal

proses penerusan dan pengoperan harta benda dan harta bukan benda tersebut.

Hukum adat waris di Indonesia sangat dipengaruhi oleh prinsip garis

keturunan yang berlaku bagi masyarakat yang bersangkutan, yang merupakan prinsip

patrilineal murni, patrilineal beralih-alih (altenerend), matrilineal maupun bilateral

(walaupun sukar ditegaskan dimana berlakunya di Indonesia), ada pula prinsip

unilateral berganda atau (double-unilateral). Prinsip-prinsip garis keturunan terutama

berpengaruh pada penetapan ahli waris maupun bagi harta peninggalan yang

diwariskan (baik yang materil maupun yang immaterial).

Hukum adat waris mengenal adanya tiga sistem kewarisan, yaitu:

a). Sistem kewarisan individual yang merupakan sistem kewarisan dimana

para ahli waris mewarisi secara perongan, (Batak, Jawa, Sulawesi dan lain-lain).

b). Sistem kewarisan kolektif, dimana para ahli waris secara kolektif

(bersama-sama) mewarisi harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi pemiliknya

kepada ahli waris (Minangkabau).

c). Sistem kewarisan mayoritas, yaitu sistem kewarisan yang menentukan

bahwa harta peninggalan pewaris hanya diwarisi oleh seorang anak. Sistem mayorat

ada dua macam, yaitu:

I). Mayoritas laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki tertua pada saat pewaris

meninggal atau anak laki-laki tersulung (atau keturunan laki-laki) merupakan ahli

(21)

II). Mayoritas perempuan, yaitu apabila anak perempuan tertua pada saat

pewaris meninggal dunia, adalah waris tunggal, misalnya pada masyarakat Tanah

Sumendo di Sumatera Selatan.

Apabila sistem kewarisan dihubungkan dengan prinsip garis keturunan maka

(Hazairin,

“Sifat individual atau kolektif maupun mayorat dalam hukum kewarisan tidak perlu langsung menunjuk kepada bentuk masyarakat dimana hukum kewarisan itu berlaku, sebab sistem kewarisan yang individual bukan saja dapat ditemui dalam masyarakat yang bilateral, tetapi dapat juga dijumpai dalam masyarakat yang patrilineal seperti di tanah Batak, malahan di tanah batak itu di sana-sini mungkin pula dijumpai sistem mayoritas dan sistem kolektif yang terbatas”.

Pada hakekatnya subjek hukum waris adalah pewaris dan ahli waris. Pewaris

adalah seseorang yang meninggalkan harta warisan,serta ahli waris adalah seseorang

yang atau beberapa orang yang merupakan penerima harta warisan. Pada umumnya

yang menjadi ahli waris adalah mereka yang menjadi besar dan hidup sangat dekat

dengan peninggal warisan. Pertama pada dasarnya yang menjadi ahli waris adalah

anak-anak dari si peninggal harta dan yang berikutnya adalah anak adopsi atau anak

angkat.

Pembagian warisan yang dilakukan di lokasi penelitian dengan kemajemukan

hukum, artinya: Hukum adat berkolaborasi dengan hukum agama islam, karena

masyarakat Batak Toba yang ada di Bagan Sinembah mayoritas islam.

Kemajemukan hukum menurut Masinambow (2000,5-6) menyatakan bahwa

hukum merupakan salah satu aspek kebudayaan, atau dapat dilakukan sebagai suatu

objek otonom yang terpisah dengan kebudayaan, jadi kemajemukan hukum yaitu

pandangan bahwa dalam dunia pragmatis sedikit-dikitnya dua sistem norma atau dua

sistem aturan terwujud di dalam interaksi sosial, sedangkan pada pihak lain

(22)

berperan dan menyesuaikan diri didalam kondisi seperti itu, yang terutama dipikirkan

adalah bagaimana aspek-aspek budaya dari satu kelompok sosial berbeda dengan

kelompok sosial yang lain.

1.7 Metode Penelitian.

Penelitian ini adalah suatu penelitian kualitatif yang meneliti suatu fenomena

sosial tertentu yang terjadi ditengah-tengah masyarakat, khususnya mengenai

persoalan kedudukan anak angkat pada masyarakat Batak Toba. Oleh karena itu

peneliti menggunakan beberapa teknik pengumpulan data yang akan digunakan

dilapangan antara lain :

Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan sebuah

model studi kasus. Studi kasus adalah strategi penelitian yang terfokus pada

pemahaman terhadap sesuatu yang dinamis yang melibatkan satu kasus atau lebih

dengan tingkat analisa yang berbeda-beda dan dapat memberikan gambaran terhadap

suatu masalah. Ketika menggunakan model studi kasus, masalah yang diteliti adalah

suatu realitas sosial yang benar-benar terjadi di masyarakat sehingga masalah tersebut

dapat dideskripsikan dari awal sampai akhir. Oleh karena itu penelitian ini

menggunakan model studi kasus `alasannya adalah agar dapat lebih memahami dan

mengerti permasalahan penelitian sehingga mampu memberikan satu gambaran yang

lebih dalam tentang kedudukan anak angkat pada masyarakat Batak Toba.

1.7.1 Tehnik Pengumpulan Data

Data dapat dibagi atas 2 (dua) kelompok yaitu data primer dan data sekunder.

Data primer merupakan data yang diperoleh dari lapangan, sedangkan data sekunder

merupakan data yang diperoleh dari buku, jurnal, studi kepustakaan dll. Data primer

(23)

yang memberikan informasi sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh peneliti.

Informan dalam penelitian ini terdiri dari informan pangkal, informan pokok/kunci

dan informan biasa.

