• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Terhadap Penetapan Pengesahan Perkawinan Adat Tionghoa Oleh Hakim

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjauan Yuridis Terhadap Penetapan Pengesahan Perkawinan Adat Tionghoa Oleh Hakim"

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Dalam Program Studi Magister Kenotariatan

Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

L O D E W I K

097011006/MKn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing,

Prof.Dr. Muhammad Yamin, SH,MS,CN. Ketua

Dr.T.Keizerina Devi A,SH,CN,MHum Chairani Bustami, SH, SpN, MKn

Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Dekan,

Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH. MS, CN Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum

(4)

tentang Perkawinan, disamping dilangsungkan sah menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, tiap-tiap perkawinan juga harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal melaksanakan perkawinan, masyarakat Tionghoa pada umumnya melaksanakan perkawinan hanya berdasarkan adat istiadat Tionghoa serta agama dan kepercayaan yang dianut saja, sehingga sebagian besar perkawinan masyarakat Tionghoa tidak dicatatkan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analisis dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Pengumpulan data dilakukan melalui penelitian kepustakaan (library research), yakni studi dokumen/kepustakaan yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder serta dilengkapi dengan wawancara dengan narasumber atau informan yang berhubungan dengan materi penelitian, seperti Pejabat/Staff Pengadilan, Pengetua Adat Tionghoa dan/atau Notaris sehingga diharapkan memperoleh data yang lebih luas dan akurat.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa akibat hukum dari perkawinan yang dilangsungkan menurut hukum adat Tionghoa dan tidak dicatatkan, antara lain ketidakjelasan atau kekaburan status perkawinan, kelemahan kedudukan isteri dan/atau anak dalam penuntutan pemenuhan hak-haknya, seperti hak untuk mendapatkan nafkah lahir batin dan harta peninggalan suami/ayahnya. Prosedur permohonan penetapan pengesahan perkawinan yang dilangsungkan menurut adat Tionghoa, antara lain membuat surat permohonan kepada Pengadilan Negeri dalam wilayah tempat tinggal serta melampirkan surat-surat yang diperlukan kemudian menghadiri sidang dengan membawa segala dokumen yang diperlukan serta dapat menghadirkan saksi-saksi dan salinan putusan/penetapan Pengesahan Perkawinan tersebut dibawa ke Kantor Catatan Sipil setempat untuk mencatatkan perkawinan tersebut. Akibat hukum yang timbul dari Penetapan Pengesahan Perkawinan Adat Tionghoa oleh hakim adalah sama dengan akibat-akibat perkawinan yang dilangsungkan sah menurut hukum dan peraturan perundang-undangan, termasuk hubungan, hak dan kewajiban suami dengan isteri, orang tua dengan anak, dan timbulnya harta benda perkawinan, termasuk timbulnya hak mewaris dari suami/isteri dan anak terhadap harta benda perkawinan. Disarankan kepada pemerintah cq Dinas Kependudukan dan Notaris agar mensosialisasikan pentingnya pencatatan perkawinan dan akibat-akibat hukum dari tidak dicatatkannya perkawinan dan bahwa terhadap perkawinan yang belum dicatatkan tersebut, masih terdapat upaya untuk mengesahkannya, yakni dengan mengajukan permohonan penetapan pengesahan perkawinan adat Tionghoa kepada hakim/pengadilan. Bagi masyarakat Tionghoa Indonesia agar timbul kesadaran untuk mencatatkan perkawinannya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menghindari akibat-akibat hukum yang tidak diinginkan.

(5)

relatives and the community in general. Marriage, as mandated through Law No.1/1974 on Marriage, must be legally done according to laws and regulation of respective religion and belief and registered according to the existing law. In the implementation of marriage, Tionghoa community perform a marriage solely based on Tionghoa customs and religion and belief they adopt that most of the marriages done by Tionghoa community are not registered according to the existing law in Indonesia.

This is an analytical descriptive study with normative juridical approach referring to the legal norms found in the regulations of legislation. The data for this study were based on the primary, secondary and tertiary legal materials obtained through documentation study (library research) and the information obtained through interviewing the resource persons comprising Officers/Staff of the Court, Prominent Tionghoa Adat Leaders, and/or Notary that the accurate and related data can be achieved.

The result of this study showed that the legal consequences resulted from the unregistered Tionghoa custom-based marriage were, among other things, unclear status of marriage, poor position of wifes and/or children in terms of claiming their rights such as the right to get physical and spiritual necessities of life and legacy from their husbands/father. The procedure to apply for the legalization of the marriage done according to Tionghoa customs is among other things to write a letter of application to the Court of the First Instance in their place of domicile enclosing the documents needed then attending the (legal) session bringing all the documents needed, presenting the witnesses, and the copy of the Tionghoa custom-based marriage certificate is taken to the local Office of Civil Registration to register the Tionghoa custom-based marriage. Legal consequence resulted from the legalization of the Tionghoa custom-based marriage by the judge is the same as those resulted from the marriage legally done according to the existing law in Indonesia including relationship, rights and responsibilities of husband and wife, parents and children, the incidence of marital property, including the incidence of the right of wife and children to inherit the marital property. The government c.q the Office of Population Affairs and Notary are suggested to socialize the importance of marriage registration the legal consequences of the unregistered marriage. The unregistered marriage can still be legalized by filing the application for the legalization of the Tionghoa custom-based marriage to the court of law. The Tionghoa Indonesian community is suggested to raise their awareness to register their marriage according to the existing law in Indonesia to avoid from the undesirable legal consequences.

(6)

)

, 0 0

1 *2, , ) !") !) 3 ) , , $ 4 / 45 ) !") 3 )

" 3 1 ) !") ! ) $ $*

,

0 * , )

!") " ) , 1 ) !") "

,

! 0 6

7, 1 *2, , , ! ) 8") ,!0 +3 -) ! , +$- *

/ ! 2

. " ) * ! $ *

(7)

:, 1 *2, , ) !,",) !) 3 ) $ * !

$ * / ! ) * *

,

;, , , $ 4 / ) !,",) 3 ) ," ) ! * !

$ * / ! ) * *

,

<, 1 * * ! $ * / !

)

2 *

,

=, ! ! 2> 5 * ! $ * / ! )

,

?, @ 5 5 $ * / !

) 9AAB * /

,

$ )

* 2 * * )

,

(8)

* ) 0 , " '*

, ! ' ) , 5

) * ) *

)

) , " + 0 -) 0 )

, " + * ! 0

1 -,

5

0 , ) )

* 2

) 0 ,

) )

0 , ! * 2

(9)

Nama : LODEWIK

Tempat / Tanggal Lahir : Medan, 25 Agustus 1987 Jenis Kelamin : Laki-Laki

Pekerjaan : Pegawai Kantor Notaris

Agama : Budha

Status : Belum Menikah

Alamat Rumah : Jalan HOS Cokroaminoto No.115 Medan Telepon/HP : 061-4152571 / 08126556581

Pendidikan Formal

1. SD Methodist-3 Medan Lulus

tahun 1997

2. SLTP Methodist-3 Medan Lulus

tahun 2000

3. SLTA Methodist-2 Medan Lulus tahun 2003

4. S-1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Lulus tahun 2007 5. S-2 Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Keluarga

Nama Ayah : Dr. Herman Loka Nama Ibu : Dra. Sri Liharsi, Apt.