Informan pangkal adalah orang yang dianggap memiliki pengetahuan lebih

banyak tentang masalah yang diteliti yaitu kedudukan anak angkat pada masyarakat

Batak Toba misalnya notaris dan pemuka-pemuka adat dan agama.

Informan pokok/kunci adalah orang tua angkat dan anak angkat, Informan

pangkal dan informan pokok/kunci diperoleh data mengenai kedudukan anak angkat

pada masyarakat Batak Toba. Untuk membuktikan data dan memperkuat data yang

diperoleh dari informan pangkal dan informan pokok maka diwawancarai juga

informan biasa seperti orang tua kandung dan masyarakat sekitar lingkungan tempat

tinggal mereka.

1.7.2 Wawancara

Informasi yang telah diperoleh dari para informan untuk melengkapi data-data

dilakukan melalui proses wawancara. Metode wawancara yang digunakan adalah

wawancara yang bersifat bebas dan mendalam (depth Interview).

Wawancara yang bersifat mendalam adalah proses memperoleh keterangan

untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara peneliti

dan informan, dimana peneliti dan informan terlibat percakapan yang cukup lama.

Pelaksanaan wawancara tersebut tidak hanya dilakukan sekali atau dua kali saja

melainkan berulang-ulang dengan intensitas yang tinggi. Sebelum mengumpulkan

data dilapangan dengan metode wawancara tersebut, peneliti menyusun pedoman

(24)

proses wawancara antara peneliti dengan informan berjalan dengan lancar karena

pedoman wawancara dapat digunakan untuk mengarahkan fokus dari pertanyaan

ketika mengumpulkan data.

Untuk melengkapi dan memperkuat data yang sudah ada, peneliti juga

menggunakan metode wawancara yang bersifat bebas yaitu wawancara yang

dilakukan peneliti kepada informan tanpa ada persiapan terlebih dahulu dan biasanya

wawancara tersebut dilakukan apabila peneliti secara kebetulan bertemu dengan si

informan. Walaupun wawancara ini dilakukan secara bebas, tetapi kebebasan ini tidak

terlepas dari pokok permasalahan yang akan ditanyakan kepada informan. Dengan

metode tersebut, peneliti dapat mengumpulkan data-data yang dibutuhkan yang

berkaitan dengan kedudukan anak angkat pada masyarakat Batak Toba.

Dalam melakukan wawancara ini, langkah pertama adalah peneliti menyaring

daftar para informan yang dalam keluarganya terdapat anak angkat, yaitu yang sesuai

dengan kriteria dan ketentuan dalam masalah penelitian. Setelah peneliti merasa

yakin dengan informan yang ada maka wawancara dilakukan secara bertahap pada

masing-masing keluarga informan dan ini dilakukan secara berkali-kali sampai data

yang diperlukan terkumpul. Wawancara mendalam yang ditujukan kepada informan

pangkal untuk memperoleh data mengenai latar belakang sejarah desa, adat istiadat

masyarakat setempat dan data-data mengenai kependudukan. Wawancara mendalam

yang di tujukan kepada informan kunci yaitu para orang tua angkat dan anak-anak

angkatnya untuk memperoleh informasi tentang :

- Persoalan mendasar tentang alasan mereka melakukan pengangkatan anak

(25)

- Bagaimana kedudukan anak angkat daharta warisan yang akan dibagikan dalam keluarga mereka

- Berapa bagian yang harus mereka berikan kepada anak angkat dan berapa besar bagian yang akan anak angkat dapatkan dari pembagian harta warisan tersebut.

Sedangkan wawancara mendalam yang dilakukan pada informan biasa

dilakukan untuk review informasi dan mempertegas keabsahan data dari informan

kunci juga untuk memperoleh informasi tentang bagaimana tanggapan mereka

terhadap permasalahan kedudukan anak angkat dalam pembagian harta warisan

tersebut.

Untuk melengkapi data yang telah terkumpul dari lapangan, peneliti kemudian

mencari data kepustakaan dengan satu tujuan untuk mendapatkan landasan teori yang

kuat, melalui pendapat para ahli yang berkaitan dengan masalah yang telah diteliti.

Hal ini dapat ditemukan dari beberapa buah literatur, yang terdiri dari buku-buku,

internet, artikel-artikel dan majalah-majalah tertentu yang sesuai dengan

permasalahan yang diteliti.

1.7.3 Analisis Data

Data-data yang diperoleh melalui kegiatan pengumpulan data akan dianalisa

secara kualitatif. Keseluruhan data yang diperoleh dari observasi dan wawancara

tersebut di olah setelah dianalisis pada tiap-tiap data yang dikumpulkan. Kemudian

menguraikan pada bagian-bagian permasalahan dengan membuat sub-sub judul pada

bab-bab dalam penulisan penelitian. Analisa data yang dilakukan sesuai dengan kajian

Antropologis dengan melihat permasalahan yang ada.. Analisa data dilakukan mulai

pada saat meneliti atau selama proses pengumpulan data berlangsung hingga

(26)

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1 Sejarah Kota Bagan Sinembah

Hasil kajian Hasan Junus (google.com/sejarah_riau.html) , seorang peneliti

naskah Melayu di Riau mencatat paling kurang ada 3 kemungkinan asal nama Riau,

yaitu :

Riau berasal dari penamaan orang Portugis dengan kata Rio yang berarti

sungai, kedua mungkin berasal dari tokoh sinbad Al-bahar dalam kitab Alfu Laila Wa

laila (seribu satu malam) yang menyebut Riahi yang berarti air atau laut, yang ke dua

ini pernah di kemukakan oleh Oemar amin Husin, seorang tokoh masyarakat dan

pengarang Riau dalam salah satu pidatonya mengenai terbentuknya propinsi Riau.

Ketiga berasal dari penuturan masyarakat setempat, diangkat dari kata Rioh atau Riuh,

yang berarti ramai,Hiruk pikuk orang bekerja.

Nama Riau yang berasal dari penuturan orang melayu setempat, kabarnya ada

hubungannya dengan peristiwa didirikannnya negeri baru di sungai Carang, Untuk

dijadikannya pusat kerajaan. Hulu sungai inilah yang kemudian bernama Ulu Riau.

Adapun peristiwa itu kira-kira mempunyai teks sebagai berikut:

Tatkala perahu-perahu dagang yang semula pergi ke makam Tuhid (ibu kota kerajaan

Johor) di perintahkan membawa barang dagangannya ke sungai Carang di pulau

Bintan (suatu tempat sedang didirikan negeri baru) di muara sungai itu mereka

kehilangan arah, bila ditanyakan kepada awak-awak perahu yang hilir, “ dimana

tempat orang-orang raja mendirikan negeri ?” mendapat jawaban di sana di tempat

yang rioh, sambil mengisaratkan ke hulu sungai menjelang sampai ketempat yang di

(27)

berdasarkan beberapa keterangan di atas maka nama Riau besar kemungkinan

memang berasal dari penamaan rakyat setempat, yaitu orang melayu yang hidup di

daerah Bintan, nama itu besar kemungkinan telah mulai terkenal semenjak Raja kecik

memindahkan pusat kerajaan melayu dari johor ke ulu Riau pada tahun 1719.

Nama yang di pakai sebagai salah satu negeri dari 4 negeri utama yang

membentuk kerajaan Riau, Linggar, Johor dan pahang,. Kemudian dengan perjanjian

London 1824 antara Belanda dengan Inggris, kerajaan ini terbelah dua, Belahan

Johor, Pahang berada di bawah pengaruh Inggris,Sedangkan belahan Riau-Lingga

berada dibawah pengaruh Belanda.

Zaman Penjajahan belanda 1905-1942 nama Riau di pakai untuk sebuah

keresidenan yang daerahnya meliputi kepulauan Riau serta Pesisir timur sumatera

bagian tengah. Setelah propinsi Riau terbentuk tahun 1958, Maka nama itu di samping

di pergunakan pula untuk nama sebuah propinsi yang penduduknya dewasa itu

sebagian besar terdiri dari orang melayu.

Propinsi Riau yang di diami oleh sebagian puak Melayu dewasa ini masih

dapat di telusuri ke belakang, mempunyai suatu perjalanan yang cukup panjang. Riau

yang daerahnya meliputi Kepulauan Riau sampai Pulau tujuh dilaut Cina selatan lalu

kedaratan Sumatera meliputi daerah aliran sungai dari Rokan sampai Kuantan dan

Inderagiri. Sebenarnya juga telah pernah di rintis oleh sang Sapurba, seorang diantara

raja-raja Melayu yang masih punya kerinduan terhadap kebesaran Melayu sejak dari

Sri Wijaya sampai Malaka. Seperti di ceritakan dalam sejarah Melayu (Sulalatus

Salatin) dalam cerita yang kedua, sang Sapurba telah mencoba menyatukan daerah

Bintan (kepulauan Riau) dengan Kuantan di belahan daratan Sumatera. Kemudian

(28)

di belahan Sumatera, yang terakhir Raja Haji Fisabilillah mencoba menyatukan

daerah kepulauan Riau dengan Inderagiri, Diantaranya Pekan Lais.

Pembentukan Provinsi Riau telah memerlukan waktu paling kurang 6 tahun,

Yaitu dari tahun 1952 sampai 1958. Usaha pembentukan propinsi ini melepaskan diri

dari propinsi Sumatera Tengah (yang meliputi Sumatera Barat, jambi dan Riau ) di

lakukan di tingkat DPR pusat oleh ma’rifat Marjani, dengan dukungan penuh dari

seluruh penduduk Riau.

Pembentukan Propinsi ini telah di tetapkan dengan undang-undang darurat No

19/1957 yang kemudian di undangkan dengan Undang-Undang No 61 tahun 1958.

Propinsi Riau ini merupakan gabungan dari sejumlah kerajaan Melayu yang pernah

berdri di rantau ini, diantaranya ialah kerajaan Inderagiri (1658-1838), Kerajaan Siak

(1723-185). Kerajaan Pelalawan (1530-1879), Kerajaan Riau-Lingga (1824-1913) dan

banyak lagi kerajaan kecil lainnya,Seperti Tambusai, Rantau Binuang Sakti, Rambah,

Kampar dan Kandis (Rantau Kuantan).

Dalam sejarahnya , daerah Riau pernah menjadi penghasil berbagai hasil bumi

dan barang lainnya. Pulau Bintan pernah di juluki sebagai pulau seganteng lada,

karena banyak menghasilkan Lada. Daerah Pulau tujuh, terutama pulai Midai pernah

menjadi penghasil Kopra terbesar di Asia tenggara,paling kurang sejak tahun 1906

sampai tahun 1950-an. Bagan Siapi-api sampai tahun 1950-an adalah penghasil ikan

terbesar di Indonesia, Batu bata yang di buat perusahaan raja Aji kelana di pulau

Batam,pasarannya mencapai Malaysia sekarang ini. Kemudia dalam bidang penghasil

karet alam, dengan sisitem kupon tahun 1930-an belahan daratan seperti

(29)

2.1.1 Sejarah Terbentuknya Bagan Sinembah

Bagan Sinembah dibentuk dari 3 kenegerian, yaitu Negeri Kubu, Bangko, dan

Tanah Putih. Negeri-negeri tersebut dipimpin oleh seorang Kepala Negeri yang

bertanggung-jawab kepada Sultan Kerajaan Siak.