(10)

………..……... ii

…... iii

! "………...……. vi

…... vii

#$%&$ '&$ ( )*... ix

( $ (+ , -). #$ / 0 * 0$ ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Keaslian Penelitian ... 13

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 15

1. Kerangka Teori ... 15

2. Konsepsi ... 19

G. Metode Penelitian ... 22

1. Sifat dan Jenis Penelitian ... 22

2. Teknik Pengumpulan Data ... 23

3. Sumber Data ... 23

4. Alat Pengumpulan Data ... 24

5. Analisis Data ... 25

( $ (++ ,-)'1$2+.$. 3).0'0& /0103 $#$& &+4.5/4$ #$. -).6$&$ & $ ..7$... 26

A. Pengertian Perkawinan menurut Hukum Adat Tionghoa ... 26

B. Syarat dan Prosesi Perkawinan menurut Hukum Adat Tionghoa ... 33

C. Akibat Hukum Perkawinan menurut Hukum Adat Tionghoa ... 44

(11)

Perkawinan ... 59

E. Akibat Hukum Perkawinan Tidak Dicatatkan ... 63

898 :::; <=>=?9<9> <=>@=A9B9> <=CD9E:>9> F9>@ G:H9>@AI>@D9> J=>ICI? BIDIJ 9G9? ?:K>@BK9 .. 68

A. Upaya yang dapat Dilakukan terhadap Perkawinan yang Tidak Dicatatkan ... 68

B. Prosedur Pencatatan Perkawinan Melampaui Batas Waktu ... 74

C. Kekuatan Hukum Berlaku Penetapan Pengesahan Perkawinan Adat Tionghoa ... 78

D. Pros ed ur Permo hon an Penetapan P en ges ahan Perk awin an Adat Tionghoa ... 84

898:L; 9D:89? BIDIJ <=>=?9<9> <=>@=A9B9><=CD9E:>9> 9G9??:K>@ BK9KH=BB9D:J ... 90

A. Akibat Hukum terhadap Hubungan antara Suami Isteri ... 92

B. Akibat Hukum terhadap Harta Benda Perkawinan ... 93

C. Akibat Hukum terhadap Anak / Keturunan ... 96

D. Akibat Hukum terhadap Pihak Ketiga yang berkepentingan ... 100

898L; D=A:J<IH9> G9>A9C9> ... 106

A. Kesimpulan ... 106

B. Saran ... 108

(12)
(13)

tentang Perkawinan, disamping dilangsungkan sah menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, tiap-tiap perkawinan juga harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal melaksanakan perkawinan, masyarakat Tionghoa pada umumnya melaksanakan perkawinan hanya berdasarkan adat istiadat Tionghoa serta agama dan kepercayaan yang dianut saja, sehingga sebagian besar perkawinan masyarakat Tionghoa tidak dicatatkan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analisis dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Pengumpulan data dilakukan melalui penelitian kepustakaan (library research), yakni studi dokumen/kepustakaan yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder serta dilengkapi dengan wawancara dengan narasumber atau informan yang berhubungan dengan materi penelitian, seperti Pejabat/Staff Pengadilan, Pengetua Adat Tionghoa dan/atau Notaris sehingga diharapkan memperoleh data yang lebih luas dan akurat.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa akibat hukum dari perkawinan yang dilangsungkan menurut hukum adat Tionghoa dan tidak dicatatkan, antara lain ketidakjelasan atau kekaburan status perkawinan, kelemahan kedudukan isteri dan/atau anak dalam penuntutan pemenuhan hak-haknya, seperti hak untuk mendapatkan nafkah lahir batin dan harta peninggalan suami/ayahnya. Prosedur permohonan penetapan pengesahan perkawinan yang dilangsungkan menurut adat Tionghoa, antara lain membuat surat permohonan kepada Pengadilan Negeri dalam wilayah tempat tinggal serta melampirkan surat-surat yang diperlukan kemudian menghadiri sidang dengan membawa segala dokumen yang diperlukan serta dapat menghadirkan saksi-saksi dan salinan putusan/penetapan Pengesahan Perkawinan tersebut dibawa ke Kantor Catatan Sipil setempat untuk mencatatkan perkawinan tersebut. Akibat hukum yang timbul dari Penetapan Pengesahan Perkawinan Adat Tionghoa oleh hakim adalah sama dengan akibat-akibat perkawinan yang dilangsungkan sah menurut hukum dan peraturan perundang-undangan, termasuk hubungan, hak dan kewajiban suami dengan isteri, orang tua dengan anak, dan timbulnya harta benda perkawinan, termasuk timbulnya hak mewaris dari suami/isteri dan anak terhadap harta benda perkawinan. Disarankan kepada pemerintah cq Dinas Kependudukan dan Notaris agar mensosialisasikan pentingnya pencatatan perkawinan dan akibat-akibat hukum dari tidak dicatatkannya perkawinan dan bahwa terhadap perkawinan yang belum dicatatkan tersebut, masih terdapat upaya untuk mengesahkannya, yakni dengan mengajukan permohonan penetapan pengesahan perkawinan adat Tionghoa kepada hakim/pengadilan. Bagi masyarakat Tionghoa Indonesia agar timbul kesadaran untuk mencatatkan perkawinannya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menghindari akibat-akibat hukum yang tidak diinginkan.

(14)

relatives and the community in general. Marriage, as mandated through Law No.1/1974 on Marriage, must be legally done according to laws and regulation of respective religion and belief and registered according to the existing law. In the implementation of marriage, Tionghoa community perform a marriage solely based on Tionghoa customs and religion and belief they adopt that most of the marriages done by Tionghoa community are not registered according to the existing law in Indonesia.

This is an analytical descriptive study with normative juridical approach referring to the legal norms found in the regulations of legislation. The data for this study were based on the primary, secondary and tertiary legal materials obtained through documentation study (library research) and the information obtained through interviewing the resource persons comprising Officers/Staff of the Court, Prominent Tionghoa Adat Leaders, and/or Notary that the accurate and related data can be achieved.

The result of this study showed that the legal consequences resulted from the unregistered Tionghoa custom-based marriage were, among other things, unclear status of marriage, poor position of wifes and/or children in terms of claiming their rights such as the right to get physical and spiritual necessities of life and legacy from their husbands/father. The procedure to apply for the legalization of the marriage done according to Tionghoa customs is among other things to write a letter of application to the Court of the First Instance in their place of domicile enclosing the documents needed then attending the (legal) session bringing all the documents needed, presenting the witnesses, and the copy of the Tionghoa custom-based marriage certificate is taken to the local Office of Civil Registration to register the Tionghoa custom-based marriage. Legal consequence resulted from the legalization of the Tionghoa custom-based marriage by the judge is the same as those resulted from the marriage legally done according to the existing law in Indonesia including relationship, rights and responsibilities of husband and wife, parents and children, the incidence of marital property, including the incidence of the right of wife and children to inherit the marital property. The government c.q the Office of Population Affairs and Notary are suggested to socialize the importance of marriage registration the legal consequences of the unregistered marriage. The unregistered marriage can still be legalized by filing the application for the legalization of the Tionghoa custom-based marriage to the court of law. The Tionghoa Indonesian community is suggested to raise their awareness to register their marriage according to the existing law in Indonesia to avoid from the undesirable legal consequences.

(15)

TU TV

WXYZU [\ ]\UY

U ^ ]_ ` _ aTb c_d_ ef

Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Dasar-dasar perkawinan dibentuk oleh unsur-unsur alami dari kehidupan manusia itu sendiri yang meliputi kebutuhan dan fungsi biologis, melahirkan keturunan, kebutuhan akan kasih sayang dan persaudaraan, memelihara anak-anak tersebut menjadi anggota-anggota masyarakat yang sempurna (volwaardig).1

Perkawinan itu sendiri mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia, karena didalamnya ada unsur-unsur hak dan kewajiban masing-masing pihak, menyangkut masalah kehidupan kekeluargaan yang harus dipenuhi, baik hak dan kewajiban suami isteri maupun keberadaan status perkawinan, anak-anak, kekayaan, waris dan faktor kependudukan di dalam tatanan kehidupan bermasyarakat.

Bagi para pemeluk agama, perkawinan bersifat sakral yang mengandung ajaran-ajaran agama bagi para pemeluknya. Ritual perkawinan tidak hanya dipandang sebagai peristiwa sakral. Setelah selesai ritual sakral, timbullah ikatan perkawinan antara suami dan isteri. Ikatan perkawinan merupakan unsur pokok

1

(16)

dalam pembentukan keluarga yang harmonis dan penuh rasa cinta kasih. Seorang pria dan wanita yang dulunya merupakan pribadi yang bebas tanpa ikatan hukum, namun setelah perkawinan menjadi terikat lahir dan batin sebagai suami isteri. Ikatan yang ada diantara mereka merupakan ikatan lahiriah, rohaniah, spiritual dan kemanusiaan. Ikatan perkawinan ini menimbulkan akibat hukum terhadap diri masing-masing suami isteri yang berupa hak dan kewajiban.

Pasangan seorang pria dan seorang wanita yang membentuk rumah tangga atau keluarga dalam suatu ikatan perkawinan pada dasarnya merupakan naluri manusia sebagai makhluk sosial guna melangsungkan kehidupannya. Pengelompokan kehidupan manusia tersebut dalam realitanya dapat dilihat dengan adanya berbagai bentuk kesatuan sosial di dalam kehidupan masyarakat.

Keluarga merupakan kesatuan sosial terkecil yang dibentuk atas dasar ikatan perkawinan, yang unsur-unsurnya terdiri dari suami, isteri, dan anak-anaknya. Sedangkan sifat-sifat keluarga sebagai suatu kesatuan sosial meliputi rasa cinta dan kasih sayang, ikatan perkawinan, pemilikan harta benda bersama, maupun tempat tinggal bagi seluruh anggota keluarganya.2 Keluarga merupakan satu unit masyarakat terkecil, masyarakat keluarga yang akan menjelma menjadi suatu masyarakat besar sebagai tulang punggung negara.

Dalam peristiwa perkawinan diperlukan norma hukum dan tata tertib yang mengaturnya. Penerapan norma hukum dalam peristiwa perkawinan terutama

2

(17)

diperlukan dalam rangka mengatur hak, kewajiban, dan tanggung jawab masing-masing anggota keluarga, guna membentuk rumah tangga yang bahagia dan sejahtera.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, merupakan salah satu wujud aturan tata tertib perkawinan yang dimiliki oleh negara Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat dan negara hukum, dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yaitu tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan peraturan-peraturan lainnya mengenai perkawinan, disamping aturan-aturan tata tertib pernikahan lainnya seperti Hukum Adat dan Hukum Agama.

Sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, di Indonesia berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai golongan Warga Negara di Indonesia, yakni antara lain:3

1. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum agama yang telah diresepsi kedalam hukum adat. Pada umumnya, bagi orang Indonesia asli yang beragama Islam jika melaksanakan perkawinan berlaku ijab kabul antara mempelai pria dengan wali dari mempelai wanita, sebagaimana diatur dalam hukum Islam. Hal ini telah merupakan budaya hukum bagi orang Indonesia yang beragama Islam hingga sekarang.

2. Bagi orang-orang Indonesia asli lainnya berlaku hukum adat. Misalnya bagi orang Bali yang beragama Hindu dimana adat dan agama telah menyatu, maka pelaksanaan perkawinannya dilaksanakan menurut hukum adat yang serangkai upacaranya dengan upacara agama Hindu-Bali yang dianutnya.

3. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku huwelijks ordonnantie christen indonesia (HOCI) S.1933 nomor 74.

3

(18)

Aturan ini sekarang sejauh sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sudah tidak berlaku lagi.

4. Bagi orang-orang Timur Asing Cina dan Warga Negara Indonesia keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan. Aturan ini sekarang sejauh sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sudah tidak berlaku lagi.

5. Bagi orang-orang Timur Asing lainnya dan Warga Negara Indonesia keturunan asing lainnya tersebut berlaku hukum adat mereka. Jadi bagi keturunan India, Pakistan, Arab dan lainnya, berlaku hukum adat mereka masing-masing yang biasanya tidak terlepas dari agama dan kepercayaan yang dianutnya.

6. Bagi orang-orang Eropa dan Warga Negara Indonesia keturunan Eropa dan yang disamakan dengan mereka, berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Termasuk dalam golongan ini orang Jepang atau orang-orang lain yang menganut asas-asas hukum keluarga yang sama dengan asas-asas hukum keluarga Belanda.

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merumuskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk rumah tangga atau keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Substansi pasal tersebut sangat jelas menunjukkan bahwa perkawinan tidak semata-mata merupakan hubungan perdata saja, tetapi perkawinan bertujuan membentuk rumah tangga atau keluarga yang kekal dan bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa atau berdasarkan Hukum Agama.

(19)

maupun kerabat.4 Sedangkan didalam hukum adat Tionghoa tidak ada memberikan pengertian secara gamblang mengenai definisi dari perkawinan. Namun dalam adat Tionghoa itu sendiri, perkawinan merupakan suatu sarana bagi seorang laki-laki dan seorang wanita untuk hidup bersama, membentuk rumah tangga yang bahagia dan mendapatkan keturunan yang pada akhirnya akan meneruskan marga dari sang ayah.

Di kalangan masyarakat adat yang masih kuat mempertahankan prinsip kekerabatan berdasarkan ikatan keturunan (darah), maka fungsi perkawinan adalah merupakan suatu nilai hidup untuk dapat meneruskan keturunan, mempertahankan silsilah dan kedudukan keluarga yang bersangkutan. Disamping itu ada kalanya suatu perkawinan merupakan suatu sarana untuk memperbaiki hubungan kekerabatan yang telah jauh dan retak, ia merupakan sarana pendekatan dan perdamaian antar kerabat dan begitu pula dengan perkawinan itu bersangkut paut dengan masalah kedudukan, harta kekayaan dan masalah pewarisan.5 Melihat arti dan fungsi perkawinan menurut hukum adat, maka pengertian perkawinan menurut hukum adat lebih luas dari pengertian perkawinan menurut hukum perundang-undangan.

Sebuah perkawinan menurut pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, yang dipertegas dalam

4

Soerojo Wignjodipoero,Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta : Gunung Agung, 1988), hal. 55.

5

(20)

Penjelasan Pasal Demi Pasal dari Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut, yakni bahwa “dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-Undang ini”. Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam) dan pendeta/pastur/biksu telah melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya (bagi yang non Muslim), maka perkawinan tersebut adalah sah, terutama di mata agama dan kepercayaan masyarakat.

Bagir Manan berpendapat bahwa perkawinan menurut masing-masing agama dan kepercayaan (syarat-syarat) merupakan syarat tunggal sahnya suatu perkawinan, dengan alasan-alasan sebagai berikut:

Pertama, Pasal 2 ayat (1) dengan tegas menyebutkan, “suatu perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Suatu rumusan yang sangat jelas (plain meaning), sehingga tidak mungkin ditafsirkan, ditambah atau dikurangi.

Kedua, Penjelasan Pasal 2 ayat (2) menyebutkan, “Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran dan kematian.6

6

(21)

Karena sudah dianggap sah, akibatnya banyak perkawinan yang tidak dicatatkan sebagaimana diamanatkan pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain ketidaktahuan masyarakat7 mengenai hukum perkawinan Indonesia, sosialisasi pencatatan perkawinan yang kurang dari Pemerintah, persyaratan dan prosedur pencatatan perkawinan yang rumit dan berbelit-belit, serta mahalnya biaya pencatatan perkawinan, baik resmi maupun tidak resmi, ataupun untuk menghilangkan jejak dan bebas dari tuntutan hukum dan hukuman administrasi dari atasan, terutama untuk perkawinan kedua dan seterusnya (bagi Pegawai Negeri Sipil dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Perkawinan yang tidak dicatatkan ini dikenal dengan istilah perkawinan bawah tangan atau nikah siri.8

Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menentukan: "tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku", namun di dalam penjelasan tidak dijelaskan lebih lanjut tentang pendaftaran ini. Harus diakui ketentuan yang mengatur tentang sah dan pencatatan perkawinan kurang jelas, sehingga dalam praktik sering sekali menimbulkan berbagai interpretasi, yang menyebabkan kepastian hukum menjadi taruhannya.

Berdasarkan Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pencatatan kelahiran, pencatatan kematian, demikian pula

7

khususnya Masyarakat Tionghoa Indonesia.

8

(22)

pencatatan perkawinan sekadar dipandang sebagai suatu peristiwa penting, bukan suatu peristiwa hukum.9 Akta nikah dan pencatatan perkawinan bukan merupakan satu-satunya alat bukti mengenai adanya perkawinan atau keabsahan perkawinan, karena itu akta nikah dan pencatatan perkawinan adalah sebagai alat bukti tetapi bukan alat bukti yang menentukan. Karena yang menentukan keabsahan suatu perkawinan adalah perkawinan menurut agama.10Maka dengan demikian, alat bukti perkawinan juga harus tidak bertentangan dengan agama.