Distrik pertama didirikan oleh Belanda di daerah Tanah Putih pada saat

menduduki daerah ini pada tahun 1890, setelah Bagan Siapi-api yang di buka oleh

pemukim-pemukim etnis Cina berkembang pesat, maka Belanda memindahkan

pemerintahan Kontroleur-nya ke kota Bagan api pada tahun 1901. Bagan

Siapi-api semakin berkembang setelah Belanda membangun pelabuhan moderen dan

terlengkap di Bagansiapiapi guna mengimbangi pelabuhan lainnya di Selat Malaka

hingga Perang Dunia I usai, setelah Indonesia merdeka, Bagan Sinembah

digabungkan kedalam Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau.

Bekas wilayah Kewedanan Bagansiapiapi yang terdiri dari kecamatan Tanah

Putih, Kubu dan Bangko serta Kecamatan Rimba Melintang dan Kecamatan Bagan

Sinembah kemudian pada tanggal 4 Oktober 1999 ditetapkan oleh Pemerintah

Republik Indonesia sebagai Kabupaten baru di Provinsi Riau sesuai dengan

Undang-undang Nomor 53 Tahun 1999. sebagai ibukota ditetapkan di Bagan Sinembah.

Bagan Sinembah adalah salah satu kecamatan yang terletak di Kabupaten

Rokan Hilir Provinsi Riau, yang terdiri dari atas 20 Kepenghuluan. Luas wilayah

seluruh kepenghuluan sekitar 1.116,46 Km2. Pada setiap kepenghuluan dipimpin oleh

seorang Penghulu, dalam setiap Kepenghuluan telah dibentuk Dusun, Rukun Warga

(RW) dan Rukun Tetangga (RT). Berdasarkan sensus ekonomi tahun 2006 jumlah

penduduk kecamatan Bagan sinembah adalah sebanyak 117.428 Jiwa dari sekitar

(30)

Wilayah kepenghuluan di Kecamatan Bagan Sinembah memiliki luas 1.116,46

Km2 tidak termasuk didalamnya hutan Negara, wilayah ini terdiri dari lahan sawah

seluas 1.335 hektar, lahan bukan sawah seluas 108.840 hektar dan lahan

non-pertanian seluas 2.902 hektar.

Mayoritas agama yang dianut penduduk kecamatan Bagan Sinembah adalah

agama Islam, agama Kristen, agama Budha dan agama Hindu serta terdapat

bermacam-macam suku.

2.2 Geografis Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini terletak pada Kecamatan Bagan Sinembah yang

merupakan salah satu Kecamatan yang terdapat di Kabupaten Rokan Hilir, Propinsi

Riau. Kecamatan bagan Sinembah memiliki luas sekitar 847.335 Km2, dengan

batas-batas wilayah sebagai berikut :

Sebelah utara : berbatasan dengan Kecamatan Simpang Kanan dan Kecamatan

Kubu.

Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kecamatan Pujud

Sebelah Barat : berbatasan dengan Propinsi Sumatera Utara

Sebelah Timur : berbatasan dengan Kecamatan Bangko Pusako.

Kecamatan Bagan Sinembah memiliki 14 desa, dengan persebaran diantaranya

sebanyak 10 desa memiliki jarak yang relatif dekat dan memiliki akses menuju

kecamatan dengan jarak kurang 20 km, sedangkan 4 desa lainnya memiliki jarak 30

(31)

PETA KECAMATAN BAGAN SINEMBAH

2.3 Visi dan Misi Bagan Sinembah

Untuk mewujudkan pembangunan Bagan Sinembah yang lebih terarah,

terencana, menyeluruh, terpadu, realistis dan dapat dievaluasi, maka perlu dirumuskan

rencana strategik sebagai broad guide line penyelenggaraan pemerintahan,

pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan di Bagan Sinembah untuk lima tahun

kedepan.

Rencana strategik yang ditetapkan sekaligus menjadi strategi dasar bagi

kebijakan, program dan kegiatan pembangunan dan pengembangan kota, serta

memberikan orientasi dan komitmen bagi penyelenggaraan pemerintahan.

Dengan demikian, di samping adanya rencana pembangunan kota yang handal,

perlu adanya pengukuran capaian kinerja sebagai bentuk akuntabilitas publik guna

(32)

2.3.1 Visi Pembangunan Bagan Sinembah

Pembangunan Bagan Sinembah merupakan rangkaian kegiatan yang

dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan untuk meraih masa depan yang

lebih baik. Oleh karena itu visi merupakan simpul dalam upaya menyusun rencana

strategis pembangunan kota. Sebagai gambaran identitas masa depan Bagan

Sinembah maka, perumusan visi itu didasarkan pada pertimbangan :

1. Prasyarat pembangunan kota, seperti berkembangnya demokrasi dan

partisipasi, mendorong penegakan hukum, keadilan sosial dan ekonomi, pemerintahan

yang kuat, efisien dan efektif, birokrasi yang kreatif dan inovatif, stabilitas politik dan

keamanan yang kondusif, pelayanan publik yang prima, pemerataan pembangunan

dan pembangunan kota yang berkelanjutan.

2. Masalah dan tantangan serta kebutuhan pembangunan Bagan Sinembah

dalam rangka mewujudkan kemajuan yang metropolitan.

3. Kebijakan pembangunan nasional, sektoral dan regional yang mendorong

perkembangan Bagan Sinembah sebagai pusat pertumbuhan dan pengembangan

Indonesia bagian barat.

4. Kecenderungan globalisasi dan regionalisasi.

5. Nilai-nilai luhur, norma dan budaya yang telah lama dianut seluruh warga

Bagan Sinembah.