Perkawinan bawah tangan adalah perkawinan yang dilakukan hanya menurut ajaran agama dan kepercayaannya maupun adat, akan tetapi tidak dilakukan pencatatan perkawinan sehingga tidak mempunyai bukti otentik dan tidak mempunyai kekuatan hukum didalamnya.

Perkawinan yang dilakukan secara bawah tangan tersebut akan membawa akibat hukum bagi pasangan suami istri, anak yang dilahirkan dan harta benda dalam perkawinan, karena perkawinan yang dilakukan secara bawah tangan tersebut tidak memiliki alat bukti yang otentik sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum. Pencatatan perkawinan walaupun bukan menjadi rukun nikah, akan tetapi merupakan hal yang sangat penting terutama sebagai alat bukti yang dimiliki seseorang, apabila terjadi suatu permasalahan dikemudian hari.

9

Bagir Manan,Op.Cit, hal. 5.

10

(23)

“Pasangan yang berkahwin tanpa melalui aturan yang digariskan oleh adat adalah tidak sah daripada pandangan orang Cina.”11 Dalam hal melaksanakan perkawinan, masyarakat Tionghoa pada umumnya melaksanakan perkawinan hanya berdasarkan adat-istiadat Tionghoa serta agama dan kepercayaan yang dianut saja, sehingga sebagian besar perkawinan masyarakat Tionghoa tidak dicatatkan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Kantor Catatan Sipil. Hal ini merupakan fenomena sosial yang banyak dijumpai pada masyarakat Tionghoa dan merupakan salah satu masalah serius yang sampai saat ini masih kerap terjadi dalam masyarakat Tionghoa. Hal tersebut bukan hanya dijumpai pada kalangan masyarakat Tionghoa bergolongan ekonomi menengah ke bawah saja, melainkan juga dijumpai pada masyarakat Tionghoa bergolongan ekonomi menengah ke atas. Hal ini mempunyai makna bahwa tingkat ekonomi bukan merupakan faktor mutlak yang mempengaruhi tidak dicatatnya perkawinan dalam masyarakat Tionghoa.

Faktor utama yang menyebabkan perkawinan tidak dicatatkan pada masyarakat Tionghoa lebih cenderung disebabkan oleh ketidaktahuan, keawaman, dan cara berpikir masyarakat Tionghoa terhadap pentingnya pencatatan perkawinan, fungsi dan akibat-akibat hukum yang timbul dikemudian hari. Masyarakat Tionghoa yang memegang teguh adat istiadat berpendapat bahwa suatu perkawinan adalah sah dan telah diakui oleh kedua belah pihak keluarga suami/isteri apabila perkawinan

11

(24)

tersebut telah dilaksanakan menurut adat Tionghoa dan menjalani serangkaian ritual keagamaan, maka perkawinan tersebut telah sah, tidak mempedulikan dicatat atau tidak perkawinan tersebut menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagi keluarga mempelai yang mampu akan mengadakan suatu acara resepsi pernikahan dengan mengundang segenap keluarga kedua belah pihak mempelai suami/isteri, tetangga dan para sahabat. Acara resepsi pernikahan tersebut secara tidak langsung juga berfungsi sebagai pemberitahuan atau pengumuman kepada khalayak ramai bahwa telah terikatnya seorang laki-laki sebagai suami dan seorang wanita sebagai isteri dalam suatu ikatan perkawinan. Namun perlu diingat bahwa acara resepsi pernikahan ini bukan merupakan suatu acara yang mutlak harus dilaksanakan, melainkan tergantung kepada tingkat kemampuan ekonomi suatu keluarga yang melaksanakan perkawinan tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya pelaksanaan nikah tamasya melalui pemberitahuan atau pengumuman di surat kabar setempat tentang pelaksanaan nikah tamasya ini, yang memiliki tujuan yang sama yakni memberitahukan kepada khalayak ramai bahwa telah dilaksanakannya pernikahan bersangkutan dan telah terikatnya dalam perkawinan pasangan suami/isteri tersebut. Adat dan pandangan inilah yang dipegang teguh oleh masyarakat Tionghoa Indonesia hingga saat ini.

(25)

diinginkan, baik bagi pasangan suami isteri tersebut, anak-anaknya dan juga kepada familinya (keluarga-keluarganya). Fenomena ini sering dihadapi oleh Notaris dalam menjalankan jabatannya sehari-hari serta menjadi masalah dan kendala yang sepantasnya mendapat perhatian besar.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, timbul ketertarikan untuk menelaah lebih lanjut mengenai ”ghij k lki m ln hohp g q n rkok s

s qiqgk s ki s qi t qpk rki s qn u k v hi ki k okg g hwitrwk w xq r

r k uhy”.

B. Perumusan Masalah

Dari uraian diatas, dapat dirumuskan pokok permasalahan yang akan dibahas secara lebih mendalam adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana akibat hukum dari perkawinan yang dilangsungkan menurut hukum adat Tionghoa dan tidak dicatatkan?

2. Bagaimana prosedur permohonan penetapan pengesahan perkawinan yang dilangsungkan menurut adat Tionghoa?

(26)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui akibat hukum dari perkawinan yang dilangsungkan menurut hukum adat Tionghoa dan tidak dicatatkan.

2. Untuk mengetahui prosedur permohonan penetapan pengesahan perkawinan yang dilangsungkan menurut adat Tionghoa.

3. Untuk mengetahui akibat hukum yang timbul dari Penetapan Pengesahan Perkawinan Adat Tionghoa oleh hakim.

D. Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, seperti yang dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut: 1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini, akan menguatkan teori bahwa suatu norma hukum wajib ditaati karena norma hukum itu sendiri dibentuk untuk kepentingan manusia. Namun norma hukum itu akan menjadi bermanfaat apabila benar-benar diterapkan atau dilaksanakan.

2. Secara Praktis

(27)

pengetahuan Hukum Perkawinan, khususnya tentang pencatatan perkawinan dan permohonan penetapan pengesahan perkawinan perkawinan.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan dan pemeriksaan yang telah penulis lakukan, baik di kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum, maupun di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan ditemukan beberapa hasil penulisan yang menyangkut dengan Perkawinan Adat Tionghoa, diantaranya :

1. Tesis berjudul “Kedudukan Anak Terhadap Harta Warisan Dari Orang Tuanya Yang Perkawinannya Tidak Dicatatkan di Dinas Kependudukan: Pada Masyarakat Tionghoa Kota Medan”, oleh Rehbana, NIM 017011052, Program Studi Magister Kenotariatan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dengan rumusan masalah sebagai berikut:

a. Mengapa etnis Tionghoa di Kota Medan tidak mencatatkan perkawinannya di Dinas Kependudukan?

b. Bagaimana tanggung jawab orang tua terhadap nafkah anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan di Dinas Kependudukan?

(28)

2. Tesis berjudul “Problematika Pencatatan Perkawinan Bagi Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa”, oleh Vincent, NIM 087011013, Program Studi Magister Kenotariatan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dengan rumusan masalah sebagai berikut:

a. Apakah yang menjadi problematika pencatatan perkawinan bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa?

b. Bagaimanakah akibat hukum perkawinan bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa yang tidak dicatatkan?

c. Upaya apakah yang dilakukan dalam mengatasi masalah pencatatan perkawinan Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa yang belum dicatatkan?