2.3.2 Misi Pembangunan Bagan Sinembah

Untuk mempertegas tugas dan tanggung jawab pembangunan dari seluruh

stakeholder maka visi pembangunan kota dijabarkan ke dalam misi yang jelas, terarah

(33)

pembangunan kota sehingga diharapkan seluruh stakeholder dapat mengetahui dan

memahami kedudukan dan peran masing-masing masyarakat dalam pembangunan.

Adapun misi Bagan Sinembah adalah :

1. Mewujudkan percepatan pembangunan daerah pinggiran, dengan

meningkatkan pertumbuhan ekonomi untuk kemajuan dan kemakmuran yang

berkeadilan bagi seluruh masyarakat kota.

2. Mewujudkan tata pemerintahan yang lebih baik dengan birokrasi yang lebih

efisien, efektif, kreatif, inovatif dan responsif.

3. Penataan kota yang ramah lingkungan berdasarkan prinsip keadilan sosial,

ekonomi, budaya. Membangun dan mengembangkan pendidikan, kesehatan serta

budaya daerah.

4. Meningkatkan suasana religius yang harmonis dalam kehidupan berbangsa

dan bermasyarakat.

Selain misi yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat beberapa tujuan atau fokus dari pengembangan Bagan Sinembah, yaitu :

a. Peningkatan kualitas sumber daya manusia dan aparatur pemerintahan yang dilandasi oleh iman dan taqwa,

b. Pemberdayaan ekonomi rakyat,

c. Peningkatan prasarana dan sarana ekonomi dan social, d. Penataan kelembagaan,

e. Peningkatan pembangunan seni budaya, oleharaga dan peningkatan iman dan taqwa,

f. Pelaksanaan pembangunan berwawasan lingkungan, g. Pelaksanaan otonomi daerah.

2.4 Keadaan Penduduk

Penduduk Bagan Sinembah dapat digolongkan pada kategori masyarakat

heterogen, yaitu masyarakat yang terdiri dari berbagai jenis suku, agama, ras dan

golongan. Komposisi masyarakat Bagan Sinembah terdiri atas Melayu, Batak

(34)

Komposisi masyarakat Bagan Sinembah yang heterogen terbagi-bagi atas

beberapa lokasi, hal ini disebabkan karena pada awalnya lokasi tersebut merupakan

daerah awal tumbuh dan berkembangnya suku tersebut di Bagan Sinembah.

Perbedaan lokasi tersebut bukan merupakan gambaran penduduk yang terpecah-belah

melainkan sebagai wujud persatuan etnisitas yang dimiliki setiap masyarakat di Bagan

Sinembah.

Berdasarkan data kependudukan (kecamatan dalam angka 2007) diperoleh

data bahwa komposisi masyarakat Bagan Sinembah terdiri dari laki-laki berjumlah

13870 Jiwa dan Perempuan berjumlah 12918 Jiwa dan total 26788 Jiwa.

Tabel 1.

Jumlah Penduduk Bagan Sinembah

Laki-laki Perempuan Jumlah

13.870 jiwa 12.918 jiwa 26.788 Jiwa Kecamatan Dalam Angka 2007 (data diolah penulis).

Berdasarkan data dalam table diatas diperoleh keterangan bahwa jumlah

penduduk Bagan Sinembah berdasarkan jenis kelamin terdiri dari, laki-laki 13.870

Jiwa dan Perempuan berjumlah 12.918 Jiwa, dengan jumlah total 26.788 Jiwa, data

ini didasarkan atas data Kecamatan Dalam Angka Tahun 2007.

Pada tabel berikutnya akan dijelaskan mengenai komposisi agama yang dianut

oleh masyarakat Bagan Sinembah, adapun komposisi agama tersebut adalah : Islam

dengan jumlah penganut sebanyak 20.145 Jiwa, kemudian disusul oleh Kristen

Protestan sebanyak 3.542 Jiwa, Kristen Katolik sebanyak 1.789 Jiwa, setelah itu

disusul oleh Budha 854 Jiwa dan Hindu 255 Jiwa serta aliran kepercayaan tradisional

(35)

Tabel 2.

Komposisi Agama di Bagan Sinembah

Islam 20.145 jiwa

Kristen Protestan 3.542 jiwa

Kristen Katolik 1.789 jiwa

Budha 854 jiwa

Hindu 255 jiwa

Aliran Kepercayaan 233 jiwa Kecamatan Dalam Angka 2007 (data diolah penulis).

Tabel 3.

Kecamatan Dalam Angka 2007 (data diolah penulis).

Tabel 3 menjelaskan mengenai beragam profesi dan pekerjaan dari

masyarakat Bagan Sinembah, berdasarkan data tersebut diperoleh bahwa :

pegawai negeri menempati posisi tertinggi dengan jumlah 2.347 Jiwa yang

tersebar pada berbagai instansi pemerintah kemudian disusul pegawai swasta

dengan jumlah 2.121 Jiwa dan disusul dengan pemilik lahan sebanyak 1.285

Jiwa serta buruh kebun sebanyak 18.430 Jiwa, posisi buruh kebun

mendominasi pekerjaan di Bagan Sinembah dikarenakan lokasi ini merupakan

perkebunan sawit, selain daripada itu pekerjaan lainnya adalah guru sebanyak

864 Jiwa, penarik becak 485 Jiwa serta pekerjaan lainnya berjumlah 1.256

(36)

Tabel 4.

Komposisi Masyarakat Berdasarkan Suku

Melayu 10.846

Jawa 1.023

Batak Toba 8.629

Mandailing 734

Minang 4.702

Tionghoa 854

Kecamatan Dalam Angka 2007 (data diolah penulis).

Berdasarkan komposisi suku, masyarakat Bagan Sinembah didominasi oleh

suku Melayu sebanyak 10.846 Jiwa dan kemudian suku Batak Toba sebanyak 8.629

Jiwa, suku Minang berjumlah 4.702 Jiwa, suku Jawa 1.023 Jiwa, Suku Mandailing

734 Jiwa serta suku Tionghoa 854 Jiwa.

2.5 Organisasi Masyarakat

Wilayah penelitian di Bagan Sinembah memiliki organisasi masyarakat yang

menjadi wadah persatuan masyarakat yang didasarkan oleh aspek-aspek

tertentu.Organisasi masyarakat penting untuk dijelaskan dalam penelitian ini, karena

organisasi masyarakat merupakan kunci pembuka kepada beberapa hal yang

dibutuhkan dalam penelitian ini. Adapun organisasi masyarakat tersebut adalah :

1. Himpunan Keluarga Besar Melayu, yang merupakan organisasi

masyarakat yang terdiri dari masyarakat Bagan Sinembah dan tidak terbatas pada

suku Melayu saja melainkan termasuk suku lainnya yang terdapat di Bagan Sinembah

(37)

Foto Kantor Besar Himpunan Keluarga Besar melayu – Bagan Sinembah (Sumber : Penulis)

2. Organisasi lainnya, pada umumnya organisasi masyarakat ini berbasiskan

kepada pekerjaan, olahraga maupun aspek kemasyarakatan lainnya.

2.6 Deskripsi Masyarakat Batak Toba di Bagan Sinembah

Masyarakat Batak Toba yang terdapat di Bagan Sinembah merupakan

masyarakat pendatang yang mengusahakan perkebunan kelapa sawit yang tersebar di

wilayah Bagan Sinembah. Komoditas kelapa sawit merupakan faktor yang menarik

banyak masyarakat Batak Toba untuk berdiam di wilayah ini, sebagaimana

diungkapkan oleh Sitorus (70 Thn) : “ketika aku datang kesini tahun 1940, daerah ini

cuma hamparan kebun sawit milik Belanda”, berdasarkan informasi tersebut maka

benar adanya bahwa kelapa sawit adalah komoditas utama dan faktor yang menarik

kedatangan kaum pendatang di wilayah tersebut.

Kedatangan masyarakat Batak Toba di Bagan Sinembah tidak lepas dari

kedekatan wilayah secara geografis antara Sumatera Utara dan Riau serta wilayah

Bagan Sinembah yang merupakan wilayah terluar dan perbatasan dari provinsi Riau,

(38)

berpindah-pindah dan keharusan untuk memiliki tanah.

2.7 Karakteristik Masyarakat Batak Toba di Bagan Sinembah

Pemilihan lokasi dalam penelitian ini didasarkan atas beberapa hal, seperti :

sejarah lokasi, letak strategis lokasi. Adapun pemilihan lokasi penelitian ini juga

memperhatikan karakteristik masyarakat Batak Toba di Bagan Sinembah, adapun

karakteristik dalam hal ini dimaksudkan sebagai suatu penjelasan mengenai seberapa

jauh masyarakat Batak Toba di Bagan Sinembah dalam memandang dan melakukan

adat budaya mereka dalam kehidupan sehari-hari.

Karakteristik masyarakat Batak Toba dalam penelitian dibagi atas beberapa

bagian, yaitu : 1. Karakteristik masyarakat Batak Toba di Bagan Sinembah yang

masih memegang adat budaya Batak Toba dalam kehidupan mereka tanpa berusaha

menggabungkannya dengan adat budaya lainnya yang terdapat di sekitar lingkungan,

2. Karakteristik masyarakat Batak Toba yang memegang adat budaya Batak Toba dan

berproses menggabungkannya dengan budaya lainnya yang ada disekitar tempat

tinggal mereka, 3. Karakteristik masyarakat Batak Toba yang tidak mengenal adat

budaya Batak Toba dan memegang budaya lain seperti budaya Melayu dan lainnya

dalam kehidupannya. Adapun indikator yang dapat menuntun penelitian ini untuk

mendapatkan setidaknya gambaran umum mengenai karakteristik masyarakat Batak

Toba di Bagan Sinembah, adapun indikator karakteristik masyarakat Batak Toba di

Bagan Sinembah sebagai berikut : Linguistik, Sosial dan Budaya.

Indikator linguistik berkaitan dengan penggunaan bahasa daerah (bahasa

Batak Toba) dalam bentuk kehidupan sehari-hari, setidaknya penggunaan bahasa

daerah dalam kehidupan dapat memberi sedikit gambaran mengenai kehidupan

(39)

indikator yang berusaha untuk menangkap perilaku, cara pandang masyarakat Batak

Toba di Bagan Sinembah seperti apakah mereka masih menggunakan dan melakukan

adat budaya Batak Toba di Bagan Sinembah. Indikator ketiga adalah budaya,

indikator ini berhubungan dengan indikator sebelumnya, yaitu linguistik dan sosial.

Melalui indikator yang telah ditetapkan sebelumnya dan digunakan untuk

memberikan gambaran mengenai karakteristik masyarakat Batak Toba di Bagan

Sinembah, adapun hasil dari penggunaan indikator ini adalah : Pada Kecamatan

Bagan Sinembah dari hasil observasi dan wawancara kepada informan didapatkan

hasil bahwa kehidupan masyarakat Batak Toba dilokasi ini memiliki karakteristik

masyarakat Batak Toba yang sudah berpikiran dan bertindak sesuai dengan

lingkungan sekitarnya dalam hal ini dijelaskan bahwa kehidupan masyarakat tersebut

masih memegang adat budaya Batak Toba dan berusaha untuk menerima budaya lain

yang terdapat disekitar lingkungan tempat tinggal mereka, hal ini disebabkan

kehidupan pada daerah tersebut memiliki tingkat kepadatan penduduk yang tinggi dan

intensitas pergaulan yang juga tinggi serta faktor heterogenitas penduduk di lokasi

(40)

BAB III

Proses Pengangkatan Anak dan Tahapannya

Berbicara mengenai pengangkatan anak diatur dalam hukum adat yang bersifat

modifikasi maupun konsensus dalam artian hukum adat dijalankan dengan merunut

pada kebiasaan yang terdapat dilingkungan sosial budaya setempat dan berdasar pada

keputusan yang telah disetujui bersama antara masyarakat dan pemuka adat.