Namun demikian, dari keduanya tidak ada yang membahas permasalahan yang sama dengan penelitian ini. Oleh karena itu, sejauh yang diketahui, penelitian tentang “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENETAPAN PENGESAHAN

PERKAWINAN ADAT TIONGHOA OLEH HAKIM”,belum pernah dilakukan

(29)

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan dan pegangan teoritis. Kerangka teori merupakan susunan dari beberapa anggapan, pendapat, cara, aturan, asas, keterangan sebagai satu kesatuan yang logis menjadi landasan, acuan dan pedoman untuk mencapai tujuan,12 sedangkan teori adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris.13

Teori merupakan keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan, yang dikemukakan untuk menjelaskan tentang adanya sesuatu, maka teori hukum dapat ditentukan dengan lebih jauh sebagai suatu keseluruhan pernyatan-pernyataan yang saling berkaitan dan berkenaan dengan hukum. Dengan ini harus cukup menguraikan tentang apa yang diartikan dengan unsur teori dan harus mengarahkan diri kepada unsur hukum. Teori juga merupakan sebuah desain langkah-langkah penelitian yang berhubungan dengan kepustakaan, isu kebijakan maupun narasumber penting lainnya. Sebuah teori harus diuji dengan menghadapkannya kepada fakta-fakta yang kemudian harus dapat menunjukkan kebenarannya.

12

Abdulkadir Muhammad,Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2004), hal. 72-73.

13

(30)

Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan pedoman/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.14 Dalam menjawab rumusan permasalahan yang ada, adapun teori yang akan digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah Teori Kepastian Hukum. Teori kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu, individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.

Menurut Satjipto Rahardjo, kepastian hukum merupakan fenomena psikologi daripada hukum. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam Undang-Undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim yang satu dengan yang lainnya untuk kasus yang serupa yang telah diputuskan.15 Kepastian hukum adalah tujuan utama dari hukum.16

Menurut Hans Kelsen, setiap tata kaedah hukum merupakan suatu susunan daripada kaedah-kaedah (stufenbau). Di puncak stufenbau tersebut terdapat

14

Lexy J. Moleong,Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2002), hal. 35.

15

Peter Mahmud Marzuki,Pengantar Ilmu Hukum,(Jakarta : Kencana Pranada Media Group, 2008), hal. 158.

16

(31)

grundnorm” atau kaedah dasar atau kaedah fundamental, yang merupakan hasil pemikiran secara yuridis.17

Tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan (rechtgerechtigheid), kemanfaatan (rechtsutiliteit) dan kepastian hukum (rechtszekerheid)18. Dalam hal mewujudkan keadilan, menurut W. Friedman, suatu Undang-Undang haruslah memberikan keadilan yang sama kepada semua walaupun terdapat perbedaan-perbedaan diantara pribadi-pribadi tersebut.19

Roscoe Pond dalam bukunya Scope and Purpose of Sociological Jurisprudence,20 menyebutkan ada beberapa kepentingan yang harus mendapat perlindungan atau dilindungi oleh hukum, yaitu Pertama, kepentingan terhadap negara sebagai suatu badan yuridis; Kedua, kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan sosial; Ketiga, kepentingan terhadap perseorangan terdiri dari pribadi, hubungan-hubungan domestik, kepentingan substansi.

Dari pendapat Roscoe Pond tersebut, dapat dilihat bahwa sangat diperlukannya suatu perlindungan hukum terhadap kepentingan perseorangan, karena dengan adanya perlindungan hukum akan tercipta suatu keadilan.

Agar terjaminnya ketertiban pranata pernikahan dalam masyarakat, maka Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juncto Peraturan

17

Ibid, Hal. 127

18

Achmad Ali,Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta : PT. Gunung Agung Tbk, 2002), hal. 85.

19

W.Friedman, Teori dan Filsafat Hukum Dalam Buku Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum, diterjemahkan dari buku aslinya Legal Theory oleh Muhammad Arifin, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1993), hal. 7.

20

(32)

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menghendaki setiap perkawinan dicatat oleh petugas yang berwenang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun kenyataan memperlihatkan fenomena yang berbeda. Hal ini tampak dari maraknya pernikahan siri atau pernikahan dibawah tangan yang terjadi di tengah masyarakat.

Fungsi dan kedudukan pencatatan perkawinan menurut Bagir Manan adalah untuk menjamin ketertiban hukum (legal order) yang berfungsi sebagai instrumen kepastian hukum, kemudahan hukum, disamping sebagai salah satu alat bukti perkawinan. Pencatatan perkawinan bertujuan untuk menjadikan peristiwa perkawinan itu menjadi jelas bagi yang bersangkutan, keluarga maupun bagi masyarakat, misalnya kapan pihak yang satu menjadi ahli waris pihak yang lain, kapan harta bersama dianggap mulai ada yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap hubungan perjanjian yang diadakan oleh mereka atau salah satu dari mereka.21

Adapun akibat hukum dari tidak dicatatnya perkawinan adalah : a. Perkawinan Dianggap tidak Sah.

Meski perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di mata negara perkawinan dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil.

21

(33)

b. Anak Hanya Mempunyai Hubungan Perdata dengan Ibu dan Keluarga Ibu. Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu (Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Sedangkan hubungan perdata antara si anak dengan ayahnya tidak ada.

c. Anak dan ibunya Tidak Berhak Mendapatkan Waris dan Nafkah.

Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik isteri maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya.

Berhubungan dengan akibat yang sangat penting dari perkawinan inilah, maka masyarakat membutuhkan suatu peraturan untuk mengatur perkawinan yaitu: syarat-syarat perkawinan, pelaksanaan perkawinan, kelanjutan dan terhentinya perkawinan.22

2. Konsepsi

Konsep adalah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition.23 Pentingnya definisi operasional adalah

22

Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 23

(34)

untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.24

Dalam penelitian ini, dirumuskan serangkaian kerangka konsepsi atau definisi operasional sebagai berikut :

1. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.25

2. Pencatatan Perkawinan adalah suatu tindakan dari instansi yang diberikan tugas untuk mencatat perkawinan dan perceraian dalam buku register dan dilakukan menurut ketentuan yang berlaku.26

3. Catatan Sipil adalah suatu lembaga yang bertugas untuk mencatat atau mendaftar setiap peristiwa yang diamati oleh warga masyarakat, misalnya perkawinan, dengan tujuan untuk mendapatkan data selengkap mungkin, agar status perkawinan warga masyarakat dapat diketahui.27

4. Masyarakat Tionghoa adalah orang-orang keturunan Tionghoa yang lahir dan menetap di Indonesia, hidup dan berbaur dengan masyarakat Indonesia lainnya selama beberapa dasawarsa dan telah berkewarganegaraan Indonesia.

24

Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia : Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, (Medan : PPs-USU, 2002), hal.35.

25

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

26

Arso Sastroatmodjo dan H.A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia,(Jakarta : Bulan Bintang, 1974), hal. 31.

27

(35)

5. Hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis dalam peraturan legislatif, meliputi peraturan hidup yang meskipun tidak dikitabkan oleh yang berwajib, namun dihormati dan didukung oleh rakyat berdasar atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.28

6. Hukum adat Tionghoa adalah adat-istiadat / kebiasaan yang dilaksanakan oleh masyarakat Tionghoa secara turun temurun dari satu generasi kepada generasi berikutnya dan berulang-ulang dalam kehidupan sehari-hari.

7. Perkawinan Bawah Tangan adalah perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan agama atau adat istiadat calon suami dan/atau calon isteri, dan pada dasarnya secara agama dan adat perkawinan tersebut telah sah, akan tetapi secara hukum, perkawinan tersebut tidak diakui oleh negara.

8. Kumpul Kebo adalah hidup bersama antara seorang pria dan wanita tanpa adanya ikatan perkawinan secara sah berdasarkan undang-undang.29

9. Pengesahan Perkawinan adalah permohonan pengesahan Perkawinan yang diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan dari pengadilan tentang sahnya Perkawinan agar bisa dicatatkan ke Kantor Catatan Sipil.

10. Penetapan Hakim adalah suatu putusan yang mengandung penetapan atau menetapkan suatu keadaan sebagai keadaan yang sah menurut hukum atau Undang-Undang.

28

Soepomo, Dasar-Dasar Hukum Adat dan Ilmu Hukum Adat, (Bandung : Alumni, 1981), hal. 20.

29

(36)

G. Metode Penelitian

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian normatif, yang dalam hal ini peneliti dituntut untuk mengkaji kaedah hukum yang berlaku. Hasil dari kajian ini bersifat deskriptif analisis. Seperti yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto, bahwa penelitian deskriptif analisis adalah penelitian yang bertujuan untuk membuat gambaran atau lukisan secara sistematik, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan fenomena yang diselidiki.30

Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif

(penelitian hukum normatif), yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum, yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pijakan normatif, yang berawal dari premis umum kemudian berakhir pada suatu kesimpulan khusus. Hal ini dimaksudkan untuk menemukan kebenaran-kebenaran baru (suatu tesis) dan kebenaran-kebenaran induk (teoritis).

Pendekatan yuridis normatif disebut demikian karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau penelitian dokumen yang ditujukan atau dilakukan hanya pada peraturan perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti atau dengan perkataan lain melihat hukum dari aspek normatif.

30

(37)

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang berhubungan dengan objek telaah penelitian ini, yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, dan karya ilmiah lainnya.

3. Sumber Data

Sumber data yang berupa bahan hasil penelitian kepustakaan diperoleh dari : a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, antara lain berupa

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Perkawinan, Hukum Perkawinan, Pencatatan Perkawinan dan sebagainya.

(38)

c. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder, seperti kamus umum dan kamus hukum.

4. Alat Pengumpulan Data

Berdasarkan metode pendekatan penelitian ini, maka alat pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut :

a. Studi dokumen/kepustakaan yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer meliputi segala jenis peraturan perundang-undangan (hukum normatif) yang terkait dengan masalah yang sedang diteliti. Bahan hukum sekunder meliputi pendapat para pakar hukum yang bersumber pada buku-buku berisi teori yang ditulis oleh pakar hukum. b. Wawancara (interview), yang dibantu dengan pedoman wawancara, yaitu

(39)

5. Analisis Data

Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.31

Setelah diperoleh data sekunder yakni berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maka dilakukan inventarisir dan penyusunan secara sistematik, kemudian diolah dianalisa dengan menggunakan metode kualitatif, sehingga dapat ditarik kesimpulan dengan menggunakan logika berpikir deduktif.

Kegiatan analisis dimulai dengan dilakukan pemeriksaan terhadap data yang terkumpul baik melalui wawancara yang dilakukan, inventarisasi karya ilmiah, peraturan perundang-undangan, yang berkaitan dengan judul penelitian baik media cetak dan laporan-laporan hasil penelitian lainnya untuk mendukung studi kepustakaan. Kemudian baik data primer maupun data sekunder dilakukan analisis penelitian secara kuantitatif dan untuk membahas lebih mendalam dilakukan secara kualitatif, setelah selesai pengolahan data baru ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif. Sehingga dengan demikian diharapkan dapat menjawab segala permasalahan hukum yang ada dalam tesis ini.

31

(40)

BAB II

PERKAWINAN MENURUT HUKUM ADAT TIONGHOA DAN PENCATATANNYA

A. Pengertian Perkawinan menurut Hukum Adat Tionghoa

Sudah menjadi kodrat Tuhan, bahwa dua orang manusia yang berlainan jenis kelamin, laki-laki dan perempuan mempunyai keinginan yang sama, untuk saling mengenal, mengamati, dan mencintai bahkan mereka juga mempunyai keinginan yang sama untuk melangsungkan pernikahan. Apabila mereka melangsungkan perkawinan, maka timbullah hak dan kewajiban antara suami dan istri secara timbal balik, demikian juga apabila dalam perkawinan itu dilahirkan anak, maka akan juga timbul hak dan kewajiban antara orang tua dan anak secara timbal balik.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata “nikah” sebagai perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami isteri atau sering diartikan pula sebagai perkawinan. Para pakar hukum perkawinan Indonesia juga memberikan definisi tentang perkawinan, antara lain sebagai berikut:

1. Menurut Wirjono Prodjodikoro, peraturan yang digunakan untuk mengatur perkawinan inilah yang menimbulkan pengertian perkawinan.32

2. Menurut Sajuti Thalib, perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci dan luas dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan

32

(41)

seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih-mengasihi, tenteram dan bahagia.33

3. Menurut Imam Syafi’i, perkawinan adalah suatu akad yang dengannya menjadi halal hubungan seksual antara laki-laki dengan seorang perempuan.34

4. Menurut Hazairin menyatakan bahwa inti dari sebuah perkawinan adalah hubungan seksual. Menurutnya tidak ada nikah (perkawinan) apabila tidak ada hubungan seksual.35

5. Menurut Prof. Ibrahim Hosen, nikah menurut arti asli kata dapat juga berarti akad dengannya menjadi halal kelamin antara pria dan wanita, sedangkan menurut arti lain bersetubuh.36

6. Menurut Subekti, Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama.

7. Menurut Ali Afandi, Perkawinan adalah persetujuan antara laki-laki dan perempuan di dalam hukum keluarga.37

8. Menurut Victor Situmorang, perkawinan dilangsungkan dengan persetujuan timbal balik yang bebas yang tidak dapat digantikan oleh campur tangan siapapun. Sebagai persetujuan timbal balik untuk hidup bersama, yang hakikatnya adalah sosial dan penting bagi pergaulan hidup manusia.

33

Mohammad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1996), hal.2.

34

Hosen Ibrahim,Figh Perbandingan dalam Masalah Nikah, Talak dan Rujuk,(Jakarta : Ihya Ulumudin, 1971), hal. 65.

35

Hazairin,Hukum kekeluargaan Nasional Indonesia,(Jakarta : Tintamas, 1961), hal. 61.

36

Ibid., hal. 65.

37

(42)

Persetujuan bebas suami isteri mempunyai akibat-akibat hukum. Perkawinan diakui dan dilindungi hukum, oleh sebab itu perkawinan dapat dipandang sebagai suatu kontrak, akan tetapi ia merupakan suatu kontrak tersendiri.38 9. Menurut K. Wantjik Saleh, perkawinan adalah suatu perjanjian yang diadakan

oleh dua orang, dalam hal ini perjanjian antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan material, yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal itu haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai azas pertama dalam Pancasila.39

10. Menurut Ali Afandi, perkawinan adalah persatuan seorang laki-laki dan perempuan secara hukum untuk hidup bersama, hidup bersama ini dimaksudkan untuk berlangsung selama-lamanya.40

Perbedaan pendapat-pendapat para ahli diatas tidak memperlihatkan adanya pertentangan yang sungguh-sungguh antara pendapat yang satu dengan pendapat yang lain. Perbedaan itu hanya terdapat pada keinginan para perumus untuk memasukkan unsur yang sebanyak-banyaknya dalam merumuskan pengertian perkawinan. Dalam pendapat-pendapat para ahli diatas terdapat kesamaan yaitu bahwa perkawinan merupakan suatu perjanjian antara seorang laki-laki dengan

38

Victor Situmorang, Kedudukan Wanita di Mata Hukum, (Jakarta : Bina Aksara, 1998), hal. 34.

39

K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1976), hal. 15.

40

(43)

seorang perempuan. Perjanjian perkawinan merupakan perjanjian suci untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal, abadi untuk selamanya.

Pada prinsipnya, perkawinan atau nikah adalah suatu akad untuk menghalalkan hubungan serta membatasi hak dan kewajiban, tolong menolong antara laki-laki dan perempuan yang antara keduanya bukan muhrim. Apabila ditinjau dari segi hukum, tampak jelas bahwa pernikahan adalah suatu akad suci dan luhur antara laki-laki dan perempuan yang menjadi sahnya status sebagai suami isteri dan dihalalkannya hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga sakinah, penuh kasih sayang dan kebajikan serta saling menyantuni antara keduanya.41

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dirumuskan pengertian perkawinan yang didalamnya terkandung tujuan dan dasar perkawinan dengan rumusan “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.”

Jika diperhatikan bagian pertama pasal tersebut, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami isteri. Dari kalimat diatas, jelas bahwa perkawinan itu baru ada apabila dilakukan oleh seorang lelaki dengan seorang perempuan. Seiring dengan perkembangan jaman,

41

(44)

sering dijumpai di dalam masyarakat terdapat hubungan antara seorang pria dengan seorang pria yang disebut homo seksual atau seorang wanita dengan seorang wanita yang disebut lesbian, hubungan ini tidak dapat dilanjutkan ke jenjang perkawinan, karena di negara Indonesia tidak mengatur perkawinan sesama jenis dan di dalam hukum agamapun tidak diperbolehkan adanya perkawinan sesama jenis. Dengan demikian di dalam pengertian perkawinan itu jelas terlihat adanya unsur ikatan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami isteri.