Sudut pandang penggunaan hukum adat yang berbasiskan konsepsi Dalihan

Na Tolu dalam penelitian ini didasarkan pada konsepsi yang dimiliki oleh masyarakat

Batak Toba di Bagan Sinembah, hal ini bertujuan untuk mendapatkan data yang tidak

tercampur dengan konsepsi mengenai hal tersebut bagi masyarakat Batak Toba di

daerah lain.

3.1 Deskripsi Tentang Hukum Adat Masyarakat Batak Toba Secara Umum Mengenai Anak Angkat

Pada hakekatnya perkembangan hukum adat tidak dapat dipisahkan dari

perkembangan masyarakat pendukungnya. Dalam pembangunan hukum nasional,

peranan hukum adat sangat penting. Karena hukum nasional yang akan dibentuk,

didasarkan pada hukum adat yang berlaku.

Hukum adat adalah hukum tidak tertulis dan bersifat dinamis yang senantiasa

dapat menyesuaikan diri terhadap perkembangan peradaban manusia itu sendiri. Bila

hukum adat yang mengatur sesuatu bidang kehidupan dipandang tidak sesuai lagi

dengan kebutuhan warganya maka warganya sendiri yang akan merubah hukum adat

tersebut agar dapat memberi manfaat untuk mengatur kehidupan mereka. Hal ini

(41)

Hukum adat mengalami perkembangan karena adanya interaksi sosial, budaya,

ekonomi dan lain-lain. Persentuhan itu mengakibatkan perubahan yang dinamis

terhadap hukum adat, selain tidak terkodifikasi, hukum adat itu memiliki corak :

1) Hukum adat mengandung sifat yang sangat tradisionil.

Bahwa peraturan hukum adat umumnya oleh rakyat dianggap berasal dari

nenek moyang yang legendaris (hanya ditemui dari cerita orang tua).

2) Hukum adat dapat berubah

Perubahan dilakukan bukan dengan menghapuskan dan mengganti

peraturan-peraturan itu dengan yang lain secara tiba-tiba, karena tindakan demikian itu akan

bertentangan dengan sifat adat istiadat yang suci, akan tetapi perubahan terjadi oleh

pengaruh kejadian-kejadian , pengaruh peri keadaan hidup yang silih berganti-ganti.

Peraturan hukum adat harus dipakai dan dikenakan oleh pemangku adat (terutama

oleh kepala-kepala) pada situasi tertentu dari kehidupan sehari-hari; dan

peristiwa-peristiwa demikian ini, sering dengan tidak diketahui berakibat pergantian,

berubahnya peraturan adat dan kerap kali orang sampai menyangka, bahwa

peraturan-peraturan lama tetap berlaku bagi kedaaan-keadaan baru.

3) Kesanggupan hukum adat menyesuaikan diri.

Justru karena pada hukum adat terdapat sifat hukum tidak tertulis dan tidak

dikodifikasi, maka hukum adat (pada masyarakat yang melepaskan diri dari

ikatan-ikatan tradisi dan dengan cepat berkembang modern) memperlihatkan kesanggupan

untuk menyesuaikan diri dan elastisiteit yang luas. Suatu hukum sebagai hukum adat,

yang terlebih-lebih ditimbulkan keputusan di kalangan perlengkapan masyarakat

belaka, sewaktu-waktu dapat menyesuaikan diri dengan keadaan-keadaan baru.

Hukum adat berurat berakar pada kebudayaan tradisionil. Hukum adat adalah

(42)

rakyat. Sesuai dengan fitranya sendiri, hukum adat terus menerus dalam keadaan

tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri.

Hukum adat mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat yang berasal dari

nenek moyang dan berlaku secara turun temurun. Hukum adat mengatur tentang

masalah perkawinan, anak, harta perkawinan, warisan, tanah dan lain-lain yang selalu

dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat agar tercapai ketertiban dalam masyarakat.

Hukum adat ini selalu dijunjung tinggi pelaksanaannya. Hukum adat juga mengatur

tentang pengangkatan anak, dalam pengangkatan anak di Indonesia, pedoman yang

dipergunakan saat ini adalah :

1. Staatsblad 1917 No. 129 mengenai adopsi yang berlaku bagi golongan

Tionghoa.

2. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983 (merupakan

penyempurnaan dari dan sekaligus menyatakan tidak berlaku lagi Surat Edaran

Mahkamah Agung No. 2 tahun 1979) jo Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun

1989 tentang pengangkatan Anak yang berlaku bagi warga negara Indonesia.

3. Hukum adat (Hukum tidak tertulis).

4. Jurisprudensi (Putusan-putusan hakim yang atau pengadilan yang telah

berkekuatan hukum)

Dalam menentukan kriteria sah tidaknya suatu pengangkatan anak termasuk akibat

hukumnya pada masyarakat daerah tertentu, seperti di kalangan masyarakat suku

Jawa, Tionghoa, saat ini sudah ada beberapa jurisprudensi yang dapat dijadikan

sebagai pedoman. Pengangkatan anak bagi golongan Bumiputera menurut tata cara

(43)

adatnya sepanjang tidak bertentangan dengan tujuan dari pengangkatan anak yaitu

mengutamakan kesejahteraan anak.