Tujuan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berpegang kepada rumusan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu pada bagian kalimat kedua yang berbunyi sebagai berikut: ”dengan tujuan membentuk keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.”

Rumusan tujuan perkawinan tersebut mengandung arti bahwa dengan melangsungkan perkawinan, diharapkan akan memperoleh kebahagiaan lahir batin. Kebahagiaan yang akan dicapai ini bukanlah kebahagian yang bersifat sementara melainkan kebahagiaan yang bersifat kekal selamanya sampai kematian memisahkan mereka berdua. Berdasarkan rumusan tersebut, maka Undang-Undang membuat pembatasan yang ketat terhadap perceraian atau pemutusan perkawinan.

(45)

telah menjadi satu dengan suku-suku lain di Indonesia. Mereka kebanyakan masih membawa dan mempercayai adat leluhurnya.42

Hukum adat adalah hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia yang disana-sini mengandung unsur agama.43 Menurut Kusumadi Pudjosewojo bahwa “Adat ialah tingkah laku yang oleh dan dalam suatu masyarakat (sudah, sedang, akan) diadakan. Dan adat itu ada yang tebal, ada yang tipis, dan senantiasa menebal dan menipis. Aturan-aturan tingkah laku manusia dalam masyarakat seperti yang dimaksudkan tadi adalah aturan-aturan adat.”44

Hukum adat Tionghoa hidup dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat Tionghoa itu sendiri. Bertahan atau tidaknya sebahagian maupun keseluruhan dari kebiasaan dan adat-istiadat Tionghoa tergantung kepada masyarakat etnis Tionghoa itu sendiri, apakah masih sesuai adat-istiadat tersebut untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dengan mengikuti perkembangan dan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Agama merupakan faktor penting yang menentukan berlanjutnya kebiasaan budaya Tionghoa. Bagi keluarga yang menganut kepercayaan Budha dan Tao misalnya, kedekatan dengan kebudayaan

42

K. Ginarti B, Adat Pernikahan, Majalah Jelajah Volume 3, Tahun 1999, tanggal 20 Desember 1999, hal. 12.

43

Sulaiman, B. Taneka, Hukum Adat Suatu Pengantar Awal dan Prediksi Masa Depan, (Bandung : E.esco, 1987), hal. 11.

44

(46)

Tionghoa masih kuat karena banyak upacara keagamaan, seperti penggunaan hio dalam pemujaan leluhur yang terkait dengan kebudayaan Tionghoa.45

Hukum adat Tionghoa tidak memberikan pengertian secara gamblang mengenai definisi dari perkawinan. Namun dalam adat Tionghoa itu sendiri, perkawinan merupakan suatu sarana bagi seorang laki-laki dan seorang wanita untuk hidup bersama dan mendapatkan keturunan yang pada akhirnya akan meneruskan marga dari si ayah.

Sistem kekeluargaan yang dianut dalam hukum adat Tionghoa adalah sistem kekeluargaan patrilineal, yakni bahwa yang menentukan garis keturunan adalah dari pihak laki-laki. Pihak laki-laki memegang peranan yang sangat penting dalam suatu keluarga, artinya bahwa anak laki-laki memiliki posisi dan kedudukan yang istimewa dalam keluarga karena merupakan penerus marga atau nama keluarga.

Ada atau tidaknya anak laki-laki yang lahir dari suatu perkawinan pada masyarakat etnis Tionghoa sangat menentukan sekali diteruskan atau tidaknya marga atau nama keluarga dari si ayah karena hanya anak laki-laki yang meneruskan marga atau nama keluarga dari ayahnya, sedangkan anak perempuan tidak dapat meneruskan marga atau nama keluarga dari ayahnya karena menurut hukum keluarga atau aturan kekerabatan bangsa Cina, perempuan yang sudah

45

(47)

menikah akan keluar dari keluarganya dan masuk dalam keluarga suami46 sehingga anak-anak yang lahir akan meneruskan marga atau nama keluarga suaminya pula.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa pengertian perkawinan menurut hukum adat Tionghoa adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dalam membina rumah tangga dan mendapatkan keturunan untuk meneruskan nama keluarga atau marga dari ayahnya.

B. Syarat dan Prosesi Perkawinan menurut Hukum Adat Tionghoa

Dalam adat-istiadat Tionghoa sebenarnya tidak ada mengatur secara tertulis mengenai syarat-syarat perkawinan, melainkan syarat-syarat perkawinan tersebut hanya dilaksanakan secara terus menerus dan turun temurun dari generasi ke generasi. Peran orang tua sangat besar dalam pelaksanaan maupun pelestarian adat istiadat dalam perkawinan, terutama mengenai syarat-syarat perkawinan, antara lain dengan memberitahukan kepada anak dan keturunannya serta menerapkannya dalam perkawinan anak-anaknya.

Salah satu syarat perkawinan yang paling utama dilaksanakan dan dianut sampai sekarang adalah calon mempelai yang satu marga dilarang untuk menikah. Hal ini disebabkan karena mereka dianggap masih mempunyai hubungan darah satu

46

(48)

dengan lainnya dan adanya anggapan bahwa perkawinan antara marga yang sama dapat memberikan keturunan yang kurang baik.

Pada dasarnya syarat-syarat perkawinan dalam hukum adat Tionghoa sangat dipengaruhi oleh pandangan masyarakat etnis Tionghoa itu sendiri, terutama pandangan dari keluarga dan kedua calon mempelai. Secara garis besar, syarat -syarat perkawinan dalam hukum adat Tionghoa sangat sederhana dan han ya terfokus kepada cara pandang dan kebiasaan-kebiasaan serta adat istiadat dari suku dan/atau keluarga. Tidak ada akibat dan sanksi hukum yang timbul apabila syarat-syarat perkawinan tersebut tidak dipenuhi atau dilaksanakan oleh para pihak yang melangsungkan perkawinan, akan tetapi hanya berupa sanksi sosial, seperti cemoohan dari pihak keluarga maupun masyarakat.

Masyarakat keturunan Tionghoa dalam suatu perkawinan yang akan dilaksanakan harus melalui tiga tahap upacara, yaitu:47

a. Upacara adat Tionghoa

b. Upacara tata cara agama yang diyakini

c. Upacara pesta perkawinan (Resepsi Pernikahan)

Ketiga upacara itu tidak diharuskan dilaksanakan seluruhnya, karena di dalam melakukan tiap-tiap upacara tersebut diperlukan biaya-biaya yang tidak sedikit, kecuali memang tingkat ekonominya mendukung. Sekalipun hanya melakukan upacara perkawinan secara adat saja maupun tata cara agama, tanpa

47

(49)

melaksanakan upacara pesta perkawinan, perkawinan tersebut telah dianggap sah dalam masyarakat adat Tionghoa.

Upacara pernikahan merupakan adat perkawinan yang didasarkan atas dan bersumber kepada kekerabatan, keleluhuran dan kemanusiaan serta berfungsi melindungi keluarga. Upacara pernikahan tidaklah dilakukan secara seragam di semua tempat, tetapi terdapat berbagai variasi yang disesuaikan dengan pandangan mereka pada adat tersebut dan pengaruh adat lainnya pada masa lampau.

Pesta dan upacara pernikahan merupakan saat peralihan sepanjang kehidupan manusia yang sifatnya universal. Perkawinan penting untuk mengekalkan institusi keluarga. Melalui perkawinan, keturunan nenek moyang dapat diteruskan daripada satu generasi kepada generasi yang lain. Walaupun perkawinan pada masa kini perlu didaftarkan, tetapi upacara dan kenduri perkawinan penting untuk mengikiraf perkawinan.48 Oleh karena itu, upacara perkawinan selalu ada pada hampir setiap kebudayaan. Demikian pula halnya dengan adat pernikahan orang Tionghoa yang mempunyai upacara-upacara, antara lain:

A. Upacara Adat Tionghoa

Upacara ini terdiri atas beberapa tahapan yaitu:49

48

Aan Wan Seng,Loc.Cit.