Meskipun pengangkatan anak harus dilakukan berdasarkan hukum adat yang

berlaku, namun masih diperlukan lagi pengesahan dengan suatu penetapan dari

masyarakat yang direpresentasikan dalam bentuk surat yang terdapat didalamnya

tanda-tangan kedua pihak dan saksi-saksi (tokoh masyarakat maupun pimpinan

masyarakat).

3.2 Kedudukan Anak Angkat

Di daerah Batak Toba yang menganut sistem kekerabatan patrilineal, anak

laki-laki merupakan penerus keturunan ataupun marga dalam silsilah keluarga. Anak

laki-laki sangat berarti kehadirannya dalam suatu keluarga. Pada masyarakat Batak

Toba, apabila suatu keluarga tidak mempunyai anak laki-laki, maka ia dapat

mengangkat seorang anak laki-laki yang disebut dengan anak naniain dengan syarat

anak laki-laki yang diangkat haruslah berasal dari lingkungan keluarga atau kerabat

dekat orang yang mengangkat. Pengangkatannya haruslah dilaksanakan secara terus

terang yaitu dilakukan di hadapan dalihan na tolu dan pemuka-pemuka adat yang

bertempat tinggal di desa sekeliling tempat tinggal orang yang mengangkat anak.

Apabila syarat-syarat pengangkatan anak sebagaimana diuraikan di atas telah

terpenuhi, maka anak tersebut akan menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya dan

tidak lagi mewaris dari orang tua kandungnya. Konsekuensi dari pengangkatan anak

yang demikian ini, tentu mempunyai pengaruh terhadap terhadap kedudukan anak

tersebut baik terhadap orang kandungnya maupun terhadap orang tua angkat si anak.

Hal di atas merupakan latar belakang pemilihan topik tentang anak angkat dalam

(44)

Hukum adat masyarakat Batak Toba secara umum mengenai anak angkat

meliputi siapa (individu) yang akan diangkat sebagai anak dalam suatu keluarga dan

hak-hak yang didapat. Setelah individu tersebut diangkat menjadi anak dalam suatu

keluarga. Individu yang diangkat sebagai anak dalam suatu keluarga Batak Toba pada

umumnya adalah anak laki-laki, dengan maksud untuk meneruskan garis keturunan

mengingat dalam masyarakat Batak Toba garis keturunan ditarik dari pihak orangtua

laki-laki (Patrilinieal), namun ada beberapa kasus tertentu dimana proses

pengangkatan anak pada masyarakat Batak Toba juga mengangkat anak perempuan

dengan tujuan sebagai teman/pendamping dalam kehidupan bagi orangtua perempuan

sehingga dalam hukum adat Batak Toba tidak diatur secara pasti mengenai individu

yang diangkat sebagai anak dalam suatu keluarga melainkan hukum adat tersebut

berdiri diatas peraturan tidak tertulis dan terkadang dilandasi oleh kepentingan pribadi

sehingga tidak bisa dijadikan sebagai tolak ukur.

Hukum nasional (Indonesia) mengemukakan bahwa : kebiasaan-kebiasaan

mengenai pengangkatan anak harus melalui proses persetujuan antara dua belah pihak

dan diumumkan serta diketahui oleh masyarakat, walaupun pada saat sekarang ada

yang di-Notariskan atau dimintakan pengesahannya di Pengadilan, adapun yang dapat

diangkat sebagai anak adalah anak laki-laki atau anak perempuan atau kedua-duanya.

Kebiasaan mengangkat anak didasari oleh faktor keturunan dan faktor untuk

menjaga dan mengurusi di hari tuanya, selain itu pengangkatan anak harus mendapat

persetujuan dari orang tua si anak dan persetujuan dalam keluarga yang akan

mengangkat anak tersebut. Faktor usia dalam pengangkatan anak merupakan suatu hal

yang relatif, dalam artian tidak ada batasan umur dalam pengangkatan anak. Dalam

Gambar

Tabel 1. Jumlah Penduduk Bagan Sinembah
Tabel 2. Komposisi Agama di Bagan Sinembah
Tabel 4. Komposisi Masyarakat Berdasarkan Suku

Referensi

Dokumen terkait

permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah (1) Bagaimana kedudukan anak angkat menurut kompilasi hukum Islam dan (2) Bagaimana cara pembagian harta warisan bagi

Akibat hukum dari pengangkatan anak pada Masyarakat Batak Toba terhadap kedudukan waris anak kandung adalah tidak menghilangkan kedudukan waris anak kandung karena setiap

Anak angkat didalam keluarga mempunyai hak yang sama dengan anak kandung atau anak yang terlahir dari orang tua angkatnya serta pembagian warisan yang di peroleh anak angkat

Pada hukum adat yaag mempunyai sistem hukum kekeluargaan yang bersifat patrilineal (adat Batak Toba dan Batak Kara), kedudukan anak angkat sama dengan anak kandung, anak angkat

Hak waris anak angkat yang dilaksanakan melalui wasiat wajibah harus terlebih dahulu dilaksanakan dibandingkan pembagian warisan terhadap anak kandung atau ahli

Nainggolan, bahwa pada masyarakat Batak Toba dalam pembagian harta warisan selalu berdasarkan aturan hukum adat yang berlaku yaitu berdasarkan garis keturunan,

1) Kedudukan janda dengan ada anak baik anak laki-laki ataupun anak perempuan karena kematian suami pada masyarakat batak toba kristen terhadap

Pada hukum adat yaag mempunyai sistem hukum kekeluargaan yang bersifat patrilineal (adat Batak Toba dan Batak Kara), kedudukan anak angkat sama dengan anak kandung, anak angkat