49

(50)

1. Melamar

Untuk menghindari kesia-siaan dan rasa malu, lazimnya lamaran dilakukan setelah pihak keluarga pria mendapat kepastian bahwa lamaran akan diterima. Ketika proses lamaran berlangsung pun, pihak pelamar belum akan menyentuh makanan dan minuman yang disajikan sebelum keluarga calon mempelai wanita memastikan lamaran telah diterima. Saat akan pulang, ayah atau wali dari calon mempelai pria akan menyelipkan angpau berisi uang di bawah cangkir teh yang disajikan calon mempelai wanita sebagai tanda kasih kepada calon menantu. Sebagai balasan, jika lamaran diterima, keluarga pengantin wanita akan memberi perhiasan sebagai tanda ikatan.

2. Penentuan Hari Baik, Bulan Baik

(51)

3. Prosesi Seserahan Adat Tionghoa atauSangjit

Sangjit merupakan tradisi hantaran rantang bambu yang disusun bulat atau persegi empat, berisi aneka buah dan kue yang jumlahnya harus genap. Namun, semua tergantung kemampuan calon mempelai pria. Hantaran ini akan dibawa oleh para pria lajang. Tradisi ini diyakini akan membuat para pembawa hantaran ini menjadi ”enteng jodoh”. Diantara sekian banyak barang hantaran terdapat beberapa barang bermakna simbolis.

Pada budaya Tionghoa suku tertentu, hantaran yang diterima tidak diambil seluruhnya, melainkan hanya separuh. Bahkan, uang susu sebagai ungkapan terima kasih kepada ibu pengantin wanita yang telah membesarkan anak gadisnya sama sekali tidak diambil. Ini sebagai isyarat si ibu tidak mempunyai pamrih atas jasa itu. Hantaran yang telah diterima akan dibalas dengan hantaran pula.

Dalam rangkaian adat Tionghoa, Sangjit dilakukan setelah acara lamaran. Hari dan waktu yang baik untuk melakukan Sangjit ini ditetapkan pada saat proses lamaran tersebut. Dalam prakteknya, Sangjit

sering ditiadakan atau digabung dengan lamaran. Namun sayang rasanya meniadakan prosesi yang satu ini, karena makna yang terkandung di dalamnya sebenarnya sangat indah.50

50

(52)

4. Menata kamar pengantin

Seusai melaksanakan prosesi sangjit, keluarga calon pengantin pria akan mempersiapkan ranjang baru untuk kamar pengantin. Ada tradisi unik, anak-anak akan diminta meloncat-loncat di atas ranjang pengantin sebelum ranjang ditata. Selain bisa untuk menguji kekuatan ranjang, ada mitos tradisi ini bisa membuat pengantin cepat mendapat momongan. 5. Menyalakan Lilin

Ada keharusan bagi orang tua kedua calon pengantin untuk menyalakan lilin perkawinan beberapa hari menjelang pernikahan digelar. Nyala lilin perkawinan dipercaya bisa mengusir pengaruh buruk yang dapat mengacaukan jalannya prosesi pernikahan. Biasanya lilin dinyalakan mulai pukul satu dini hari. Lilin harus tetap menyala hingga tiga hari setelah pernikahan.51

6. Siraman

Siraman dalam tradisi masyarakat Tionghoa diawali dengan sembahyang dan penghormatan kepada leluhur. Setelah itu, barulah mempelai wanita dimandikan dengan air yang telah dibubuhi wewangian alami. Selain untuk membersihkan mempelai dan membuatnya wangi, ritual ini juga bermaksud mengusir pengaruh jahat yang bisa mengganggu mempelai.

51

(53)

7. Menyisir rambut atauchio thao

Chio thao biasanya dilakukan oleh orang yang telah menikah dan memiliki keturunan. Mempelai akan disisir sebanyak tiga kali. Mempelai yang akan menjalani prosesi ini didudukkan di atas kursi yang telah dialasi tampah besar bergambar yin-yang. Dihadapan mereka terdapat meja kecil yang diatasnya telah diletakkan penakar beras yang terisi penuh oleh beras dan sembilan benda simbolis, yaitu timbangan obat khas China, alat pengukur panjang, cermin, sisir, gunting, pedang, pelita. Selain itu, terdapat juga benang sutra yang terdiri dari lima warna. Semua benda-benda ini mengandung makna ajaran moral bagi calon pengantin untuk membereskan segala keruwetan rumah tangga yang akan dihadapi serta mampu menimbang baik-buruknya suatu tindakan.

8. Makan 12 sayur

(54)

dijalani dan dinikmati. Pengantin pria juga menjalani prosesi yang sama di rumahnya, sebelum berangkat menuju rumah pengantin wanita. 9. Penjemputan Mempelai Wanita

Mempelai pria yang datang untuk menjemput mempelai wanita akan disambut dengan taburan beras kuning, biji buncis merah dan hijau, uang logam, serta bunga. Aneka taburan ini bermakna kesejahteraan yang melimpah bagi mempelai. Masih dalam keadaan wajah ditutupi kerudung, mempelai wanita dipertemukan dengan pengantin pria yang telah datang menjemput. Dalam prosesi ini, kerudung pelambang kesucian belum boleh dibuka.

10. Penyambutan Pengantin Wanita

(55)

B. Upacara Tata Cara Agama yang Diyakini

1. Upacara Sembahyang kepada Tuhan Yang Maha Esa dan/atau Leluhur ("Cio Tao")

Di pagi hari pada upacara hari pernikahan, diadakan Cio Tao. Namun, adakalanya upacara sembahyang Tuhan ini diadakan pada tengah malam menjelang pernikahan. Selain menyembahyangi Tuhan Yang Maha Esa, calon pengantin pria dan wanita juga memberi hormat kepada para leluhur dari calon pengantin pria dan juga para leluhur dari calon mempelai wanita dengan disaksikan orangtua dan sanak keluarga sebagai persyaratan sahnya perkawinan mereka secara adat dan kepercayaan.

Meja sembahyang yang digunakan berwarna merah 3 tingkat. Di bawahnya diberi 7 macam buah. Di bawah meja harus ada jambangan berisi air, rumput berwarna hijau yang melambangkan alam nan makmur. Di belakang meja ada tampah dengan garis tengah 2 meter dan di atasnya ada tong kayu berisi sisir, timbangan, sumpit, dll. yang semuanya itu melambangkan kebaikan, kejujuran, panjang umur dan setia.

Referensi

Dokumen terkait

Suami isteri yang terikat dalam perkawinan yang sah, akan mempunyai harta benda, baik yang diperoleh sebelum perkawinan maupun selama perkawinan. Pengaturan

seperti yang tercantum dalam Pasal 7 Ayat (1) adanya ketentuan mengenai usia calon mempelai tersebut dimaksudkan agar calon suami istri yang akan melangsungkan perkawinan sudah

Bagaimana akibat hukum terhadap pencatatan perkawinan di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dari adanya penetapan Pengadilan Negeri yang mengabulkan permohonan

Akibat Hukum Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Perkawinan Indonesia, berkaitan dengan status dalam perkawinan dimana suatu perkawinan yang sah sah harus memenuhi ketentuan dalam

Pencatatan perkawinan tersebut bertentangan dengan PMA Nomor 19 Tahun 2018 Pasal 6 mengenai Tertib Administrasi Pencatatan Perkawinan, bahwasannya pencatatan dalam

Suami isteri yang terikat dalam perkawinan yang sah, akan mempunyai harta benda, baik yang diperoleh sebelum perkawinan maupun selama perkawinan. Pengaturan

Sedangkan tindakan kuratif ditempuh melalui dua langkah, yakni langkah pastoral dan langkah yudisial. Langkah pastoral dilakukan untuk membantu pasangan suami dan isteri agar

ANALISA DALAM MEMBUAT PENETAPAN PERKAWINAN BEDA AGAMA Pasal 21 ayat 3 UU Perkawinan, Pasal 35 huruf a dan Penjelasan Pasal 35 huruf a UU Administrasi Kependudukan